Analisis Tafsir, Konteks, dan Implikasi Hukum Mengenai Gurauan Terhadap Agama
Surah At-Taubah, surah ke-9 dalam Al-Qur'an, memiliki kekhasan tersendiri. Ia adalah satu-satunya surah yang tidak diawali dengan *Basmalah* (Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang), sebuah indikasi kuatnya nuansa peringatan, ketegasan, dan pernyataan perang terhadap kemunafikan dan pengkhianatan. Surah ini diturunkan setelah Perang Tabuk dan secara mendalam mengupas karakter dan taktik kaum munafik (Al-Munafiqun).
Perang Tabuk adalah momen krusial yang menyingkap wajah-wajah tersembunyi. Dalam kondisi sulit, perjalanan jauh, dan ujian keimanan yang berat, mereka yang keimanannya rapuh atau hanya pura-pura beriman mulai menampakkan keengganan, keraguan, dan bahkan melakukan sabotase moral. Ayat-ayat dalam At-Taubah, termasuk ayat yang menjadi fokus kita, berfungsi sebagai cermin ilahi yang membedakan antara mukmin sejati dengan mereka yang hanya bersembunyi di balik selubung keislaman.
Fokus utama surah ini adalah pembersihan barisan umat Islam dari elemen-elemen yang merusak. Ayat 65, khususnya, menyoroti salah satu senjata paling berbahaya kaum munafik: meremehkan dan memperolok-olok ajaran atau utusan Allah melalui gurauan yang dianggap ringan. Ini adalah pelajaran abadi tentang bahaya lisan yang tidak terjaga, dan bagaimana niat jahat dapat terselubung dalam bentuk candaan.
Ayat yang menjadi inti pembahasan kita adalah firman Allah subhanahu wa ta'ala:
Ayat ini adalah interogasi ilahi yang keras. Ketika para munafik tertangkap basah sedang membicarakan keburukan Islam atau Rasulullah ﷺ, mereka segera berdalih dengan pembelaan yang sama di setiap masa: "Kami hanya bergurau, kami hanya main-main." Namun, respon dari Allah melalui lisan Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa subjek yang mereka jadikan gurauan adalah subjek yang memiliki keagungan mutlak, sehingga tidak ada ruang untuk candaan dalam konteks ini.
Konteks sejarah penurunan (Asbabun Nuzul) ayat 65 ini sangat penting untuk memahami kedalaman maknanya. Sebagian besar ahli tafsir sepakat bahwa ayat ini turun berkaitan dengan insiden selama perjalanan menuju Tabuk. Perjalanan ini sangat melelahkan, di tengah musim panas yang terik dan persediaan yang terbatas.
Dikisahkan bahwa sekelompok kaum munafik sedang berjalan di belakang barisan pasukan Muslim. Mereka mengira tidak ada yang mendengarkan, lalu mereka mulai melontarkan komentar-komentar sinis mengenai orang-orang beriman, terutama mengenai para penghafal Al-Qur'an (Qurra') dan Rasulullah ﷺ sendiri.
Salah satu riwayat yang masyhur, yang dicatat oleh Ibn Jarir ath-Thabari dan Ibn Abi Hatim dari jalur Abdullah bin Umar, menceritakan bahwa di antara mereka ada yang berkata, "Kami belum pernah melihat orang-orang yang lebih rakus perutnya, lebih dusta lisannya, dan lebih pengecut di medan perang daripada para *Qurra'* (pembaca Quran) kita ini!" Maksud mereka adalah Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya.
Tentu saja, gurauan ini bukan gurauan biasa, melainkan sindiran tajam yang bertujuan merusak moralitas dan wibawa kepemimpinan Rasulullah ﷺ. Salah satu sahabat, 'Auf bin Malik, mendengar perkataan itu dan melaporkannya. Kemudian, wahyu turun, menyingkap isi hati dan lisan mereka.
Ketika Rasulullah ﷺ memanggil mereka dan menanyakan hal itu, mereka datang dalam keadaan ketakutan, sambil bersumpah dan memohon, "Wahai Rasulullah, kami hanya bergurau dan bermain-main! Kami hanya ingin menghilangkan kebosanan di perjalanan!" Namun, kesaksian lisan mereka ini ditolak secara tegas oleh firman Allah. Penolakan ini menunjukkan bahwa niat baik yang diucapkan setelah perbuatan buruk tidak bisa membatalkan konsekuensi spiritual dari perbuatan itu sendiri, terutama jika subjeknya adalah perkara fundamental keimanan.
Peristiwa ini mengajarkan bahwa dalam Islam, ada batasan antara gurauan yang diperbolehkan dan gurauan yang membatalkan keimanan. Gurauan yang ditujukan kepada Allah, ayat-ayat-Nya (Al-Qur'an, syariat), dan Rasul-Nya ﷺ adalah pelanggaran yang tidak terampuni kecuali dengan taubat yang sungguh-sungguh, karena itu adalah manifestasi dari kekufuran (penghinaan terhadap apa yang disucikan).
Kaum munafik mencoba bersembunyi di balik narasi "sekadar main-main" untuk menghindari hukuman. Namun, At-Taubah 65 membuka topeng mereka. Ayat ini menetapkan standar: apakah candaan itu memuat unsur penghinaan terhadap pondasi agama? Jika iya, ia bukan lagi candaan, melainkan kekufuran yang terselubung.
Untuk memahami mengapa gurauan ini berakibat fatal (menjadi kekufuran), kita harus membedah frasa kunci dalam ayat tersebut.
Para munafik menggunakan dua kata ini sebagai pembenaran: *nakhudh* (kami hanyalah menyelam/membahas hal yang tidak penting) dan *nal'ab* (kami hanya bermain-main/bergurau).
Khudh (خوض): Dalam bahasa Arab, *khudh* berarti "menyelami pembicaraan yang tidak penting, membicarakan hal yang sia-sia, atau masuk dalam pembahasan yang tidak relevan." Dalam konteks ini, mereka mencoba mereduksi pembicaraan serius tentang agama menjadi sekadar obrolan iseng, sebuah upaya delegitimasi terhadap isi pembicaraan itu sendiri.
La'b (لعب): Merujuk pada permainan, gurauan, atau tindakan yang tidak serius. Ketika dikaitkan dengan agama, ini berarti memperlakukan ajaran suci dengan sikap yang tidak menghormati. Tafsir menunjukkan bahwa penggabungan kedua kata ini ("kami hanya khudh dan la'b") menunjukkan upaya mereka untuk mengabaikan tanggung jawab moral dan spiritual atas lisan mereka.
Bagian kedua ayat ini adalah inti hukuman spiritualnya. Allah secara retoris bertanya: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?"
Tiga Pilar Keagungan: Ayat ini menyebut tiga entitas suci yang tidak boleh diperolok-olokkan, yang merupakan pondasi Islam:
Mengolok-olok salah satu dari ketiganya adalah tindakan Istihza' (اِسْتِهْزَاء), yang didefinisikan sebagai menghina, meremehkan, atau mempermainkan. Tindakan ini secara universal disepakati oleh ulama sebagai kekufuran yang nyata, karena Istihza' menunjukkan bahwa pelakunya tidak memiliki rasa pengagungan (ta’dhim) terhadap apa yang seharusnya diagungkan.
Ayat 66, yang merupakan kelanjutan langsung, memperkuat ketegasan ini:
قُل لَّا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ ۚ إِن نَّعْفُ عَن طَائِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ
“Katakanlah: ‘Janganlah kamu meminta maaf, karena kamu telah KAFIR sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan dari kamu (lantaran mereka bertaubat), niscaya Kami akan mengazab golongan yang lain disebabkan mereka adalah orang-orang yang berdosa.’” (QS. At-Taubah: 66)
Pernyataan "Kalian telah kafir sesudah beriman" adalah vonis yang sangat berat. Ini menunjukkan bahwa perbuatan mengolok-olok agama bukanlah dosa biasa (*ma'siyah*), melainkan tindakan yang membatalkan akidah (*nawaqidul iman*). Permintaan maaf mereka ditolak karena tindakan itu sendiri adalah bukti nyata dari ketiadaan rasa hormat dan pengagungan di dalam hati mereka, yang merupakan esensi dari keimanan.
Pelajaran dari At-Taubah 65 ini menggarisbawahi pentingnya menjaga lisan dan menyikapi agama dengan keseriusan mutlak. Lisan adalah penerjemah isi hati. Jika lisan dapat dengan mudah memperolok ajaran suci, itu menandakan kekosongan atau kebohongan dalam pengakuan iman di dalam hati.
Para ulama sepakat bahwa Istihza' terhadap agama termasuk dalam kategori *Nawaqidul Islam* (pembatal keislaman). Mengapa? Karena keimanan didasarkan pada *Ta’dzim* (pengagungan), *Mahabbah* (kecintaan), dan *Ikhlas* (ketulusan) terhadap Allah dan utusan-Nya. Ketika seseorang menjadikan Allah atau syariat-Nya sebagai bahan lelucon, ia menghilangkan *Ta’dzim* tersebut. Ia menunjukkan bahwa di matanya, ajaran tersebut tidaklah sakral atau agung.
Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa siapapun yang dengan sengaja mengucapkan kata-kata yang mengandung unsur olok-olok atau penghinaan terhadap Nabi ﷺ, atau terhadap hukum-hukum Allah, maka dia telah keluar dari Islam, meskipun ia mengaku hanya bergurau atau tidak bermaksud serius. Niat "hanya bercanda" tidak bisa menjadi pembelaan ketika materi gurauan adalah perkara fundamental akidah.
Penting untuk membedakan antara mengkritik implementasi syariat oleh manusia (kesalahan interpretasi, penyimpangan individu) dengan mengolok-olok syariat itu sendiri. Mengkritik praktik keagamaan yang keliru atau pemimpin yang zalim tidaklah otomatis jatuh ke dalam kekufuran. Namun, apabila kritik itu diarahkan pada sumbernya—Al-Qur'an, Sunnah, atau pribadi Rasulullah ﷺ—maka ia menjadi *Istihza'* yang mematikan keimanan.
Kaum munafik dalam peristiwa Tabuk tidak mengkritik strategi perang, tetapi meremehkan para penghafal Al-Qur'an dan sifat-sifat Rasul, yang merupakan esensi dari agama itu sendiri. Gurauan mereka adalah penghinaan terhadap nilai-nilai inti, bukan sekadar kritik fungsional.
Ayat 65 dari At-Taubah memiliki relevansi yang luar biasa dalam konteks kehidupan kontemporer, terutama di era media sosial dan digital, di mana lisan digantikan oleh ketikan, dan gurauan menyebar dengan kecepatan kilat.
Di masa kini, banyak upaya meremehkan ajaran agama disamarkan dalam bentuk "satire," "meme," atau "komedi gelap." Seseorang mungkin mengunggah gambar atau video yang menertawakan salah satu ritual ibadah, misalnya, dengan dalih bahwa ia hanya ingin membuat orang lain tertawa. Namun, sebagaimana dijelaskan dalam At-Taubah 65, niat untuk bercanda tidak meniadakan konsekuensi kekufuran ketika objek gurauan adalah perkara suci.
Contohnya meliputi meremehkan pakaian syar'i, menertawakan hukum waris, atau mengejek praktik doa. Meskipun pelakunya adalah seorang Muslim yang mengaku beriman, jika ia dengan sengaja menjadikan syariat Allah sebagai bahan tawa, ia telah menunjukkan ketiadaan *Ta’dzim* (pengagungan), dan ini menyerupai nifaq yang diidentifikasi Allah dalam Surah At-Taubah.
Nifaq modern juga termanifestasi dalam sikap meremehkan orang yang berusaha menjalankan agama secara konsisten. Ayat 65 muncul karena kaum munafik meremehkan para *Qurra'* (orang yang serius dengan Al-Qur'an). Hari ini, hal itu terjadi ketika seseorang diejek karena berusaha istiqamah, menjaga lisan, atau mengikuti sunnah.
Ketika istilah-istilah keagamaan seperti "hijrah," "sunnah," atau "taqwa" diubah menjadi bahan olok-olok publik, atau dijadikan label sinis untuk mencela, itu adalah perpanjangan dari dosa yang diperingatkan dalam At-Taubah 65. Ini adalah strategi munafik yang bertujuan untuk mengisolasi dan mendiskreditkan keseriusan beragama.
Setiap orang yang meremehkan ajaran agama dengan dalih liberalisme, modernisasi, atau gurauan, tanpa sadar mengikuti jejak langkah kaum munafik di perjalanan Tabuk. Mereka menggunakan kelonggaran sosial untuk menyebarkan racun keraguan terhadap kesucian ajaran Islam.
Lisan (dan jari) hari ini memiliki jangkauan yang jauh lebih luas daripada lisan kaum munafik di padang pasir. Satu gurauan yang diunggah ke internet dapat dilihat oleh jutaan orang, dan dosa penghinaan tersebut terus mengalir selama konten itu ada dan ditertawakan. Hal ini meningkatkan urgensi peringatan At-Taubah 65. Kehati-hatian dalam mengeluarkan kata, terutama yang berkaitan dengan keimanan, adalah syarat mutlak keselamatan spiritual.
Kita harus mengingat selalu bahwa ajaran Rasulullah ﷺ bukan hanya sekadar sejarah atau adat, melainkan panduan hidup yang sakral dan tidak boleh diperlakukan sebagai bahan mainan. Apabila seseorang merasa ajaran tertentu memberatkan, jalur yang benar adalah bertanya, mencari pemahaman, atau bahkan menyimpannya dalam hati, tetapi bukan dengan menjadikannya bahan tertawaan publik. Gurauan yang melanggar batas adalah manifestasi dari kepalsuan iman.
Ayat 65 Surah At-Taubah memberikan fondasi etika Islam mengenai lisan. Keselamatan seseorang di akhirat sangat bergantung pada bagaimana ia menjaga apa yang keluar dari mulutnya.
Inti dari ayat ini adalah kewajiban untuk memperlakukan agama dengan keseriusan yang total (*Ta'dzim*). Keseriusan ini bukan berarti menghilangkan kegembiraan atau kebahagiaan dalam hidup, tetapi memisahkan ranah suci dari ranah yang bisa dijadikan mainan. Ibadah, Al-Qur'an, Hadits, dan hukum-hukum dasar Islam harus dihormati melebihi segala sesuatu di dunia.
Seorang mukmin yang sejati akan merasa takut bahkan hanya memikirkan untuk mengeluarkan kata-kata yang merendahkan keagungan ilahi. Rasa takut (khauf) ini adalah tanda keimanan yang hidup. Ketika rasa takut ini hilang, dan digantikan oleh sikap ceroboh atau remeh temeh, pintu nifaq telah terbuka.
Keseriusan ini menuntut introspeksi terus-menerus terhadap niat. Apakah tawa yang kita sebarkan berasal dari rasa gembira yang murni atau dari upaya meremehkan nilai-nilai yang seharusnya kita junjung tinggi? Gurauan kaum munafik lahir dari rasa benci tersembunyi; mereka menggunakan humor sebagai alat untuk meluapkan kebencian dan keraguan mereka secara tidak langsung.
Fiqih Lisan yang didasarkan pada At-Taubah 65 mengajarkan bahwa perkataan memiliki bobot hukum yang setara, bahkan terkadang lebih berat, daripada perbuatan fisik.
Ayat 65 ini secara tegas memindahkan gurauan yang menyangkut keimanan dari kategori haram biasa langsung ke kategori kufur. Ini menunjukkan betapa sensitifnya topik keagungan ilahi dan betapa tipisnya batas antara candaan dan kekufuran. Keselamatan lisan adalah fondasi keselamatan iman.
Rasulullah ﷺ bersabda, "Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam." Prinsip ini, yang sederhana namun mendalam, adalah benteng pertahanan pertama melawan nifaq lisan. Diam ketika kita tergoda untuk melontarkan gurauan yang berpotensi meremehkan agama adalah tindakan iman yang paling bijaksana.
Salah satu poin penting dalam Asbabun Nuzul adalah bahwa para munafik datang sambil bersumpah dan meminta maaf. Allah menolak permintaan maaf mereka pada awalnya (QS 9:66). Hal ini mengajarkan bahwa ketika suatu tindakan telah menjadi kekufuran, sekadar permintaan maaf lisan tidaklah cukup. Yang dibutuhkan adalah Taubat Nasuha (taubat yang sungguh-sungguh) yang melibatkan penyesalan mendalam, berhenti total dari perbuatan itu, dan bertekad untuk tidak mengulanginya, serta memperbaharui syahadat, karena keimanan mereka telah batal.
Kesungguhan taubat harus mencerminkan keseriusan perbuatan yang telah dilakukan. Orang yang memperolok agama dan kemudian meminta maaf, tetapi tetap memiliki sikap meremehkan di hatinya, taubatnya tidak akan diterima. At-Taubah 65 menghancurkan gagasan bahwa kekufuran dapat dimaafkan hanya dengan sumpah atau dalih ringan.
Ayat At-Taubah 65 bukanlah satu-satunya ayat yang membahas bahaya olok-olok, namun ia adalah yang paling tegas menghubungkannya langsung dengan kekufuran dan kemunafikan. Ayat-ayat lain berfungsi sebagai penguat terhadap prinsip ini.
Allah melarang keras orang beriman duduk bersama mereka yang sedang mengolok-olok ayat-ayat-Nya, kecuali jika mereka mengalihkan pembicaraan. Ini terdapat dalam Surah An-Nisa’ (4): 140:
"Sungguh, Dia telah menurunkan kepada kamu di dalam Kitab (Al-Qur'an), yaitu apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk bersama mereka, sebelum mereka beralih kepada pembicaraan lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu sama dengan mereka..."
Ayat ini menegaskan konsekuensi sosial dari Istihza': siapa pun yang berpartisipasi atau menyetujui, meskipun hanya dengan diam dan duduk bersama, dapat dianggap setara dengan para pengolok-olok itu. Ini adalah peringatan keras bagi para Muslim kontemporer yang mungkin tertawa atau membiarkan lelucon anti-agama terjadi di lingkaran sosial mereka, baik di dunia nyata maupun virtual. Sikap pasif dalam menghadapi penghinaan terhadap agama adalah bentuk persetujuan, dan persetujuan terhadap kekufuran adalah kekufuran itu sendiri.
Kisah kaum munafik di Tabuk mirip dengan pola perilaku kaum-kaum terdahulu yang meremehkan nabi mereka. Misalnya, kaum Nabi Nuh yang menertawakan beliau saat membangun bahtera (QS. Hud: 38). Meremehkan utusan dan perintah ilahi adalah sifat universal yang dimiliki oleh mereka yang menolak kebenaran. At-Taubah 65 menegaskan bahwa pola nifaq ini abadi; hanya konteks dan dalihnya saja yang berubah.
Kaum munafik di Tabuk menganggap enteng Rasulullah ﷺ yang sedang mempersiapkan diri menghadapi tantangan besar. Mereka melihat Rasulullah ﷺ dan para sahabat sebagai orang-orang yang terlalu serius, tidak realistis, dan berlebihan dalam ketakwaan. Sikap superioritas intelektual dan spiritual inilah yang sering menjadi bahan bakar utama bagi gurauan yang meremehkan ajaran agama.
Pelajaran dari At-Taubah 65 bukan hanya mengenai sejarah perang Tabuk, tetapi merupakan panduan etika abadi untuk setiap Muslim, yang menuntut integritas antara apa yang diyakini dalam hati dan apa yang diucapkan oleh lisan.
Keimanan (Iman) didefinisikan sebagai pengakuan dengan lisan, pembenaran dengan hati, dan pembuktian dengan amal perbuatan. Gurauan yang menghina agama menunjukkan kegagalan pada dua aspek pertama: Lisan mengucapkan penghinaan, yang berarti hati tidak membenarkan keagungan objek yang diolok-olok. Oleh karena itu, langkah pertama dalam mengamalkan ayat ini adalah secara aktif memelihara rasa pengagungan (Ta’dzim) terhadap segala sesuatu yang suci dalam Islam. Jika ada keraguan, cari ilmu; jangan jadikan keraguan itu bahan lelucon.
Kita harus melatih diri untuk berhenti sejenak sebelum berbicara atau mengetik, terutama ketika kita berada dalam suasana santai atau humoris. Tanyakan pada diri sendiri: "Apakah kata-kata ini, jika ditujukan kepada Al-Qur'an atau sunnah, akan mengurangi kehormatan mereka?" Jika jawabannya iya, maka diam adalah emas, dan berbicara adalah bencana.
Masyarakat Muslim memiliki tanggung jawab kolektif untuk menciptakan lingkungan di mana keseriusan terhadap agama dijunjung tinggi. Pendidikan agama harus menekankan tidak hanya hukum dan ritual, tetapi juga pentingnya etika lisan dan bahaya kemunafikan yang tersembunyi. Keluarga harus menjadi benteng pertama yang mengajarkan anak-anak bahwa ada batasan suci yang tidak boleh dilanggar dalam gurauan.
Lingkungan yang meremehkan atau mentolerir Istihza' adalah lingkungan yang berpotensi melahirkan nifaq. Jika kita melihat gurauan yang merendahkan agama beredar di media sosial atau lingkungan kita, kita wajib menolaknya, baik dengan lisan, atau paling tidak, dengan hati, sesuai dengan tingkatan kemampuan kita.
Meskipun ayat ini sangat keras, penting untuk dicatat bahwa dalam kasus kekhilafan murni (seperti tersalah lidah yang tidak disengaja, atau perkataan yang tidak dipahami maknanya secara benar), ulama memberikan ruang pengampunan, selama tidak ada niat jahat atau niat meremehkan di dalam hati. Namun, kasus kaum munafik di Tabuk jelas memiliki niat jahat, yaitu melepaskan tekanan hidup dan kegusaran mereka dengan merendahkan orang-orang saleh dan ajaran suci.
Bagi seorang mukmin yang mungkin tergelincir dalam ucapan karena kebodohan atau emosi sesaat, jalan taubat selalu terbuka. Tetapi taubatnya haruslah tulus, diiringi dengan penyesalan yang membakar, dan komitmen kuat untuk menjunjung tinggi *Ta’dzim* kepada Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya. Keseriusan ini harus terus-menerus diperbaharui, hari demi hari, lisan demi lisan, ucapan demi ucapan.
Peringatan dari At-Taubah 65 adalah panggilan abadi kepada integritas spiritual. Ia mengajarkan bahwa iman bukanlah sekadar pengakuan formal, tetapi adalah sikap hidup yang menjunjung tinggi keagungan ilahi dalam setiap aspek, termasuk dalam canda dan tawa kita. Jangan sampai gurauan yang dianggap remeh menjadi alasan kita kehilangan status keimanan yang telah susah payah kita raih.
Kekuatan ayat ini terletak pada penekanan bahwa rasa takut (khauf) kepada Allah harus melebihi rasa nyaman atau keinginan untuk diterima secara sosial. Ketika para munafik bercanda, mereka mencari kesenangan sesaat dan penerimaan di antara kelompok mereka, mengabaikan konsekuensi spiritual yang kekal. Seorang mukmin sejati harus memiliki filter spiritual yang mengutamakan keridaan Allah di atas popularitas atau tawa manusia.
Filtrasi lisan ini adalah ujian sejati atas keimanan. Apabila seseorang merasa bebas untuk mencela atau meremehkan syariat di ruang privat atau publiknya, ini menandakan bahwa pondasi *ta'dhim* telah rapuh. At-Taubah 65 menuntut kita untuk selalu waspada terhadap virus nifaq, yang seringkali memasuki hati melalui pintu gurauan dan kesantaian yang melampaui batas etika keimanan. Keseriusan dalam menjaga lisan adalah bukti nyata dari keseriusan dalam memegang teguh akidah Islam. Sikap ini harus dipertahankan dan ditanamkan dalam setiap interaksi, memastikan bahwa setiap kata yang terucap adalah cerminan dari hati yang mengagungkan kebengian Allah subhanahu wa ta'ala.
Mengulang kembali esensi dari pelajaran ini, kaum munafik mencoba melarikan diri dari pertanggungjawaban dengan dalih main-main. Namun, Allah tidak menerima dalih tersebut, menegaskan bahwa subjek ketuhanan dan kenabian tidak mengenal kata main-main. Ini adalah prinsip yang harus digenggam erat oleh setiap individu Muslim, di mana pun ia berada dan dalam situasi apapun. Keimanan menuntut keseriusan, kepatuhan, dan penghormatan yang tidak terbagi kepada Sang Pencipta dan utusan-Nya. Gurauan yang merendahkan adalah pengkhianatan terhadap keseriusan ini. Oleh karena itu, berhati-hati dalam lisan adalah tanda keimanan yang matang dan terjaga, sementara kecerobohan adalah jembatan menuju nifaq dan kekufuran. Keselamatan spiritual kita bergantung pada pemahaman mendalam dan pengamalan teguh terhadap peringatan keras yang termaktub dalam Surah At-Taubah ayat 65 ini.
Keseriusan ini harus menembus hingga ke lapisan terkecil dari interaksi sosial kita. Apabila kita berada dalam majelis yang di dalamnya terjadi *istihza'* terhadap agama, kewajiban kita adalah meninggalkan majelis tersebut atau mengubah topik pembicaraan. Ini bukan hanya masalah etika sosial, melainkan masalah kelangsungan akidah, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Surah An-Nisa' 140 dan dipertegas oleh Surah At-Taubah 65. Kedua ayat ini bersatu membentuk sebuah garis pertahanan yang kuat terhadap pelecehan spiritual, menempatkan penghormatan terhadap simbol-simbol agama pada puncak kewajiban seorang mukmin.
Penting untuk memahami bahwa *istihza'* bukan hanya terjadi dalam kata-kata yang frontal. Seringkali, ia tersembunyi dalam nada bicara, gestur, atau konteks humor yang dibuat untuk mengecilkan nilai sebuah ajaran. Misalnya, ketika seseorang melaksanakan sunnah tertentu, dan orang lain merespon dengan tawa sinis atau cibiran yang halus. Meskipun tidak ada kata-kata penghinaan eksplisit, niat meremehkan amal perbuatan yang didasarkan pada syariat sudah cukup untuk mencerminkan ketiadaan *ta'dhim*. Kaum munafik di Tabuk menggunakan bahasa yang santai dan seolah-olah hanya "membuang kebosanan," namun inti dari perkataan mereka adalah penghinaan terstruktur. Ini mengajarkan kita untuk waspada bahkan terhadap "humor cerdas" yang mungkin bersembunyi di balik niat buruk. Kita harus menguji setiap gurauan: apakah gurauan ini meninggikan atau merendahkan ajaran Allah?
Implikasi hukum dari At-Taubah 65 juga sangat luas dalam ranah fiqih. Para fuqaha (ahli fiqih) menggunakan ayat ini sebagai salah satu dalil utama untuk menentukan batas-batas *riddah* (murtad) yang terjadi melalui lisan. Ketika seseorang dianggap murtad karena Istihza', ia diperintahkan untuk bertaubat dan memperbaharui syahadatnya. Jika ia menolak, konsekuensi hukumnya sangat berat, karena ia telah secara terbuka menolak keagungan Allah dan Rasul-Nya. Keputusan ulama untuk menempatkan Istihza' pada tingkat kekufuran, dan bukan hanya dosa besar, menunjukkan betapa sentralnya penghormatan terhadap syariat dalam struktur keimanan.
Setiap Muslim harus melakukan audit lisan secara teratur. Dalam hiruk pikuk kehidupan modern, lisan seringkali bekerja otomatis tanpa kendali hati yang kuat. Kontrol diri adalah kunci. Kesabaran dan kehati-hatian dalam mengeluarkan setiap kata adalah bentuk jihad yang berkelanjutan. At-Taubah 65 mengingatkan kita bahwa musuh terbesar keimanan mungkin bukan datang dari luar, tetapi dari dalam diri sendiri, melalui lidah yang tidak terkontrol, yang di masa kini seringkali termanifestasi sebagai kecerobohan dalam media sosial.
Jalan keselamatan adalah dengan secara sadar menjauhkan diri dari tiga hal yang diharamkan dalam Istihza': menjauhi olok-olok terhadap Zat Allah, menjauhi olok-olok terhadap ayat-ayat dan hukum-hukum-Nya, serta menjauhi olok-olok terhadap pribadi Rasulullah ﷺ. Tiga entitas ini adalah poros keimanan. Merusak salah satunya berarti merusak seluruh struktur akidah. Gurauan tidak pernah boleh mengorbankan akidah. Keseimbangan antara menjalani hidup dengan ringan dan memperlakukan agama dengan keseriusan adalah garis tipis yang harus dijaga setiap hari oleh seorang Muslim.
Kaum munafik mencoba menarik perhatian dan mendapatkan validasi sosial melalui penghinaan. Mereka merasa superior dengan meremehkan orang-orang yang taat. Ini adalah bahaya psikologis yang harus dikenali: Nifaq seringkali berakar pada kesombongan dan keengganan untuk tunduk pada kebenaran. Ketika kebenaran terasa berat, daripada mengubah perilaku, kaum munafik mencoba meruntuhkan wibawa kebenaran itu melalui cemoohan dan gurauan. At-Taubah 65 adalah penangkal terhadap penyakit hati yang berbahaya ini, menuntut kita untuk selalu rendah hati di hadapan ajaran ilahi dan menjaga lisan dari segala bentuk kesombongan spiritual.
Pelajaran etika lisan ini bukan hanya berlaku pada konteks humor, tetapi juga pada konteks diskusi ilmiah dan polemik. Ketika membahas perbedaan pendapat dalam Islam, seorang mukmin wajib menjaga adab dan penghormatan terhadap dalil Al-Qur'an dan Sunnah, bahkan ketika ia tidak setuju dengan interpretasi tertentu. Menggunakan bahasa yang merendahkan atau meremehkan nas (teks) yang dijadikan dalil oleh pihak lain dapat berpotensi melanggar semangat *ta’dhim* yang dituntut oleh At-Taubah 65. Oleh karena itu, Fiqih lisan mengajarkan penggunaan bahasa yang hormat, bahkan dalam kondisi perdebatan terpanas, demi menjaga kehormatan wahyu yang mendasari diskusi tersebut.
Keseriusan yang dituntut oleh ayat ini juga menyentuh aspek dakwah. Ketika seorang Muslim menyampaikan ajaran agama, ia harus melakukannya dengan penuh penghormatan dan tanpa unsur olok-olok. Meremehkan dosa orang lain, atau menertawakan kekhilafan mereka dalam menjalankan syariat, meskipun dilakukan dengan niat 'memotivasi' atau 'mencairkan suasana,' harus dihindari. Sebab, gurauan semacam itu dapat berbalik meremehkan hukum Allah yang melarang dosa tersebut. Setiap kata yang keluar harus membawa bobot keagungan ilahi, menunjukkan bahwa ajaran ini datang dari sumber yang Maha Suci.
Dalam refleksi yang lebih dalam, kita melihat bagaimana At-Taubah 65 mengajarkan totalitas keimanan. Tidak ada pemisahan antara aspek serius dan aspek santai dalam kehidupan seorang mukmin, dalam arti bahwa kesucian Allah harus selalu hadir dalam kesadaran. Ketika seseorang benar-benar mencintai dan mengagungkan Tuhannya, mustahil baginya untuk menjadikan perintah atau utusan Tuhan sebagai subjek tawa yang merendahkan. Gurauan yang melanggar batas adalah bukti dari adanya ruang hati yang belum sepenuhnya diisi oleh pengagungan terhadap kebenaran ilahi.
Fenomena kaum munafik yang meremehkan para penghafal Al-Qur'an dan pemimpin spiritual mereka adalah sebuah pola yang berulang di setiap zaman. Mereka selalu mencoba mencari celah untuk menunjukkan bahwa orang-orang yang taat adalah orang-orang yang bodoh, ekstrem, atau berlebihan. Dengan melakukan *istihza'*, mereka berharap dapat menormalkan ketidakpatuhan mereka sendiri. Allah dengan tegas menutup celah ini, menyatakan bahwa serangan terhadap simbol-simbol ketaatan adalah serangan terhadap agama itu sendiri, dan itu berujung pada kekufuran.
Oleh karena itu, setiap Muslim wajib menguatkan benteng pertahanan akidahnya, dimulai dari pengendalian lisan. Ingatlah selalu bahwa gurauan yang melewati batas suci agama, meskipun dikemas dalam bungkus hiburan atau satir, adalah jalan pintas menuju kemunafikan dan pembatalan iman. Keselamatan adalah dalam keseriusan, pengagungan, dan kehati-hatian yang teguh dalam menjaga lisan agar senantiasa mencerminkan ketulusan hati yang beriman kepada Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya. Peringatan Surah At-Taubah 65 adalah mercusuar bagi kita semua untuk kembali kepada keseriusan akidah yang mendalam dan tidak terpisahkan dari perilaku sehari-hari.
Penekanan pada Istihza' sebagai kekufuran, bukan sekadar dosa besar, menunjukkan bahwa masalah ini berada pada tingkat epistemologis—yakni, bagaimana kita memandang sumber pengetahuan dan hukum agama. Jika seseorang bisa menertawakan sumber hukumnya (Al-Qur'an atau Sunnah), berarti ia tidak lagi menganggapnya sebagai kebenaran mutlak yang wajib dihormati. Hilangnya penghormatan ini adalah hilangnya keimanan itu sendiri. Ini adalah fondasi filosofis yang mendasari ketegasan At-Taubah 65: Gurauan yang menyentuh ranah Ilahi membuktikan ketiadaan pengagungan yang merupakan prasyarat mutlak untuk menjadi seorang Muslim.
Untuk menghindari jebakan ini, kita harus mengembangkan budaya spiritual yang berorientasi pada ketelitian lisan (*wira'atul lisan*). Ini melibatkan pelatihan diri untuk memikirkan dampak jangka panjang dari setiap perkataan, bukan hanya kepuasan sesaat yang ditimbulkan oleh tawa. Lisan adalah pedang bermata dua; ia bisa menjadi alat untuk berzikir, berdakwah, dan mencari rida Allah, atau sebaliknya, menjadi penyebab utama keruntuhan spiritual. Peringatan dari kisah kaum munafik di Tabuk adalah abadi: Mereka yang mencoba meremehkan agama akan menemukan bahwa agama tidak meremehkan mereka dalam pertanggungjawaban akhirat.
Mari kita jadikan firman Allah dalam Surah At-Taubah ayat 65 ini sebagai pengingat harian: Bahwa iman menuntut komitmen penuh dan total. Tidak ada ruang abu-abu, tidak ada kompromi dalam hal penghormatan terhadap Yang Maha Suci. Setiap lisan yang terjaga adalah benteng yang kokoh bagi keimanan. Dan setiap lisan yang lalai adalah pintu masuk bagi penyakit hati kaum munafik. Pengulangan pelajaran ini diperlukan karena godaan untuk meremehkan keseriusan agama selalu hadir, terutama ketika kita dihadapkan pada tekanan sosial atau keinginan untuk terlihat santai dan humoris. Namun, kesantaian tersebut tidak boleh dibayar dengan mengorbankan kehormatan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya.
Kewajiban menjaga lisan ini harus diperkuat oleh kesadaran bahwa Allah Maha Mengetahui apa yang tersembunyi di hati. Meskipun kaum munafik bersumpah bahwa mereka hanya "bercanda dan bermain-main," Allah menyingkap niat jahat mereka. Ini mengajarkan bahwa Allah menilai bukan hanya kata-kata yang diucapkan, tetapi juga niat di baliknya. Jika niatnya adalah untuk merendahkan, maka gurauan itu adalah kekufuran, tanpa peduli seberapa ringan kedengarannya di telinga manusia. Keimanan yang sejati adalah keimanan yang transparan, di mana hati dan lisan selaras dalam mengagungkan kebenaran ilahi.
Penutup dari refleksi ini adalah seruan untuk kembali kepada kehati-hatian fundamental. Dalam setiap perbincangan, dalam setiap lelucon, dalam setiap kritik, pastikan bahwa rasa *ta'dhim* (pengagungan) kepada Allah dan agama-Nya tetap utuh. Surah At-Taubah 65 adalah penegasan ilahi bahwa ada batas-batas suci yang tidak boleh disentuh oleh humor dan kecerobohan. Pelanggaran terhadap batas ini berakibat fatal, karena ia menyingkap kemunafikan yang tersembunyi di balik senyum dan tawa. Semoga kita termasuk golongan yang senantiasa menjaga lisan dan hati kita dari setiap bentuk *istihza'* terhadap agama yang mulia ini.