Menegakkan Janji Suci: Telaah Komprehensif Surah At-Taubah Ayat 7

Simbol Perjanjian dan Keadilan Ilustrasi gulungan perjanjian terbuka dan timbangan keadilan, melambangkan amanah dalam Surah At-Taubah. PERJANJIAN

Ilustrasi Keseimbangan Keadilan dan Ketetapan Perjanjian.

Surah At-Taubah, surah ke-9 dalam Al-Qur’an, menduduki posisi yang unik dalam kajian Islam karena ia merupakan satu-satunya surah yang tidak diawali dengan بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ. Keadaan ini secara umum dipahami oleh ulama sebagai isyarat bahwa surah ini berisikan pernyataan keras, deklarasi pemutusan hubungan, dan peringatan terhadap kaum musyrikin yang telah melanggar perjanjian. Namun, di tengah deklarasi ketegasan tersebut, Al-Qur’an memastikan bahwa prinsip keadilan dan penghormatan terhadap komitmen harus selalu ditegakkan. Ayat 7 dari surah ini menjadi fondasi utama dalam memahami batasan-batasan etika perang dan diplomasi Islam, terutama dalam konteks pemutusan hubungan perjanjian yang menyeluruh.

Ayat ini secara spesifik memberikan pengecualian yang sangat penting dan merupakan manifestasi agung dari prinsip integritas dan fidelitas dalam ajaran Ilahi. Ia menuntut agar umat Islam menghormati perjanjian mereka, bahkan dengan pihak yang berbeda keyakinan, selama pihak tersebut tetap setia pada janji yang telah disepakati.

Teks dan Terjemahan Surah At-Taubah Ayat 7

Untuk memahami konteks hukum dan etika yang terkandung dalam ayat ini, kita harus merujuk pada lafaz aslinya:

كَيْفَ يَكُونُ لِلْمُشْرِكِينَ عَهْدٌ عِندَ ٱللَّهِ وَعِندَ رَسُولِهِۦٓ إِلَّا ٱلَّذِينَ عَٰهَدتُّمْ عِندَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ ۖ فَمَا ٱسْتَقَٰمُوا۟ لَكُمْ فَٱسْتَقِيمُوا۟ لَهُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَّقِينَ

Terjemahan standar (Kementerian Agama RI) dari ayat 7 ini adalah:

“Bagaimana mungkin ada perjanjian (damai) dari sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyrik, kecuali dengan orang-orang yang kamu adakan perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidil Haram? Maka selama mereka berlaku lurus (setia) terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (setia) pula terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.”

Analisis Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Ayat)

Surah At-Taubah diturunkan setelah peristiwa pembebasan Makkah (Fathu Makkah) dan sebelum Perang Tabuk. Ayat-ayat awal surah ini, termasuk ayat 7, secara umum dikenal sebagai Ayat Bara'ah (Pernyataan Pemutusan). Ayat 1-6 adalah deklarasi pemutusan perjanjian total dengan kaum musyrikin yang telah berkali-kali melanggar perjanjian mereka, terutama setelah Perjanjian Hudaibiyah.

Namun, para ulama tafsir sepakat bahwa Ayat 7 datang sebagai pengecualian yang adil. Pengecualian ini ditujukan kepada kelompok-kelompok musyrikin tertentu yang memenuhi dua kriteria utama:

  1. Mereka adalah pihak yang mengadakan perjanjian di area sekitar Masjidil Haram.
  2. Mereka tidak pernah melanggar perjanjian tersebut sedikit pun, bahkan setelah terjadinya Fathu Makkah dan deklarasi keras terhadap kaum musyrikin lainnya.

Menurut Tafsir Al-Thabari dan Ibnu Katsir, kelompok yang dimaksud dalam konteks sejarah ini sering diidentifikasi sebagai Bani Kinanah atau Bani Dhamrah, suku-suku yang tetap memegang teguh janji mereka di masa-masa sulit. Dengan pengecualian ini, Al-Qur’an mengajarkan bahwa kebencian atas pelanggaran janji massal tidak boleh menghilangkan hak-hak individu atau kelompok yang jujur. Keadilan harus bersifat partikular dan spesifik, tidak boleh digeneralisasi.

Interpretasi Mendalam Terhadap Frasa Kunci

Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, setiap frasa kunci dalam At Taubah 7 memerlukan telaah linguistik dan fiqih yang mendalam.

1. Istifham Inkari: "Bagaimana Mungkin Ada Perjanjian?" (كَيْفَ يَكُونُ)

Ayat dimulai dengan pertanyaan retoris (istifham inkari) yang bertujuan menyangkal dan menyatakan mustahil. Pertanyaan ini bukanlah untuk mencari jawaban, melainkan untuk menegaskan bahwa perjanjian damai antara kaum Muslimin dan mayoritas kaum musyrikin (yang melanggar janji) adalah tidak mungkin dan tidak valid lagi. Hal ini menunjukkan bahwa pondasi perjanjian yang telah ada telah runtuh akibat pengkhianatan berulang. Konteksnya adalah, setelah deklarasi pemutusan (ayat 1-6), secara logis tidak ada lagi alasan untuk mempertahankan janji dengan pengkhianat.

Namun, segera setelah pertanyaan penolakan ini, datanglah kata إِلَّا (kecuali), yang mengubah total dinamika hukum ayat tersebut. Kekuatan pengecualian ini menunjukkan bahwa prinsip keadilan melampaui sentimen umum. Meskipun status umum kaum musyrikin adalah subjek pemutusan perjanjian, pengecualian ini harus dihormati sebagai perintah langsung dari Allah SWT.

2. Signifikansi "Di Dekat Masjidil Haram" (عِندَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ)

Penyebutan lokasi perjanjian ini memiliki dimensi spiritual dan yuridis yang mendalam. Para ulama tafsir berpendapat bahwa penyebutan Masjidil Haram (Ka'bah) memberikan penekanan ganda:

Al-Razi, dalam Mafatih al-Ghayb, menekankan bahwa Masjidil Haram berfungsi sebagai simbol kesaksian Ilahi. Perjanjian yang dibuat di sana memiliki legitimasi dan kekuatan yang tidak bisa diabaikan hanya karena konflik politik yang terjadi di tempat lain. Ini memastikan bahwa hukum Islam tidak pernah membiarkan kondisi kesewenang-wenangan, bahkan terhadap musuh, jika musuh tersebut menunjukkan komitmen terhadap kebenaran perjanjian.

3. Pilar Sentral: Prinsip Istiqamah (فَمَا ٱسْتَقَٰمُوا۟ لَكُمْ فَٱسْتَقِيمُوا۟ لَهُمْ)

Simbol Keteguhan dan Kelurusan (Istiqamah) Tiga pilar kokoh yang melambangkan keteguhan (istiqamah) dalam memegang janji. ISTIQAMAH

Istiqamah: Keteguhan dalam perjanjian adalah kewajiban timbal balik.

Frasa ini adalah inti hukum dari At Taubah 7. Kata ٱسْتَقَٰمُوا۟ (Istaqamuu) berasal dari akar kata Q-W-M, yang berarti berdiri tegak, lurus, atau konsisten. Dalam konteks perjanjian, ia diartikan sebagai "berlaku lurus," "setia," atau "menjaga komitmen tanpa penyimpangan."

Prinsip yang ditekankan adalah: resiprositas keadilan. Jika mereka (kaum musyrikin yang dikecualikan) memenuhi komitmen mereka kepadamu, maka kamu (kaum Muslimin) wajib memenuhi komitmenmu kepada mereka. Ini adalah manifestasi dari kaidah syariah yang dikenal sebagai al-Wafa' bil 'Ahd (memenuhi janji).

A. Penafsiran Linguistik *Istiqamah*

Para ahli bahasa, seperti dalam Lisan al-Arab, mendefinisikan *istiqamah* tidak hanya sebagai kejujuran, tetapi juga sebagai keteguhan dalam menaati jalan yang benar dan janji yang telah ditetapkan. Ketika kata ini dilekatkan pada sebuah perjanjian, ia menyiratkan:

B. Implikasi Fiqih Keadilan Resiprokal

Kewajiban untuk ber-istiqamah kepada mereka (فَٱسْتَقِيمُوا۟ لَهُمْ) adalah wajib, dan ini menjadi landasan hukum Islam bahwa hubungan diplomatis, selama ditegakkan berdasarkan kejujuran pihak lain, harus dijaga. Ibnu Hazm, seorang ulama fiqih, berargumen bahwa kewajiban ini bersifat mutlak. Tidak ada alasan teologis, bahkan perbedaan akidah, yang dapat membatalkan kewajiban etis untuk membalas kesetiaan dengan kesetiaan.

Ini membedakan hukum Islam dari praktik politik realis yang mungkin mencari celah untuk melanggar janji demi kepentingan sesaat. Dalam Islam, menjaga janji, bahkan dengan non-Muslim, adalah bagian dari taqwa (ketakwaan) yang disebutkan di akhir ayat.

4. Penutup Ayat: Kecintaan Allah terhadap Orang yang Bertakwa (إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَّقِينَ)

Penutup ayat ini berfungsi sebagai penekanan moral yang kuat. Menghubungkan pemenuhan janji dengan konsep taqwa sangat penting. Taqwa seringkali diartikan sebagai kesadaran penuh akan kehadiran Allah, yang menghasilkan tindakan pencegahan diri dari berbuat dosa. Dalam konteks At Taubah 7, taqwa diwujudkan melalui:

Allah SWT menyukai orang-orang yang taqwa karena mereka mampu menerapkan standar moral tertinggi yang diwajibkan oleh Islam, bahkan ketika menghadapi ujian dalam hubungan internasional dan militer. Ini membuktikan bahwa keadilan dan penghormatan janji adalah ibadah dan tanda ketakwaan yang sejati.

Kajian Tematik Lanjutan: Konsep Ahlu Zimam dan Ahlu Ahdi

Ayat 7 Surah At-Taubah menjadi sumber penting dalam pengembangan konsep *Ahlu Ahdi* (orang-orang yang terikat perjanjian) dalam fiqih siyasah (hukum politik Islam). Para fuqaha (ahli fiqih) menggunakan ayat ini untuk membedakan secara tegas antara musyrikin yang berperang (*muharibin*) dan musyrikin yang terikat perjanjian (*mu'ahidin*).

1. Pemisahan Status Hukum

Sebelum ayat-ayat *Bara'ah* turun, terdapat banyak perjanjian damai yang dibuat Nabi Muhammad SAW. Dengan turunnya At-Taubah 7, status perjanjian tersebut diperjelas. Semua perjanjian yang dilanggar secara sepihak oleh kaum musyrikin dianggap batal, namun perjanjian yang masih dijaga kesetiaannya harus dihormati sampai batas waktu yang ditentukan. Konsep ini menunjukkan:

Dalam pandangan fiqih mazhab Hanafi, pengecualian ini bersifat sementara, yaitu sampai masa perjanjian berakhir, sedangkan kewajiban untuk berlaku jujur (istiqamah) kepada mereka bersifat abadi selama perjanjian masih berlaku.

2. Mengatasi Misinterpretasi Konflik

Surah At-Taubah sering dikutip sebagai landasan bagi tindakan militer, namun seringkali konteks pengecualian pada ayat 7 ini diabaikan. Para ulama seperti Syaikh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar menekankan bahwa pesan sentral Islam adalah keadilan universal. Jika musuh menunjukkan kesetiaan, respon haruslah kesetiaan. Ayat ini menjadi penyeimbang terhadap ayat-ayat yang memerintahkan perang dan menunjukkan bahwa perang dalam Islam selalu terikat pada etika dan hukum yang ketat.

Keadilan yang dituntut oleh ayat ini meluas hingga ke dalam detail interaksi sosial dan ekonomi. Beristiqamah kepada mereka berarti menjamin keamanan harta dan jiwa mereka selama mereka berada di bawah perlindungan perjanjian. Jika perjanjian menyebutkan hak berdagang, maka hak itu harus dihormati. Jika perjanjian menyebutkan netralitas, maka netralitas itu harus dijaga.

Dimensi Etika dan Moralitas Perjanjian

Ayat 7 dari Surah At-Taubah memberikan pelajaran mendasar tentang etika perjanjian dalam Islam yang relevan di setiap zaman. Komitmen terhadap janji bukanlah sekadar transaksi politik, melainkan cerminan dari sifat ilahi yang menuntut kejujuran dari hamba-Nya.

A. Integritas di Hadapan Musuh

Kisah sejarah turunnya ayat ini adalah pada saat kaum Muslimin berada pada puncak kekuasaan di Hijaz. Deklarasi pemutusan hubungan diumumkan setelah Makkah jatuh dan kekuatan Islam tak tertandingi di jazirah Arab. Dalam situasi di mana secara politik sangat mudah untuk menghancurkan perjanjian yang tersisa, Al-Qur’an justru memerintahkan untuk menjaga perjanjian tersebut.

Hal ini menunjukkan bahwa integritas (memegang janji) adalah wajib tanpa memandang kekuatan lawan atau kondisi politik yang menguntungkan. Etika Islam tidak mengizinkan eksploitasi kelemahan pihak lain demi keuntungan, apalagi jika pihak lain tersebut telah menunjukkan kesetiaan mereka terhadap komitmen bersama.

B. Pengajaran Tentang Keseimbangan

Pelajaran terpenting dari At-Taubah 7 adalah penekanan pada keseimbangan (equilibrium) etika. Frasa فَمَا ٱسْتَقَٰمُوا۟ لَكُمْ فَٱسْتَقِيمُوا۟ لَهُمْ (Maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus pula terhadap mereka) menciptakan sebuah formulasi etis timbal balik yang sempurna. Kewajiban Muslimin untuk menjaga janji didasarkan pada pemenuhan janji oleh pihak lain.

Imam Al-Qurtubi menjelaskan bahwa ini adalah jaminan keamanan dan damai. Selama mereka tidak mengkhianati, mereka aman. Begitu mereka melanggar, maka kondisi perjanjian akan berubah sesuai dengan aturan yang berlaku bagi pelanggar janji. Hukum ini sangat transparan dan adil, di mana status seseorang (sebagai musuh atau Ahlu Ahdi) ditentukan oleh perilakunya sendiri, bukan oleh prasangka teologis.

Relevansi Kontemporer At-Taubah 7

Meskipun ayat ini diturunkan dalam konteks perang suku di Jazirah Arab, prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya bersifat universal dan sangat relevan dalam hubungan internasional modern, terutama dalam etika perjanjian, diplomasi, dan hak asasi manusia.

1. Etika Perjanjian Internasional

Ayat ini berfungsi sebagai dasar teologis bagi doktrin Pacta Sunt Servanda (Perjanjian harus dihormati) dalam hukum internasional Islam. Dalam era perjanjian multilateral dan bilateral, prinsip yang dianut oleh At Taubah 7 adalah bahwa penandatanganan sebuah perjanjian membawa kewajiban moral dan hukum yang tidak dapat dibatalkan secara sepihak, kecuali jika ada bukti jelas dari pengkhianatan pihak lawan.

Prinsip ini sangat kontras dengan pandangan Machiavellian yang mengizinkan pemimpin melanggar janji jika itu menguntungkan negara. Islam, melalui ayat ini, menegaskan bahwa integritas moral adalah bagian integral dari kedaulatan yang sah, dan kejujuran dalam berinteraksi dengan dunia luar adalah tanda ketakwaan.

2. Menolak Generalisasi Konflik

Dalam diskursus kontemporer tentang konflik dan terorisme, sering terjadi generalisasi status hukum dan moral. Ayat 7 secara eksplisit melarang generalisasi tersebut. Dalam situasi konflik global, Muslim diwajibkan untuk membedakan secara cermat antara pihak yang berkomitmen pada perdamaian dan pihak yang tidak. Hukuman atau tindakan militer harus diarahkan hanya kepada mereka yang terbukti melanggar komitmen, sementara pihak yang setia harus dijamin keamanan dan haknya.

Penolakan terhadap diskriminasi sewenang-wenang ini adalah bukti kemanusiaan mendalam dalam Syariah. Bahkan dalam konteks perang, keadilan haruslah presisi. Keadilan dalam At-Taubah 7 mengajarkan umat untuk melakukan audit moral yang ketat sebelum mengambil tindakan tegas.

3. Konsep *Darul Ahd* (Negara Perjanjian)

Dalam fiqih klasik, perjanjian damai yang dikecualikan dalam ayat ini melahirkan konsep *Darul Ahd* (negeri perjanjian) atau *Darul Sulh* (negeri perdamaian). Ini adalah wilayah yang secara akidah bukan Muslim, tetapi secara yuridis berada dalam status non-perang karena adanya perjanjian yang dihormati kedua belah pihak. Status ini menjamin bahwa interaksi ekonomi, sosial, dan diplomatik dapat berlanjut tanpa ancaman militer, selama prinsip istiqamah dipertahankan.

Penafsiran modern melihat ini sebagai landasan bagi koeksistensi damai antarnegara dengan ideologi yang berbeda, asalkan mereka memiliki komitmen bersama terhadap hukum internasional dan perjanjian yang mengikat. Kesetiaan timbal balik (istiqamah) adalah mata uang utama dalam diplomasi Islam.

Analisis Lanjutan terhadap Tafsir Tahlili

Mempertimbangkan kedalaman yang dibutuhkan untuk memahami ayat ini secara holistik, kita perlu meninjau bagaimana para mufassir agung menyusun argumen mereka mengenai batasan waktu dan implikasi hukum dari At-Taubah 7.

Tafsir Al-Thabari: Fokus pada Batasan Waktu

Imam Muhammad bin Jarir Al-Thabari (w. 310 H) menekankan bahwa pengecualian pada ayat 7 ini bersifat sementara, yaitu berlaku hingga masa perjanjian yang disepakati berakhir. Jika perjanjian tersebut bersifat mutlak (tidak ditentukan waktunya), ia dibatasi maksimal empat bulan, sebagaimana ditetapkan pada ayat-ayat Bara'ah sebelumnya (At-Taubah: 5). Namun, jika perjanjian itu sudah memiliki waktu yang ditentukan (misalnya, 10 tahun, seperti Hudaibiyah yang tersisa), maka perjanjian itu harus dihormati sampai selesai, asalkan mereka terus beristiqamah.

Thabari menegaskan bahwa makna فَمَا ٱسْتَقَٰمُوا۟ لَكُمْ adalah selama mereka tidak melanggar janji dengan kalian sedikit pun. Jika ada pelanggaran, meskipun kecil, maka hak istiqamah Muslimin untuk menghormati perjanjian tersebut gugur, dan status mereka kembali ke status umum kaum musyrikin yang diumumkan pemutusan perjanjiannya.

Tafsir Al-Razi: Dimensi Rasionalitas Keadilan

Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H) dalam Mafatih al-Ghayb menyoroti dimensi rasionalitas dari keadilan. Ia berpendapat bahwa logika syariah menuntut agar orang yang setia tidak disamakan dengan orang yang pengkhianat. Jika Allah SWT memerintahkan pemutusan hubungan dengan pengkhianat, maka keadilan-Nya juga menuntut pemeliharaan hubungan dengan orang yang setia. Al-Razi melihat ayat ini sebagai bukti bahwa hukum Allah didasarkan pada hikmah dan keadilan yang tidak bias.

Ia juga membahas secara mendalam mengapa Masjidil Haram disebutkan secara spesifik. Ar-Razi menyimpulkan bahwa ini mungkin untuk membatasi ruang lingkup pengecualian. Pengecualian ini sangat spesifik, ditujukan hanya kepada mereka yang terikat kontrak di tempat paling suci, yang seharusnya meningkatkan kesadaran moral mereka untuk tidak melanggar janji.

Tafsir Ibnu Katsir: Integrasi dengan Ayat Sebelumnya

Imam Ibnu Katsir (w. 774 H) menjelaskan ayat ini sebagai kelanjutan logis dari At-Taubah ayat 4, yang juga memberikan pengecualian serupa bagi mereka yang tidak melanggar perjanjian. Ia menekankan konsistensi Syariah dalam hal perjanjian. Ayat 7 adalah pengulangan penegasan hukum untuk menghilangkan keraguan bahwa bahkan dalam kondisi deklarasi perang umum, janji yang sah dan dijaga harus tetap dihormati sepenuhnya.

Ibnu Katsir menyimpulkan: keadilan Ilahi tidak bersifat absolut (tanpa batas), melainkan terikat pada perilaku pihak yang terikat janji. Selama perilaku mereka lurus (istiqamah), maka perilaku Muslimin kepada mereka juga harus lurus.

Analisis Linguistik Mendalam: Akar Kata Istiqamah

Penting untuk mengurai lebih jauh makna kata *Istaqamuu* (ٱسْتَقَٰمُوا۟) untuk menghargai bobot hukumnya. Kata ini adalah bentuk *istif’al* (bentuk X) dari akar kata Q-W-M. Bentuk *istif’al* ini sering menunjukkan permintaan, upaya, atau konsistensi dalam mencapai keadaan dasar kata kerja.

Dalam konteks At Taubah 7, *Istaqamuu lakum* berarti: mereka berupaya keras dan menjaga diri mereka dalam keadaan lurus (berdiri tegak) di hadapan perjanjian yang mereka buat dengan kalian. Implikasinya adalah bahwa mereka tidak hanya menahan diri dari tindakan melanggar, tetapi mereka secara aktif mempertahankan integritas perjanjian.

Jika Allah hanya ingin menuntut agar mereka tidak melanggar, mungkin digunakan kata lain (seperti *lam yanqudhu* - tidak membatalkan). Namun, penggunaan *istaqamuu* menuntut standar yang lebih tinggi: kejujuran yang teguh dan berkelanjutan. Begitu pula, ketika perintah itu dibalik: فَٱسْتَقِيمُوا۟ لَهُمْ, maka kewajiban Muslimin adalah untuk menjaga posisi yang sama tegaknya, bahkan jika pihak lain adalah musuh akidah.

Perbandingan dengan Ahlu Zimmah

Meskipun At-Taubah 7 membahas *Ahlu Ahdi* (pihak yang terikat perjanjian sementara), ayat ini sering digunakan sebagai landasan moral untuk perlakuan terhadap *Ahlu Zimmah* (warga non-Muslim permanen yang berada di bawah perlindungan negara Islam). Kewajiban untuk berlaku lurus dan adil kepada *Ahlu Ahdi* yang sementara, secara logis, harus lebih ditekankan pada *Ahlu Zimmah* yang merupakan bagian dari masyarakat. Prinsip umum yang lahir dari ayat ini adalah: perlindungan hukum adalah hak bagi mereka yang menjaga komitmen.

Kesimpulan: Keadilan Adalah Imperatif Ilahi

Surah At-Taubah Ayat 7 adalah sebuah mahakarya hukum dan etika dalam Al-Qur’an. Ia muncul di tengah-tengah deklarasi yang paling tegas, namun fungsinya adalah untuk memastikan bahwa keadilan tidak pernah terkorbankan atas nama strategi politik atau emosi permusuhan. Ayat ini mengajarkan bahwa janji, terlepas dari siapa pembuatnya, adalah suci di hadapan Allah.

Tuntutan فَمَا ٱسْتَقَٰمُوا۟ لَكُمْ فَٱسْتَقِيمُوا۟ لَهُمْ adalah pengingat abadi bahwa kekuatan iman Muslim tidak diukur dari kemampuan mereka untuk menghancurkan musuh, tetapi dari kemampuan mereka untuk menegakkan janji dan berlaku jujur, bahkan dalam kondisi paling sulit. Pemenuhan janji ini adalah jalan menuju taqwa, suatu sifat yang dicintai oleh Allah SWT.

Dengan demikian, At Taubah 7 bukan hanya sebuah catatan sejarah tentang perjanjian lama, tetapi sebuah prinsip universal yang mengikat setiap Muslim, baik dalam urusan pribadi, sosial, maupun internasional, untuk selalu menjadi pihak yang lurus dan setia, asalkan pihak lain menunjukkan kesetiaan yang sama. Inilah wujud nyata dari keadilan yang merupakan inti dari risalah Islam.

🏠 Homepage