Pelajaran Abadi dari Surah At-Taubah Ayat 76: Konsekuensi Menciderai Janji Illahi

Menyelami Kedalaman At-Taubah 76: Analisis Akar Hipokrisi

Surah At-Taubah dikenal sebagai surah yang tegas, mengungkap penyakit spiritual paling berbahaya yang menggerogoti umat, yaitu kemunafikan atau hipokrisi. Di antara sekian banyak ayat yang menggambarkan watak para munafik, ayat ke-76 menampilkan sebuah kasus spesifik yang berfungsi sebagai pelajaran abadi bagi seluruh umat manusia hingga akhir zaman. Ayat ini menyingkap tabir hati manusia yang diuji dengan kemakmuran, dan bagaimana ujian tersebut sering kali menjadi penentu nasib spiritual mereka.

Konteks turunnya ayat ini sangat penting, melibatkan kisah individu yang bersumpah setia dan berjanji akan berinfak besar-besaran jika Allah SWT memberinya kekayaan. Namun, ketika doa dan sumpah tersebut dikabulkan, janji itu dilupakan. Kisah ini bukan sekadar anekdot sejarah; ia adalah cerminan universal tentang kerapuhan iman di hadapan godaan harta dunia. Melalui kajian mendalam terhadap at taubah 76, kita akan memahami mekanisme ilahi dalam menjatuhkan hukuman spiritual berupa penguncian hati, sebuah sanksi yang jauh lebih berat daripada hukuman fisik apa pun.

Teks dan Terjemahan At-Taubah 76

وَمِنْهُم مَّنْ عَاهَدَ ٱللَّهَ لَئِنْ ءَاتَىٰنَا مِن فَضْلِهِۦ لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلصَّـٰلِحِينَ ٧٦
"Dan di antara mereka ada orang yang telah berjanji kepada Allah: 'Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian dari karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh.' (76)"

Ayat ini adalah awal dari rangkaian yang menjelaskan nasib tragis orang-orang yang melanggar janji tersebut, yang kemudian berlanjut pada ayat berikutnya (77). Namun, pemahaman mendalam pada ayat ke-76 itu sendiri menunjukkan titik balik kritis: momen di mana manusia membuat perjanjian suci dengan Penciptanya, menjadikan kekayaan sebagai syarat untuk berbuat kebajikan. Kesalahan mendasar di sini adalah menjadikan ketaatan sebagai variabel yang tergantung pada keuntungan materi, bukan sebagai kewajiban yang harus ditunaikan dalam segala kondisi.

Kisah Tsa'labah bin Hathib: Cermin Pengkhianatan Janji

Mengapa Janji Diingkari?

Tafsir klasik sepakat bahwa at taubah 76 terkait erat dengan kisah Tsa'labah bin Hathib. Ia adalah seorang yang awalnya dikenal miskin dan seringkali meminta Rasulullah SAW untuk mendoakannya agar diberikan kekayaan. Dalam keadaan miskin, Tsa'labah bersumpah di hadapan Nabi bahwa jika Allah mengabulkan doanya, ia akan menunaikan semua hak Allah yang berkaitan dengan harta, termasuk sedekah, dan akan menjadi hamba yang saleh.

Rasulullah SAW memperingatkannya bahwa kekayaan seringkali membawa ujian berat, tetapi Tsa'labah bersikeras. Ketika Allah benar-benar memberikannya kekayaan yang melimpah (melalui peternakan domba yang cepat berkembang), Tsa'labah mulai menjauh dari masjid. Awalnya ia shalat berjamaah, kemudian hanya shalat Jumat, dan akhirnya, hanya shalat di padang rumput tempat ternaknya berada. Ketika Rasulullah SAW mengutus petugas untuk mengambil zakat (sedekah wajib), Tsa'labah menolak, menyebut zakat itu sebagai ‘jizyah’ (pajak penghinaan) atau ‘upeti’ dan menuding bahwa harta tersebut ia peroleh dari usahanya sendiri, bukan anugerah yang memerlukan balasan ketaatan wajib.

Penolakan ini adalah puncak dari pengkhianatan janji. Tsa'labah telah menggeser fokusnya dari Allah kepada harta. Harta yang seharusnya menjadi sarana ketaatan, kini menjadi penghalang antara dirinya dan Tuhannya. Inilah esensi bahaya yang diungkap dalam at taubah 76: kekayaan yang diperoleh melalui janji suci namun digunakan untuk melanggar janji itu sendiri.

Ilustrasi Tangan Merobek Kontrak/Janji PERJANJIAN DICIDERAI

Simbolisasi Janji yang Dilanggar Setelah Kekayaan Tiba.

Implikasi Peringatan Nabi

Ketika Tsa'labah menolak, Rasulullah SAW bersabda bahwa Allah telah menegur Tsa'labah karena melanggar janjinya. Bahkan setelah Tsa'labah menyadari kesalahannya dan mencoba membayar zakat, Rasulullah SAW menolaknya, mengatakan bahwa Allah telah melarangnya menerima zakat dari Tsa'labah. Penolakan ini menunjukkan bahwa perkara ini telah beralih dari masalah hukum (fiqh) menjadi masalah spiritual mendalam yang telah diputuskan oleh ketetapan ilahi.

Pelajaran terpenting dari kisah at taubah 76 adalah bahwa niat yang tulus tidak boleh digantungkan pada kondisi duniawi. Ketaatan sejati harus muncul dari pengakuan bahwa segala sesuatu, termasuk kemiskinan dan kekayaan, adalah milik Allah dan merupakan ujian. Ketika seseorang menjadikan ketaatan sebagai tawar-menawar, ia telah membuka pintu bagi nifaq (kemunafikan).

Tafsir Komprehensif: Analisis Ayat Kunci

Ayat at taubah 76 sangat padat makna. Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, kita perlu membedah istilah-istilah kuncinya:

1. Makna 'Aahada (Berjanji)

Kata 'aahada menunjukkan ikatan kontrak atau sumpah yang serius. Ini bukan sekadar niat biasa, melainkan pengikraran yang melibatkan nama Allah sebagai saksi. Sumpah ini diucapkan saat Tsa'labah berada dalam keadaan rentan dan membutuhkan. Janji yang diucapkan di saat kesulitan seringkali dianggap lebih tulus. Oleh karena itu, pelanggaran janji ini memiliki tingkat dosa yang sangat tinggi, karena ia melibatkan pendustaan terhadap kesaksian Allah sendiri. Ketika seseorang berjanji, ia mengakui keutamaan Allah; ketika ia melanggar janji setelah keinginannya tercapai, ia menunjukkan bahwa pengakuan itu hanyalah alat untuk mencapai tujuan duniawi, bukan manifestasi iman yang tulus.

Kontrak antara hamba dan Allah dalam konteks kekayaan selalu berpusat pada hak fakir miskin yang disebut zakat. Janji untuk "bersedekah" (lanashsha-ddaqanna) di sini mencakup kewajiban zakat dan juga sedekah sunnah. Dengan menolak membayar zakat, Tsa'labah secara efektif memutus kontrak suci yang ia buat, menempatkannya dalam kategori orang yang memprioritaskan diri sendiri di atas perintah Allah.

2. Konsep Min Fadhlihi (Sebagian dari Karunia-Nya)

Frasa min fadhlihi (dari karunia-Nya) adalah pengakuan eksplisit bahwa kekayaan yang diminta adalah anugerah, bukan hasil usaha semata. Ironisnya, setelah karunia itu datang, Tsa'labah lupa akan asal muasal rezekinya. Ini menunjukkan sifat manusia yang cenderung melupakan sumber nikmat ketika nikmat itu telah stabil. Pengakuan lisan di awal (saat miskin) tidak disertai pengakuan hati yang bertahan (saat kaya). Inilah pergeseran kognitif yang berbahaya: mengubah pandangan dari "karunia dari Allah" menjadi "hak milikku yang mutlak."

3. Konsekuensi Spiritual: Penanaman Nifaq

Meskipun ayat ke-76 hanya menyebutkan janji, ayat berikutnya (77) menjelaskan konsekuensinya: "Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai pada hari mereka menemui-Nya, karena mereka telah memungkiri janji yang telah mereka ikrarkan kepada Allah dan juga karena mereka selalu berdusta."

Penyakit nifaq (kemunafikan) yang ditimbulkan oleh Allah adalah hukuman spiritual yang permanen. Ini bukan hanya kemunafikan dalam perbuatan (*nifaq 'amali*), tetapi berpotensi mengarah pada kemunafikan dalam keyakinan (*nifaq i'tiqadi*) karena pelanggaran yang dilakukan begitu parah. Hukuman ini dijelaskan sebagai ‘penanaman nifaq’ atau penguncian hati (seperti yang dijelaskan di ayat-ayat lain dalam Al-Qur'an), yang berarti Allah mencabut kemampuan mereka untuk bertaubat dengan tulus dan memperbaiki diri.

Mengapa hukuman ini begitu parah? Karena pelanggaran janji ini melibatkan dua dosa besar secara simultan: pertama, menciderai janji suci; dan kedua, berdusta kepada Allah (karena janji itu diikrarkan dengan lisan namun ditolak dalam hati dan perbuatan).

Peringatan Keras

Konsekuensi yang dijatuhkan pada pelanggar janji dalam at taubah 76 adalah manifestasi bahwa Allah memperlakukan janji hamba-Nya dengan sangat serius. Pelanggaran janji, terutama yang berkaitan dengan hak Allah dan harta benda, dianggap sebagai bentuk pengkhianatan spiritual yang dapat merusak fondasi iman seseorang secara permanen.

4. Konsep Sholihin (Orang-Orang Saleh)

Janji Tsa'labah termasuk keinginan untuk menjadi minash shaalihin (termasuk orang-orang yang saleh). Kesalehan sejati dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari tanggung jawab sosial, terutama zakat. Seseorang yang hanya fokus pada ibadah ritual namun menolak hak fakir miskin tidak dapat dikategorikan sebagai orang yang saleh secara sempurna. Mereka yang menolak zakat membuktikan bahwa kesalehan yang mereka harapkan hanyalah klaim tanpa dasar. Ayat ini mengajarkan bahwa kesalehan adalah integritas antara janji lisan, keyakinan hati, dan aksi nyata, khususnya dalam berbagi harta.

Mekanisme Hukuman Spiritual: Penguncian Hati Hingga Kiamat

Hukuman yang dijatuhkan setelah pelanggaran janji dalam at taubah 76 adalah yang paling menakutkan: kemunafikan melekat di hati hingga hari pertemuan mereka dengan Allah. Ini adalah metafora spiritual yang mendalam, menunjukkan bahwa kondisi hati orang tersebut telah mencapai titik balik yang tidak dapat kembali lagi.

Penyakit Hati Akibat Materi

Ketika seseorang menolak menunaikan kewajiban finansial yang telah dijanjikan (seperti zakat), hatinya mengalami pengerasan progresif. Awalnya, ia mungkin merasa bersalah, tetapi seiring waktu, rasionalisasi terhadap dosa (misalnya, menuduh zakat sebagai ‘pajak’) mulai mengambil alih. Rasionalisasi ini, didorong oleh ketamakan (bukhul), berfungsi sebagai segel yang menutup hati dari petunjuk ilahi. Allah menetapkan segel ini sebagai balasan yang adil (jaza’an wifaqan) atas pilihan bebas mereka untuk menolak kebenaran.

Hukuman dalam at taubah 76 bersifat permanen (ilaa yawmi yalqawnahu – hingga hari mereka menemui-Nya). Ini menekankan bahwa sekali sifat hipokrisi menguasai hati, terutama karena pelanggaran janji yang bertujuan mengelabui Allah dan Rasul-Nya demi keuntungan duniawi, peluang untuk bertaubat secara tulus (tawbatun nashuha) hampir lenyap. Mereka mungkin melakukan perbuatan baik di luar, tetapi niat fundamental mereka telah tercemar, menjadikan semua tindakan mereka tidak bernilai di sisi Allah.

Dimensi Keadilan Ilahi

Beberapa mungkin bertanya, mengapa hukuman penguncian hati begitu keras? Jawabannya terletak pada tingkat pengkhianatan yang dilakukan. Orang-orang ini telah melihat kebenaran (saat miskin mereka bersumpah tulus), menerima nikmat (kekayaan datang), namun secara sadar dan sengaja membalikkan janji mereka. Mereka menggunakan agama hanya sebagai tangga menuju kekayaan, dan ketika sudah di atas, mereka membuang tangganya. Keadilan ilahi menuntut balasan setimpal: karena mereka memilih menipu Allah demi dunia fana, Allah mencabut kemampuan mereka untuk memahami kebenaran abadi.

Ayat at taubah 76 memperingatkan kita bahwa Allah melihat tidak hanya tindakan kita, tetapi juga motif di baliknya. Niat yang korup pada akhirnya menghasilkan hati yang korup. Ketika motif utama seseorang adalah menumpuk harta, bahkan janji ketaatan pun akan dibengkokkan dan akhirnya dilanggar. Ketidakjujuran internal inilah yang menjadi pupuk bagi tumbuhnya nifaq.

Simbol Hati yang Terkunci Nifaq

Penguncian Hati Akibat Nifaq (Kemunafikan).

Pelajaran Moral dan Etika Abadi dari At-Taubah 76

1. Integritas di Hadapan Kekayaan

Pelajaran utama dari at taubah 76 adalah ujian integritas yang dibawa oleh kekayaan. Sangat mudah untuk bersumpah setia saat kita miskin dan membutuhkan. Kekuatan karakter sejati diuji ketika seseorang berada dalam posisi memiliki kekuasaan dan harta melimpah. Harta adalah ujian terbesar karena ia mampu menyingkapkan niat tersembunyi. Apakah kita melihat harta sebagai amanah yang memiliki hak orang lain, atau sebagai milik absolut yang harus dipertahankan dari tuntutan ilahi?

Ayat ini mengajarkan bahwa iman harus bersifat independen terhadap kondisi finansial. Ketaatan tidak boleh menjadi transaksi bersyarat. Jika ketaatan kita bergantung pada kemudahan atau keuntungan, maka kita telah meniru sifat munafik Tsa'labah.

2. Bahaya Menunda Ketaatan

Tsa'labah menunda ketaatan dan menjadikannya bersyarat: "jika Allah memberikan... barulah kami akan bersedekah." Islam menuntut ketaatan segera dan tanpa syarat. Prinsip ini berlaku bagi semua perintah, baik shalat, puasa, maupun zakat. Menunda kewajiban dengan alasan menunggu kondisi ideal (lebih kaya, lebih sehat, lebih senggang) adalah jebakan setan yang dapat menyeret kita ke dalam kategori orang-orang yang meremehkan perintah Ilahi.

Dalam konteks harta, janji untuk bersedekah di masa depan seringkali hanyalah alasan untuk menahan diri di masa kini. Ayat at taubah 76 secara efektif membongkar mentalitas ‘menunggu kaya untuk berbuat baik’ yang penuh risiko spiritual.

3. Kewajiban Zakat sebagai Pilar Iman

Penolakan Tsa'labah terhadap zakat menegaskan bahwa zakat bukan sekadar amal sosial, melainkan pilar iman yang mengikat komitmen seorang Muslim kepada Allah. Penolakan terhadap zakat, apalagi setelah bersumpah untuk menunaikannya, menunjukkan keretakan serius dalam keyakinan tauhid. Zakat membersihkan harta dari hak orang lain; menolaknya sama dengan menyimpan harta kotor yang tidak diberkahi.

4. Pentingnya Konsistensi (Istiqamah)

Kisah ini menggambarkan pentingnya istiqamah (konsistensi). Tsa'labah adalah seorang mukmin yang hadir di majelis Nabi. Namun, keberadaan harta mengubah konsistensinya. Iman yang sejati adalah iman yang stabil, tidak berfluktuasi sesuai naik turunnya rekening bank. At taubah 76 menuntut kita untuk mempertahankan kualitas iman yang sama, bahkan ketika kita pindah dari keadaan miskin yang membutuhkan doa menjadi keadaan kaya yang menuntut tanggung jawab.

Relevansi At-Taubah 76 di Era Modern

Meskipun kisah Tsa'labah terjadi lebih dari seribu tahun yang lalu, pelajaran dari at taubah 76 sangat relevan di dunia modern yang didominasi oleh materialisme dan hedonisme. Kekayaan instan, baik melalui bisnis, warisan, atau keberhasilan tak terduga (seperti kemenangan lotre atau IPO saham yang meledak), dapat memunculkan sindrom Tsa'labah modern.

Kasus Janji Palsu dalam Bisnis dan Karir

Di masa kini, janji kepada Allah tidak selalu berbentuk sumpah lisan di hadapan Nabi. Janji itu termanifestasi dalam niat yang kita buat saat menghadapi kesulitan. Contohnya:

Setiap pelanggaran janji tersebut, terutama yang melibatkan penolakan hak Allah (seperti menahan zakat atau kewajiban lainnya), berpotensi menumbuhkan benih nifaq dalam hati, sejalan dengan peringatan at taubah 76.

Ujian Kekuatan Media Sosial

Di era digital, nifaq modern juga bisa berbentuk klaim kesalehan palsu (pencitraan). Seseorang mungkin terlihat sangat dermawan di media sosial (janji untuk bersedekah atau berbuat baik), tetapi di balik layar, ia menipu dalam transaksi atau menahan zakat. Ayat at taubah 76 mengajarkan bahwa Allah tidak tertipu oleh penampilan luar; Dia melihat kondisi hati dan konsistensi antara janji dan perbuatan.

Manajemen Risiko Spiritual Kekayaan

Untuk menghindari takdir seperti Tsa'labah, seorang Muslim harus mengelola kekayaan dengan risiko spiritual yang minim. Ini melibatkan:

  1. Mengutamakan Kewajiban: Zakat harus dibayarkan segera setelah wajib, tanpa penundaan atau tawar-menawar.
  2. Mendefinisikan Amanah: Melihat harta bukan sebagai kepemilikan mutlak, tetapi sebagai pinjaman dari Allah yang memiliki hak dan kewajiban terkait.
  3. Memelihara Kerendahan Hati: Kekayaan harus meningkatkan rasa syukur dan ketaatan, bukan kesombongan atau penolakan kewajiban.

Apabila kita gagal dalam ujian ini, seperti yang diilustrasikan dalam at taubah 76, konsekuensinya bukan hanya kehilangan harta di dunia, tetapi juga kehilangan bimbingan spiritual (penguncian hati) di akhirat.

Penutup: Menjaga Keseimbangan antara Harta dan Hati

Kisah yang diabadikan dalam at taubah 76 dan ayat-ayat selanjutnya adalah salah satu peringatan paling tajam dalam Al-Qur'an mengenai bahaya kemunafikan yang berakar pada ketamakan materi. Ayat ini mengingatkan kita bahwa janji yang kita buat kepada Allah, baik secara eksplisit maupun implisit (melalui syahadat dan penerimaan perintah), harus ditepati tanpa syarat, terlepas dari tingkat kemakmuran atau kesulitan yang kita hadapi.

Jika seseorang menggunakan janji ketaatan hanya sebagai alat untuk mendapatkan kekayaan, maka ia telah merendahkan martabat ibadah. Ketika kekayaan itu tiba, dan ia menolaknya, Allah membalasnya dengan hukuman yang setimpal: menanamkan nifaq di hatinya. Hukuman ini, berupa hilangnya kemampuan untuk melihat kebenaran dan bertaubat dengan tulus, adalah akhir tragis bagi mereka yang mengkhianati amanah kekayaan.

Tafakur Mendalam tentang Hati yang Diciderai Janji

Mari kita merenungkan keadaan hati kita. Apakah hati kita termasuk hati yang mudah berjanji saat dalam kesulitan, namun mudah pula menciderainya saat kenyamanan datang? Apakah prioritas kita terhadap harta telah mengubah pandangan kita tentang kewajiban? Jika Tsa'labah, yang hidup di zaman Nabi dan mendengar janji itu langsung, bisa jatuh ke dalam jebakan ini, maka kita yang hidup jauh darinya jauh lebih rentan.

Ayat at taubah 76 adalah panggilan untuk introspeksi mendalam. Ia menantang kita untuk membuktikan bahwa keimanan kita adalah komitmen total, bukan kesepakatan bisnis yang dapat dibatalkan ketika kita telah mencapai target keuntungan duniawi. Jalan menuju kesalehan (shalihin) yang dijanjikan dalam ayat ini hanya dapat dicapai melalui kejujuran total kepada Allah, konsistensi dalam ketaatan, dan penunaian hak-hak finansial yang melekat pada setiap harta yang kita miliki.

Pada akhirnya, Surah At-Taubah mengajarkan bahwa menjaga janji kepada Allah adalah menjaga fondasi iman itu sendiri. Kegagalan untuk menunaikan janji tersebut akan merobohkan fondasi spiritual, meninggalkan kita dengan hati yang terkunci oleh nifaq, menanti pertemuan dengan Sang Pencipta dalam keadaan yang paling merugi.


Pentingnya Kejujuran Spiritual: Hukuman penguncian hati dalam konteks at taubah 76 menunjukkan bahwa dalam Islam, kejujuran internal (ikhlas) adalah mata uang tertinggi. Ketika keikhlasan digantikan oleh niat tersembunyi untuk mendapatkan dunia, Allah memperlakukan pengkhianatan ini sebagai dosa yang dapat menghapus seluruh catatan kebaikan yang pernah dilakukan. Oleh karena itu, kita harus selalu mencari perlindungan dari sifat bakhil dan hipokrisi, memastikan bahwa janji kita kepada Allah adalah janji yang ditepati, baik dalam kesulitan maupun kemudahan.

Penekanan berulang dalam konteks ini adalah bahwa ujian kekayaan seringkali lebih sulit daripada ujian kemiskinan. Kemiskinan mendorong hamba untuk merengek dan berdoa kepada Allah, tetapi kekayaan seringkali membuat hamba lupa bahwa segala sesuatu berasal dari-Nya. Siklus lupa ini, yang dipicu oleh ingatan yang lemah terhadap janji suci, adalah inti dari peringatan yang diabadikan dalam ayat at taubah 76.

Kita perlu memahami secara komprehensif bahwa Allah SWT tidak membutuhkan harta kita; Allah memerintahkan sedekah dan zakat sebagai mekanisme ujian bagi kita. Ketika seseorang menolak zakat atau sedekah yang telah ia janjikan, ia tidak merugikan Allah, melainkan merugikan dirinya sendiri dengan mengotori jiwanya dan menjauhkan dirinya dari rahmat ilahi. Sifat kikir yang muncul setelah janji suci adalah bukti nyata dari prioritas dunia di atas akhirat, suatu penyakit yang harus segera diobati sebelum ia mengakar menjadi nifaq abadi.

Dalam menjalani kehidupan yang penuh dengan godaan materi, setiap Muslim harus senantiasa mengingat bahwa janji untuk menjadi minash shaalihin (termasuk orang-orang yang saleh) menuntut pengorbanan, tidak hanya dalam bentuk waktu dan tenaga untuk ibadah ritual, tetapi juga pengorbanan harta. Keseimbangan antara ibadah vertikal (hablun minallah) dan ibadah horizontal (hablun minannas) yang dicapai melalui zakat dan sedekah adalah syarat mutlak untuk mencapai kesalehan sejati. Mengabaikan satu sisi demi sisi lain, seperti yang ditunjukkan oleh Tsa'labah, akan selalu berakhir dengan penanaman nifaq di hati, sebuah hukuman yang tidak dapat dibatalkan.

Refleksi atas Surah at taubah 76 mengajarkan bahwa integritas adalah mata uang spiritual. Kehilangan integritas, terutama dalam hal menunaikan hak Allah dari harta yang diberikan-Nya, akan berakibat fatal. Ini adalah peringatan bagi setiap individu yang sedang berada di puncak kesuksesan finansial: waspadalah, karena saat itulah ujian terbesar dan ancaman nifaq paling dekat. Janji yang dibuat di kala susah harus ditepati dengan lebih tulus di kala senang, demi keselamatan hati dan jiwa hingga Hari Kiamat.

Sejauh mana seseorang mampu mempertahankan niat baiknya ketika kekayaan melimpah? Inilah pertanyaan filosofis dan spiritual utama yang diajukan oleh ayat at taubah 76. Ketika seseorang kaya, ia memiliki pilihan untuk menjadi Tsa'labah (ingkar janji) atau menjadi Utsman bin Affan (dermawan tanpa batas). Perbedaan antara keduanya terletak pada kejujuran hati dan kemampuan untuk menempatkan janji kepada Allah di atas kecintaan terhadap harta benda.

Pengkhianatan yang dibahas dalam at taubah 76 bukanlah hanya sekedar janji biasa; ini adalah pengkhianatan terhadap kepercayaan ilahi. Allah telah memenuhi bagian-Nya dalam perjanjian (memberikan kekayaan), tetapi hamba gagal memenuhi bagiannya. Dalam konteks ini, hukuman nifaq abadi menjadi sebuah konsekuensi logis dari sebuah pilihan sadar untuk menukar kebenaran spiritual dengan kepuasan materi sesaat. Ini adalah pelajaran yang harus dihayati oleh setiap individu Muslim yang sedang mengejar cita-cita dan kemakmuran duniawi.

🏠 Homepage