Kajian Mendalam Surah At-Taubah Ayat 107

Membedah Esensi Niat dalam Ibadah: Kasus Masjid Ad-Dirar

Ayat 107 Surah At-Taubah: Teks dan Terjemah

وَٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُواْ مَسۡجِدٗا ضِرَارٗا وَكُفۡرٗا وَتَفۡرِيقَۢا بَيۡنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ وَإِرۡصَادٗا لِّمَنۡ حَارَبَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ مِن قَبۡلُۚ وَلَيَحۡلِفُنَّ إِنۡ أَرَدۡنَآ إِلَّا ٱلۡحُسۡنَىٰۖ وَٱللَّهُ يَشۡهَدُ إِنَّهُمۡ لَكَاذِبُونَ

Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudaratan (dirar) dan (untuk menguatkan) kekafiran (kufr) dan untuk memecah belah (tafriq) di antara orang-orang mukmin serta untuk tempat menunggu (irsad) bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka bersumpah, "Kami tidak menghendaki selain kebaikan." Padahal Allah mengetahui bahwa mereka benar-benar pendusta.

Ayat mulia ini merupakan penyingkapan ilahi yang tajam terhadap kelompok munafik di Madinah. Ia bukan sekadar catatan sejarah tentang sebuah bangunan, melainkan prinsip fundamental dalam Islam: bahwa niat (motivasi batin) adalah penentu sah atau batalnya suatu amal, bahkan yang tampaknya saleh sekalipun. Analisis atas ayat ini membuka tirai kebenaran tentang bahaya hipokrisi terlembaga.

Latar Belakang Penurunan Ayat (Asbabun Nuzul): Kisah Masjid Ad-Dirar

Konteks historis penurunan Surah At-Taubah ayat 107 terkait erat dengan kepulangan Rasulullah ﷺ dari ekspedisi Tabuk. Kisah ini berpusat pada sebuah bangunan yang dikenal sebagai Masjid Ad-Dirar (Masjid yang Membawa Bahaya atau Kerusakan). Memahami latar belakangnya sangat penting untuk menggali makna mendalam ayat tersebut.

Konspirasi Abu ‘Amir Ar-Rahib

Inti dari konspirasi ini adalah seorang laki-laki bernama Abu ‘Amir Ar-Rahib (Abu ‘Amir Sang Rahib). Ia adalah seorang tokoh berpengaruh di Madinah yang dulunya beragama Nasrani dan menentang keras kedatangan Islam. Ketika Rasulullah ﷺ hijrah, Abu ‘Amir meninggalkan Madinah menuju Makkah, dan kemudian ke Syam (Suriah) setelah penaklukan Makkah.

Dari Syam, Abu ‘Amir bersekutu dengan Kekaisaran Romawi (Bizantium) dan meminta bantuan mereka untuk memerangi kaum Muslimin. Sebelum ia berangkat, ia mengirim pesan kepada para pengikutnya di Madinah—terdiri dari kelompok munafik dari suku Khazraj—agar mereka membangun sebuah markas atau benteng dengan kedok sebagai masjid. Tujuannya adalah agar ia memiliki tempat aman untuk bersembunyi dan merencanakan serangan ketika ia kembali bersama tentara Romawi.

Para munafik tersebut lalu mendirikan bangunan ini di Quba, dekat dengan Masjid Quba yang suci. Mereka mendekati Rasulullah ﷺ ketika beliau sedang bersiap untuk Tabuk atau sesaat setelahnya, meminta beliau untuk salat di dalamnya, dengan dalih bahwa masjid tersebut didirikan untuk membantu orang sakit dan lemah yang tidak bisa menghadiri Masjid Quba, serta untuk melindungi mereka dari hujan.

Penolakan Rasulullah ﷺ dan Penantian Ilahi

Rasulullah ﷺ, pada saat itu, belum mengetahui niat jahat mereka. Beliau menjawab bahwa beliau sedang dalam perjalanan (menuju Tabuk) dan berjanji akan menunaikan salat di sana sekembalinya, Insya Allah. Setelah beliau kembali dari Tabuk, saat beliau bersiap memenuhi janji tersebut, wahyu Surah At-Taubah 107 turun. Wahyu ini bukan hanya membongkar kebohongan mereka, tetapi juga memerintahkan penghancuran total bangunan tersebut.

Visualisasi Hipokrisi dan Niat Ganda Fasad (Ibadah) Niat Ambush/Perpecahan Sisi Luar (Baik) Sisi Dalam (Jahat)

Ilustrasi Niat Ganda: Fasad kebaikan (masjid) menutupi niat jahat (perpecahan dan permusuhan) yang menjadi inti dari Masjid Ad-Dirar.

Pelaksanaan Penghancuran

Rasulullah ﷺ segera memanggil Malik bin Ad-Dukhsyum dan Ma’an bin Adi, serta beberapa sahabat lainnya, dan memerintahkan mereka untuk membakar dan menghancurkan bangunan tersebut. Perintah ini menunjukkan betapa seriusnya ancaman institusi yang didirikan di atas dasar kejahatan, bahkan jika ia menyandang nama suci 'masjid'.

Pelajaran dari Asbabun Nuzul ini adalah bahwa Allah ﷻ tidak hanya menilai tindakan lahiriah, tetapi juga tujuan dan motif di baliknya. Struktur fisik Masjid Ad-Dirar mungkin menyerupai tempat ibadah, tetapi niat empat lapis yang busuk membuatnya layak dimusnahkan.

Analisis Mendalam Empat Tujuan Pendirian Masjid Ad-Dirar

Ayat 107 secara eksplisit menyebutkan empat tujuan buruk (motivasi internal) yang mendorong kaum munafik mendirikan Masjid Ad-Dirar. Keempat poin ini mewakili dimensi hipokrisi terburuk yang mengancam struktur masyarakat Islam.

1. Diraran (Menimbulkan Kemudaratan atau Kerusakan)

Kata ضِرَارٗا (Diraran) berasal dari kata *darr*, yang berarti bahaya atau kerugian. Ini menunjukkan bahwa tujuan utama pendirian masjid tersebut adalah untuk menimbulkan kerugian pada komunitas Muslim yang telah ada, terutama Masjid Quba. Kerusakan di sini bersifat ganda:

2. Kufran (Menguatkan Kekafiran)

Meskipun disebut "masjid," fungsinya diarahkan untuk mendukung kekafiran (kufr). Ini berarti bahwa di balik ibadah yang dilakukan (jika ada), terdapat ideologi penolakan terhadap kepemimpinan Rasulullah ﷺ dan ajaran Islam yang autentik. Ini bukan kekafiran terbuka, melainkan kekafiran yang disamarkan, membuat jamaahnya merasa nyaman dalam skeptisisme dan penolakan batin mereka.

Dalam konteks Madinah saat itu, ini adalah pusat infiltrasi ideologis. Tempat itu menjadi wadah bagi ide-ide yang menolak kedaulatan Islam, meragukan kenabian, dan secara diam-diam mendukung musuh-musuh Islam. Ini mengajarkan bahwa tempat ibadah yang kehilangan komitmen tauhidnya dapat berubah menjadi sarang bid’ah atau kekafiran, meskipun namanya tetap masjid.

3. Tafriqan Baina Al-Mu’minin (Memecah Belah Kaum Mukmin)

Ini adalah dimensi sosiologis yang paling berbahaya. Tugas utama masjid adalah menjadi pusat persatuan (*ittihad*) dan tali penghubung (*jamaah*). Masjid Ad-Dirar didirikan secara khusus untuk memecah belah (tafriqan). Ia menargetkan jemaah yang sudah mapan di Masjid Quba dan Masjid Nabawi, menarik mereka yang memiliki kecenderungan munafik atau yang mudah dipengaruhi, sehingga memisahkan barisan kaum Muslimin.

Para ulama tafsir menekankan bahwa perpecahan yang dimaksud adalah perpecahan hati dan loyalitas. Dengan memiliki tempat ibadah yang independen namun dipimpin oleh agen-agen munafik, mereka berhasil menciptakan dua otoritas spiritual, yang secara politik melemahkan negara Islam di Madinah. Konsep ini relevan sepanjang masa: setiap upaya mendirikan institusi dengan niat memisahkan umat yang telah bersatu, meskipun dihiasi nama baik, berpotensi jatuh dalam kategori ‘dirar’.

4. Irsadan Liman Haraba Allaha wa Rasulahu (Tempat Menunggu bagi Musuh)

Kata إِرۡصَادٗا (Irsadan) berarti tempat observasi, pengintaian, atau persiapan penyergapan/ambush. Ini merujuk pada tujuan militer dan politik yang paling keji: menjadikan masjid itu markas tunggu bagi Abu ‘Amir Ar-Rahib dan pasukan Romawi (yang memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu).

Ini mengungkapkan tingkat pengkhianatan yang paling tinggi. Bangunan itu berfungsi sebagai pos terdepan (outpost) yang aman, di mana informasi dapat dikumpulkan, strategi dapat dirumuskan, dan penyergapan terhadap kaum Muslimin dapat dilancarkan. Niat politik dan militer tersembunyi ini secara definitif menghilangkan segala klaim kesucian bangunan tersebut.

Kekuatan Sumpah Palsu

Ayat ditutup dengan penyingkapan terhadap upaya kamuflase para munafik: "Mereka bersumpah, 'Kami tidak menghendaki selain kebaikan.' Padahal Allah mengetahui bahwa mereka benar-benar pendusta."

Bagian ini memberikan pelajaran penting tentang manipulasi dan penggunaan sumpah suci untuk menutupi niat jahat. Sumpah mereka (bahwa niat mereka hanyalah kebaikan *al-husna*) merupakan bentuk tipu daya sosial, namun Allah ﷻ yang Maha Mengetahui membongkar inti hati mereka. Ini menekankan bahwa di hadapan Allah, niat yang tersembunyi lebih penting daripada pernyataan lisan atau tindakan lahiriah yang diatur sedemikian rupa.

Perbandingan Teologis: Masjid Ad-Dirar vs. Masjid Quba

Ayat 107 hampir selalu dibahas bersamaan dengan ayat 108 yang memuji Masjid Quba. Kontras ini adalah kunci untuk memahami standar ilahi tentang tempat ibadah yang sah.

"Janganlah engkau salat di dalamnya selama-lamanya. Sungguh, masjid yang didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama adalah lebih patut engkau salat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih." (At-Taubah: 108)

Perbandingan ini mengajarkan kita bahwa tempat ibadah terbagi menjadi dua kategori berdasarkan niat pendirinya:

1. Masjid yang Dibangun di Atas Takwa (Masjid Quba)

Masjid Quba didirikan atas dasar takwa (pihak yang bertakwa) dan kesucian (orang yang suka membersihkan diri). Karakteristik ini meliputi:

2. Masjid yang Dibangun di Atas Kerusakan (Masjid Ad-Dirar)

Sebaliknya, Ad-Dirar didirikan di atas empat pilar kemudaratan. Perintah Allah, "Janganlah engkau salat di dalamnya selama-lamanya," adalah fatwa permanen yang mengecam institusi yang niat dasarnya adalah kejahatan dan perpecahan. Salat, sebagai amal paling suci, dilarang dilakukan di tempat yang terkontaminasi oleh hipokrisi mendasar.

Kontras ini menetapkan sebuah parameter: sebuah tempat ibadah dinilai bukan dari arsitekturnya atau labelnya, melainkan dari niat suci (ikhlas) yang mendorong pembangunannya dan perilaku tulus yang menaunginya.

Implikasi Fiqih dan Hukum dari At-Taubah 107

Ayat ini memiliki dampak signifikan pada hukum Islam, khususnya mengenai pembangunan, pengelolaan, dan penentuan kesucian tempat ibadah. Konsep Masjid Ad-Dirar meluas hingga mencakup segala bentuk bangunan atau kegiatan yang menyamar sebagai kebaikan namun bertujuan merusak.

A. Hukum Penghancuran Bangunan Berbahaya

Tindakan Rasulullah ﷺ yang memerintahkan penghancuran Masjid Ad-Dirar menjadi landasan hukum (fiqh) bahwa sebuah bangunan, meskipun dibangun dengan nama agama, wajib dihancurkan jika terbukti berfungsi sebagai pusat bahaya, kemaksiatan, atau perpecahan umat.

B. Syarat Sahnya Wakaf dan Niat

Para fuqaha (ahli fiqih) menggunakan ayat ini untuk memperkuat syarat niat dalam wakaf. Wakaf yang niat aslinya adalah untuk memecah belah, menimbulkan bahaya, atau mendukung kebatilan, dianggap tidak sah dan harus dibatalkan. Niat yang dimaksud dalam pendirian masjid haruslah *Qurbatan ila Allah* (mendekatkan diri kepada Allah) dan bukan *Diraran* (mendatangkan bahaya).

Imam Asy-Syafi'i dan mazhab-mazhab besar lainnya sepakat bahwa niat yang merusak membatalkan kemaslahatan publik (maslahah ‘ammah) yang seharusnya dihasilkan oleh wakaf keagamaan.

C. Keabsahan Salat di Institusi Konflik

Perintah "Janganlah engkau salat di dalamnya selama-lamanya" menunjukkan bahwa bahkan salat pun tidak dapat mensucikan tempat yang dasarnya busuk. Ayat ini memberi otoritas kepada pemimpin untuk melarang ibadah di tempat-tempat yang telah dikuasai oleh ideologi sesat atau kelompok munafik, karena salat di sana hanya akan menguatkan kebatilan, bukan kebenaran.

Konsep Masjid Dirar: Fondasi Retak Fondasi (Niat Jahat: Dirar, Kufr, Tafriq, Irsad) Masjid (Nama) Bangunan yang Tampak Suci, Niat yang Mematikan

Visualisasi Konsep Masjid Ad-Dirar: Sebuah struktur yang tampak kokoh namun fondasinya (niat) retak dan tidak dapat menopang kebenaran.

Dimensi Linguistik dan Balaghah (Retorika) Ayat 107

Keindahan dan kekuatan ayat ini terletak pada pilihan kata-kata Arabnya yang sangat presisi, menunjukkan *I’jaz* (kemukjizatan) Al-Qur'an dalam menyingkap realitas batin.

Pola Kata *Ittakhadzu* (Mereka Mendirikan/Mengambil)

Kata yang digunakan adalah ٱتَّخَذُواْ (*ittakhadzu*), bukan *banaw* (membangun). *Ittakhadzu* menyiratkan sebuah tindakan yang dilakukan dengan perencanaan, pengambilalihan, dan tujuan yang terlembaga. Mereka mengambil dan menetapkan bangunan itu sebagai masjid (secara formal), tetapi ini adalah penetapan yang dipaksakan dan disengaja untuk tujuan tersembunyi. Ini menekankan aspek perencanaan licik.

Penggunaan Maf’ul Li Ajlih (Tujuan)

Kata *diraran, kufran, tafriqan*, dan *irsadan* berfungsi sebagai *Maf’ul Li Ajlih* (objek karena tujuan). Ini berarti, tujuan-tujuan jahat tersebut BUKANLAH efek samping dari pembangunan masjid, melainkan alasan utama eksistensi bangunan itu sendiri. Ayat ini menata empat tujuan itu secara setara, menjadikannya pilar motivasi yang menggerakkan pembangunan tersebut. Ini adalah contoh retorika Qur'an yang sangat kuat dalam mengaitkan tindakan lahiriah dengan motivasi batin.

Penekanan pada Sumpah Palsu (Lakadhibun)

Frase وَلَيَحۡلِفُنَّ (dan mereka benar-benar bersumpah) menggunakan lam penegas (*laam al-qasam*) dan nun penegas (*nun at-taukid*), menunjukkan betapa kuatnya mereka berusaha meyakinkan Rasulullah dan kaum mukmin akan niat baik mereka. Namun, Allah langsung menimpakan bantahan dengan penegas yang lebih kuat lagi: إِنَّهُمۡ لَكَاذِبُونَ (sungguh, mereka benar-benar pendusta). Penggunaan dua penegas ini menunjukkan kepastian mutlak dari kebohongan mereka, membuktikan bahwa otoritas pengetahuan Allah jauh melebihi upaya penipuan manusia.

Aspek linguistik ini mengukuhkan bahwa penilaian akhir tidak didasarkan pada retorika dan sumpah manusia, melainkan pada pengetahuan Ilahi yang menembus hati.

Pelajaran Filosofis dan Relevansi Kontemporer

Konsep Masjid Ad-Dirar melampaui bangunan fisik di Madinah. Ia menawarkan pelajaran filosofis dan moral yang relevan bagi setiap generasi Muslim, khususnya dalam menghadapi institusi dan kelompok modern.

A. Ujian Keikhlasan dan Niat (Ikhlas)

Ayat ini adalah peringatan abadi bahwa *ikhlas* (ketulusan niat) adalah pondasi setiap amal. Jika sebuah institusi—baik itu masjid, sekolah, yayasan sosial, atau partai politik—didirikan dengan niat tersembunyi untuk: 1) mencari keuntungan pribadi, 2) menjatuhkan saingan, 3) menyebarkan ideologi yang merusak, atau 4) memecah belah komunitas; maka ia telah mewarisi sifat-sifat Masjid Ad-Dirar.

Setiap Muslim dan pemimpin institusi harus secara introspektif bertanya: Apakah niat dasar pendirian ini murni untuk Allah atau ada unsur 'dirar' di dalamnya?

B. Ancaman Hipokrisi Terlembaga (Nifaq Al-Amali)

Masjid Ad-Dirar adalah contoh dari nifaq al-amali (hipokrisi dalam tindakan) yang terlembaga. Hipokrisi yang paling berbahaya adalah ketika kebatilan mengenakan jubah kebenaran. Di era modern, ini bisa terwujud dalam:

  1. Organisasi keagamaan yang menjadi alat politik partisan yang merusak persatuan.
  2. Media massa yang menyebarkan kebencian atas nama dakwah.
  3. Lembaga pendidikan yang mempromosikan ekstremisme di bawah kedok ilmu agama.

Masyarakat Muslim dituntut untuk selalu waspada, melihat melampaui penampilan luar dan menganalisis buah dari tindakan (apakah menghasilkan persatuan atau perpecahan, kedamaian atau permusuhan).

C. Kriteria Pemimpin dalam Mengambil Keputusan Sulit

Rasulullah ﷺ diperintahkan untuk tidak pernah salat di Masjid Ad-Dirar. Hal ini menegaskan bahwa pemimpin Islam harus memiliki keberanian moral untuk menolak dan menghancurkan (membatalkan) proyek-proyek yang terbukti merusak masyarakat, meskipun proyek tersebut didorong oleh orang-orang yang mengaku beriman dan menggunakan simbol-simbol agama. Keputusan ini harus didasarkan pada wahyu (ilmu pasti tentang niat jahat) atau bukti yang tidak terbantahkan mengenai bahaya yang ditimbulkannya.

D. Melawan Narasi Palsu dan Sumpah Deceptif

Pengalaman Masjid Ad-Dirar mengajarkan bahwa kebohongan sering dibungkus dengan sumpah dan janji yang manis. Di era informasi, di mana narasi palsu (hoaks) disebarkan dengan keyakinan yang kuat, ayat ini menjadi pengingat kritis bahwa kebenaran ilahi pada akhirnya akan menyingkap penipuan terorganisir, tidak peduli seberapa meyakinkannya sumpah para pendusta tersebut.

Ayat At-Taubah 107, dengan segala kedalaman tafsirnya, merupakan peta jalan bagi kaum Muslimin untuk membedakan antara bangunan yang didirikan di atas takwa sejati dan bangunan yang didirikan di atas pasir hipokrisi. Ini adalah pelajaran abadi tentang urgensi kejujuran niat dalam setiap aspek kehidupan, terutama yang berkaitan dengan ibadah dan komunitas.

Jika kita menelaah lebih dalam mengenai fenomena hipokrisi yang dibahas dalam Surah At-Taubah secara keseluruhan, Ayat 107 berfungsi sebagai titik kulminasi yang menunjukkan bahaya tertinggi dari kemunafikan: upaya untuk merusak Islam dari dalam, menggunakan sarana Islam itu sendiri (masjid). Tidak cukup hanya menghindari dosa besar, tetapi juga wajib menghindari tindakan yang memiliki potensi merusak harmoni dan persatuan umat, meskipun secara lahiriah tindakan tersebut tampak sebagai ibadah yang baik.

Perluasan Konsep Tafriq dan Dirar dalam Kehidupan Modern

Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, kita perlu menerapkan konsep *tafriq* (perpecahan) dan *dirar* (bahaya) pada skala sosial yang lebih besar. Masjid Ad-Dirar adalah mikro-kosmos dari organisasi-organisasi yang merusak.

Tafriq: Pembagian Jemaah berdasarkan Fanatisme

Perpecahan yang dimaksud di sini bukanlah perbedaan pendapat yang sehat (ikhtilaf), melainkan perpecahan yang bersifat permusuhan (tafriq). Dalam konteks modern, hal ini terjadi ketika:

  1. Sebuah kelompok mengklaim monopoli kebenaran dan mengkafirkan atau membid’ahkan Muslim lainnya, dengan sengaja memisahkan diri dari jemaah mayoritas.
  2. Dana dan sumber daya dialihkan dari pusat-pusat dakwah yang menyatukan menuju kelompok-kelompok kecil yang secara eksklusif hanya melayani segelintir orang dengan agenda sempit.
  3. Mimbar-mimbar digunakan bukan untuk menyebarkan rahmat, tetapi untuk menyerang dan menghasut permusuhan antara berbagai mazhab atau kelompok sosial.

Setiap upaya yang menumbuhkan kebencian antarsesama mukmin dengan kedok pemurnian agama dapat dikategorikan sebagai tindakan yang mewarisi niat *tafriqan*.

Dirar: Bahaya Psikis dan Sosial

Selain bahaya fisik (seperti tempat persembunyian militer), *dirar* mencakup bahaya psikologis dan sosial. Ini bisa berupa:

Semua ini adalah bentuk-bentuk kemudaratan yang menunjukkan bahwa institusi terkait tidak didirikan atas dasar takwa, melainkan untuk melayani ego atau ideologi yang merusak.

Kontinuitas Ancaman Kufr dan Irsad: Infiltrasi dan Ideologi

Ayat 107 menekankan bahwa Masjid Ad-Dirar berfungsi untuk menguatkan kekafiran (kufr) dan sebagai tempat penyergapan (irsad). Kedua konsep ini menunjukkan bahaya infiltrasi eksternal dan penguatan ideologi yang bertentangan dengan Islam.

Penguatan Kufr: Infiltrasi Ideologis

Kekafiran di sini tidak hanya berarti penolakan total terhadap Islam, tetapi juga penguatan keraguan dan pemikiran sesat dalam hati mereka yang mengaku Muslim. Di masa kini, ini dapat diartikan sebagai:

Penguatan narasi yang meragukan sumber-sumber hukum Islam (sunnah, ijma), atau upaya sistematis mendistorsi ajaran pokok (ushuluddin) sehingga komunitas Muslim kehilangan identitas dan landasan teologisnya. Masjid atau institusi yang beroperasi sebagai agen untuk mempromosikan ideologi asing yang secara fundamental bertentangan dengan nilai-nilai tauhid dan risalah, secara esensial adalah meneruskan fungsi *kufran* dari Masjid Ad-Dirar.

Irsad: Agen Musuh dari Dalam

Tujuan *irsad* (penyergapan) adalah yang paling bersifat pengkhianatan. Itu adalah rencana rahasia untuk menyediakan tempat yang aman bagi musuh eksternal. Dalam bahasa modern, *irsad* dapat diwujudkan melalui:

Ayat ini mengajarkan kepada kita bahwa pengkhianatan yang paling mematikan selalu datang dari dalam barisan, dari mereka yang berpura-pura menjadi bagian dari kita. Kewaspadaan terhadap agen internal yang bekerja untuk agenda eksternal adalah tuntutan abadi dari At-Taubah 107.

Kesimpulan: Keikhlasan adalah Fondasi Keabadian

Surah At-Taubah ayat 107 adalah salah satu ayat paling penting yang menggarisbawahi supremasi niat di atas tindakan lahiriah dalam syariat Islam. Kisah Masjid Ad-Dirar memberikan standar yang jelas mengenai apa yang membedakan institusi yang diberkahi Allah (seperti Masjid Quba) dari institusi yang terkutuk karena niatnya yang busuk (Masjid Ad-Dirar).

Ayat ini menantang umat Muslim di setiap zaman untuk selalu memeriksa motif di balik setiap inisiatif keagamaan, sosial, atau politik yang mereka lakukan. Apakah tujuannya adalah persatuan (*ittihad*) atau perpecahan (*tafriq*)? Apakah bertujuan mencari keridaan Allah (*qurbah*) atau keuntungan duniawi dan permusuhan (*dirar*)?

Pada akhirnya, Allah ﷻ Maha Mengetahui apa yang tersembunyi di dada. Meskipun manusia mungkin tertipu oleh fasad yang indah dan sumpah yang meyakinkan, kebenaran tentang niat akan selalu terungkap melalui pengetahuan Ilahi, dan institusi yang dibangun di atas kebohongan akan runtuh, sesuai dengan perintah: "Janganlah engkau salat di dalamnya selama-lamanya." Fondasi yang abadi dan berkah hanyalah yang dibangun di atas takwa, keikhlasan, dan persatuan hakiki.

Melalui pelajaran dari Masjid Ad-Dirar, kita dipanggil untuk mengutamakan kesucian hati dan konsistensi antara apa yang kita klaim dan apa yang sesungguhnya kita tuju. Ini adalah pertahanan terkuat umat melawan segala bentuk hipokrisi terlembaga dan konspirasi internal yang mengancam keutuhan komunitas iman.

Seluruh kajian ini, dengan detail sejarah, linguistik, dan fiqihnya, menegaskan bahwa iman bukan hanya urusan lisan dan raga, tetapi esensinya adalah ketulusan niat (ikhlas) di hadapan Sang Pencipta.

***

Mekanisme Penyingkapan Ilahi dalam Nifaq

Ayat 107 menunjukkan bagaimana Allah ﷻ memilih untuk menyingkap kemunafikan secara langsung melalui wahyu, sebuah cara yang jarang terjadi, menunjukkan betapa parahnya kejahatan ini. Hipokrisi yang terstruktur (lembaga yang digunakan untuk nifaq) dianggap lebih berbahaya daripada kemunafikan individu, karena ia memiliki potensi merusak seluruh tatanan sosial. Penyingkapan ini berfungsi sebagai mukjizat bagi Rasulullah ﷺ dan sekaligus sebagai panduan metodologis bagi umat: bahwa niat dapat diungkap jika dampaknya berupa bahaya nyata dan perpecahan yang jelas.

Kita harus memahami bahwa Nabi ﷺ sering kali berinteraksi dengan kaum munafik dengan kehati-hatian, namun dalam kasus Masjid Ad-Dirar, ancamannya begitu nyata (potensi markas musuh Romawi) sehingga penyingkapan dan perintah penghancuran dilakukan segera. Tindakan ini memisahkan secara tajam antara iman sejati dan tipu daya, memberikan batas yang tidak dapat dinegosiasikan bagi kesucian institusi agama.

Pentingnya Lokasi Geografis (Quba)

Fakta bahwa Masjid Ad-Dirar didirikan di dekat Masjid Quba juga memiliki makna simbolis. Masjid Quba adalah masjid pertama yang didirikan oleh Rasulullah ﷺ di Madinah, pondasinya diletakkan dengan takwa. Mendirikan bangunan tandingan yang destruktif di dekatnya adalah upaya untuk secara langsung menantang dan merusak institusi yang paling tua dan paling suci. Ini adalah taktik musuh yang berusaha merusak simbol-simbol persatuan dan kemurnian, menggantinya dengan simbol yang terlihat sama tetapi memiliki niat yang bertolak belakang.

Oleh karena itu, setiap kali terjadi pembangunan tempat ibadah yang sengaja dibuat untuk menyaingi, membingungkan, atau memisahkan jemaah dari masjid-masjid utama yang sudah mapan dan berdasarkan sunnah, ia harus dievaluasi dengan cermat di bawah lensa tafsir At-Taubah 107. Pembangunan seharusnya mengisi kekosongan geografis atau kebutuhan jemaah yang tulus, bukan menciptakan konflik atau merebut otoritas.

***

Peran Sumpah sebagai Alat Deception

Mari kita kaji lebih dalam kalimat sumpah mereka: وَلَيَحۡلِفُنَّ إِنۡ أَرَدۡنَآ إِلَّا ٱلۡحُسۡنَىٰ. Mereka bersumpah bahwa mereka tidak menginginkan apa pun kecuali al-husna (kebaikan atau kemaslahatan). Ini menunjukkan bahwa kaum munafik adalah ahli dalam retorika moral. Mereka menggunakan bahasa yang paling mulia ('kebaikan', 'kesejahteraan', 'membantu yang lemah') untuk menutupi niat yang paling jahat.

Dalam ilmu hukum Islam, sumpah adalah alat penegasan yang sangat kuat. Namun, ketika digunakan untuk menutupi kebohongan dan niat yang telah ditetapkan (seperti yang diketahui Allah), sumpah tersebut kehilangan kekuatannya secara teologis dan moral. Pelajaran bagi umat adalah untuk tidak mudah terbuai oleh klaim kebaikan dan sumpah serapah dari mereka yang tindakannya justru menghasilkan perpecahan dan kerusakan (dirar).

Sumpah palsu ini menegaskan sifat sejati kemunafikan: berusaha memperoleh legitimasi sosial dengan meniru kesalehan lahiriah dan menggunakan otoritas spiritual (sumpah atas nama Allah) sebagai tameng. Namun, legitimasi ilahi tidak akan pernah diberikan kepada mereka yang hatinya dipenuhi tipu daya.

***

Analisis Filosofis Keseimbangan antara Niat dan Amalan

Ayat 107 ini melengkapi Hadits masyhur, *Innamal a'malu binniyat* (Sesungguhnya segala amal perbuatan bergantung pada niatnya). Jika Hadits tersebut mengajarkan bahwa niat baik mengubah amal biasa menjadi ibadah, maka Ayat 107 mengajarkan sisi sebaliknya: niat jahat dapat mengubah ibadah (seperti salat dan mendirikan masjid) menjadi dosa besar dan sarang kekafiran.

Ini adalah keseimbangan filosofis yang krusial dalam etika Islam. Sebuah tindakan tidak pernah berdiri sendiri; ia selalu merupakan hasil dari motif yang mendahului, membentuk, dan menentukan nilai akhirnya. Dalam konteks Masjid Ad-Dirar, meskipun tindakan membangun masjid adalah *amalan zahir* (tindakan lahiriah) yang terpuji, niat empat lapis yang jahat tersebut—dirar, kufr, tafriq, dan irsad—mengubahnya menjadi *amalan bathil* (tindakan yang sia-sia dan merusak).

Oleh karena itu, tugas seorang Muslim tidak berhenti pada pelaksanaan ritual, tetapi harus menembus hingga ke pemurnian niat. Keberadaan institusi yang merusak di tengah masyarakat Muslim menjadi bukti fisik kegagalan dalam memelihara kemurnian niat kolektif. Menghancurkan Masjid Ad-Dirar secara fisik adalah metafora untuk menghancurkan setiap bentuk institusi modern yang didirikan di atas pondasi hipokrisi.

***

Dampak Jangka Panjang Ayat 107 pada Etika Kepemimpinan

Ayat 107 memberikan pelajaran berharga bagi setiap pemimpin, baik dalam skala komunitas kecil maupun skala negara. Kepemimpinan yang efektif harus mampu membedakan antara kritik yang konstruktif dan perlawanan yang destruktif, antara kebaikan yang tulus dan tipu daya yang tersembunyi. Rasulullah ﷺ, meskipun dikenal sebagai pribadi yang penyantun, menunjukkan ketegasan mutlak ketika dihadapkan pada ancaman eksistensial berupa *dirar* dan *irsad*.

Keputusan untuk menghancurkan sebuah 'masjid' adalah keputusan yang sangat berat, menunjukkan bahwa ketika ancaman terhadap akidah dan persatuan umat telah terinstitusionalisasi, tindakan drastis dan tidak kompromi wajib dilakukan. Pemimpin tidak boleh membiarkan simbol-simbol kesucian digunakan sebagai alat untuk menghancurkan kesucian itu sendiri. Hal ini menetapkan prinsip: melindungi umat dari internal yang merusak adalah prioritas utama kepemimpinan.

Ketegasan ini mengajarkan bahwa toleransi terhadap perbedaan harus berakhir pada batas-batas yang mengancam empat pilar yang disebutkan dalam ayat ini: keamanan fisik, kesatuan ideologi (tauhid), persatuan sosial, dan integritas nasional (melawan agen musuh). Jika salah satu pilar ini terancam oleh suatu institusi, maka institusi tersebut telah menempatkan dirinya dalam kategori Ad-Dirar modern.

***

Refleksi Personal: Mencegah Dirar dalam Diri Sendiri

Meskipun ayat ini berbicara tentang institusi, ia juga harus diterapkan pada skala personal. Setiap Muslim memiliki 'Masjid' dalam hatinya—tempat ia beribadah, merenung, dan berkomunikasi dengan Tuhannya. Kita harus memastikan bahwa 'masjid' batiniah ini dibangun di atas takwa, bukan hipokrisi.

Apakah amal ibadah kita (salat, puasa, zakat) bertujuan murni untuk mencari keridaan Allah, ataukah ia memiliki unsur-unsur *dirar* (mencari pujian, meremehkan orang lain, menyebarkan kesombongan, atau bahkan memecah belah teman dan keluarga melalui fanatisme sempit)?

Jika niat batin kita dipenuhi dengan riya' (pamer), sum’ah (ingin didengar orang), atau hasad (dengki), maka secara spiritual, amal kita menyerupai Masjid Ad-Dirar—indah di luar, tetapi busuk di dalam. Analisis At-Taubah 107 menuntut kesadaran diri yang ekstrem, memastikan bahwa setiap tindakan saleh kita memiliki fondasi yang murni, terbebas dari empat motivasi jahat yang diungkapkan Al-Qur’an.

Kejujuran batin inilah yang membedakan seorang mukmin sejati dari munafik, dan inilah pesan abadi yang diwariskan oleh penyingkapan ilahi terhadap Masjid Ad-Dirar.

🏠 Homepage