Mengurai Prioritas Agung: Tafsir Komprehensif Surah At-Taubah Ayat 23

Simbol Prioritas Cinta Kepada Allah ALLAH PRIORITAS

(Visualisasi Hierarchy of Love)

I. Pendahuluan: Ayat Kunci Ketaatan dan Loyalitas

Surah At-Taubah merupakan surah yang dikenal dengan ketegasannya, membahas tentang pemutusan hubungan dengan kaum musyrikin dan penetapan standar loyalitas (al-walā'). Di antara ayat-ayat yang menetapkan prinsip dasar keimanan dan loyalitas ini, At-Taubah ayat 23 berdiri sebagai pilar utama yang menguji kejujuran hati seorang mukmin. Ayat ini secara eksplisit memerintahkan pemilihan yang tegas, memosisikan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya serta perjuangan di jalan-Nya di atas segala ikatan kekeluargaan dan materi duniawi.

Konsep cinta (mahabbah) dalam Islam bukanlah sekadar perasaan sentimental; ia adalah landasan filosofis bagi tindakan dan keputusan. Ayat ini menuntut agar cinta imani menjadi cinta tertinggi, mengalahkan cinta naluriah (fitrah) kepada ayah, anak, saudara, istri, atau harta benda. Kegagalan dalam menetapkan hierarki ini dianggap sebagai kegagalan mendasar dalam keimanan, yang berimplikasi pada konsekuensi yang keras dari sisi syariat dan spiritual.

Analisis mendalam terhadap At-Taubah ayat 23 membawa kita pada pemahaman tentang hakikat tauhid. Tauhid bukan hanya pengakuan lisan bahwa tiada Tuhan selain Allah, tetapi juga manifestasi praktis dari pengakuan tersebut melalui penundukan total, di mana preferensi pribadi, emosional, dan material harus tunduk pada perintah Ilahi. Ayat ini merupakan cetak biru bagi setiap Muslim untuk membersihkan niat (tazkiyatun nufus) dan menetapkan orientasi hidup (wihdatul qasdh) semata-mata demi Ridha Allah SWT.

II. Teks Ayat dan Terjemahannya

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا آبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu pemimpin-pemimpinmu (pelindung-pelindungmu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan. Barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin (pelindung), maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. At-Taubah: 23)

III. Tafsir Laftzi (Analisis Kata Per Kata)

Memahami struktur linguistik ayat ini sangat penting untuk menangkap kekuatan perintahnya. Setiap kata membawa bobot hukum dan spiritual yang signifikan:

1. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا (Yā Ayyuhalladzīna Āmanū - Wahai orang-orang yang beriman)

Panggilan ini selalu berfungsi sebagai pengantar untuk perintah atau larangan yang serius. Ketika Allah menggunakan seruan ini, Dia menuntut perhatian penuh dari hamba-hamba-Nya yang telah menyatakan keimanan. Hal ini menunjukkan bahwa perintah berikutnya adalah bagian integral dan esensial dari realitas iman.

2. لَا تَتَّخِذُوا (Lā Tattakhidzū - Janganlah kamu jadikan)

Ini adalah larangan tegas (nahyi). Kata 'tattakhidzu' berarti mengambil, menjadikan, atau memilih. Larangan ini bukan hanya mengenai cinta naluriah, tetapi tentang larangan mengambil mereka sebagai sumber keputusan, panduan, atau loyalitas utama (walayah).

3. آبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ (Ābā'akum wa Ikhwānakum - Bapak-bapakmu dan saudara-saudaramu)

Ayah dan saudara adalah ikatan darah terdekat. Disebutkannya mereka secara spesifik menggarisbawahi bahwa bahkan ikatan fitrah yang paling kuat pun tidak boleh mengalahkan ikatan akidah. Ini berfungsi sebagai contoh, yang menurut para mufasir, mencakup semua kerabat dekat lainnya (anak, paman, dll.) yang tidak beriman.

4. أَوْلِيَاءَ (Awliyā’ - Pemimpin-pemimpin/Pelindung-pelindung)

'Awliyā' (bentuk jamak dari Walī) adalah inti dari larangan ini. Walayah (loyalitas/perlindungan) berarti memberikan dukungan, persahabatan sejati, dan menyerahkan urusan kepada mereka. Dalam konteks ayat ini, itu berarti dilarang menjadikan mereka tempat bergantung untuk urusan agama atau menjadikan mereka prioritas di atas kepentingan Islam, terutama dalam situasi konflik ideologis.

5. إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ (In Istahabbul Kufra 'Alal Īmān - Jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan)

Inilah syarat (syarth) yang memicu larangan tersebut. Kata 'istahabbū' (lebih mencintai/mengutamakan) menunjukkan adanya pilihan sadar dan preferensi yang disengaja. Ini bukan tentang sekadar menjadi kafir, melainkan memilih dan memegang teguh kekafiran sebagai prinsip hidup di hadapan keimanan. Jika kerabat tersebut memilih jalan kufur, maka status walayah mereka harus dicabut dari hati mukmin.

6. وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُم (Wa Man Yatawallahum Minkum - Dan barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin)

Ini adalah peringatan keras. 'Yatawalla' merupakan fi'il mudhari' (kata kerja sekarang/masa depan) yang berarti memberikan loyalitas atau perlindungan. Ini merujuk pada tindakan aktual yang dilakukan oleh seorang mukmin yang melanggar batas yang ditetapkan dalam syarat sebelumnya.

7. فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (Fa Ulā'ika Humuzh Zhālimūn - Maka mereka itulah orang-orang yang zalim)

Ini adalah hukuman atau predikat (jawab syarth). Menyebut mereka sebagai 'azh-zhālimūn' (orang-orang yang zalim) menunjukkan bahwa tindakan memberikan loyalitas kepada musuh Islam, meskipun mereka adalah keluarga sendiri, adalah bentuk kezaliman terbesar. Kezaliman di sini merujuk pada menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya—yaitu, menempatkan cinta duniawi di atas cinta Ilahi, sehingga merusak fondasi tauhidnya sendiri.

IV. Konteks Historis dan Asbabun Nuzul

Surah At-Taubah diturunkan menjelang akhir periode Madinah, saat kaum Muslimin berada dalam posisi kuat tetapi masih menghadapi ancaman internal dan eksternal. Ayat 23 ini sering dikaitkan dengan peristiwa Hijrah dan persiapan untuk peperangan, terutama pada masa Fathu Makkah (Pembebasan Makkah) dan Perang Tabuk. Pada masa-masa genting ini, loyalitas dan kesatuan barisan adalah segalanya.

Kisah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah

Salah satu riwayat Asbabun Nuzul yang masyhur menyebutkan kisah para sahabat yang terpaksa berhadapan dengan kerabat mereka sendiri di medan perang, seperti Perang Badar. Diriwayatkan bahwa Abu Ubaidah bin Al-Jarrah terpaksa membunuh ayahnya sendiri yang berada di pihak musyrikin. Ketika dilema ini muncul, dan cinta naluriah berbenturan dengan perintah Allah, turunlah ayat ini (dan juga ayat 24 yang lebih umum) untuk mempertegas bahwa ikatan akidah harus menang mutlak. Ayat ini memberikan dukungan psikologis dan spiritual bagi para sahabat untuk memutuskan ikatan darah yang menghalangi ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Konteksnya menegaskan bahwa loyalitas kepada agama harus diuji pada titik paling sulit: saat konflik dengan keluarga terdekat. Jika seorang mukmin memilih untuk menahan diri dari hijrah atau jihad karena ikatan keluarga yang kafir, atau bahkan membocorkan rahasia demi melindungi mereka, ia telah melanggar prinsip walayah yang digariskan ayat ini.

Namun, pemahaman atas konteks ini harus cermat. Ayat ini tidak melarang berbuat baik (birr) kepada orang tua atau kerabat yang kafir (sebagaimana diperintahkan dalam QS. Luqman: 15), tetapi melarang menjadikan mereka 'awliyā’ (pelindung atau sekutu ideologis) jika mereka secara aktif menolak iman dan memilih kekafiran sebagai prinsip hidup. Terdapat perbedaan fundamental antara berbakti (birr) dan loyalitas total (walayah).

V. Implementasi Hierarki Cinta: Tafsir Ayat 24 dan Keterkaitannya

Untuk memahami sepenuhnya At-Taubah 23, kita perlu melihat ayat 24 yang segera mengikutinya. Ayat 24 memperluas cakupan subjek cinta dari sekadar ayah dan saudara menjadi delapan kategori ikatan duniawi. Kedua ayat ini saling menguatkan dalam menetapkan hierarki cinta ilahiah:

قُلْ إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (QS. At-Taubah: 24)

Analisis Kategori Cinta Duniawi (Ayat 24)

Ayat 24 memperjelas bahwa inti dari masalah ini adalah prioritas cinta. Ayat 23 berfokus pada konflik loyalitas dengan kerabat kafir, sementara Ayat 24 mencakup semua potensi penghalang ketaatan, bahkan jika kerabat tersebut beriman, apabila cinta kepada mereka mengalahkan ketaatan kepada Allah.

1. Ikatan Keluarga (آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ)

Ayat ini menyebut lima kategori keluarga: bapak, anak, saudara, istri, dan kaum keluarga (Ashirah). Ini adalah lingkaran sosial yang paling penting dalam kehidupan manusia. Cinta kepada mereka adalah fitrah, namun jika cinta ini menyebabkan seorang Muslim meninggalkan perintah Allah (misalnya, menunda shalat, meninggalkan jihad, atau berkompromi pada kebenaran demi menyenangkan mereka), maka cinta itu telah menjadi syirik khafi (syirik tersembunyi).

2. Ikatan Materi (أَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا)

Harta kekayaan yang diusahakan dengan jerih payah dan perniagaan yang dikhawatirkan kerugiannya. Ini mewakili aspek ekonomi dan finansial. Contoh klasiknya adalah menolak zakat, menolak berinfak di jalan Allah, atau enggan berhijrah/berjihad karena takut kehilangan kekayaan atau prospek bisnis. Kecintaan yang berlebihan pada materi dapat membutakan hati dari kewajiban.

3. Ikatan Tempat Tinggal (وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا)

Tempat tinggal yang disukai dan nyaman. Ini melambangkan stabilitas, kenyamanan, dan rasa aman. Cinta pada zona nyaman ini seringkali menjadi penghalang terbesar untuk berhijrah, berdakwah di tempat yang sulit, atau meninggalkan kediaman demi tuntutan agama. Kerelaan meninggalkan kenyamanan adalah ujian utama.

Perbandingan dan Sinkronisasi (Ayat 23 vs. Ayat 24)

Ayat 23 menetapkan kaidah Walayah (loyalitas ideologis): TIDAK BOLEH bersekutu atau menjadikan kerabat kafir yang memilih kekafiran sebagai pelindung. Ini adalah larangan hitam-putih.

Ayat 24 menetapkan kaidah Mahabbah (hierarki cinta): JIKA cinta kepada delapan hal duniawi melebihi cinta kepada Allah, Rasul, dan Jihad, maka ia terancam hukuman Ilahi. Ini adalah ujian kualitas spiritual.

Secara sinergis, kedua ayat ini mengajarkan bahwa iman yang benar haruslah ditunjukkan melalui keberanian untuk memutuskan atau merelatifkan ikatan terkuat yang dimiliki manusia, baik itu ikatan darah dengan yang kafir (At-Taubah 23) maupun ikatan emosional/materiil dengan dunia (At-Taubah 24).

VI. Konsekuensi Ketidakpatuhan: Zalim dan Fasiq

Ayat 23 dan 24 menutup dengan peringatan keras bagi mereka yang gagal dalam ujian loyalitas. Ayat 23 menyebut pelakunya sebagai 'azh-zhālimūn' (orang-orang yang zalim), sementara ayat 24 mengancam mereka yang memprioritaskan dunia dengan hukuman Ilahi dan menyebut mereka 'al-qawm al-fāsiqīn' (kaum yang fasik).

1. Kezaliman (Zhālimūn) dalam Ayat 23

Kezaliman di sini bukan hanya kezaliman terhadap diri sendiri, tetapi kezaliman terhadap hak Allah. Hak Allah yang paling utama adalah Tauhid dan loyalitas murni (al-Walayah al-Khashshah). Ketika seorang mukmin menjadikan kerabat yang memilih kekafiran sebagai 'wali' (pelindung atau sekutu utama), ia telah menempatkan cinta dan loyalitas pada pihak yang bertentangan dengan kebenaran. Ini adalah kezaliman terbesar karena melanggar perjanjian fundamental keimanan. Para mufasir menekankan bahwa kezaliman ini dapat berujung pada kekafiran (ridda) jika loyalitas kepada pihak kafir tersebut meliputi dukungan terhadap kekafiran itu sendiri.

2. Kefasikan (Fāsiqīn) dalam Ayat 24

Fasik berarti keluar dari ketaatan. Mereka yang cintanya kepada dunia mengalahkan ketaatan kepada Allah, Rasul, dan Jihad, disebut fasik karena mereka telah melanggar batas-batas (hudud) Allah. Mereka tahu kebenaran, tetapi memilih kesenangan duniawi. Kefasikan ini sering diibaratkan sebagai penyakit kronis yang merusak iman secara perlahan.

3. Ancaman: فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ (Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya)

Ancaman "tunggulahlah" (fatarabbaṣū) adalah ancaman yang mengerikan. Ini bukan janji hukuman spesifik (misalnya azab neraka), melainkan ancaman umum bahwa mereka berada di bawah pengawasan dan potensi hukuman Allah, baik di dunia (bencana, kekalahan, kehinaan) maupun di akhirat. Ini adalah keadaan paling berbahaya bagi seorang mukmin, yaitu hidup dalam ketidakjelasan spiritual sambil menanti keputusan (amr) yang mungkin akan menimpa mereka kapan saja.

Ancaman ini berfungsi sebagai peringatan bahwa menyepelekan hierarki cinta bukanlah dosa kecil, melainkan dosa yang menggerogoti dasar-dasar iman, menempatkan pelakunya pada risiko kehilangan petunjuk (والله لا يهدي القوم الفاسقين - Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik).

VII. Aplikasi dan Relevansi Kontemporer

Meskipun ayat ini diturunkan dalam konteks peperangan dan hijrah di abad ke-7, prinsipnya abadi dan sangat relevan di era modern. Ujian walayah dan mahabbah kini bergeser dari medan perang fisik ke medan perang ideologis, sosial, dan ekonomi.

1. Loyalitas Ideologis dalam Dunia Pluralis

Ayat 23 mengingatkan kita bahwa toleransi beragama tidak boleh diterjemahkan sebagai loyalitas ideologis. Dalam masyarakat yang sangat plural, seorang Muslim harus tetap menjaga batasan Walayah Al-Khashshah (loyalitas khusus yang didasarkan pada akidah). Walayah ideologis hanya diberikan kepada sesama mukmin. Ini berarti:

2. Ujian Materi dan Karier

Kategori harta, perdagangan, dan tempat tinggal (ayat 24) menjadi ujian paling tajam saat ini. Banyak Muslim dihadapkan pada pilihan antara pekerjaan yang sangat menguntungkan namun melibatkan praktik haram (riba, penipuan, industri yang bertentangan dengan etika Islam) dan pekerjaan yang halal namun kurang menjanjikan secara finansial.

Jika ketakutan kehilangan kekayaan atau prospek karier membuat seseorang mengabaikan kewajiban, seperti meninggalkan shalat Jumat demi pertemuan penting, atau menolak berinfak karena perhitungan investasi yang ketat, maka cinta kepada dunia telah mengalahkan cinta kepada Allah. Ayat ini menuntut kerelaan untuk rugi secara materi demi mempertahankan integritas keimanan.

3. Ujian Keluarga Modern

Di era globalisasi, banyak Muslim harus memilih antara tuntutan agama (misalnya, pendidikan Islami bagi anak, jilbab yang benar, atau pernikahan yang syar’i) dan tuntutan budaya atau keluarga yang sekuler. Jika seorang Muslim menunda atau meninggalkan kewajiban ini karena takut dikucilkan keluarga atau karena cinta yang berlebihan kepada kenyamanan rumah tangga, ia telah gagal dalam ujian At-Taubah 24.

Ujian ini menuntut keberanian untuk menyampaikan kebenaran, bahkan kepada orang tua yang dicintai, jika mereka secara tegas menentang syariat Allah.

VIII. Pendalaman Konsep Walayah dan Bara'ah

Ayat 23 At-Taubah adalah fondasi bagi doktrin Al-Walā' wal-Barā' (Loyalitas dan Pelepasan Diri). Doktrin ini tidak boleh disalahpahami sebagai permusuhan fisik terhadap setiap orang non-Muslim, melainkan sebagai penolakan terhadap ideologi kufur dan pemutusan loyalitas khusus (walayah) dari penganutnya.

Tiga Tingkatan Hubungan dengan Non-Muslim:

  1. Birr (Kebaikan dan Keadilan): Ini adalah kewajiban umum yang diterapkan kepada semua manusia. Seorang Muslim wajib berbuat baik, adil, dan tidak merugikan non-Muslim, terutama kerabat dekat (QS. Luqman: 15 dan QS. Al-Mumtahanah: 8).
  2. Muwallah (Loyalitas Umum): Hubungan sosial, perdagangan, dan perjanjian damai yang diperlukan untuk kehidupan bermasyarakat. Ini diperbolehkan selama tidak mengancam akidah.
  3. Walayah Al-Khashshah (Loyalitas Khusus): Ini adalah loyalitas yang mencakup persahabatan spiritual, penyerahan rahasia, dan dukungan ideologis. Ayat 23 melarang keras pemberian Walayah Al-Khashshah ini kepada kerabat yang memilih kekafiran di atas keimanan. Walayah ini hanya milik Allah, Rasul-Nya, dan kaum mukminin.

Para ulama, seperti Syaikh Abdurrahman As-Sa'di, menjelaskan bahwa melarang Walayah Al-Khashshah adalah untuk menjaga kemurnian barisan umat Islam dari infiltrasi ideologis dan memastikan bahwa iman adalah kriteria persatuan tertinggi, melampaui etnisitas atau ikatan darah.

IX. Cinta kepada Allah, Rasul, dan Jihad (Mahabbah as-Samiyah)

Ayat 24 menetapkan tiga entitas yang harus dicintai di atas segalanya: Allah, Rasul-Nya, dan Jihad di jalan-Nya. Kecintaan ini adalah ciri khas iman yang sempurna.

1. Cinta kepada Allah (Mahabbatullah)

Ini adalah puncak dari segala cinta, yang termanifestasi dalam kepatuhan mutlak dan penyerahan diri (Islam). Cinta kepada Allah tidak bisa diukur hanya dengan perasaan, tetapi dengan tindakan (ittiba’/mengikuti) sebagaimana firman-Nya (QS. Ali Imran: 31): "Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku..."

2. Cinta kepada Rasulullah (Mahabbatur Rasul)

Cinta kepada Nabi Muhammad SAW adalah syarat kesempurnaan iman. Ia berarti mengedepankan sunnah dan hukumannya di atas tradisi dan pendapat pribadi, bahkan jika bertentangan dengan keinginan keluarga. Cinta ini menuntut pembelaan terhadap kehormatan beliau dan peneladanan sempurna atas ajarannya.

3. Cinta kepada Jihad fi Sabilillah

Jihad di sini memiliki makna yang luas. Meskipun mencakup peperangan fisik untuk membela agama, tafsir kontemporer menekankan jihad al-nafs (perjuangan melawan hawa nafsu) dan jihad ad-dakwah (perjuangan untuk menegakkan kalimat Allah). Kesediaan mengorbankan waktu, harta, dan kenyamanan demi perjuangan agama adalah tolok ukur utama dari cinta yang sejati kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika delapan kategori duniawi menghalangi partisipasi dalam jihad (dalam makna yang paling minimal sekalipun, yaitu dakwah dan infak), maka seseorang telah fasik.

X. Sintesis dan Kesimpulan Akhir

Surah At-Taubah ayat 23, didukung oleh ayat 24, menyajikan sebuah kurikulum spiritual dan ideologis yang ketat bagi umat Islam. Ayat ini bukan sekadar sebuah anjuran, tetapi perintah Ilahi yang memiliki konsekuensi hukuman berupa predikat 'zalim' dan 'fasik', serta ancaman 'fataraabbaṣū' (tunggulahlah keputusan Allah).

Pelajaran terpenting dari ayat ini adalah bahwa Islam menuntut pemutusan ikatan loyalitas yang kontradiktif dengan akidah. Ikatan darah atau material adalah ikatan horizontal yang bersifat sementara, sedangkan ikatan iman (ukhūwwah īmāniyyah) adalah ikatan vertikal yang kekal dan harus menjadi poros utama kehidupan seorang Muslim.

Ayat ini berfungsi sebagai barometer: seberapa jauh seorang mukmin bersedia berkorban, menanggalkan kenyamanan, dan menghadapi tekanan sosial, demi menjaga kemurnian Walayah kepada Allah. Hanya dengan menjaga hierarki cinta ini, seorang mukmin dapat berharap terhindar dari predikat kezaliman dan kefasikan, serta mendapatkan petunjuk sejati (hidayah) dari Allah SWT.

Seorang Muslim sejati adalah dia yang mampu menjaga keseimbangan antara birr (berbuat baik) kepada kerabat non-Muslim, tanpa mengorbankan Walayah (loyalitas ideologis) kepada Allah. Ketika kedua hal ini berbenturan, maka yang didahulukan adalah perintah Pencipta di atas perintah makhluk, dan cinta akidah di atas cinta naluriah.

Kajian mendalam terhadap teks-teks tafsir klasik menegaskan bahwa perintah ini bukanlah opsional. Al-Qurthubi, Ibnu Katsir, dan para mufasir lainnya secara seragam menekankan bahwa ayat ini menjustifikasi pemutusan hubungan (muhajjarah) jika ikatan tersebut menjadi penghalang ketaatan. Ini merupakan penetapan harga keimanan: Harga keimanan adalah segala sesuatu yang dimiliki di dunia ini, termasuk orang yang paling dicintai, harus rela dilepaskan jika ia menjadi penghalang antara hamba dan Rabb-nya.

Konsekuensi menjadi zalim atau fasik dalam konteks ayat ini sangatlah berat. Kezaliman terhadap Allah adalah dosa terbesar, dan kefasikan yang mengarah pada pengutamaan dunia dapat menghilangkan hidayah. Oleh karena itu, para ulama salaf senantiasa mengajarkan bahwa merenungi At-Taubah 23 dan 24 adalah latihan spiritual (riyādhah rûhîyyah) yang wajib dilakukan oleh setiap Muslim secara berkala untuk menguji kejujuran niat dan orientasi hidupnya. Apakah hati kita masih berlabuh pada delapan kategori duniawi, ataukah ia telah tertambat kokoh pada tali Allah (hablullah)?

Kesempurnaan aplikasi ayat ini terlihat pada kisah-kisah para sahabat yang meninggalkan harta, keluarga, dan kampung halaman mereka demi perintah hijrah, dan yang berhadapan dengan kerabat mereka sendiri di medan Badar. Kisah-kisah ini bukan hanya cerita sejarah, tetapi penegasan praktis atas kaidah Ilahi: Cinta hakiki adalah cinta yang tunduk, cinta yang mengutamakan.

Dalam konteks modern, ujian ini semakin halus dan kompleks. Tidak selalu berbentuk musuh yang nyata di medan perang, melainkan berupa bisikan hati yang menimbang untung rugi duniawi. Ayat ini mengingatkan kita bahwa perhitungan akhir haruslah selalu berdasarkan timbangan akhirat, di mana loyalitas murni kepada Allah adalah satu-satunya mata uang yang berlaku. Barangsiapa yang gagal dalam menjaga loyalitas ini, maka ia telah merugikan dirinya sendiri, menzalimi hak Allah, dan keluar dari lingkaran ketaatan yang sempurna (fasik), menanti keputusan-Nya yang Maha Adil.

Perintah 'tunggulahlah' menjadi penutup yang menggetarkan, menegaskan bahwa tidak ada ruang abu-abu dalam masalah loyalitas. Seorang mukmin harus memilih sisi dengan jelas. Keputusan untuk mengutamakan kekafiran, baik melalui kerabat atau melalui kepentingan duniawi, akan menempatkan seseorang di tempat yang tidak diinginkan, jauh dari naungan petunjuk Allah.

Maka, refleksi atas At-Taubah 23 dan 24 adalah ajakan abadi untuk introspeksi: Di manakah posisi cinta tertinggi dalam hati kita? Kepada siapa loyalitas kita tertuju saat terjadi konflik? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan menentukan identitas kita di hadapan Allah SWT.

Tafsir yang mendalam ini, mencakup dimensi Asbabun Nuzul, linguistik, hukum, dan tazkiyatun nufus, harus menjadi bekal bagi setiap Muslim dalam meniti jalan ketaatan yang lurus, memastikan bahwa ikatan yang paling utama adalah ikatan iman, dan pemimpin sejati hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman.

Penting untuk mengulang dan mendalami makna "istahabbū al-kufra 'ala al-īmān" (lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan). Ini bukan sekadar kondisi status (sebagai orang kafir), tetapi kondisi preferensi aktif. Kerabat yang secara aktif memilih kekafiran dan menentang keimanan adalah mereka yang dimaksud. Ini menuntut kita untuk bersikap tegas terhadap ideologi, meskipun tetap lembut dalam interaksi sosial (birr). Kesempurnaan iman hanya tercapai ketika pemisahan antara loyalitas ideologis dan kasih sayang naluriah dapat diimplementasikan dengan benar. Loyalitas adalah milik Allah, sedangkan kasih sayang (birr) adalah milik kemanusiaan, selama tidak mengorbankan akidah.

Ayat ini secara historis juga menegaskan pentingnya hijrah. Bagi banyak sahabat, ketaatan pada ayat ini berarti harus meninggalkan ayah, ibu, atau anak yang menahan mereka di Makkah. Loyalitas kepada Nabi dan perintah Ilahi untuk hijrah (memisahkan diri dari lingkungan kufur yang menekan) adalah manifestasi tertinggi dari pemahaman terhadap At-Taubah 23. Jika hari ini hijrah fisik mungkin tidak relevan bagi semua orang, hijrah spiritual dan ideologis—memisahkan diri dari pengaruh buruk yang menghalangi ketaatan—tetap menjadi keharusan, sejalan dengan ruh ayat tersebut.

Dalam konteks akhir zaman, di mana godaan materi (harta, karier) dan kenyamanan (masākin) mencapai puncaknya, ujian ayat 24 menjadi semakin relevan. Kemewahan hidup modern seringkali menuntut kompromi yang mengikis keimanan. Seorang Muslim harus terus menerus membandingkan nilai duniawi dari kenyamanan yang dicari dengan keridhaan Allah yang mungkin terkorbankan. Jika rasa takut kehilangan stabilitas finansial (khawfu kasādihā) lebih besar daripada semangat jihad dan ketaatan, maka ia telah jatuh ke dalam kefasikan yang diperingatkan oleh ayat ini.

Oleh karena itu, surah At-Taubah ayat 23 dan 24 merupakan pedoman fundamental dalam memahami prioritas sejati dalam kehidupan Muslim. Ia menuntut kejernihan pandangan, ketegasan hati, dan keberanian untuk memilih Tuhan di atas dunia, iman di atas ikatan darah, dan perjuangan di atas kenyamanan. Inilah hakikat dari tauhid praktis.

🏠 Homepage