Surah At-Taubah, atau yang dikenal juga dengan Surah Bara'ah, adalah salah satu surah Madaniyah yang memuat ketentuan-ketentuan penting terkait peperangan, perjanjian, dan pemurnian barisan umat Islam dari elemen munafik. Surah ini diturunkan pada periode kritis di mana komunitas Muslim telah mencapai tingkat kekuatan dan kematangan tertentu, namun masih harus menghadapi tantangan besar dari musuh di luar dan keraguan di dalam.
Ayat ke-26 dari surah ini secara khusus berbicara tentang momen genting yang menentukan, yaitu peristiwa Perang Hunayn. Ayat ini bukan sekadar catatan sejarah, melainkan sebuah deklarasi teologis tentang sifat pertolongan Allah (SWT) kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, meskipun mereka mengalami kegagalan dan kekalahan di awal. Ayat ini menawarkan pemahaman mendalam tentang konsep ketenangan batin (Sakinah) dan kekuatan militer tak kasat mata (Junud).
Visualisasi Konsep Sakinah (Ketenangan Batin)
Untuk memahami sepenuhnya Ayat 26, kita harus menengok kembali pada peristiwa yang mendahuluinya, yaitu Perang Hunayn. Perang ini terjadi segera setelah pembebasan Mekah. Musuh utama saat itu adalah suku Hawazin dan Thaqif, yang khawatir dengan kebangkitan Islam di Mekah dan memutuskan untuk menyerang kaum Muslimin.
Pada Perang Hunayn, pasukan Muslimin berada dalam jumlah terbesar yang pernah mereka miliki—sekitar dua belas ribu orang, sepuluh ribu dari Madinah dan dua ribu mualaf baru dari Mekah. Jumlah yang besar ini sempat memunculkan rasa bangga di hati sebagian prajurit. Mereka berpikir, "Kita tidak akan dikalahkan hari ini karena jumlah yang sedikit." Rasa percaya diri yang berlebihan ini, yang bergantung pada kekuatan fisik dan jumlah, menjadi ujian berat dari Allah.
Kaum Hawazin telah menyiapkan penyergapan yang cerdik di lembah Hunayn yang sempit. Ketika pasukan Muslimin memasuki lembah tersebut, mereka diserang secara mendadak dari segala arah. Dalam sekejap, barisan Muslimin pecah. Kepanikan melanda, dan sebagian besar pasukan melarikan diri, meninggalkan Rasulullah (SAW) hanya dengan segelintir sahabat dekat, termasuk Ali bin Abi Thalib dan Abbas bin Abdul Muthalib.
Ayat 26 datang tepat setelah menggambarkan kepanikan dan kerugian awal (Ayat 25). Setelah kekalahan psikologis dan militer yang nyaris total, Rasulullah (SAW) menunjukkan ketabahan yang luar biasa. Beliau memanggil para sahabat yang melarikan diri untuk kembali. Di sinilah intervensi ilahi bekerja melalui tiga mekanisme yang disebutkan dalam Ayat 26:
Konteks ini mengajarkan bahwa kemenangan hakiki tidak pernah bergantung pada besarnya logistik atau jumlah manusia, melainkan pada kemurnian tauhid dan pertolongan mutlak dari Sang Pencipta. Ketika umat bergantung pada diri sendiri, mereka diuji; ketika mereka kembali bergantung sepenuhnya pada Allah, pertolongan datang.
Studi mendalam terhadap tiga elemen kunci dalam ayat ini (Sakinah, Junud, Adzab) mengungkapkan kekayaan makna dan ketepatan pilihan kata dalam Al-Qur'an.
Penggunaan kata penghubung ثُمَّ (Tsumma) yang berarti 'kemudian' menunjukkan adanya rentang waktu dan perubahan kondisi yang signifikan. Kondisi awal adalah kekalahan, kepanikan, dan keterpurukan. Kondisi berikutnya (setelah tsumma) adalah ketenangan dan kemenangan. Ini menunjukkan respons ilahi yang datang setelah ujian mencapai puncaknya.
Kata أَنزَلَ (Anzala), 'menurunkan', menunjukkan bahwa Sakinah dan Junud adalah karunia yang datang dari atas, dari dimensi ilahiah, bukan hasil dari usaha manusiawi semata. Sakinah bukanlah ketenangan yang dicari melalui meditasi fisik, melainkan anugerah spiritual yang ditanamkan langsung ke dalam hati.
Kata Sakinah berasal dari akar kata S-K-N, yang memiliki arti dasar 'diam', 'tenang', atau 'berhenti bergerak'. Dalam konteks spiritual, Sakinah didefinisikan sebagai:
Para mufassir klasik seperti Imam Ar-Razi dan Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Sakinah yang diturunkan pada saat Hunayn adalah kekuatan yang membuat para sahabat yang tersisa—dan kemudian yang kembali—mampu bertahan di hadapan musuh yang jauh lebih agresif. Ini adalah fondasi psikologis dan spiritual yang membalikkan keadaan. Sakinah mengubah kepanikan menjadi keberanian, dan keraguan menjadi kepastian iman.
Sakinah dalam konteks ayat 26 merupakan penawar langsung terhadap kesombongan yang muncul sebelumnya. Ketika mereka merasa kuat karena jumlah (tanpa Sakinah), mereka kalah. Ketika Sakinah diturunkan (dengan kerendahan hati), mereka menang. Hal ini menekankan bahwa kualitas hati lebih penting daripada kuantitas kekuatan fisik.
Junud berarti 'tentara' atau 'pasukan'. Frasa لَّمْ تَرَوْهَا (lam tarawha) 'yang kamu tiada melihatnya', secara eksplisit menunjukkan sifat supranatural dari bantuan ini. Tafsir Ijma' (konsensus) menyebutkan bahwa Junud yang dimaksud adalah para malaikat.
Tugas malaikat dalam konteks perang adalah ganda:
Peran malaikat di Hunayn sangat vital. Meskipun manusia tidak melihat mereka, efeknya terlihat nyata: perubahan drastis dalam jalannya pertempuran. Keterangan ini memperkuat konsep bahwa Allah memiliki sarana pertolongan yang tak terbatas, melampaui batas-batas material yang dapat dipahami atau diukur oleh manusia. Ayat ini memberikan jaminan abadi bagi umat Muslim bahwa mereka tidak pernah sendirian dalam perjuangan mereka yang tulus.
Poin ketiga dalam ayat ini adalah وَعَذَّبَ الَّذِينَ كَفَرُوا (Wa 'adzaba alladzina kafaruu), 'dan Allah menimpakan siksaan kepada orang-orang kafir'. Siksaan di sini merujuk pada hukuman duniawi: kekalahan memalukan, penangkapan, dan kerugian material yang besar.
Frasa penutup, وَذَٰلِكَ جَزَاءُ الْكَافِرِينَ (Wa dzalika jazaa'ul-kafirin), 'dan demikianlah balasan bagi orang-orang kafir', berfungsi sebagai penekanan hukum ilahi. Ini menunjukkan bahwa kekalahan mereka di Hunayn bukan hanya akibat dari strategi militer yang buruk, tetapi merupakan konsekuensi pasti dari kekafiran mereka yang melawan kebenaran yang telah mapan. Hukuman duniawi ini adalah contoh, sekaligus pendahuluan, bagi hukuman akhirat yang lebih berat.
Visualisasi Konsep Junud (Pasukan Pertolongan Ilahi)
Ayat 26 menyajikan model teologis tentang bagaimana Allah memberikan kemenangan, yang selalu melibatkan kombinasi antara faktor psikologis, spiritual, dan supranatural, melampaui faktor fisik semata.
Ketenangan, atau Sakinah, adalah senjata batin yang paling penting. Ketika hati tenang, akal dapat berpikir jernih, dan keberanian dapat menggantikan rasa takut. Di Hunayn, meskipun terdesak oleh lautan musuh, ketenangan Rasulullah (SAW) yang kokoh menjadi jangkar bagi para sahabat. Kesabaran dan keteguhan beliau, yang merupakan manifestasi dari Sakinah yang diturunkan, adalah energi pendorong yang memungkinkan pembalikan keadaan.
Para ulama tafsir menekankan bahwa Sakinah ini bukan sekadar hilangnya rasa takut, tetapi hadirnya kesadaran yang mendalam bahwa Allah adalah pelindung tertinggi. Rasa aman ini membebaskan prajurit dari kekhawatiran pribadi, sehingga mereka dapat fokus pada tujuan suci (jihad fi sabilillah). Sakinah adalah pengakuan bahwa meskipun dunia runtuh, kedaulatan Allah tetap tegak. Tanpa Sakinah, jumlah 12.000 hanya menjadi gerombolan yang kacau. Dengan Sakinah, sisa beberapa puluh orang mampu memimpin balik pasukan untuk meraih kemenangan mutlak.
Malaikat yang diturunkan, Junudun lam tarawha, mengingatkan umat manusia bahwa peperangan spiritual dan fisik dimenangkan di dua arena. Meskipun upaya fisik (strategi, latihan, persenjataan) diwajibkan, hasil akhir sepenuhnya berada di tangan Allah.
Para malaikat tidak hanya berperang secara fisik (sebagaimana yang terjadi dalam Perang Badar), tetapi mereka juga memberikan dampak psikologis yang luar biasa. Kehadiran mereka mungkin terasa sebagai kekuatan yang mencekam bagi musuh, atau sebagai suntikan energi yang tak terduga bagi kaum Mukminin. Ibnu Katsir menyebutkan bahwa malaikat-malaikat ini adalah faktor penentu yang mengubah arus pertempuran dari kekalahan menjadi kemenangan dalam waktu singkat. Hal ini juga menegaskan kembali bahwa Rasulullah (SAW) tidak pernah meminta pertolongan kepada selain Allah; pertolongan tersebut datang secara langsung, sebagai respons terhadap ketulusan dan keteguhan Rasul dan minoritas sahabat yang tetap bersamanya.
Konsep Junud ini juga meluas pada pengertian bahwa seluruh ciptaan, termasuk elemen alam dan kekuatan tak terlihat, dapat dijadikan tentara oleh Allah. Ini adalah demonstrasi kekuasaan absolut yang melampaui kemampuan militeristik manapun yang pernah ada atau akan ada di dunia ini. Pengulangan tema ‘bala tentara yang tidak kamu lihat’ dalam berbagai surah Qur’an berfungsi untuk menanamkan keyakinan bahwa sumber daya Allah tidak terbatas.
Kekalahan di Hunayn adalah adzab (siksaan) bagi orang-orang kafir. Ini merupakan demonstrasi publik bahwa penentangan terhadap kebenaran akan selalu berujung pada kerugian, baik di dunia maupun di akhirat. Ayat ini menutup siklus dengan memastikan bahwa peristiwa ini adalah hukum ketetapan: mereka yang menentang Allah dan Rasul-Nya pasti akan dihukum, dan ini adalah balasan yang adil.
Penyebutan Adzab dalam konteks ini berfungsi sebagai peringatan keras bagi orang-orang munafik yang berada di barisan kaum Muslimin pada waktu itu. Mereka yang awalnya ragu dan mencela ketika kaum Muslimin terdesak, menyaksikan sendiri bagaimana pertolongan datang setelah kepanikan. Hal ini memperkuat iman bagi yang tulus dan memisahkan yang munafik.
Ayat 26 memiliki relevansi yang tak terbatas, melampaui konteks militer Perang Hunayn. Ayat ini mengajarkan beberapa prinsip fundamental dalam kehidupan seorang Muslim.
Pelajaran pertama yang paling jelas adalah bahaya bergantung pada faktor material (sebab-sebab duniawi). Kemenangan tidak datang dari jumlah, logistik, atau strategi semata, melainkan dari izin Allah. Ketika umat Islam merasa tak terkalahkan karena jumlah 12.000, Allah menguji mereka dengan kekalahan awal. Hal ini mendidik umat agar selalu menyandarkan harapan dan kekuatan mereka hanya kepada-Nya (Tawakkal).
Dalam kehidupan modern, hal ini berarti menghindari ketergantungan mutlak pada kekayaan, jabatan, atau koneksi. Meskipun usaha (ikhtiar) wajib dilakukan, hasilnya harus dikembalikan kepada Allah. Jika kita merasa sombong karena kesuksesan kita sendiri, Sakinah akan ditarik, dan kita akan menghadapi kekacauan.
Dalam situasi yang menekan, baik itu krisis ekonomi, masalah keluarga, atau tantangan dakwah, Sakinah adalah kebutuhan esensial. Ayat ini mengajarkan kita cara mendapatkan ketenangan: melalui keteguhan mengikuti jalan Rasulullah (SAW) dan keyakinan pada janji-janji Allah. Sakinah adalah karunia yang harus diminta secara terus-menerus. Ketika kita mencapai tingkat Tawakkal yang tinggi, Allah memberikan ketenangan yang membuat kita mampu menghadapi badai apa pun.
Ketenangan ini membedakan seorang Mukmin sejati dari orang yang hanya mengaku beriman. Ketika menghadapi kesulitan, orang yang memiliki Sakinah akan tenang, mencari solusi, dan bersabar, sementara orang lain akan panik dan berputus asa. Sakinah adalah bukti hadirnya hubungan yang kokoh antara hamba dan Penciptanya.
Ayat tentang Junud yang tak terlihat menegaskan bahwa pertolongan ilahi selalu tersedia, meskipun kita tidak merasakannya secara kasat mata. Ini adalah sumber optimisme dan harapan yang tak terbatas bagi umat yang teraniaya. Ketika umat Islam merasa minoritas atau tertekan di tengah berbagai tantangan global, mereka diingatkan bahwa ada kekuatan di belakang mereka yang jauh lebih besar daripada kekuatan musuh mana pun.
Bantuan ini mungkin termanifestasi sebagai ide yang tiba-tiba muncul, perubahan tak terduga dalam situasi politik, atau kegagalan logistik yang menimpa musuh. Semua itu adalah manifestasi dari Junudullah yang bekerja di balik layar, mengarahkan takdir sesuai kehendak-Nya.
Ayat 26 At-Taubah adalah puncak dari narasi yang kontras. Kontras ini adalah inti dari ajaran Qur'ani tentang keimanan sejati.
Sebelum Sakinah diturunkan, umat dihinggapi jubn (kepengecutan) dan tahazzum (kekacauan). Mereka melarikan diri, padahal jumlah mereka luar biasa. Setelah Sakinah turun, mereka kembali, bertempur dengan teguh, dan berhasil mengumpulkan kembali barisan di bawah kepemimpinan Rasulullah. Perubahan psikologis ini adalah keajaiban yang lebih besar daripada kemenangan fisik itu sendiri.
Kisah Hunayn mengajarkan bahwa peperangan pertama yang harus dimenangkan adalah peperangan melawan rasa takut di dalam hati sendiri. Siapa pun yang menundukkan rasa takutnya dengan bantuan Sakinah Allah, dialah yang akan menang, meskipun ia berhadapan dengan musuh yang jauh lebih kuat di medan fisik. Ketidakhadiran Sakinah menyebabkan keruntuhan, meskipun dengan modal material yang melimpah.
Ayat 26 membedakan sumber daya. Musuh Hawazin mengandalkan penyergapan, kejutan, dan pengetahuan medan perang (sumber daya material dan taktis). Kaum Muslimin awalnya juga mengandalkan jumlah mereka (sumber daya material). Ketika kedua sumber material ini berbenturan, Muslimin kalah.
Namun, kemenangan datang ketika sumber daya diubah menjadi spiritual: Sakinah (ketenangan batin) dan Junud (bala tentara ilahi). Ini menunjukkan bahwa kekuatan spiritual selalu superior dibandingkan kekuatan material. Kekuatan sejati adalah kemampuan untuk menarik pertolongan dari sumber yang tak terbatas, yaitu Allah (SWT).
Perenungan terhadap ayat ini wajib membawa kita pada pemahaman bahwa setiap langkah yang kita ambil harus didasarkan pada perhitungan keimanan, bukan hanya perhitungan ekonomi, politik, atau militer. Jika landasan keimanan teguh, sumber daya tak terlihat akan bekerja mendukung kita.
Bagaimana seorang Muslim di abad modern dapat mempraktikkan pelajaran dari Ayat 26, terutama konsep Sakinah?
Dunia modern dipenuhi dengan kekacauan: ketidakpastian ekonomi, pandemi, konflik sosial, dan informasi yang berlebihan. Semua ini menciptakan kepanikan kolektif yang analog dengan kepanikan di Hunayn. Muslim yang memahami Sakinah akan mencari ketenangan di luar hiruk pikuk dunia.
Sakinah dapat diperoleh melalui:
Seorang profesional yang menghadapi tekanan pekerjaan, seorang pelajar yang menghadapi ujian berat, atau seorang pemimpin yang menghadapi keputusan sulit, semuanya membutuhkan Sakinah. Ketenangan batin memungkinkan mereka mengambil keputusan yang benar dan bertahan dari tekanan tanpa mengorbankan integritas moral.
Konsep Junudullah kini tidak harus selalu dalam bentuk malaikat bersenjata. Ia bisa berupa:
Setiap Mukmin harus melatih mata hatinya untuk mengenali manifestasi pertolongan Allah, meskipun itu tidak datang dalam bentuk yang spektakuler atau supranatural. Kesadaran ini menumbuhkan rasa syukur yang berkelanjutan dan memperkuat keyakinan bahwa kita selalu berada dalam pengawasan dan perlindungan ilahi.
Ayat 26 meneguhkan bahwa balasan bagi kekafiran adalah siksaan, yang dalam konteks Hunayn adalah kekalahan. Hal ini menjadi motivasi bagi umat untuk terus menyerukan kebenaran dan keadilan tanpa gentar terhadap kekuatan zalim. Selama tujuan utama adalah keridhaan Allah dan bukan keuntungan duniawi, janji Sakinah dan Junud akan menyertai perjuangan tersebut.
Kisah Hunayn, yang diabadikan dalam Ayat 26, adalah pengingat abadi bahwa Allah tidak akan pernah meninggalkan hamba-Nya yang berjuang tulus, bahkan di saat-saat paling gelap. Tugas kita hanyalah kembali kepada-Nya, memohon Sakinah, dan menegakkan tauhid di atas segala-galanya.
Sakinah, sebagaimana diturunkan dalam konteks peperangan, memiliki dimensi keimanan yang sangat kompleks. Ia merupakan titik temu antara spiritualitas dan tindakan nyata di lapangan. Ketenangan yang diberikan Allah ini bukan pasif, melainkan sebuah energi yang mendorong tindakan yang benar dan terarah.
Para mufassir seperti Al-Qurthubi menekankan bahwa Sakinah dalam ayat ini adalah thabat (keteguhan) dan tathmi’nan (kepastian hati). Sebelum Sakinah, hati para sahabat tidak mantap; mereka melihat jumlah musuh dan melupakan janji Allah. Setelah Sakinah ditanamkan, pandangan mereka bergeser total. Mereka kembali melihat keutamaan jihad dan kebesaran Allah, meskipun ancaman fisik masih ada.
Al-Baidawi menambahkan bahwa Sakinah adalah lawan dari sifat waswasah (bisikan setan) dan jaza’ (kepanikan). Di momen kritis, setan bekerja keras untuk menanamkan keputusasaan. Sakinah adalah pertahanan ilahi yang menutup celah bagi bisikan-bisikan tersebut. Oleh karena itu, Sakinah adalah manifestasi dari pemeliharaan Allah terhadap akidah dan psikologis para hamba-Nya yang jujur.
Kehadiran Sakinah di hati Rasulullah (SAW) di medan perang Hunayn adalah keajaiban yang harus direnungkan. Beliau tetap berdiri tegak, memanggil umatnya, dengan keyakinan penuh bahwa Allah pasti akan menunaikan janji-Nya. Ketegasan ini menular kepada para sahabat yang setia, mengubah alur sejarah. Sakinah adalah pondasi yang harus dimiliki setiap pemimpin dan setiap Mukmin yang bercita-cita untuk memberikan dampak positif di dunia ini.
Penekanan pada frasa 'yang kamu tiada melihatnya' menunjukkan pentingnya dimensi ghaib (tak terlihat) dalam kehidupan seorang Muslim. Islam tidak mengajarkan ketergantungan pada apa yang tampak saja. Justru, kekuatan iman diukur dari keyakinan pada hal-hal yang melampaui indra manusia.
Malaikat (Junud) di Hunayn bukan hanya datang untuk berperang, tetapi juga untuk menegakkan prinsip teologis: kekuasaan tertinggi berada di tangan Allah. Sebagian ulama bahkan berpendapat bahwa malaikat juga bertugas membersihkan barisan dari orang-orang munafik yang hanya bergabung karena melihat kemenangan Mekah, tetapi melarikan diri ketika melihat kesulitan. Dengan demikian, Junudullah berfungsi sebagai saringan, memisahkan gandum dari sekam.
Kepercayaan pada Junudullah harus mendorong umat untuk selalu bertindak benar, terlepas dari kecilnya jumlah mereka atau besarnya tantangan. Keyakinan ini adalah bahan bakar yang mendorong kesabaran dalam menghadapi penindasan dan ketidakadilan. Mereka yang memiliki keyakinan ini tahu bahwa ada kekuatan tak terbatas yang senantiasa mengawasi dan bersiap sedia untuk campur tangan pada waktu yang telah ditetapkan.
Ayat 26 Surah At-Taubah berfungsi sebagai penutup narasi ujian besar di Hunayn, dan pada saat yang sama, ia adalah pembuka bagi pelajaran tauhid yang paling esensial. Seluruh pengalaman kekalahan awal, kepanikan, dan pembalikan keadaan yang dramatis, disarikan dalam tiga kata kunci: Sakinah, Junud, dan Adzab.
Kemenangan di Hunayn tidak diraih oleh keahlian militer murni, melainkan oleh rahmat dan intervensi langsung dari Allah (SWT). Ayat ini menghancurkan ilusi kekuatan manusia dan menegaskan bahwa kekuatan sejati adalah milik Allah semata. Bagi kaum Mukminin, ia adalah janji; bagi kaum kafir, ia adalah peringatan. Sakinah adalah hadiah bagi mereka yang berjuang tulus, Junud adalah perisai yang tak terlihat, dan Adzab adalah kepastian bagi mereka yang menentang kebenaran.
Maka, refleksi mendalam terhadap Ayat 26 harus memimpin kita pada peningkatan kualitas Tawakkal (penyerahan diri), Ikhlas (ketulusan niat), dan Thabat (keteguhan). Hanya dengan memegang teguh prinsip-prinsip ini, umat Islam dapat berharap untuk menerima warisan Sakinah dan menikmati perlindungan Junudullah, baik di medan perang nyata maupun dalam perjuangan hidup sehari-hari yang penuh tantangan.
Ayat ini adalah seruan untuk kembali kepada intisari keimanan: jangan pernah gentar oleh ancaman dunia, karena di setiap kesulitan, Allah telah menyiapkan ketenangan batin dan bala tentara yang tak terhitung jumlahnya. Inilah keindahan dan kekuatan abadi dari wahyu ilahi.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Peristiwa Hunayn juga memberikan pelajaran tentang pentingnya kesadaran kolektif. Ketika sebagian besar pasukan melarikan diri, Sakinah diturunkan pertama kali kepada Rasulullah dan kemudian 'kepada orang-orang mukmin'. Ini menunjukkan bahwa ketenangan batin dapat menyebar. Keteguhan seorang pemimpin (Rasulullah) menjadi sumber ketenangan bagi para pengikutnya yang setia.
Dalam konteks sosial modern, ini berarti bahwa kepanikan atau ketenangan dalam suatu komunitas sangat dipengaruhi oleh pemimpin dan inti yang teguh. Jika ada sekelompok individu yang berpegang teguh pada prinsip dan memiliki Sakinah, mereka dapat menjadi pusat stabilitas yang memungkinkan seluruh komunitas untuk pulih dari krisis.
Sakinah adalah karunia yang didistribusikan secara spiritual, tetapi manifestasinya adalah fisik dan sosial. Ia mengembalikan keteraturan dalam barisan, menumbuhkan keberanian kolektif, dan memungkinkan perencanaan strategis yang sebelumnya tidak mungkin dilakukan karena kekacauan mental. Ini menunjukkan bahwa Anzala Allahu Sakinatahu (Allah menurunkan Sakinah-Nya) adalah sebuah proses yang berdampak bukan hanya pada individu, melainkan pada keutuhan sebuah jamaah.
Siksaan yang ditimpakan kepada orang kafir di Hunayn memiliki fungsi ganda: bukan hanya hukuman, tetapi juga sarana pemurnian. Kekalahan orang kafir pada akhirnya memberikan hasil yang positif bagi umat Islam: rampasan perang yang besar, pembebasan tawanan, dan pengakuan superioritas Islam di Jazirah Arab. Ini menegaskan bahwa bahkan hasil dari siksaan musuh pun dapat berfungsi sebagai rahmat bagi kaum Mukminin.
Ayat ini mengajarkan kita untuk melihat segala peristiwa duniawi melalui lensa takdir ilahi. Setiap kesulitan yang menimpa musuh-musuh kebenaran, seberapa pun kecilnya, adalah bagian dari Jazaa'ul-kafirin (balasan bagi orang-orang kafir) yang telah ditetapkan. Kesadaran ini membantu umat Islam untuk memiliki pandangan yang optimis dan sabar, mengetahui bahwa keadilan ilahi pasti akan terwujud, baik cepat maupun lambat.
Selanjutnya, mari kita telaah lebih mendalam mengenai bagaimana Sakinah bekerja dalam hati seorang Mukmin. Sakinah adalah substansi ilahiah yang menghilangkan rasa wahn (cinta dunia dan takut mati). Dua penyakit inilah yang menjadi akar kekalahan awal di Hunayn. Ketika pasukan melihat banyaknya harta rampasan dan merasa nyaman dengan jumlah mereka, mereka menjadi lengah. Sakinah datang untuk membersihkan hati dari keterikatan duniawi tersebut, menggantinya dengan keinginan kuat untuk mencari keridhaan Allah, yang merupakan sumber keberanian sejati.
Peran Junud juga harus dilihat sebagai sebuah peringatan. Jika Allah mampu mengirimkan pasukan tak terlihat untuk membantu, Dia juga mampu mengirimkan Junud untuk menghancurkan, sebagaimana yang Dia lakukan pada kaum-kaum terdahulu. Ini adalah keseimbangan antara janji dan ancaman, yang memelihara umat agar selalu berada dalam keadaan khauf (takut) dan raja' (harapan). Junudullah bukan hanya malaikat, tetapi segala bentuk kekuatan alam, penyakit, atau peristiwa yang berada di luar kontrol manusia, yang semuanya tunduk pada perintah Allah.
Pada akhirnya, At-Taubah 26 adalah sebuah manifesto tentang kedaulatan Tuhan. Ayat ini menuntut pengakuan total bahwa tidak ada kekuatan lain yang patut disembah atau dijadikan sandaran selain Allah. Ketenangan sejati, bala tentara yang paling kuat, dan penentuan hasil akhir semuanya berasal dari satu sumber tunggal. Umat yang memahami dan mengamalkan makna ayat ini akan selalu menemukan jalan keluar, bahkan dari kondisi yang secara logis dianggap mustahil untuk diatasi.
Oleh karena itu, marilah kita jadikan Ayat 26 sebagai barometer keimanan kita. Apakah hati kita dipenuhi Sakinah ketika menghadapi krisis, ataukah kita menyerah pada kepanikan duniawi? Jawaban atas pertanyaan ini menentukan sejauh mana kita telah menginternalisasi pelajaran dari Perang Hunayn dan janji abadi tentang bantuan tak terlihat dari Sang Pencipta.
Kesadaran akan ketersediaan Junudullah memberikan perspektif yang berbeda tentang pengorbanan. Seorang Mukmin yang berkorban untuk kebenaran tidak pernah merasa sia-sia atau sendiri, karena ia tahu bahwa seluruh alam semesta, termasuk kekuatan tak terlihat, berada di pihak kebenaran yang ia perjuangkan. Ini adalah landasan spiritual bagi perjuangan abadi umat Islam di muka bumi.
Kajian ini, yang berfokus pada setiap aspek dari Ayat 26, menunjukkan betapa padatnya setiap kata dalam Al-Qur'an. Satu ayat singkat mampu memuat pelajaran sejarah, teologi, psikologi, dan strategi militer yang relevan sepanjang masa, memastikan bahwa umat manusia tidak akan pernah kehabisan petunjuk untuk menghadapi tantangan hidup. Inti dari semua itu adalah penyerahan total kepada Allah, yang merupakan sumber dari segala ketenangan dan kemenangan.