I. Pintu Gerbang Kesucian: Memahami Makna At-Taubah 9:28
Surah At-Taubah (Pengampunan) adalah salah satu surah yang turun pada periode akhir kenabian, setelah Fath Makkah, yang menegaskan kedaulatan Islam atas Jazirah Arab dan menetapkan berbagai hukum fundamental yang berkaitan dengan tata kelola masyarakat, perjanjian, dan terutama, pemurnian akidah. Ayat 28 dari surah ini merupakan penetapan hukum yang sangat penting, yang mengandung dimensi teologis, sosiologis, dan ekonomi yang kompleks. Ayat ini berbicara tentang perlunya pemurnian Masjidil Haram dari segala bentuk kemusyrikan dan konsekuensi praktis yang menyertainya.
Ayat ini ditujukan secara langsung kepada kaum Mukminin, memerintahkan mereka untuk mengambil langkah tegas dalam menjaga keutamaan dan kesucian area suci di sekitar Ka'bah. Keputusan ini bukan hanya masalah ritual semata, melainkan deklarasi politik-teologis yang mendefinisikan batas-batas wilayah di mana akidah tauhid harus berdaulat penuh. Keputusan ini memiliki dampak besar, terutama terhadap arus perdagangan dan ekonomi yang telah lama bergantung pada kehadiran berbagai suku dan keyakinan di Makkah.
Visualisasi batas kesucian dan pusat tauhid yang dipelihara dari najasah spiritual.
II. Naskah Qur’ani dan Terjemah
Berikut adalah naskah asli dan terjemah harfiah dari Surah At-Taubah ayat 28:
III. Analisis Linguistik dan Terminologi Kunci
Untuk memahami kedalaman hukum ini, kita harus menyelami makna istilah-istilah kuncinya, terutama kata najas dan kekhawatiran ‘ailatan (kemiskinan).
1. Hakikat Istilah ‘Najas’ (النجس)
Kata نَجَسٌ (Najasun) yang digunakan dalam ayat ini memiliki konotasi yang sangat spesifik. Secara harfiah, ia berarti kotor atau najis. Namun, para mufasir dan fuqaha sepakat bahwa ‘najasah’ yang dimaksud di sini bukanlah najis fisik dalam arti kotoran yang membatalkan wudu atau salat.
Najasah Ma’nawiyyah (Najis Spiritual)
Mayoritas ulama, termasuk Imam Al-Razi dan Qatadah, menegaskan bahwa najasah yang disematkan kepada orang-orang musyrik adalah Najasah Ma’nawiyyah atau najis spiritual, yaitu kotornya akidah dan keyakinan mereka yang berbasis pada syirik. Syirik adalah dosa terbesar, yang oleh Al-Qur'an digambarkan sebagai kegelapan dan kepalsuan, yang merusak jiwa dan hakikat kemanusiaan. Dalam konteks ini, syirik adalah polusi yang paling parah, jauh melebihi kotoran fisik.
Al-Hafizh Ibnu Katsir menjelaskan bahwa hati kaum musyrikin adalah najis karena keyakinan yang batil dan kerusakan akal mereka yang menyekutukan Allah. Oleh karena itu, tidak pantas bagi mereka yang membawa najis akidah ini untuk memasuki tempat yang disucikan secara mutlak, yaitu Baitullah.
Implikasi Hukum Najasah
Jika najasah ini dipahami sebagai spiritual, maka larangan tersebut bersifat permanen dan fundamental. Ini adalah penetapan batas yang jelas antara Tauhid dan Syirik. Masjidil Haram, sebagai pusat Tauhid global, harus dijaga kebersihannya dari segala bentuk kontaminasi ideologis. Ini adalah bagian dari pemenuhan doa Nabi Ibrahim AS agar Makkah menjadi kota yang aman dan suci.
2. Batasan Waktu: "Sesudah Tahun Ini" (بَعْدَ عَامِهِمْ هَٰذَا)
Penetapan hukum ini berlaku setelah tahun diturunkannya ayat, yang diyakini adalah tahun ke-9 Hijriah, yaitu setelah Haji Akbar yang dipimpin oleh Abu Bakar As-Siddiq. Pengumuman resmi disampaikan oleh Ali bin Abi Thalib RA, yang menandai berakhirnya era di mana kaum musyrikin diizinkan menjalankan ritual mereka, bahkan di bulan-bulan haram.
Tafsir Al-Tabari menekankan bahwa batas waktu ini memberi kesempatan kepada kaum musyrikin untuk meninjau kembali akidah mereka atau menyelesaikan urusan mereka di Makkah sebelum larangan tersebut berlaku secara total. Ini menunjukkan keadilan dan ketegasan syariat yang memberikan tenggat waktu yang jelas sebelum penegakan hukum penuh.
3. Ketakutan Ekonomi: ‘Ailatan (عَيْلَةً)
Bagian kedua ayat ini mengatasi kekhawatiran praktis yang melanda kaum Muslimin di Madinah: kekhawatiran akan kemiskinan atau ‘ailah (كَيْفَ خِفْتُمْ عَيْلَةً). Sebelum Islam menguasai Makkah, perdagangan tahunan, khususnya selama musim haji, sangat bergantung pada kafilah-kafilah dari berbagai suku, banyak di antaranya adalah kaum musyrikin.
Ketika larangan memasuki Makkah diterapkan, kaum Muslimin khawatir bahwa pendapatan mereka dari pajak, penginapan, dan perdagangan (yang dikenal sebagai ‘masa’is) akan terputus total. Ini adalah respons yang sangat manusiawi terhadap perubahan geopolitik dan ekonomi yang drastis.
IV. Konteks Sejarah Penurunan Ayat: Pemurnian Jazirah
Ayat At-Taubah 28 diturunkan dalam konteks Perang Tabuk dan Deklarasi *Bara'ah* (Pemutusan Hubungan) pada tahun ke-9 H. Islam telah menjadi kekuatan dominan di Jazirah, namun masih terdapat sisa-sisa praktik kemusyrikan di pusat agama mereka—Makkah. Pengecualian ini tidak dapat diterima karena Ka’bah adalah monumen Tauhid yang didirikan oleh Ibrahim dan Ismail.
Penetapan Kedaulatan Ideologis
Sebelum tahun ke-9 H, kaum musyrikin masih melakukan ritual tawaf dengan telanjang (kecuali yang mampu membeli pakaian tertentu) dan membawa berhala ke dalam Al-Haram. Pemurnian ini adalah langkah akhir dalam penegasan bahwa Makkah dan wilayah sucinya (Haram) adalah wilayah eksklusif untuk penyembahan Allah semata.
Pengumuman larangan ini, yang disampaikan setelah ayat ini turun, secara efektif mengakhiri toleransi terhadap praktik syirik di wilayah suci, sebuah tindakan yang esensial untuk menjaga integritas agama baru. Para sejarawan mencatat bahwa pada tahun berikutnya (tahun ke-10 H), ketika Rasulullah melaksanakan Haji Wada' (Haji Perpisahan), tidak ada satu pun musyrik yang hadir di Makkah, menunjukkan keberhasilan implementasi hukum ini.
V. Tafsir dan Implikasi Hukum Fiqh Kontemporer
Larangan ini memunculkan pembahasan fiqih yang luas mengenai ruang lingkup dan batasan hukumnya, yang masih menjadi topik penting dalam yurisprudensi Islam.
1. Ruang Lingkup Larangan: Masjidil Haram atau Seluruh Haram?
Ayat secara eksplisit menyebut “Masjidil Haram” (فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ). Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai batasan geografis larangan ini:
Pendapat Jumhur (Mayoritas)
Mazhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa larangan tersebut mencakup seluruh wilayah Al-Haram Makkah, bukan hanya bangunan Masjidil Haram itu sendiri. Mereka berargumen bahwa Makkah secara keseluruhan adalah wilayah suci, dan tujuannya adalah memelihara keutuhan ideologis seluruh wilayah yang merupakan tanah suci.
Hukum ini berlaku bagi semua non-Muslim, meskipun sebagian besar penafsiran awal berfokus pada orang musyrik yang keras kepala. Namun, karena ayat tersebut menggunakan istilah najis spiritual, ulama menginterpretasikannya sebagai larangan umum bagi non-Muslim untuk menetap atau memasuki wilayah Haram Makkah, kecuali dalam situasi darurat atau diplomatik yang sangat terbatas (tergantung madzhab).
Pendapat Mazhab Hanafi dan Maliki
Mazhab Hanafi cenderung lebih longgar, berpendapat bahwa larangan ini ditujukan secara khusus kepada kaum musyrikin Arab yang menentang Islam. Mereka berpendapat bahwa non-Muslim lain (seperti Ahli Kitab) mungkin diizinkan memasuki wilayah Haram Makkah untuk kepentingan dagang atau urusan mendesak, asalkan tidak bermaksud melakukan syirik di sana. Namun, bahkan dalam mazhab Hanafi, mereka sepakat bahwa non-Muslim tidak boleh masuk ke dalam bangunan Masjidil Haram itu sendiri.
2. Status Non-Muslim di Masjid Selain Al-Haram
Para ulama sepakat bahwa larangan ini adalah hukum spesifik yang berlaku hanya untuk Masjidil Haram dan wilayah Haram di sekitarnya. Non-Muslim umumnya diizinkan memasuki masjid-masjid lain di luar Makkah dan Madinah, asalkan mereka menjaga adab dan kesopanan yang berlaku, karena larangan "najasah" yang terkait dengan Masjidil Haram didasarkan pada kekhususan status Makkah sebagai pusat Tauhid murni.
VI. Mengatasi Kekhawatiran Ekonomi: Iman Melawan Materialisme
Ayat 28 memberikan pelajaran penting mengenai korelasi antara ketaatan hukum syariat dan keyakinan akan rezeki Ilahi. Ini adalah momen krusial di mana keimanan kaum Muslimin diuji secara finansial.
1. Menggali Akar Kekhawatiran (In Khiftum ‘Ailatan)
Kekhawatiran akan ‘ailah (kemiskinan) adalah ujian keimanan. Para sahabat melihat realitas bahwa Makkah, yang secara geografis tandus, bergantung sepenuhnya pada perdagangan dan karavan musiman yang datang dari Syam, Yaman, dan Irak. Ketika sumber utama perdagangan ini, yang didominasi oleh non-Muslim, dilarang, bayangan krisis ekonomi muncul.
Ayat ini mengajarkan bahwa ketaatan kepada perintah Allah harus didahulukan di atas segala pertimbangan material. Kerugian duniawi yang mungkin timbul akibat penegakan syariat akan digantikan oleh kompensasi ilahi yang lebih besar dan lebih berkah.
2. Janji Kekayaan Ilahi (Fa Sawfa Yughnikumullah)
Respons Ilahi sangat menenangkan dan menjanjikan: فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ ("Maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya"). Kata سَوْفَ (Sawfa) menunjukkan janji masa depan yang pasti, yang akan terealisasi seiring berjalannya waktu dan berkembangnya ketaatan.
Kekayaan yang dijanjikan ini bukan sekadar pengganti finansial, melainkan berkah yang datang melalui beberapa jalur yang ditakdirkan oleh Allah:
- Ghanimah (Rampasan Perang): Kemenangan atas wilayah-wilayah yang kaya di sekitar Jazirah Arab.
- Jizyah: Pajak perlindungan yang dibayarkan oleh Ahli Kitab (seperti yang dibahas dalam ayat berikutnya, At-Taubah 29), yang memberikan sumber pendapatan stabil bagi negara Islam.
- Perkembangan Perdagangan Baru: Dengan Makkah yang kini aman dan Islami, rute perdagangan baru dibuka dan dikelola oleh kaum Muslimin sendiri, menghilangkan ketergantungan pada non-Muslim.
- Berkah (Barakah) dalam Rezeki: Peningkatan nilai dan manfaat dari rezeki yang sudah ada, sebagai hasil dari ketakwaan.
Sejarah mencatat bahwa janji ini segera terwujud. Setelah penaklukan berbagai wilayah dan pengenaan Jizyah, negara Islam menjadi kaya raya. Kekhawatiran kemiskinan lenyap, digantikan oleh kesejahteraan yang luar biasa pada masa Khulafaur Rasyidin, bahkan hingga pada titik di mana sulit menemukan orang yang layak menerima zakat pada masa Umar bin Abdul Aziz.
3. Korelasi Antara Kepercayaan dan Ekonomi
Ayat ini menegaskan prinsip teologis inti: Rezeki berasal dari Allah, bukan dari sumber daya manusia semata. Ketika seseorang atau masyarakat memilih perintah Allah di atas pertimbangan materi yang rapuh, Allah akan membuka pintu rezeki yang tak terduga. Ini adalah pelajaran abadi tentang Tawakkal (berserah diri) dalam menghadapi tantangan ekonomi.
VII. Pemurnian: Prinsip Universal dalam Syariat
Konsep *najasah* (najis) dan *taharah* (kesucian) adalah dualisme fundamental dalam Islam. At-Taubah 28 memperluas pemahaman kita tentang taharah dari hanya sekadar ritual fisik menjadi kebutuhan spiritual dan ideologis, khususnya di pusat ibadah.
1. Najasah Akidah vs. Najasah Fisik
Penting untuk membedakan najis spiritual (syirik, kekufuran) dengan najis fisik (kotoran). Ayat ini secara eksplisit menunjuk pada najis spiritual. Seorang non-Muslim (selain musyrik) yang berinteraksi dengan Muslim di luar wilayah Haram Makkah tidak membawa najasah fisik. Ini menjaga interaksi sosial dan perdagangan yang sehat, sambil tetap mempertahankan batas-batas ideologis.
Prinsip ini menegaskan bahwa bahaya terbesar bagi komunitas Muslim bukanlah interaksi dengan non-Muslim dalam urusan dunia, melainkan kontaminasi ideologis di jantung akidah, yaitu di Baitullah.
2. Hukum Pemurnian Wilayah Suci
Ayat ini menjadi dasar hukum Islam bahwa tanah suci (Al-Haram) memiliki hukum yang berbeda dari wilayah lain. Kawasan Al-Haram Makkah disucikan dari perburuan, pemotongan pohon, dan yang paling utama, dari segala bentuk syirik dan pelakunya yang menentang Tauhid.
Perintah pemurnian ini juga mencerminkan tanggung jawab besar yang diemban oleh umat Muslim: menjadi penjaga akidah yang murni, melindungi pusat ibadah dari segala kontaminasi yang dapat merusak fondasi spiritual umat.
VIII. Refleksi Hikmah dan Dampak Jangka Panjang Ayat
1. Hikmah Dibalik Kekhususan Masjidil Haram
Mengapa larangan ini hanya berlaku untuk Masjidil Haram? Hikmahnya terletak pada status Masjidil Haram sebagai kiblat dan pusat pertemuan global bagi seluruh umat Islam. Jika pusat itu terkontaminasi oleh akidah yang bertentangan, maka integritas ibadah seluruh umat akan terancam. Pemurnian ini adalah jaminan kelangsungan Tauhid yang murni hingga Hari Kiamat.
Penetapan batas tegas ini merupakan manifestasi dari sifat Allah yang Maha Bijaksana (الحَكِيمُ). Allah mengetahui bahwa mempertahankan kemurnian spiritual di pusat peribadatan adalah kunci untuk mempertahankan kekuatan akidah umat secara keseluruhan. Jika tempat suci bisa dikompromikan, maka akidah juga akan mudah dikompromikan.
2. Pelajaran bagi Kehidupan Modern
Meskipun ayat ini diturunkan dalam konteks historis abad ke-7, prinsipnya abadi. Ayat ini mengajarkan Muslim modern untuk:
- Memprioritaskan Nilai Akidah: Jangan pernah mengorbankan prinsip-prinsip keimanan demi keuntungan materi yang bersifat sementara.
- Tawakal dalam Ekonomi: Kepercayaan bahwa rezeki Allah akan datang dari arah yang tidak disangka-sangka ketika kita taat pada perintah-Nya.
- Menjaga Pusat Perhatian: Menjaga kesucian "pusat" kehidupan kita—baik itu hati, keluarga, atau institusi—dari "najis" spiritual (kerusakan moral, syirik modern, atau pemikiran batil).
3. Peningkatan Kesejahteraan Umat
Implementasi hukum ini pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan umat Islam. Dengan mengendalikan pusat perdagangan dan menghilangkan ketergantungan pada pihak-pihak yang tidak seakidah, kaum Muslimin dipaksa untuk membangun infrastruktur ekonomi mereka sendiri, yang pada akhirnya memajukan peradaban Islam secara keseluruhan.
Perintah ini adalah dorongan untuk kemandirian ekonomi. Ketika Allah memerintahkan pemutusan hubungan ekonomi yang terlihat menguntungkan, itu adalah ujian untuk melihat apakah umat berani mengambil risiko demi ketaatan. Dan janji Allah membuktikan bahwa ketaatan adalah jalan menuju kekayaan sejati dan berkah yang berkelanjutan.
IX. Kesimpulan: Ketegasan dan Kasih Sayang Ilahi
Ayat At-Taubah 28 adalah salah satu ayat yang paling tegas dalam Al-Qur'an, menetapkan pemisahan antara akidah Tauhid dan Syirik di wilayah yang paling suci di bumi. Namun, di balik ketegasan hukumnya, terkandung kasih sayang dan janji Allah yang luar biasa. Ia adalah peringatan bahwa ketaatan mungkin menuntut pengorbanan di awal, tetapi buah dari ketaatan itu adalah kekayaan dan kemakmuran yang melampaui perhitungan manusia.
Dari ayat ini, kita mempelajari bahwa kebersihan spiritual jauh lebih penting daripada keuntungan finansial. Allah Maha Mengetahui kebutuhan hamba-Nya dan Maha Bijaksana dalam menetapkan hukum-hukum-Nya. Umat Islam diperintahkan untuk percaya sepenuhnya pada karunia (fadl) Allah, yang merupakan sumber rezeki yang tidak akan pernah kering.
Oleh karena itu, At-Taubah 28 bukan sekadar teks hukum, melainkan pelajaran abadi tentang Tawakkal, kedaulatan ideologi, dan jaminan Ilahi bahwa mereka yang mendahulukan Allah tidak akan pernah kekurangan rezeki.
X. Elaborasi Lanjutan: Dimensi Sosial dan Politik Hukum At-Taubah 28
Keputusan untuk memurnikan Masjidil Haram memiliki implikasi sosial-politik yang masif. Sebelum penetapan hukum ini, Makkah adalah kota kosmopolitan yang menerima banyak peziarah dengan keyakinan berbeda. Penutupan Makkah bagi kaum musyrikin berfungsi sebagai deklarasi akhir kedaulatan politik Islam di Jazirah Arab. Ini bukan hanya tentang tempat ibadah; ini adalah tentang kontrol narasi dan ruang publik di pusat dunia Arab.
Keputusan ini menegaskan bahwa di bawah naungan negara Islam (Khilafah), akidah Tauhid akan menjadi dasar semua hukum dan tata kelola. Ini membedakan Makkah dari kota-kota lain, di mana non-Muslim tetap diizinkan tinggal dan berdagang di bawah perlindungan *dzimmah* (perlindungan perjanjian).
A. Pertahanan Ideologis
Para ulama seperti Ibn Taymiyyah menyoroti bahwa larangan ini adalah bentuk pertahanan ideologis. Kehadiran ritual syirik di samping Ka'bah yang dibangun untuk Tauhid adalah kontradiksi yang merusak pondasi agama. Syariat menutup celah ini agar tidak ada keraguan sedikit pun mengenai kemurnian akidah. Pemurnian ini adalah langkah proaktif untuk melindungi generasi mendatang dari sinkretisme atau kompromi akidah.
Ayat ini mengajarkan bahwa dalam beberapa kasus, toleransi ideologis harus memiliki batas, terutama ketika inti dari keyakinan suci dipertaruhkan. Masjidil Haram adalah simbol identitas religius, dan simbol ini harus dijaga dari segala yang menodainya, betapapun besar manfaat ekonominya pada saat itu.
B. Kekuatan Perubahan Ekonomi Melalui Keimanan
Fokus pada solusi ekonomi adalah kunci utama tafsir ayat ini. Ketika para sahabat khawatir, mereka tidak ditertawakan; kekhawatiran mereka diakui oleh Allah, tetapi kemudian diatasi dengan janji yang mutlak. Ini menunjukkan pemahaman mendalam Al-Qur'an terhadap psikologi manusia. Kekuatan materi sering kali menjadi penghalang terbesar dalam menjalankan hukum agama.
Allah menjamin bahwa kekosongan ekonomi yang ditinggalkan oleh kaum musyrikin akan diisi oleh *Fadl* (karunia) Ilahi. Karunia ini diwujudkan melalui perluasan wilayah Islam, yang menghasilkan sumber daya baru, seperti kekayaan dari Yaman, Syam, dan Mesopotamia yang kemudian mengalir ke kas negara Muslim. Ini menunjukkan bahwa ketaatan membuka pintu berkah yang melampaui model ekonomi konvensional.
Model ekonomi Islam yang didirikan setelah ayat ini menekankan sirkulasi kekayaan yang adil (melalui zakat dan jizyah) sebagai pengganti model perdagangan Makkah yang lama, yang sering kali bersifat eksploitatif. Dengan demikian, ayat ini tidak hanya menetapkan hukum ritual, tetapi juga meresmikan transisi menuju sistem ekonomi yang lebih berkeadilan dan berbasis Tauhid.
XI. Pendalaman Konsep Najasah dalam Fiqh Perbandingan
Walaupun mayoritas ulama sepakat bahwa najasah di sini bersifat spiritual, perdebatan tentang implikasi praktis bagi Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) di wilayah Haram Makkah tetap ada. Mazhab Maliki dan Syafi’i cenderung sangat ketat, menganggap semua non-Muslim dilarang. Argumen mereka adalah bahwa jika musyrikin dilarang karena syirik mereka, maka non-Muslim yang lain pun, meskipun tidak seburuk musyrikin, juga memiliki perbedaan fundamental dalam akidah yang dianggap sebagai ‘najasah’ dalam derajat tertentu di konteks paling suci.
Di sisi lain, beberapa ulama kontemporer mencoba menafsirkan ulang, fokus pada konteks permusuhan. Mereka berpendapat bahwa larangan ini berlaku spesifik bagi orang-orang yang memerangi Islam (musyrikin yang menolak perjanjian damai), dan bukan larangan umum untuk semua non-Muslim. Namun, pandangan ini ditolak oleh jumhur fuqaha karena teks ayat tersebut menggunakan istilah umum ‘Al-Mushrikun’ (kaum musyrikin), yang mencakup semua yang menyekutukan Allah, terlepas dari apakah mereka sedang berperang atau tidak, dalam konteks pemurnian akidah di Baitullah.
A. Najasah sebagai Batasan Kewenangan
Najasah juga dapat diartikan sebagai ketidaklayakan atau ketidakmampuan untuk mengelola urusan suci. Kaum musyrikin, karena akidah mereka, tidak memiliki kewenangan spiritual untuk memasuki atau mengelola Baitullah. Ayat ini adalah penegasan bahwa kepemimpinan dan pengelolaan tempat suci hanya sah dilakukan oleh mereka yang berpegang teguh pada Tauhid. Ini mengakhiri dominasi Quraish yang musyrik atas Ka'bah yang sudah berlangsung lama.
XII. Kebijaksanaan di Balik Ujian ‘Ailatan (Kemiskinan)
Ayat 28 memberikan model bagaimana seorang Mukmin menghadapi dilema: ketaatan mutlak kepada perintah Tuhan versus keamanan finansial yang dijamin oleh realitas dunia. Allah tidak hanya memerintah, tetapi juga memberikan solusi: janji rezeki. Ini adalah demonstrasi nyata dari nama Allah: *Ar-Razzaq* (Maha Pemberi Rezeki).
Dalam sejarah umat, kekhawatiran kemiskinan sering kali menjadi titik lemah yang membuat individu atau masyarakat mengkompromikan prinsip. Ayat ini mengajarkan bahwa Allah akan selalu menyediakan jalan keluar yang lebih baik bagi mereka yang memilih jalan-Nya. Ketika sumber daya tradisional hilang, Allah membuka sumber daya yang baru dan lebih murni (halal dan berkah).
Ini adalah transformasi paradigma dari ekonomi yang berbasis pada hubungan manusiawi dan keserakahan (seperti yang sering terjadi di Makkah pra-Islam) menjadi ekonomi yang berbasis pada kepercayaan kepada Allah dan berkah yang menyertainya. Keimanan yang teguh adalah mata uang yang nilainya jauh lebih besar daripada keuntungan perdagangan temporer.
Ayat ini menjadi mercusuar bagi umat Islam sepanjang masa, mengingatkan bahwa setiap langkah menuju pemurnian dan ketaatan akan selalu dibalas dengan karunia Ilahi yang melimpah, asalkan didasari oleh niat yang tulus dan tawakkal yang sempurna. Larangan ini, yang awalnya terlihat sebagai kerugian ekonomi, justru menjadi katalisator bagi pertumbuhan kekayaan spiritual dan material yang abadi bagi peradaban Islam.