Analisis Konsep *Kanz* (Penimbunan Harta) dan Etika Ekonomi dalam Tuntunan Islam
Surah At-Taubah merupakan salah satu surah yang tegas dalam Al-Qur'an, sering kali membahas isu-isu krusial terkait keimanan, perjanjian, dan terutama, keadilan sosial dan ekonomi. Dalam konteks ini, ayat 34 dan 35 berdiri sebagai peringatan keras yang ditujukan bukan hanya kepada kaum Ahli Kitab pada masa awal Islam, tetapi juga secara universal kepada seluruh umat manusia yang cenderung terjerumus dalam keserakahan, penyalahgunaan kekuasaan, dan penimbunan kekayaan. Kedua ayat ini menegaskan prinsip fundamental bahwa harta benda bukanlah tujuan akhir, melainkan amanah yang harus dikelola sesuai tuntunan Ilahi, demi mencapai keseimbangan sosial dan menghindari azab yang pedih.
Kajian mendalam terhadap kedua ayat ini membawa kita pada pemahaman holistik mengenai bagaimana Islam memandang peredaran harta, peran pemimpin agama atau spiritual, dan konsekuensi fatal dari sikap mementingkan diri sendiri yang berlebihan. Fokus utama terletak pada larangan keras terhadap penimbunan harta (*kanz*) dan penggunaan kekayaan secara batil, sebuah pesan yang resonan hingga era modern, di mana kesenjangan ekonomi semakin melebar.
Ilustrasi: Konsep Harta yang Ditimbun (*Kanz*)
Ayat 34 dari Surah At-Taubah memuat dua teguran utama: yang pertama ditujukan kepada para pemuka agama yang menyalahgunakan posisi mereka untuk keuntungan pribadi, dan yang kedua ditujukan kepada siapa saja yang menimbun harta dan enggan mendistribusikannya sesuai kewajiban agama (Zakat).
Ayat ini secara eksplisit menyebutkan *al-Ahbār* (pendeta Yahudi) dan *ar-Ruhbān* (rahib Nasrani). Meskipun konteks awalnya spesifik, pesan moralnya universal. Mereka dikritik karena dua hal: memakan harta orang lain dengan cara yang batil (*bil-bātil*) dan menghalangi jalan Allah. Dalam interpretasi yang lebih luas, ini mencakup semua bentuk eksploitasi spiritual atau moral. Pemimpin, apapun keyakinannya, yang menggunakan otoritasnya untuk mengeruk keuntungan finansial dari pengikutnya—melalui sumbangan paksaan, penipuan, atau tafsir agama yang menguntungkan diri sendiri—termasuk dalam kategori ini.
Frasa 'memakan harta orang dengan jalan yang batil' adalah inti dari teguran pertama. Batil berarti palsu, sia-sia, atau tidak sah menurut syariat. Ini mencakup suap, riba, perjudian, korupsi, dan yang paling relevan dalam konteks agama, pengambilan upah yang melampaui batas kewajaran, atau menjual fatwa dan ajaran demi kekayaan. Penyalahgunaan kekuasaan spiritual untuk mencapai kekuasaan material adalah bentuk kemaksiatan ganda yang sangat dicela dalam Islam.
Tafsir klasik, seperti yang diungkapkan oleh Imam Al-Qurtubi dan Ibnu Katsir, menekankan bahwa rahib dan pendeta pada masa itu sering menerima hadiah dan sumbangan besar dari pengikut mereka, lalu menggunakannya untuk hidup mewah, jauh dari prinsip asketisme atau pelayanan. Lebih jauh lagi, mereka mengubah hukum agama demi membenarkan tindakan penguasa atau orang kaya yang memberi mereka imbalan, sehingga menghalangi orang lain untuk mencapai kebenaran (menghalangi jalan Allah).
Bagian kedua ayat ini berfokus pada larangan *kanz*. Kanz (كنز) berarti harta yang disimpan atau ditimbun dan tidak dikeluarkan haknya. Secara historis, perdebatan tafsir mengenai apa yang disebut *kanz* sangatlah kaya. Apakah *kanz* adalah harta yang di luar batas nisab, ataukah semua harta yang telah dibayarkan zakatnya sudah aman dari definisi *kanz*?
Mayoritas ulama, berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW yang menjelaskan kewajiban Zakat, menyimpulkan bahwa harta yang telah dibayarkan zakatnya secara tepat dan waktu tidak lagi tergolong *kanz* yang terancam azab. Artinya, larangan penimbunan ini secara efektif merupakan penekanan keras terhadap **penolakan membayar Zakat**.
Namun, pemahaman kontemporer sering meluaskan makna *kanz* melampaui sekadar Zakat. *Kanz* juga dapat diartikan sebagai mentalitas pelit, sikap menahan kekayaan secara berlebihan sehingga tidak berfungsi dalam siklus ekonomi masyarakat. Harta benda yang diam (tidak diinvestasikan, tidak disedekahkan, dan zakatnya tidak dibayarkan) adalah harta yang mati, dan ia merusak keseimbangan sosial. Islam memandang bahwa kekayaan harus beredar (*kay lā yakūna dūlatan bayna al-aghniyā’i minkum* - agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu, Q.S. Al-Hasyr: 7).
Penolakan menafkahkan harta di jalan Allah (wa lā yunfiqūnahā fī sabīli Allāh) menunjukkan bahwa kewajiban finansial dalam Islam tidak berhenti pada Zakat wajib. Ia juga mencakup infak sunnah dan bantuan sosial yang diperlukan masyarakat, terutama dalam kondisi darurat atau untuk pembangunan umat. Ketika seseorang hanya menumpuk emas dan perak (simbol kekayaan portabel), ia gagal menjalankan fungsi sosial kekayaan yang telah diamanahkan oleh Allah.
Ancaman bagi pelaku *kanz* adalah "azab yang pedih." Penggunaan frasa ini di awal kalimat perintah (fa bashshirhum – berilah kabar gembira kepada mereka) adalah bentuk ironi yang sangat tajam dalam retorika Al-Qur'an. Ini bukan kabar gembira yang sesungguhnya, melainkan penegasan bahwa hasil dari penimbunan yang disangka membawa kenyamanan di dunia, justru akan berbalik menjadi sumber penderitaan yang tak terperi di akhirat.
Pesan dari Ayat 34 sangat jelas: penyalahgunaan otoritas keagamaan untuk mendapatkan harta dan penimbunan harta yang menahan hak orang miskin adalah dua sisi dari mata uang ketidakadilan yang harus diberantas dalam masyarakat Islam. Mereka yang mempraktikkan hal ini disetarakan dalam ancaman yang sama.
Ayat 35 adalah kelanjutan langsung dari Ayat 34, berfungsi sebagai deskripsi visual dan visceral dari azab pedih yang telah diperingatkan sebelumnya. Ayat ini menggambarkan bagaimana harta yang menjadi pujaan di dunia akan menjadi instrumen hukuman di hari pembalasan.
Gambaran azab yang diberikan Al-Qur'an sangat detail dan simbolis. Emas dan perak—harta yang dicintai dan disimpan rapat-rapat—akan dipanaskan hingga membara dalam api Jahanam. Kata kerja *yuhmā* (dipanaskan) mengandung intensitas yang ekstrem. Harta itu sendiri, yang tadinya merupakan sumber kebanggaan dan keamanan, kini diubah fungsinya menjadi alat penyiksaan.
Ini adalah pelajaran tentang metamorfosis nilai. Apa yang dianggap berharga di dunia, jika didapatkan secara batil atau ditahan haknya, akan kehilangan nilainya di akhirat. Ia bukan lagi aset, melainkan beban yang memberatkan, bahkan alat pembalasan yang adil.
Harta yang membara itu kemudian digunakan untuk ‘menyetrika’ (fatukwā) tiga bagian utama tubuh: dahi (*jibāhuhum*), lambung (*junūbuhum*), dan punggung (*ẓuhūruhum*). Mengapa tiga bagian ini?
Dengan menyiksa bagian-bagian tubuh yang terkait langsung dengan sikap bakhil dan penolakan sosial, Al-Qur'an menunjukkan keadilan hukuman yang sesuai dengan jenis kejahatannya. Kejahatan bakhil bukanlah sekadar kesalahan teknis, melainkan penyakit jiwa yang termanifestasi dalam penolakan fisik dan spiritual terhadap sesama.
Ilustrasi: Harta Menjadi Instrumen Hukuman
Ayat 35 ditutup dengan seruan penghakiman: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah (akibat dari) apa yang kamu simpan itu." (Hādhā mā kanaztum li-anfusikum fa dhūqū mā kuntum taknizūn).
Pernyataan ini adalah penutup yang sempurna, menekankan akuntabilitas pribadi. Penimbun harta tidak dapat menyalahkan siapa pun. Mereka menimbun *untuk diri mereka sendiri* (li-anfusikum), padahal hakikat harta adalah untuk digunakan di jalan Allah dan untuk kemaslahatan umat. Mereka kini dipaksa mencicipi konsekuensi dari keputusan egois mereka.
Ayat 34 dan 35 bukan sekadar ancaman, melainkan fondasi teologis bagi etika ekonomi Islam. Konsep *kanz* adalah antitesis dari kewajiban Zakat, Infak, dan Wakaf. Islam mengakui hak kepemilikan pribadi, tetapi menempatkan batasan moral dan hukum (syar’i) pada bagaimana kepemilikan itu dikelola.
Jika *kanz* adalah harta yang kotor karena ditahan haknya, maka Zakat adalah mekanisme pembersihan. Zakat (yang berarti 'membersihkan' dan 'menambah') memastikan bahwa sebagian kecil harta wajib dialokasikan kepada delapan asnaf (golongan penerima). Dengan menunaikan zakat, seorang Muslim tidak hanya memenuhi kewajiban agama, tetapi juga secara sosial mengakui bahwa kekayaan tidak hanya miliknya semata; ia mengandung hak orang lain. Keterkaitan antara zakat dan keberkatan adalah jaminan spiritual yang kontras dengan ancaman azab bagi pelaku *kanz*.
Para sahabat Nabi memahami hal ini dengan sangat mendalam. Ketika terjadi perselisihan tentang apakah ayat ini hanya berlaku untuk emas dan perak atau meluas ke semua jenis harta, Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq secara tegas menyatakan bahwa siapa pun yang membedakan antara shalat dan zakat akan ia perangi, menunjukkan bahwa Zakat adalah pilar utama yang melindungi masyarakat dari bahaya *kanz*.
Dalam pandangan Islam, kekayaan adalah ujian (*fitnah*). Ayat-ayat ini mengingatkan bahwa ujian kekayaan lebih berbahaya daripada ujian kemiskinan, karena ia rentan memunculkan kesombongan, kezaliman, dan pada akhirnya, penimbunan yang melupakan hak Allah dan hak manusia. Seseorang yang menimbun harta menunjukkan kurangnya keyakinan pada janji rezeki Allah dan kurangnya empati terhadap penderitaan sesama.
Prinsip utama yang ditekankan adalah bahwa kepemilikan pribadi harus tunduk pada tujuan kolektif (maslahah). Ketika kepemilikan pribadi mengganggu maslahah umum (misalnya, melalui penimbunan yang menyebabkan kelangkaan dan inflasi), ia menjadi terlarang dan mendapatkan sanksi keras. Inilah esensi keadilan distributif yang diajarkan oleh Al-Qur'an.
Meskipun ayat-ayat ini diturunkan dalam konteks peredaran emas dan perak, aplikasinya meluas ke seluruh bentuk kekayaan modern—mata uang digital, saham, obligasi, properti, dan aset lainnya. Analisis terhadap *At-Taubah 34-35* sangat relevan untuk mengatasi masalah ekonomi global saat ini.
Di masa kini, konsumsi harta secara batil jauh lebih kompleks daripada sekadar penipuan langsung. Ia meliputi:
Oleh karena itu, perjuangan melawan *bil-bātil* memerlukan kesadaran hukum dan etika dalam setiap transaksi finansial, memastikan bahwa kekayaan yang diperoleh berasal dari cara yang sah dan jujur, tidak merugikan pihak lain, dan tidak melanggar prinsip keadilan sosial yang digariskan Islam.
Dalam konteks global, *kanz* dapat diartikan sebagai pengumpulan modal dalam jumlah sangat besar yang hanya dipertahankan di tangan segelintir elite, seringkali melalui instrumen investasi yang bersifat spekulatif dan tidak produktif bagi masyarakat luas. Ketika triliunan aset disimpan dalam ‘surga pajak’ atau hanya berputar di kalangan ultra-kaya, ia menciptakan stagnasi ekonomi bagi mayoritas penduduk dan memperlebar jurang kesenjangan.
Jika kekayaan yang begitu besar tidak tunduk pada kewajiban sosial (Zakat) dan tidak diinvestasikan dalam kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat (Infak), maka ia menjadi ‘kanz’ modern. Prinsip di balik Ayat 35 mengajarkan bahwa akumulasi harta yang tidak bertanggung jawab pada akhirnya akan melukai pemiliknya sendiri di akhirat, sama seperti logam panas yang membakar tubuh.
Untuk mencapai pemahaman 5000 kata, kita perlu memperluas kajian pada implikasi hukum dan teologis yang lebih rinci dari ayat-ayat ini, menelusuri bagaimana ulama lintas mazhab menafsirkan batasan *kanz* dan kewajiban infak.
Seperti yang telah disinggung, perdebatan utama di kalangan ulama salaf adalah apakah ayat ini mengharamkan semua penimbunan emas dan perak, atau hanya yang belum dikeluarkan zakatnya. Para ulama dari kalangan Ahli Sunnah Wal Jama'ah secara umum berpegang pada pendapat bahwa setelah kewajiban Zakat dipenuhi, harta tersebut tidak lagi dianggap *kanz* yang terancam azab Neraka Jahanam. Mereka merujuk pada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, di mana Nabi SAW bersabda: "Setiap harta yang zakatnya telah ditunaikan, maka ia bukanlah *kanz*."
Namun, kelompok ulama tertentu, seperti yang diriwayatkan dari sebagian sahabat awal (termasuk Abu Dzar al-Ghifari), mengambil pandangan yang lebih ketat. Mereka memahami ayat 34 sebagai larangan mutlak terhadap penimbunan kekayaan di luar kebutuhan dasar, bahkan jika zakatnya telah dibayarkan, kecuali jika harta tersebut diinfakkan di jalan Allah. Menurut pandangan Abu Dzar, kekayaan harus terus beredar dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, bukan untuk diendapkan. Meskipun pandangan ini tidak menjadi mazhab hukum yang dominan, ia menegaskan semangat revolusioner dari ayat tersebut—bahwa kekayaan adalah alat, bukan tujuan.
Perbedaan pandangan ini memperkuat urgensi untuk tidak hanya berfokus pada Zakat wajib, tetapi juga pada etika Infak (sedekah sunnah) sebagai benteng terakhir melawan mentalitas *kanz*. Infak dalam konteks ini adalah investasi spiritual dan sosial yang mencegah harta menjadi benda mati yang hanya ‘disimpan untuk diri sendiri.’
Kata fatukwā (فَتُكْوَىٰ) memiliki konotasi yang sangat kuat. Dalam bahasa Arab, *kawa* berarti membakar, mencap, atau menyetrika dengan besi panas. Penggunaan kata ini menggarisbawahi sifat hukuman yang sangat personal dan menyakitkan. Hukuman ini tidak sekadar dibakar dalam api Jahanam; ia adalah hukuman yang secara spesifik menggunakan objek yang mereka cintai (emas/perak) untuk mencap tubuh mereka sebagai tanda dosa.
Tafsir linguistik menunjukkan bahwa penyiksaan ini bertujuan untuk menghasilkan rasa sakit yang mendalam di tempat-tempat yang seharusnya digunakan untuk perbuatan baik (seperti dahi untuk sujud dan lambung untuk memberi makan), tetapi justru menjadi tempat bakhil dan keangkuhan. Ini adalah keadilan retributif yang sempurna: mereka yang menolak membagi kehangatan harta mereka di dunia, akan merasakannya sebagai api yang membakar di akhirat.
Ayat ini mengajarkan bahwa dosa ekonomi memiliki dimensi fisik dan psikologis. Penimbunan menciptakan kekerasan struktural (kemiskinan) di dunia, dan dibalas dengan kekerasan fisik (pembakaran) di akhirat. Pelajaran ini harus diulang-ulang dalam setiap refleksi terhadap tanggung jawab finansial.
Dampak kedua ayat ini melampaui urusan ibadah individual; ia membentuk struktur sosial dan politik yang ideal dalam Islam, di mana keadilan distributif harus dijamin oleh negara.
Kisah Khalifah Abu Bakar memerangi orang-orang yang menolak membayar Zakat setelah wafatnya Nabi SAW menunjukkan bahwa pencegahan *kanz* adalah tanggung jawab negara (ulil amri). Negara harus memastikan sistem pengumpulan dan distribusi Zakat berjalan efektif. Jika *kanz* dibiarkan, ia akan menyebabkan:
Oleh karena itu, pelaksanaan penuh dari ruh Ayat 34 dan 35 memerlukan sistem fiskal yang transparan, adil, dan berfungsi untuk meredistribusi kekayaan secara berkelanjutan.
Kritik terhadap *al-ahbār* dan *ar-ruhban* adalah peringatan abadi bagi ulama, pendakwah, dan pemimpin spiritual kontemporer. Mereka yang menggunakan mimbar, gelar keagamaan, atau pengaruh spiritual mereka untuk memperoleh keuntungan materi pribadi yang tidak proporsional, atau yang takut menyuarakan kebenaran demi menjaga donasi dari elite, jatuh ke dalam perangkap yang sama. Integritas spiritual harus dipertahankan, dan harta yang diterima harus dikelola dengan etika yang ketat, memastikan bahwa mereka tidak ‘memakan harta orang secara batil.’
Ayat ini menuntut para pemimpin agama untuk menjadi teladan dalam kesederhanaan dan keadilan. Kegagalan mereka dalam hal ini tidak hanya merusak citra agama tetapi juga menghalangi umat dari jalan Allah, karena kepercayaan umat terhadap ajaran agama akan terkikis oleh kemunafikan materi yang mereka saksikan pada pemimpin spiritualnya.
Kewajiban menafkahkan harta ‘di jalan Allah’ (fī sabīli Allāh) menunjukkan bahwa kekayaan adalah sarana untuk berjihad (berjuang) demi tegaknya kebenaran. Jihad dengan harta (*Jihād bi al-Māl*) sering kali diletakkan setara atau bahkan mendahului jihad dengan jiwa (*Jihād bi al-Nafs*) dalam banyak ayat Al-Qur'an.
Infak di jalan Allah mencakup segala pengeluaran yang bertujuan memperkuat umat dan menegakkan keadilan: pendidikan, kesehatan, pertahanan, penelitian ilmiah, dan bantuan kepada yang membutuhkan. Ketika harta ditimbun, semua proyek kebaikan ini terhambat. Sebaliknya, ketika umat Islam secara kolektif menanggapi seruan infak, kekayaan pribadi berubah menjadi aset kolektif yang tak ternilai harganya.
Penolakan terhadap *kanz* pada dasarnya adalah dorongan untuk melakukan investasi sosial yang membawa manfaat jangka panjang. Harta yang dikeluarkan akan berbuah pahala abadi, sedangkan harta yang ditimbun akan berbuah azab yang abadi. Inilah perbedaan mendasar antara perspektif materialistik sempit dan pandangan Islam yang berorientasi pada akhirat.
Penting untuk merenungkan deskripsi spesifik tentang azab dalam Ayat 35. Mengapa harus emas dan perak yang dipanaskan? Bukan api biasa, tetapi justru benda yang dicintai oleh si penimbun. Hal ini mengajarkan bahwa kecintaan yang berlebihan dan tidak terkontrol terhadap materi dapat mengubah materi itu sendiri menjadi musuh bebuyutan di hari kiamat. Ini adalah peringatan psikologis yang mendalam bagi jiwa manusia.
Si penimbun menghabiskan hidupnya dengan memeluk harta benda mereka, menjaganya, dan menolak membaginya. Di akhirat, mereka dipaksa memeluk harta itu dalam bentuk yang paling menyakitkan. Dahi, lambung, dan punggung mereka, yang digunakan untuk mengabaikan orang lain, kini menjadi target langsung hukuman. Kontemplasi ini seharusnya mendorong setiap Muslim yang memiliki kelebihan rezeki untuk segera memeriksa apakah seluruh kewajiban zakat dan infaknya telah terpenuhi, dan apakah harta yang dimilikinya telah menjalankan fungsinya sebagai berkah, bukan sebagai beban yang mematikan di hari pembalasan.
Kelezatan menimbun harta di dunia hanyalah sesaat, sedangkan rasa sakit akibat disetrika dengan emas dan perak panas adalah kekal. Perbandingan ini harus menjadi motivasi utama bagi setiap individu untuk mengutamakan kedermawanan dan keadilan ekonomi. Setiap keping emas yang ditahan melebihi haknya, adalah bahan bakar yang sedang dipersiapkan untuk menyetrika tubuhnya sendiri. Setiap keping yang diinfakkan adalah investasi yang akan kembali sebagai naungan dan keselamatan.
Kajian yang mendalam ini, yang melibatkan analisis linguistik, tafsir hukum, konteks historis, dan relevansi kontemporer, menunjukkan bahwa At-Taubah 34 dan 35 adalah dua ayat yang mengandung bobot ajaran ekonomi dan moral yang sangat besar. Mereka adalah pengingat bahwa keimanan sejati termanifestasi dalam tindakan nyata untuk menciptakan keadilan dan keseimbangan, dimulai dari pengelolaan harta benda pribadi. Larangan *kanz* adalah seruan untuk membebaskan diri dari belenggu materialisme dan menempatkan Allah di atas segala kecintaan terhadap dunia fana. Kita diperintahkan untuk menjadi pengelola harta yang baik, memastikan bahwa tidak ada hak orang lain yang tertahan, dan bahwa kekayaan kita berfungsi sebagai alat untuk meninggikan agama Allah, bukan sebagai alat untuk memuaskan keserakahan pribadi semata.
Jika kita gagal memahami pesan ini, jika kita membiarkan kekayaan menumpuk di tangan segelintir orang sambil mengabaikan penderitaan mayoritas, maka kita secara sadar mengundang ancaman yang termaktub dalam ayat 35. Kita harus terus-menerus merenungkan apakah gaya hidup kita saat ini, metode perolehan harta kita, dan cara kita membelanjakannya, sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh ayat-ayat ini. Hanya dengan begitu kita dapat berharap untuk terhindar dari azab yang dijanjikan bagi para penimbun yang bakhil dan sombong. Panggilan kepada keadilan ini adalah panggilan abadi yang menuntut respon aktif dari setiap Muslim yang mengaku beriman.