Ancaman Keras Bagi Penimbun Harta: Kajian Mendalam QS. At-Taubah Ayat 35

Ilustrasi Harta yang Ditimbun dan Ancaman Siksa Api

Harta (emas dan perak) yang tidak dikeluarkan zakatnya akan menjadi alat penyiksaan di Hari Kiamat.

Surah At-Taubah, surah kesembilan dalam Al-Qur'an, dikenal dengan kekerasan nadanya yang sering kali membahas hukum-hukum fundamental, pertanggungjawaban sosial, dan sikap terhadap kaum munafik serta orang-orang yang melanggar janji. Di antara ayat-ayatnya yang paling tegas adalah ayat ke-35, yang secara eksplisit memberikan peringatan keras dan gambaran hukuman yang mengerikan bagi mereka yang menimbun harta (emas dan perak) tanpa memenuhi hak Allah dan hak masyarakat di dalamnya.

Ayat ini bukan hanya sekedar larangan ekonomi, tetapi merupakan pondasi etika keuangan Islam yang menekankan bahwa kepemilikan harta adalah amanah, bukan hak mutlak untuk dipertahankan secara statis dan individualistik. Analisis terhadap ayat ini membuka jendela pemahaman tentang keadilan distributif dalam Islam, filosofi zakat, dan konsekuensi spiritual dari ketamakan materi.

I. Teks dan Terjemah Ayat 35 Surah At-Taubah

يَوْمَ يُحْمٰى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَىٰ بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ ۖ هَٰذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنتُمْ تَكْنِزُونَ

"Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahanam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung mereka dan punggung mereka (seraya dikatakan kepada mereka): 'Inilah harta bendamu yang kamu timbun untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah akibat dari apa yang kamu timbun itu.'" (QS. At-Taubah [9]: 35)

II. Konteks Historis dan Latar Belakang Pewahyuan (Asbabun Nuzul)

Mayoritas mufasir sepakat bahwa meskipun konteks langsung ayat 34 (ayat sebelum 35) ditujukan kepada para pendeta Yahudi dan rahib Nasrani yang memakan harta manusia secara batil dan menghalangi jalan Allah, ayat 35 memiliki aplikasi universal yang mencakup setiap Muslim yang menimbun harta tanpa membayar zakat. Ayat 34 mengkritik penyalahgunaan otoritas agama untuk mengakumulasi kekayaan; ayat 35 memperluas peringatan tersebut kepada semua bentuk penimbunan harta yang melalaikan kewajiban sosial dan agama.

Peringatan Universal terhadap Ketamakan

Pada masa Nabi Muhammad ﷺ, emas dan perak (dinar dan dirham) adalah mata uang utama dan indikator kekayaan. Penimbunan harta ini, atau dikenal dengan istilah *kanz*, mengakibatkan terhentinya perputaran ekonomi dan menyebabkan kemiskinan meluas. Ayat ini datang untuk memastikan bahwa kekayaan harus berfungsi, bergerak, dan memberikan manfaat bagi komunitas. Jika harta hanya disimpan di dalam peti atau dikubur di tanah, ia tidak hanya mati secara ekonomi, tetapi juga mendatangkan bencana spiritual bagi pemiliknya.

III. Analisis Linguistik dan Tafsir Mufradat Kunci

Untuk memahami kedalaman ancaman dalam ayat ini, kita perlu mengurai beberapa istilah kunci:

1. Al-Kanz (الْكَنزُ) dan Yaknizūna (تَكْنِزُونَ)

Secara bahasa, *kanz* berarti harta yang ditimbun atau dikubur. Dalam konteks syariat, ulama berbeda pendapat mengenai definisi *kanz* yang terlarang:

Kesimpulan tafsir utama adalah bahwa masalahnya bukan pada akumulasi kekayaan itu sendiri, melainkan pada *keengganan* menunaikan kewajiban Zakat (Rukun Islam yang ketiga). Zakat adalah jembatan antara kekayaan pribadi dan kebutuhan sosial; melalaikannya berarti memutuskan jembatan tersebut.

2. Fī Nār Jahanam (فِي نَارِ جَهَنَّمَ) dan Yukwā (تُكْوَىٰ)

Ayat ini memberikan gambaran yang sangat visual dan fisik tentang hukuman. *Yukwā* berasal dari kata *kawa*, yang berarti membakar, membubuhi cap, atau mengobati dengan besi panas (cauterisasi). Ini menunjukkan bahwa harta yang ditimbun itu akan dipanaskan hingga membara di dalam api neraka Jahanam (*yuhmā 'alayhā*).

Ancaman hukuman ini bersifat *Qishash* (balasan setimpal) yang mengerikan. Harta yang seharusnya menjadi sumber keberkahan di dunia, justru berubah menjadi alat penyiksaan. Emas dan perak yang disayangi di dunia, kini menjadi cairan panas yang membakar kulit.

IV. Gambaran Kengerian Sanksi di Akhirat

Ayat 35 menjelaskan bahwa dengan harta yang telah dipanaskan tersebut, akan dibakar tiga bagian utama tubuh: dahi, lambung, dan punggung. Pemilihan ketiga area ini oleh Allah SWT mengandung makna yang sangat mendalam dan pedagogis.

1. Pembakaran Dahi (جباههم - Jibāhuhum)

Dahi adalah tempat kehormatan, kebanggaan, dan merupakan bagian yang paling sering disorot ketika seseorang menunjukkan keangkuhan atau rasa puas diri terhadap hartanya. Dahi juga merupakan bagian tubuh yang digunakan untuk bersujud kepada Allah. Pembakaran dahi melambangkan penghinaan terhadap kesombongan dan penolakan untuk tunduk kepada perintah Allah (termasuk perintah Zakat) yang dilakukan oleh penimbun harta.

2. Pembakaran Lambung (جنوبهم - Junūbuhum)

Lambung atau sisi tubuh adalah tempat di mana seseorang biasanya menyimpan hartanya atau berbaring di atas kekayaannya dalam kenyamanan. Ketika kekayaan ditimbun, ia sering kali menyebabkan pemiliknya tidur nyenyak tanpa mempedulikan kelaparan tetangganya. Pembakaran lambung menunjukkan balasan atas sikap egois, rakus, dan enggan berbagi yang disimpan di dalam hati dan diekspresikan melalui penimbunan harta.

3. Pembakaran Punggung (ظهورهم - Zuhūruhum)

Punggung adalah bagian yang paling sering diabaikan atau disembunyikan. Dalam konteks sosial, punggung juga melambangkan pengabaian atau memunggungi kewajiban sosial dan kebutuhan orang miskin. Pembakaran punggung melambangkan pembalasan atas pengabaian hak fakir miskin yang seharusnya diemban oleh harta tersebut. Mereka yang membelakangi tanggung jawab sosial akan merasakan panasnya hukuman di bagian yang sama.

Pesan penutup dalam ayat tersebut, "Inilah harta bendamu yang kamu timbun untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah akibat dari apa yang kamu timbun itu," adalah puncak penghinaan ilahi. Harta yang seharusnya menjadi sumber penyelamat di dunia (melalui sedekah dan zakat) justru menjadi penghancur di akhirat.

V. Filosofi Zakat sebagai Pengendali Harta

Ayat 35 secara efektif berfungsi sebagai penegasan mutlak terhadap kewajiban Zakat. Zakat adalah mekanisme yang dirancang oleh syariat untuk mencegah penimbunan dan memastikan sirkulasi kekayaan. Jika Zakat ditiadakan, seluruh sistem ekonomi dan sosial Islam akan runtuh.

1. Zakat sebagai Penyucian Harta (Tazkiyah)

Kata Zakat sendiri berarti "pembersihan" dan "pertumbuhan." Harta yang telah dikeluarkan zakatnya menjadi suci (*thayyib*) dan diberkahi. Sebaliknya, harta yang ditahan zakatnya dianggap najis secara spiritual. Ia membawa kotoran, dan kotoran inilah yang akan diubah menjadi alat penyiksaan di Hari Kiamat.

Imam Al-Ghazali dalam *Ihya' Ulumiddin* menekankan bahwa kecintaan berlebihan terhadap harta adalah penyakit hati. Zakat adalah terapi kolektif. Dengan mengeluarkan sebagian kecil harta, seorang Muslim melatih dirinya untuk melepaskan belenggu materi dan mengakui bahwa kepemilikan sejati adalah milik Allah.

2. Hak Allah dan Hak Hamba

Zakat bukanlah sedekah sukarela (infak atau shadaqah sunnah), melainkan hak yang wajib dikeluarkan dari kekayaan. Dengan kata lain, penimbun harta bukan hanya melanggar etika, tetapi juga mencuri hak delapan golongan penerima zakat (asnaf) yang telah ditetapkan Allah dalam Al-Qur'an.

Penimbunan menyebabkan terjadinya ketimpangan yang merusak tatanan sosial. Ayat ini menunjukkan bahwa dosa penimbunan tidak hanya bersifat pribadi (pelanggaran terhadap Allah), tetapi juga bersifat sosial (pelanggaran terhadap hak fakir miskin dan masyarakat luas). Inilah yang menjadikan hukumannya begitu berat dan fisik.

VI. Prinsip Ekonomi Islam Melawan Penimbunan

Kajian At-Taubah 35 mendorong kita untuk memahami bahwa Islam memandang harta bukan sebagai tujuan akhir, tetapi sebagai sarana untuk mencapai kebaikan dan alat untuk menegakkan keadilan di bumi. Ayat ini adalah landasan bagi berbagai kebijakan ekonomi dalam Islam.

1. Larangan Statisifikasi Kekayaan

Sistem ekonomi Islam sangat menentang harta yang disimpan secara statis (*idle money*). Zakat atas kekayaan produktif atau simpanan yang tidak berputar (emas, perak, uang) berfungsi sebagai "pajak" yang memaksa pemiliknya untuk menginvestasikan atau membelanjakan hartanya. Jika seseorang terus menimbun tanpa investasi, jumlah zakat yang harus dibayarkan akan mengikis kekayaan tersebut dari tahun ke tahun, sehingga secara alami mendorong sirkulasi dan produktivitas.

Prinsip ini sangat kontras dengan sistem ekonomi kapitalis yang cenderung memuja akumulasi modal tanpa batas, sering kali mengabaikan fungsi distributif. Islam memastikan bahwa modal harus selalu bergerak, sebagaimana firman Allah, agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu (QS. Al-Hasyr [59]: 7).

2. Dampak Sosiologis dan Ekonomi Makro Penimbunan

Penimbunan harta, terutama mata uang yang dominan (emas dan perak pada masa itu, atau uang tunai/aset cair modern), memiliki dampak makroekonomi yang serius:

  1. Meningkatkan Kemiskinan: Ketika kekayaan terkonsentrasi di tangan segelintir orang dan tidak disirkulasikan, peluang kerja berkurang, dan kesenjangan ekonomi melebar.
  2. Memicu Inflasi (segi permintaan): Jika uang disimpan, daya beli berkurang di pasar, namun jika ditahan dari sirkulasi produktif, ia menyebabkan kelangkaan modal untuk investasi, yang pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan.
  3. Merusak Solidaritas Sosial: Penimbunan menciptakan kecemburuan sosial, permusuhan, dan merusak konsep *ukhuwah* (persaudaraan) yang menjadi inti masyarakat Muslim. Ayat 35 secara teologis menyatukan kembali ekonomi dan moralitas; kegagalan dalam ekonomi adalah kegagalan moral.

Oleh karena itu, ancaman dalam At-Taubah 35 tidak hanya bersifat hukuman, tetapi juga berfungsi sebagai mekanisme perlindungan sosial. Melindungi orang kaya dari godaan ketamakan dan melindungi masyarakat dari ketidakadilan distributif.

VII. Relevansi Kontemporer: Kekayaan Modern dan Kanz

Meskipun ayat ini secara spesifik menyebut emas dan perak, ulama kontemporer sepakat bahwa hukum yang terkandung di dalamnya berlaku untuk segala bentuk kekayaan yang memiliki potensi untuk ditimbun dan yang wajib dizakati.

1. Uang Tunai dan Deposito

Uang kertas modern (fiat money) memiliki fungsi yang sama dengan dinar dan dirham. Menimbun uang dalam rekening bank tanpa mengeluarkannya untuk investasi produktif atau zakat, ketika telah mencapai nisab dan haul (satu tahun kepemilikan), sama saja dengan menimbun emas dan perak. Ancaman *kanz* berlaku di sini.

2. Aset Properti dan Investasi Spekulatif

Bagaimana dengan properti? Secara umum, properti yang digunakan untuk kebutuhan pribadi (rumah tinggal, kendaraan) tidak dikenakan zakat. Namun, jika properti tersebut dibeli semata-mata untuk tujuan spekulatif, dibiarkan kosong, dan menimbun nilai tanpa memberikan manfaat sosial (misalnya, tanpa disewakan atau dijual untuk perputaran), ia dapat dikategorikan dalam semangat *kanz* karena menghambat sirkulasi. Zakat diwajibkan atas properti investasi yang diperdagangkan, dan para ulama kontemporer juga membahas zakat properti kosong yang ditahan dalam jangka waktu lama.

3. Saham, Obligasi, dan Komoditas Digital

Dalam ekonomi global, kekayaan sering berbentuk aset digital atau instrumen keuangan. Prinsip At-Taubah 35 menuntut kita untuk selalu mengidentifikasi kewajiban zakat atas aset-aset ini. Jika saham dibeli untuk investasi jangka panjang yang menghasilkan dividen, zakat dikenakan atas dividen dan juga nilai aset itu sendiri (berbeda-beda pandangan fikih). Jika ditahan statis tanpa dikeluarkan haknya, statusnya kembali pada ancaman *kanz*.

Intinya adalah, bukan bentuk fisik harta yang menjadi masalah, melainkan *niat* penahanan dan *kelalaian* terhadap hak Allah dan hak masyarakat. Kekayaan harus menjadi aliran sungai yang menyuburkan, bukan bendungan yang menahan air hingga membusuk.

VIII. Dimensi Spiritual: Melawan Penyakit Hati

Ancaman fisik di Hari Kiamat adalah manifestasi luar dari penyakit spiritual yang berakar di hati. Ayat 35 adalah ajakan untuk introspeksi mendalam mengenai hubungan kita dengan dunia materi.

1. Bahaya Hubb Ad-Dunya (Cinta Dunia Berlebihan)

Penimbunan adalah manifestasi dari *hubb ad-dunya* (cinta dunia) yang berlebihan dan *thama’* (ketamakan). Orang yang menimbun harta percaya bahwa kekayaannya dapat menjamin keamanan abadi, padahal Al-Qur'an secara tegas mengatakan bahwa jaminan sejati hanya berasal dari Allah SWT.

Penimbunan mencerminkan kurangnya *tawakkal* (ketergantungan kepada Allah). Seseorang yang yakin pada rezeki Allah dan hari akhir akan lebih mudah membelanjakan hartanya *fī sabīlillāh* (di jalan Allah), karena ia tahu bahwa apa yang dikeluarkan akan diganti dan dilipatgandakan di akhirat.

Penyakit hati ini tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga merusak ibadah. Bagaimana mungkin seseorang bisa khusyuk dalam shalat (di mana dahi harus menyentuh lantai dalam kerendahan) jika hatinya dipenuhi oleh hitungan emas dan perak yang ia sembunyikan?

2. Konsep Qana'ah (Kepuasan dan Ketercukupan)

Kebalikan dari penimbunan adalah *qana'ah* (kepuasan atau merasa cukup). Ajaran Nabi ﷺ mengajarkan bahwa kekayaan sejati bukanlah banyaknya harta, melainkan kekayaan jiwa. Seorang Muslim yang menerapkan ajaran ini akan melihat hartanya sebagai alat untuk mencari keridhaan Allah, bukan sebagai tujuan untuk dipuja atau disembah.

Harta yang dizakati dan diinfakkan adalah investasi yang sesungguhnya. Itu adalah satu-satunya harta yang akan mendahului kita di akhirat. Penimbunan, sebagaimana dijelaskan At-Taubah 35, adalah investasi kegagalan, karena harta tersebut akan menjadi saksi dan alat penyiksa di hadapan Allah.

IX. Menelaah Makna 'Fī Sabīlillāh' dalam Konteks Kontemporer

Meskipun ayat ini secara tersirat menekankan pembayaran Zakat, pengeluaran *fī sabīlillāh* (di jalan Allah) yang meluas juga merupakan benteng pertahanan terhadap penimbunan.

Pada zaman Nabi ﷺ, *fī sabīlillāh* sering dikaitkan dengan jihad dan pertahanan negara. Namun, tafsir modern memperluas maknanya untuk mencakup segala upaya yang menopang masyarakat Islam dan meninggikan kalimat Allah. Ini termasuk:

Setiap kali seorang Muslim mengeluarkan hartanya di luar zakat wajib untuk tujuan-tujuan mulia ini, ia tidak hanya membersihkan hartanya tetapi juga memperkuat fondasi masyarakat. Dengan demikian, ia menjauhkan dirinya dari ancaman *kanz* yang sempit dan egois.

X. Peringatan untuk Pemimpin dan Penguasa

Ayat 34 dan 35 Surah At-Taubah memiliki implikasi yang signifikan bagi para pemimpin dan penguasa. Ayat 34 secara khusus menegur mereka yang menyalahgunakan kekuasaan agama atau politik untuk mengumpulkan kekayaan secara batil.

Tafsir atas ayat ini mengingatkan bahwa tugas pemerintah Islam adalah memastikan distribusi kekayaan yang adil dan mencegah terjadinya *kanz* secara sistematis. Khalifah Umar bin Khattab ra. pernah dikenal karena kebijakan pengawasan ketatnya terhadap harta pejabat dan kekayaan yang tidak bergerak, memastikan bahwa tujuan syariah dalam sirkulasi harta terpenuhi.

Jika penguasa menimbun harta publik atau membiarkan penimbunan besar-besaran terjadi di antara elite, mereka tidak hanya melanggar amanah politik, tetapi juga berkontribusi pada terciptanya siksa akhirat, baik bagi diri mereka sendiri maupun bagi masyarakat yang mereka pimpin.

XI. Penutup dan Penguatan Pesan Abadi

Surah At-Taubah ayat 35 adalah salah satu ayat Al-Qur'an yang paling tegas dalam menetapkan bahwa kepemilikan harta adalah ujian dan tanggung jawab. Ia menolak filosofi materialisme murni yang melihat harta sebagai nilai tertinggi.

Pelaksanaan Zakat yang benar adalah kunci untuk menanggapi peringatan ini. Zakat memastikan bahwa kekayaan tidak menjadi beban di akhirat, melainkan menjadi saksi atas ketaatan dan kepedulian sosial seorang hamba. Harta yang dikeluarkan zakatnya adalah harta yang dilindungi Allah, tumbuh, dan membersihkan pemiliknya dari dosa keserakahan.

Ancaman pembakaran dahi, lambung, dan punggung berfungsi sebagai pengingat abadi bahwa setiap keping emas, setiap perak, atau setiap nilai aset yang disimpan tanpa menunaikan haknya, sedang menunggu untuk diubah menjadi alat penyiksa pada hari yang pasti datang. Marilah kita jadikan harta kita sebagai jembatan menuju surga, bukan sebagai jeruji panas di neraka Jahanam.

Maka, bagi setiap pemilik kekayaan, pesan inti dari QS. At-Taubah 35 adalah: Sempurnakanlah Zakat, berinfaklah di jalan Allah, dan pastikan harta Anda senantiasa bergerak untuk kemaslahatan umat. Jangan biarkan timbunan materi menjadi azab yang tidak terhindarkan.

Rangkuman Konsekuensi Spiritual dan Sosial Penimbunan

Melalui elaborasi yang panjang dan mendalam terhadap ayat ini, kita dapat merangkum bahwa penimbunan harta tanpa menunaikan haknya mendatangkan kerugian multidimensi:

Kerugian Individu (Spiritual dan Akhirat)

  1. Siksa Fisik yang Mengerikan: Harta akan menjadi alat pembakar, membakar bagian-bagian tubuh yang menyimpan keangkuhan dan ketamakan.
  2. Hilangnya Berkah: Harta tersebut tidak akan mendatangkan ketenangan atau kebahagiaan sejati di dunia, dan pahalanya akan sirna di akhirat.
  3. Penyakit Hati: Timbulnya sifat kikir (*bakhil*), sombong, dan minimnya tawakal kepada Allah.
  4. Pertanggungjawaban yang Berat: Penimbunan meningkatkan bobot hisab (perhitungan) di Padang Mahsyar, di mana setiap dirham harus dipertanggungjawabkan.

Kerugian Kolektif (Sosial dan Ekonomi)

  1. Matinya Sirkulasi Ekonomi: Penimbunan menyebabkan stagnasi modal yang seharusnya dapat menciptakan lapangan kerja dan investasi.
  2. Kesenjangan Sosial: Jarak antara si kaya dan si miskin melebar, mengikis rasa persaudaraan dan memicu potensi konflik.
  3. Hambatan Pembangunan Umat: Dana yang seharusnya digunakan untuk membiayai pendidikan, kesehatan, dan dakwah terhenti di tangan individu.
  4. Kegagalan Fungsi Zakat: Sistem jaminan sosial Islam tidak berfungsi optimal, menyebabkan fakir miskin tetap menderita meskipun potensi kekayaan umat Islam sangat besar.

Ayat 35 Surah At-Taubah oleh karena itu, merupakan manifesto keadilan sosial Islam, menyerukan umat untuk sadar bahwa harta adalah alat ujian yang harus dilewati dengan tanggung jawab dan kemurahan hati, demi keselamatan abadi.

🏠 Homepage