Mengurai Makna At-Taubah Ayat 37: An-Nasi' dan Penistaan Syariat

Kedalaman Hikmah di Balik Larangan Manipulasi Bulan Haram

إِنَّمَا النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي الْكُفْرِ ۖ يُضَلُّ بِهِ الَّذِينَ كَفَرُوا يُحِلُّونَهُ عَامًا وَيُحَرِّمُونَهُ عَامًا لِّيُوَاطِئُوا عِدَّةَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فَيُحِلُّوا مَا حَرَّمَ اللَّهُ ۚ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
Sesungguhnya pengunduran (bulan haram) itu hanya menambah kekafiran. Orang-orang kafir disesatkan dengan (mengubah-ubah) itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat menyesuaikan dengan bilangan yang diharamkan Allah, lalu mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (QS At-Taubah [9]: 37)

I. Introduksi dan Latar Belakang Pewahyuan Ayat

Ayat yang mulia ini, At-Taubah ayat 37, merupakan sebuah pernyataan tegas dari Allah SWT mengenai praktik jahiliyah yang dikenal sebagai An-Nasi’. Pewahyuan ayat ini menandai penegasan kembali otoritas mutlak Allah dalam menetapkan hukum dan waktu, khususnya terkait empat bulan suci yang telah ditetapkan sejak penciptaan langit dan bumi. Konteksnya adalah penertiban kembali tatanan syariat setelah penaklukan Mekkah dan pembersihan syirik dari Jazirah Arab. Allah membersihkan sistem ibadah dan kehidupan dari intervensi manusia yang didorong oleh hawa nafsu dan kepentingan duniawi semata.

An-Nasi’ bukan sekadar kesalahan kalender; ia adalah representasi dari pengkhianatan terhadap perintah ilahi, sebuah upaya licik untuk menyesuaikan syariat Tuhan agar sesuai dengan kebutuhan peperangan atau kepentingan ekonomi suku. Dalam pandangan Islam, mengatur waktu ibadah adalah hak prerogatif murni Allah SWT. Ketika manusia berani memajukan atau menunda ketetapan waktu ini, ia secara esensial menempatkan dirinya sejajar dengan Tuhan dalam hal legislasi, yang merupakan puncak kekafiran.

Representasi Pengaturan Waktu dan Bulan Suci الزمن (Waktu)

Ilustrasi manipulasi terhadap ketetapan waktu suci Ilahi.

II. Tafsir Linguistik dan Istilah Kunci

A. Mendalami Makna 'An-Nasi’ (النَّسِيءُ)

Secara etimologi, kata An-Nasi’ berasal dari kata dasar نَسَأَ (nasa'a) yang berarti menunda, mengakhirkan, atau memundurkan. Dalam konteks syariat dan kalender Jahiliyah, An-Nasi’ merujuk pada praktik pengubahan urutan bulan-bulan suci (Muharram, Rajab, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah) yang dilakukan oleh para pemimpin kalender (Al-Qalammasah) di kalangan Bani Kinanah. Mereka menunda Muharram ke bulan Safar demi kepentingan militer atau ekonomi, sehingga mengacaukan siklus ibadah haji dan perdamaian yang seharusnya berlaku di bulan-bulan tersebut.

Penundaan ini memiliki implikasi ganda: Pertama, bulan yang seharusnya suci (Muharram) dijadikan bulan biasa (halal berperang). Kedua, bulan yang seharusnya biasa (Safar) dijadikan bulan suci (haram berperang). Ini adalah tindakan menukar batasan (hudud) Allah, bukan hanya kesalahan administratif kalender. Tafsiran linguistik menegaskan bahwa Nasi' adalah intervensi aktif terhadap ketetapan waktu Ilahi.

Analisis kata ‘Nasi’ tidak bisa dilepaskan dari konteksnya sebagai "Ziyadah fil Kufr" (penambahan kekafiran). Mengapa disebut 'penambahan'? Karena kekafiran dasar mereka sudah ada—yaitu menolak tauhid. Namun, dengan melakukan Nasi', mereka menambahkan dimensi kekafiran baru: penolakan terhadap kedaulatan Tuhan atas ruang dan waktu. Mereka mengklaim memiliki otoritas untuk menyatakan kapan perang sah dan kapan perang tidak sah, bertentangan dengan kehendak Sang Pencipta. Ini adalah bentuk kekufuran legislatif (kufur tasyri') yang sangat berbahaya, karena ia mencerminkan keangkuhan manusia yang merasa mampu memperbaiki atau mengoptimalkan syariat Tuhan. Ini menunjukkan bahwa Nasi' adalah bukan hanya dosa, melainkan praktik yang menempatkan pelaku di luar batasan iman, karena ia menafikan salah satu sifat kesempurnaan Allah, yaitu sebagai Al-Musawwir (Pembentuk) dan Al-Hakim (Yang Maha Bijaksana dalam Hukum).

B. Ziyadah fil Kufr (Penambahan Kekafiran)

Pernyataan Al-Qur'an bahwa Nasi' adalah "penambahan kekafiran" sangatlah kuat. Ini menyiratkan bahwa mereka yang sudah kafir menjadi semakin jauh dari petunjuk karena praktik ini. Setiap tindakan yang merusak integritas syariat, terutama yang berkaitan dengan waktu dan ritual, akan memperkuat akar kekafiran dalam diri seseorang. Kekafiran yang diakibatkan oleh Nasi' adalah:

III. Sejarah dan Mekanisme Praktik An-Nasi’ di Masa Jahiliyah

Untuk memahami beratnya ayat ini, kita harus menyelami bagaimana praktik An-Nasi’ bekerja dalam masyarakat Arab pra-Islam. Praktik ini lahir dari kebutuhan politik dan militer yang mendesak, terutama oleh suku Quraisy yang memegang kendali atas Hajj dan perdagangan.

A. Kebutuhan di Balik Pengunduran

Masyarakat Arab sangat bergantung pada perdagangan dan perampasan (ghanimah). Empat bulan suci (Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, Rajab) adalah periode di mana semua bentuk peperangan dan permusuhan harus dihentikan. Ini penting untuk memastikan keselamatan jamaah haji dan kelancaran perdagangan. Namun, jeda yang panjang ini sering kali tidak cocok dengan strategi militer mereka.

Misalnya, jika perang mereka sedang memanas menjelang masuknya Muharram, menghentikan perang dapat merugikan mereka. Solusinya? Mereka menunda bulan Muharram. Mereka menyatakan bahwa Muharram tahun itu ‘halal’ (diperbolehkan berperang), dan sebagai gantinya, mereka menyatakan bulan Safar sebagai bulan suci. Dengan demikian, mereka berhasil:

  1. Melanjutkan peperangan tanpa melanggar 'jumlah' bulan suci secara harfiah.
  2. Menjaga penampilan religius seolah-olah mereka masih menghormati empat bulan suci.

B. Peran Al-Qalammasah (Pemimpin Nasi’)

Praktik Nasi’ dilakukan oleh orang-orang tertentu yang memiliki otoritas tinggi. Para ahli sejarah, termasuk Ibnu Hisyam dan Ibnu Katsir, menyebut mereka sebagai Al-Qalammasah dari Bani Kinanah. Orang yang terkenal melakukan ini adalah Abu Tsumamah Junadah bin Auf. Di akhir musim haji, orang ini akan berdiri dan mengumumkan kepada orang banyak: "Saya telah menghalalkan Muharram dan mengharamkan Safar, atau menghalalkan Safar dan mengharamkan Muharram." Pengumuman ini diterima sebagai otoritas hukum yang sah oleh suku-suku lain.

Dampak dari sistem Nasi’ ini sungguh kacau. Karena mereka menggunakan sistem lunar (Qamariyah) tetapi sesekali menggesernya untuk tujuan militer, kalender mereka tidak lagi sinkron dengan siklus alam atau kalender Masehi, dan yang paling penting, tidak lagi sinkron dengan ketetapan Allah. Ketika Rasulullah SAW melaksanakan Haji Wada', beliau bersabda, "Sesungguhnya waktu telah berputar sebagaimana keadaannya pada hari Allah menciptakan langit dan bumi." (HR. Bukhari dan Muslim). Pernyataan Nabi SAW ini adalah penegasan bahwa Nasi’ telah berakhir, dan syariat kembali kepada tatanan waktu yang murni dan tidak termanipulasi. Haji Wada’ terjadi pada tahun ke-10 Hijriah, di mana bulan Dzulhijjah secara kebetulan jatuh pada posisi yang benar sesuai perhitungan Ilahi, mengakhiri kekacauan yang berlangsung selama puluhan, bahkan ratusan tahun.

Fenomena Nasi' adalah bukti nyata betapa cepatnya kearifan ilahi dapat disalahgunakan ketika nafsu kekuasaan dan ambisi material menguasai hati para pemimpin agama. Ini menciptakan sebuah realitas di mana yang haram bisa menjadi halal hanya dengan proklamasi seorang manusia, menggantikan kedaulatan teks suci. Setiap kali mereka menggeser bulan haram, mereka bukan hanya mengubah tanggal, tetapi mereka mengubah definisi suci dan profan. Mereka mendefinisikan kembali perdamaian dan permusuhan. Kekufuran ini menjalar ke seluruh sendi masyarakat, merusak perjanjian, kepercayaan, dan integritas moral. Suku-suku yang awalnya mungkin menentang manipulasi ini akhirnya dipaksa menerimanya demi menjaga kestabilan aliansi perdagangan atau keamanan regional. Ini adalah contoh klasik dari bagaimana penyimpangan syariat, sekecil apapun, dapat menghasilkan kehancuran moral dan spiritual kolektif yang massif dan berlarut-larut.

IV. Implikasi Syariat: Keutamaan Empat Bulan Haram

A. Penetapan Bulan-Bulan Suci

Allah SWT telah menetapkan empat bulan suci (Asyhurul Hurum) jauh sebelum datangnya Islam, sebagaimana disebutkan dalam ayat sebelumnya (At-Taubah 36). Bulan-bulan ini adalah Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab (Mudar). Tiga bulan pertama berurutan untuk memfasilitasi perjalanan dan pelaksanaan Haji dan Umrah, sementara Rajab berada di tengah tahun, sering disebut sebagai Rajab Mudar karena suku Mudar sangat menghormatinya.

Status suci bulan-bulan ini memiliki dua makna utama:

  1. Larangan Perang: Semua bentuk permusuhan fisik dilarang, memberikan masa damai bagi seluruh Jazirah Arab.
  2. Peningkatan Ibadah: Beribadah di bulan-bulan ini memiliki pahala yang lebih besar, namun sebaliknya, melakukan kezaliman atau dosa di dalamnya juga dianggap lebih besar dosanya.

B. Bahaya Menghalalkan yang Diharamkan

Ayat 37 secara eksplisit menyatakan bahwa tujuan Nasi’ adalah "lalu mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah" (فَيُحِلُّوا مَا حَرَّمَ اللَّهُ). Ini adalah inti dari dosa tersebut. Manipulasi kalender hanyalah alat; tujuannya adalah membatalkan larangan Allah demi keuntungan sesaat. Ini bukan hanya tindakan kelalaian, melainkan tindakan kesengajaan untuk menentang kehendak Ilahi.

Dalam ilmu Ushul Fiqh (Prinsip Hukum Islam), otoritas untuk menetapkan hukum (penghalalan dan pengharaman) sepenuhnya milik Allah SWT. Ayat ini menjadi dasar kuat (dalil qath'i) bahwa siapa pun atau institusi mana pun yang mengklaim hak untuk mengubah hukum Allah, bahkan dalam detail sekecil waktu atau batasan ritual, telah jatuh ke dalam kekafiran yang nyata. An-Nasi’ memberikan pelajaran abadi bahwa Taqlid (mengikuti) pemimpin yang membuat hukum bertentangan dengan syariat akan membawa pada kesesatan kolektif. Orang-orang kafir itu disesatkan oleh pemimpin Nasi’ mereka, namun mereka juga secara aktif berpartisipasi dalam kesesatan tersebut. Keseimbangan antara tanggung jawab individu dan kesesatan kolektif sangat terlihat di sini: "Orang-orang kafir disesatkan dengan (mengubah-ubah) itu." Mereka disesatkan oleh pemegang otoritas, tetapi karena mereka menerima otoritas itu di atas otoritas Allah, mereka tetap dihukumi kafir.

Kekacauan waktu ini juga merusak inti ibadah haji. Haji adalah ritual yang sangat terikat waktu (miqat zamani). Jika bulan Dzulhijjah digeser, seluruh ritus Arafah, Muzdalifah, dan Tawaf, yang seharusnya menjadi manifestasi persatuan dan kepasrahan, menjadi tidak sah. Manipulasi Nasi’ merusak kesucian ruang (Mekkah dan sekitarnya) dan kesucian waktu secara simultan. Hal ini menunjukkan bahwa sistem syariat adalah sebuah jalinan yang tidak dapat dipisahkan; merusak satu benang (waktu) akan merusak keseluruhan kain (ibadah dan hukum).

V. Dimensi Akidah: Nasi’ Sebagai Manifestasi Kesesatan

A. Pengkhianatan Terhadap Tauhid Rububiyyah

An-Nasi’ merupakan serangan langsung terhadap Tauhid Rububiyyah—keesaan Allah sebagai Pencipta, Pengatur, dan Penguasa alam semesta. Termasuk dalam Rububiyyah adalah pengaturan waktu dan musim. Ketika manusia mencoba "mengatur ulang" bulan-bulan suci, mereka secara tidak langsung mengklaim sebagian dari kedaulatan Allah. Praktik ini menunjukkan kegagalan mendasar untuk mengakui bahwa hikmah Allah dalam menetapkan waktu perdamaian adalah lebih sempurna daripada perhitungan taktis militer atau perdagangan manusia.

B. Disesatkan dengan (Mengubah-ubah) Itu

Ayat ini menyebutkan, يُضَلُّ بِهِ الَّذِينَ كَفَرُوا (Orang-orang kafir disesatkan dengan itu). Kesesatan di sini bukan hanya dalam hal kalender, tetapi kesesatan akidah yang mendalam. Kebiasaan mengubah hukum menciptakan lingkungan spiritual di mana kebenaran menjadi relatif. Jika mereka bisa memajukan Muharram, apa lagi yang tidak bisa mereka ubah? Ini membuka pintu bagi interpretasi syariat yang berdasarkan kepentingan pribadi, bukan wahyu. Begitu standar kebenaran diubah dari wahyu menjadi keinginan manusia, maka seluruh bangunan iman akan runtuh.

Kesesatan (Ad-Dhalalah) yang ditimbulkan oleh Nasi’ memiliki sifat multiplikatif. Para pelaku Nasi’ tidak hanya tersesat, tetapi mereka juga menjadi penyebab kesesatan bagi seluruh komunitas. Mereka memegang kendali atas ritual yang fundamental bagi kehidupan sosial dan spiritual (Haji dan perdamaian), sehingga kesalahan mereka diinternalisasi sebagai kebenaran oleh pengikutnya. Ini mengajarkan kita tentang bahaya mengikuti otoritas yang mengutamakan pragmatisme duniawi di atas prinsip kebenaran ilahi.

Syeikh Abdurrahman As-Sa’di dalam tafsirnya menjelaskan bahwa praktik Nasi’ adalah ironis: mereka ingin menyesuaikan diri dengan bilangan yang diharamkan Allah (empat bulan), namun untuk mencapai penyesuaian angka tersebut, mereka harus melanggar substansi dari pengharaman itu sendiri. Mereka mengganti kulit sambil merusak isinya. Ini adalah ciri khas orang-orang yang menentang syariat; mereka sering kali berusaha mempertahankan aspek formalitas agama (seperti jumlah bulan suci) sambil melanggar substansi dan rohnya (yaitu penghormatan terhadap waktu yang ditetapkan). Sikap hipokrit ini, yang berpura-pura taat namun sejatinya melanggar, adalah bentuk kesesatan yang ditolak keras oleh Allah SWT, yang ditutup dengan penegasan: "Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir."

VI. Hikmah Syar'i: Mengapa Waktu Harus Absolut?

A. Penyelarasan Ibadah Universal

Hikmah terbesar dari pemurnian kalender dan larangan Nasi’ adalah untuk memastikan ibadah umat Islam bersifat universal dan terikat pada standar waktu yang tidak dapat dinegosiasikan. Jika setiap suku atau komunitas diizinkan mengubah kalender demi kenyamanan mereka, maka tidak akan pernah ada kesatuan dalam ibadah Hajj, puasa, atau penetapan hari raya. Islam menuntut persatuan (ukhuwah), dan persatuan ini dimulai dari standar waktu ibadah yang sama bagi semua orang, dari timur hingga barat.

B. Pengakuan Atas Keterbatasan Manusia

Larangan Nasi’ adalah pengingat bagi manusia akan keterbatasan mereka. Manusia diciptakan di dalam dimensi ruang dan waktu, dan mereka tidak memiliki kuasa untuk mengatur dimensi tersebut. Hanya Allah yang menguasai waktu. Mengubah ketetapan bulan suci adalah upaya sombong untuk mengklaim otonomi absolut atas eksistensi, yang merupakan penghinaan terhadap keagungan Ilahi.

Kedaulatan Temporal (kedaulatan atas waktu) adalah salah satu aspek terpenting dari Rububiyyah yang sering diabaikan. Allah tidak hanya mengatur apa yang terjadi, tetapi kapan hal itu terjadi. Dalam konteks bulan haram, Allah menetapkan periode damai ini sebagai 'katup pengaman' tahunan bagi masyarakat yang penuh konflik. Dengan menghormati bulan-bulan ini, masyarakat dipaksa untuk menghentikan peperangan, berpikir tentang masa depan, dan fokus pada ibadah. Nasi’ menghancurkan katup pengaman ini. Ketika mereka menggeser bulan, mereka menanggalkan kedamaian dari Muharram dan membebankannya pada Safar, yang belum tentu siap secara sosial atau psikologis untuk menanggung beban kesucian tersebut. Sistem Nasi’ menunjukkan bahwa manusia jahiliyah hanya menghargai hukum selama hukum itu menguntungkan mereka. Ketika hukum (pelarangan perang) menjadi penghalang bagi keuntungan (perampasan), mereka mengubah hukum itu sendiri, sebuah tindakan yang lebih rendah daripada melanggar hukum, karena ia merusak struktur hukum Ilahi.

Ayat ini mengajarkan umat Islam sepanjang masa bahwa syariat harus diikuti sebagaimana adanya, tanpa modifikasi berbasis maslahah mursalah (kepentingan umum) yang bertentangan dengan nash yang jelas. Jika dasar syariat (seperti waktu haji dan perdamaian) dapat diubah, maka pintu penyesuaian hukum (talfiq) untuk menghindari tanggung jawab akan terbuka lebar, yang pada akhirnya akan menggerus fondasi agama itu sendiri, meninggalkan umat dengan agama yang hanya berupa formalitas kosong dan disesuaikan dengan tren zaman.

VII. Analisis Kontemporer: Nasi’ dalam Bentuk Modern

Meskipun praktik literal menggeser bulan Muharram telah berakhir sejak Haji Wada', semangat An-Nasi’—yaitu manipulasi syariat demi kepentingan duniawi—masih relevan hingga kini. Nasi’ modern terjadi setiap kali:

A. Pengubahan Hukum untuk Kepentingan Politik atau Ekonomi

Nasi’ modern terjadi ketika pemerintah atau otoritas agama yang berkuasa mengubah hukum-hukum fundamental syariat (seperti larangan riba, larangan khamr, atau hukum keluarga) dengan alasan 'modernisasi', 'pragmatisme', atau 'adaptasi terhadap dunia global'. Mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah demi keuntungan politik, ekonomi, atau sosial. Ini persis seperti Jahiliyah yang menghalalkan Muharram demi keuntungan perang.

Sebagai contoh, pembenaran sistem ekonomi berbasis bunga (riba) di negara-negara yang mayoritasnya Muslim sering kali dilakukan dengan argumen pragmatis bahwa tanpa riba, sistem finansial modern tidak akan berjalan. Ini adalah Nasi’ dalam bentuk ekonomi. Para ulama atau pemikir yang mengeluarkan fatwa yang membolehkan riba dengan 'penamaan baru' atau 'syarat khusus' yang bertentangan dengan ijma' (konsensus) adalah sebanding dengan Qalammasah yang mengumumkan Muharram menjadi Safar. Mereka mengambil batasan Allah (larangan riba) dan memajukannya atau menundanya agar sesuai dengan kebutuhan material yang mendesak.

Demikian pula, Nasi’ spiritual terjadi ketika seseorang melakukan ibadah dengan cara yang tidak disyariatkan, tetapi ia melakukannya karena merasa lebih 'khusyuk' atau 'efektif'. Meskipun konteksnya berbeda dengan kalender, inti dari perbuatan ini adalah klaim atas hak legislasi di ranah ibadah, yang merupakan area yang sepenuhnya tertutup bagi inovasi manusia (bid’ah). Jika Nasi’ adalah bid’ah di ranah waktu, maka inovasi dalam ritual adalah Nasi’ di ranah tata cara. Keduanya menghasilkan penambahan kekafiran atau, setidaknya, penambahan kesesatan.

B. Mengutamakan Logika Manusia di Atas Wahyu

Sikap fundamental yang memicu Nasi’ adalah anggapan bahwa akal manusia mampu menyusun hukum yang lebih baik atau lebih efisien daripada hukum Allah. Ketika seorang Muslim mulai berpikir, "Hukum ini tidak masuk akal di abad modern, jadi kita harus mengubahnya agar sesuai dengan norma sosial saat ini," ia telah meniti jalan Nasi’. Ia menempatkan norma sosial (kebiasaan) di atas norma Ilahi (wahyu), sebuah transfer kedaulatan yang merupakan ciri khas orang-orang kafir yang disesatkan.

Melalui At-Taubah 37, Allah memberikan peringatan keras kepada umat Islam untuk selalu menjaga kemurnian syariat dari segala bentuk intervensi yang didorong oleh kepentingan sesaat. Setiap inci dari hukum Allah telah ditetapkan dengan hikmah yang sempurna, dan manipulasi terhadapnya adalah indikasi kekafiran, karena ia menafikan kesempurnaan dan kemahatahuan Allah SWT.

VIII. Penutup: Konsistensi dalam Ketaatan

Ayat At-Taubah 37 bukan hanya catatan sejarah mengenai kesalahan masa lalu; ia adalah prinsip abadi dalam menjaga integritas agama. Prinsip ini mengajarkan bahwa ketaatan sejati menuntut konsistensi dan kepasrahan total kepada ketetapan Allah, bahkan ketika ketetapan itu terasa membatasi kepentingan duniawi kita. Pengunduran atau perubahan syariat, sekecil apapun, demi mengakomodasi hawa nafsu atau kepentingan kelompok adalah esensi dari Nasi’, dan ia membawa konsekuensi yang sangat berat, yakni "penambahan kekafiran."

Umat Muslim diwajibkan untuk menjunjung tinggi syariat tanpa penundaan, perubahan, atau penyesuaian yang bertentangan dengan teks-teks Al-Qur'an dan Sunnah yang shahih. Hanya dengan menjauhi segala bentuk Nasi’—baik dalam bentuk literal kalender maupun dalam bentuk metaforis penyesuaian hukum—kita dapat berharap menjadi golongan yang diberi petunjuk oleh Allah SWT, dan terhindar dari kesesatan yang ditimpakan kepada mereka yang berani bermain-main dengan batasan suci-Nya.

Keagungan syariat terletak pada sifatnya yang tsabit (tetap) dan tidak lekang oleh waktu, mengatur umat dari masa ke masa dengan keadilan dan kebijaksanaan yang tak tertandingi oleh sistem legislasi manusia manapun.

Ketaatan terhadap waktu suci, sebagaimana diatur dalam ayat ini, adalah fondasi untuk ketaatan terhadap seluruh syariat. Jika kita tidak mampu menghormati waktu yang disucikan oleh Allah, bagaimana mungkin kita menghormati hakikat hukum yang lain? Nasi’ adalah ujian pertama dan paling mendasar atas keikhlasan: apakah kita mengikuti Allah karena kita mencintai kebenaran-Nya, ataukah kita hanya mengikutinya selama itu tidak menghalangi kita dari perolehan duniawi? Jawaban yang diberikan oleh kaum Jahiliyah dengan praktik Nasi’ mereka adalah jawaban kekafiran. Jawaban yang dituntut dari umat Muhammad SAW adalah kepasrahan yang total. Penegasan ayat ini memastikan bahwa siklus ibadah haji, awal Ramadhan, dan penetapan bulan-bulan haram akan selalu mengikuti perhitungan bulan yang sesungguhnya, membebaskannya dari belenggu kepentingan politik atau militer manusia, menjadikannya murni milik Allah semata, hingga akhir zaman. Ini adalah keindahan takdir ilahi yang dipulihkan melalui pewahyuan At-Taubah ayat 37.

Setiap kali bulan Muharram tiba, setiap kali kita memasuki bulan Rajab, Dzulqa’dah, atau Dzulhijjah, kita diingatkan bahwa waktu ini adalah milik Allah. Ia disucikan oleh otoritas tertinggi. Menghormati bulan-bulan ini adalah manifestasi langsung dari pengakuan terhadap kedaulatan Allah. Dalam kontras, An-Nasi’ adalah penyingkapan keangkuhan manusia yang merasa bahwa ia dapat menawar atau merundingkan kontrak abadi yang dibuat oleh Penciptanya. Mereka yang melakukan Nasi’ menganggap syariat sebagai alat yang dapat dimodifikasi; Allah menanggapi bahwa modifikasi syariat adalah penghinaan terhadap-Nya. Dengan demikian, ayat ini menjadi pilar akidah dan sumber hikmah bagi setiap generasi Muslim yang berusaha menjaga kemurnian ajaran mereka dari segala bentuk distorsi dan penyesuaian yang merusak.

🏠 Homepage