I. Pengantar: Konteks Surah At-Tawbah
Surah At-Tawbah (Pengampunan), yang juga dikenal sebagai Bara'ah (Pelepasan), memiliki posisi unik dalam Al-Qur'an. Ia adalah satu-satunya surah yang diturunkan tanpa didahului bacaan Basmalah, sebuah isyarat simbolis akan tegasnya peringatan dan pengumuman pelepasan hubungan (pemutusan perjanjian) terhadap kaum musyrikin yang melanggar janji.
Surah Madaniyyah ini sebagian besar diturunkan setelah Perang Tabuk. Fokus utamanya adalah membedakan secara tajam antara barisan kaum Mukminin sejati, barisan musyrikin yang harus ditindak tegas, dan yang paling kritis—barisan kaum Munafiqun (orang-orang munafik) yang hidup di tengah-tengah masyarakat Muslim. At-Tawbah mengungkap kedok, keengganan, dan tipu daya hati mereka yang mengaku beriman namun menyimpan kekafiran dan kebencian terhadap Islam.
Ayat 55 dari surah yang agung ini merupakan salah satu titik krusial yang menyingkap tabir prioritas yang salah pada kelompok munafik. Ayat ini bukan sekadar larangan, melainkan sebuah analisis psikologis-teologis tentang bagaimana Allah SWT menggunakan kekayaan duniawi dan keturunan—dua nikmat terbesar dalam pandangan manusia—sebagai alat untuk menyiksa dan membinasakan mereka yang memilih jalan kemunafikan.
Penting untuk diingat bahwa pesan dalam ayat ini bersifat universal. Meskipun ditujukan pada kaum munafik di masa Nabi Muhammad SAW, esensinya menjadi peringatan abadi bagi setiap Muslim agar tidak terperangkap dalam jebakan materialisme hingga melupakan tujuan utama penciptaan.
II. Teks Mulia dan Terjemahan At-Taubah Ayat 55
Ayat ini ditujukan secara langsung kepada Rasulullah SAW (dan umat Muslim pada umumnya) sebagai nasihat profetik yang mendalam. Ia memperingatkan agar tidak membiarkan hati terkesima oleh manifestasi lahiriah kemakmuran yang dimiliki oleh kaum munafik, sebab kemakmuran tersebut adalah pedang bermata dua, yang pada hakikatnya adalah sumber azab bagi mereka di dunia dan menjadi penentu akhir nasib mereka di akhirat.
III. Analisis Tafsir Mendalam (Tafsir Mufradat)
Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita perlu membedah setiap frasa, memahami makna leksikalnya, dan implikasi teologisnya, sebagaimana yang diuraikan oleh ulama tafsir klasik seperti Imam Ath-Thabari, Ibnu Katsir, dan Az-Zamakhsyari.
1. فَلَا تُعْجِبْكَ (Maka janganlah membuatmu kagum)
Kata kunci di sini adalah *'ujub* (اعجاب). Ini adalah perasaan kekaguman, terpesona, atau bahkan hasad (iri hati) yang muncul ketika melihat kelebihan atau nikmat yang dimiliki orang lain. Allah melarang Rasulullah dan kaum mukminin untuk merasakan kekaguman terhadap kemakmuran kaum munafik. Kekaguman ini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan ilusi bahwa kemakmuran duniawi adalah indikator kebenaran atau keridaan Ilahi.
Kekaguman (Al-'Ujub) terhadap harta orang kafir atau munafik bisa merusak keimanan seseorang dalam dua cara:
- Keraguan Teologis: Jika Allah mencintai orang beriman, mengapa orang munafik yang jahat justru makmur? Kekaguman ini bisa menyulut pertanyaan yang meragukan keadilan atau janji Allah.
- Perubahan Prioritas: Kekaguman mendorong jiwa untuk mendambakan hal yang sama, sehingga menggeser fokus dari amal saleh menuju pengejaran material yang berlebihan.
Larangan ini menegaskan bahwa nilai sejati seseorang tidak diukur dari apa yang ia miliki, melainkan dari apa yang ia imani dan amalkan.
2. أَمْوَالُهُمْ وَلَا أَوْلَادُهُمْ (Harta benda mereka dan anak-anak mereka)
Harta (*Amwal*) dan anak-anak (*Awlad*) disebutkan secara spesifik karena dalam budaya Arab dan hampir semua peradaban, keduanya adalah puncak dari simbol kesuksesan, kekuatan, dan keberlanjutan hidup. Harta memberikan kekuasaan di dunia, sedangkan anak-anak menjamin nama baik dan warisan spiritual/fisik.
Ketika Allah menyebutkan keduanya sebagai sumber godaan, Dia mengingatkan bahwa meskipun keduanya adalah *Zinah al-Hayat ad-Dunya* (perhiasan kehidupan dunia) (QS. Al-Kahfi: 46), bagi orang munafik, keduanya tidak berfungsi sebagai sarana ibadah atau jembatan menuju kebaikan, melainkan sebagai beban berat yang mengikat mereka pada bumi.
Kekayaan orang munafik sering kali didapatkan melalui cara yang tidak halal atau digunakan untuk menghalangi jalan dakwah. Anak-anak mereka dididik dalam lingkungan yang meragukan keimanan. Oleh karena itu, kekaguman terhadap hal-hal ini sama saja dengan mengagumi hasil dari kemaksiatan.
3. إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُم بِهَا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا (Sesungguhnya dengan itu Allah bermaksud menyiksa mereka dalam kehidupan dunia)
Ini adalah inti dari ayat ini, sebuah pengungkapan Hikmah Ilahiyyah (Kebijaksanaan Tuhan) yang mengejutkan. Kekayaan dan anak yang terlihat sebagai nikmat, justru adalah alat penyiksaan di dunia bagi mereka yang munafik. Bagaimana harta bisa menjadi azab di dunia?
Azab Material dan Psikologis:
Azab ini memiliki beberapa dimensi yang mendalam, jauh melampaui sekadar kerugian fisik:
- Kecemasan dan Keresahan: Harta yang berlimpah memerlukan pengurusan, perlindungan, dan kekhawatiran yang tak ada habisnya. Kaum munafik hidup dalam ketakutan akan kehilangan, pajak, atau pencurian. Mereka terperangkap dalam siklus materialisme yang tidak pernah memuaskan.
- Perjuangan Keras: Mereka terpaksa bekerja keras siang dan malam hanya untuk memelihara aset mereka, mengorbankan waktu istirahat, kesehatan, dan yang paling penting, waktu untuk beribadah dan introspeksi.
- Keterikatan Hati (Siksaan Hati): Keterikatan yang kuat pada anak dan harta menjadikan mereka sangat takut mati dan takut berkorban (jihad atau infak). Rasa takut ini adalah siksaan mental yang konstan. Mereka tidak pernah merasakan kedamaian spiritual karena hati mereka terikat pada sesuatu yang fana.
- Kegagalan Tujuan: Harta dan anak-anak mereka gagal memenuhi tujuan mereka—yaitu mendapatkan kekuasaan dan pengaruh tanpa keimanan sejati. Sebaliknya, hal itu hanya menimbulkan kecurigaan dan kebencian dari komunitas Mukminin.
- Siksaan Akhirat yang Dipesankan: Setiap kali mereka gagal menggunakan harta untuk kebaikan, ia menjadi bukti yang memberatkan mereka. Dalam konteks duniawi, ini adalah siksaan pendahuluan (precursor) yang membuat mereka tidak nyaman dan tidak tenteram.
Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa siksaan di dunia bagi mereka adalah penderitaan yang disebabkan oleh pengumpulan harta yang tidak pernah berakhir, dan kepelitan mereka dalam membelanjakannya di jalan Allah. Ketika mereka harus berinfak, hal itu terasa seperti azab bagi mereka, sebab hati mereka begitu mencintai dunia.
4. وَتَزْهَقَ أَنفُسُهُمْ وَهُمْ كَافِرُونَ (Dan agar nyawa mereka melayang, sedang mereka dalam keadaan kafir)
Ini adalah bagian penutup yang paling mengerikan. Tujuan akhir dari ujian yang berbentuk nikmat ini adalah memastikan mereka mati dalam keadaan kufur. Keterikatan pada dunia yang diakibatkan oleh harta dan anak-anak akan menyita seluruh perhatian mereka hingga hari kematian tiba, tanpa sempat bertaubat atau kembali kepada keimanan sejati.
Kematian dalam keadaan kufur (*zahq anfusihim wa hum kafirun*) berarti mereka meninggal dalam keadaan menolak kebenaran, meskipun secara lahiriah mereka mungkin dihitung sebagai Muslim. Ini menegaskan bahwa kemunafikan, yang dipicu oleh kecintaan dunia, adalah bentuk kekafiran yang paling berbahaya.
Ayat ini mengajarkan kita tentang konsep *Istidraj* (penguluran waktu). Allah memberikan kelapangan rezeki kepada mereka, bukan karena cinta, melainkan sebagai sarana agar mereka semakin tenggelam dalam kesesatan mereka, hingga mencapai titik di mana taubat sudah mustahil dan ajal menjemput mereka dalam kondisi yang paling buruk.
Interpretasi Visual: Harta sebagai Rantai
*Ilustrasi simbolis kekayaan yang menjadi belenggu dan siksaan duniawi.
IV. Hikmah Ilahiyyah: Mengapa Allah Memberi Harta Kepada Orang Munafik?
Ayat 55 memaksa kita untuk merenungkan pertanyaan teologis mendasar: Jika Allah membenci kaum munafik, mengapa Dia justru melimpahkan kekayaan dan keturunan kepada mereka? Jawabannya terletak pada konsep ujian, *istidraj*, dan pemisahan yang jelas antara nilai dunia dan nilai akhirat.
1. Pembeda antara Rida dan Rezeki (Istidraj)
Rezeki Allah diberikan kepada seluruh makhluk, baik yang beriman maupun yang kafir. Namun, pemberian rezeki ini memiliki makna yang berbeda. Bagi orang beriman, rezeki adalah nikmat yang diiringi taufik (kemudahan untuk beramal saleh). Bagi orang munafik, rezeki adalah *istidraj*—penundaan hukuman dan penyesatan secara bertahap. Semakin banyak harta yang mereka miliki, semakin jauh mereka dari mengingat Allah, dan semakin keras azab yang menanti mereka di akhirat.
Hadis Nabi SAW memperingatkan, "Apabila kamu melihat Allah memberi kepada seorang hamba dunia padahal ia selalu melakukan kemaksiatan yang ia sukai, maka sesungguhnya itu hanyalah *istidraj* (penarikkan secara berangsur-angsur)." (HR. Ahmad). Ayat 55 adalah manifestasi Al-Qur'an dari konsep *istidraj* ini.
2. Fungsi Pembedaan (Tamayyuz)
Kekayaan orang munafik berfungsi sebagai alat pembedaan dalam masyarakat. Ketika mereka diundang untuk berinfak atau berjihad dengan harta mereka, mereka enggan dan menolak (sebagaimana dijelaskan dalam ayat-ayat berikutnya dalam At-Tawbah). Penolakan ini membuktikan kemunafikan mereka secara nyata dan memisahkan barisan Mukminin sejati dari para penipu.
Jika kekayaan hanya diberikan kepada Mukminin, maka semua orang akan berlomba-lomba mengaku beriman demi kekayaan. Dengan memberikan kekayaan kepada Munafik, Allah memperlihatkan bahwa dunia ini hanyalah barang fana dan ujian, memastikan keimanan Mukminin didasarkan pada keyakinan murni, bukan imbalan materi.
3. Penekanan pada Siksaan Batin
Siksaan yang dimaksud dalam ayat 55 adalah siksaan yang paling kejam—siksaan hati. Kaum munafik memiliki harta yang melimpah, tetapi mereka tidak pernah merasa cukup, bahagia, atau tenang. Kekayaan mereka adalah sumber kecemasan permanen. Mereka iri terhadap kedamaian batin dan kebahagiaan sejati yang dimiliki oleh kaum Mukminin yang fakir sekalipun. Ini adalah bentuk azab duniawi yang paling halus dan efektif.
Bagi mereka, menghabiskan harta di jalan Allah adalah kerugian total, padahal bagi Mukmin, infak adalah investasi abadi. Perbedaan pandangan ini adalah siksaan. Mereka terpaksa melihat harta mereka menjadi musuh mereka sendiri pada hari Kiamat, sebagaimana firman Allah, "Harta benda mereka tidaklah akan bermanfaat sedikit pun bagi mereka di sisi Allah" (QS. At-Tawbah: 55, bagian awal). Oleh karena itu, kekayaan mereka hanya menambah berat timbangan dosa mereka.
V. Pelajaran Spiritual Abadi dari At-Taubah 55
Ayat ini menawarkan pelajaran spiritual yang fundamental bagi setiap Muslim yang hidup di era modern yang didominasi oleh konsumerisme dan materialisme. Ini adalah panggilan untuk melakukan Tazkiyatun Nafs (penyucian jiwa).
1. Menghindari Kekaguman yang Membinasakan (Al-'Ujub)
Peringatan utama adalah larangan terhadap *'ujub*—kekaguman buta. Di era media sosial, kekaguman terhadap harta dan gaya hidup orang lain jauh lebih mudah terjadi. Ayat ini mengajarkan bahwa kita harus melihat segala manifestasi duniawi—terutama kekayaan dan kemewahan—dengan mata hikmah, bukan mata iri atau kagum.
Seorang Muslim sejati harus senantiasa memegang prinsip bahwa kesuksesan sejati diukur dari kedekatan kepada Allah, bukan dari besarnya saldo bank atau jumlah pengikut. Ketika melihat kemewahan orang lain, seorang Mukmin harus mengingat: Apakah harta itu mendatangkan manfaat akhirat? Jika tidak, ia adalah beban, bukan nikmat.
Kekaguman yang berlebihan dapat memicu penyakit hati seperti hasad, hilangnya syukur atas nikmat sendiri, dan yang terburuk, kehilangan rasa urgensi terhadap kewajiban agama karena merasa duniawi lebih menarik.
2. Harta dan Anak sebagai Fitnah (Ujian)
Al-Qur'an sering menyebut harta dan anak sebagai *fitnah* (ujian). Dalam konteks At-Taubah 55, bagi kaum munafik, *fitnah* ini berfungsi ganda: ia menguji keimanan mereka sekaligus menjadi alat azab. Bagi Mukmin sejati, harta dan anak tetaplah ujian, tetapi tujuannya adalah untuk meningkatkan derajat, bukan untuk menjerumuskan.
Ujian harta adalah bagaimana kita membelanjakannya; ujian anak adalah bagaimana kita mendidik mereka dan apakah mereka membuat kita melupakan ibadah. Ayat ini mengingatkan kita untuk senantiasa memegang kendali atas nikmat duniawi, bukan membiarkan nikmat itu yang mengendalikan dan memperbudak kita.
3. Pentingnya Kematian dalam Keadaan Beriman
Frasa yang paling menggetarkan, *“agar nyawa mereka melayang, sedang mereka dalam keadaan kafir”*, menekankan nilai tertinggi dari keimanan pada akhir hayat (*Husnul Khatimah*). Semua penderitaan duniawi akan menjadi remeh jika kita mati dalam keadaan beriman. Sebaliknya, semua kenikmatan duniawi akan sia-sia jika kematian menjemput dalam keadaan kufur atau munafik.
Pengejaran dunia yang dilakukan oleh kaum munafik dalam ayat ini adalah pengejaran yang melupakan kematian. Mereka menghabiskan seluruh energi mereka untuk mengamankan kehidupan yang fana, sehingga mereka tidak memiliki persiapan apa pun untuk kehidupan yang abadi. Pelajaran bagi kita adalah menjadikan setiap aset duniawi sebagai bekal menuju akhirat, memastikan bahwa keterikatan hati kita hanyalah pada Allah SWT.
VI. Aplikasi Ayat 55 dalam Kehidupan Kontemporer
Meskipun diturunkan 14 abad yang lalu di Madinah, makna At-Taubah 55 relevan secara tajam dalam masyarakat modern yang dipenuhi godaan materi dan citra kesuksesan yang keliru.
1. Materialisme dan Perlombaan Status
Masyarakat modern seringkali mendefinisikan keberhasilan sepenuhnya dalam kerangka materi: rumah besar, mobil mewah, dan merek ternama. Ayat 55 mengobati penyakit hati yang ditimbulkan oleh perlombaan status ini. Kaum munafik saat itu pun berlomba dalam hal kekayaan dan keturunan. Allah menjelaskan bahwa di balik kemewahan itu, tersembunyi azab psikologis dan spiritual.
Jika kita merasa tertekan, cemas, dan tidak pernah puas meskipun memiliki banyak harta, kita harus merenungkan apakah harta kita telah menjadi azab duniawi, persis seperti yang menimpa kaum munafik. Kekayaan yang membuat kita pelit, lupa beribadah, dan iri terhadap orang lain adalah belenggu, bukan anugerah.
2. Media Sosial dan 'Ujub Virtual
Fenomena *'ujub* yang dilarang dalam ayat ini menemukan saluran baru dalam media sosial. Orang-orang berlomba memamerkan harta dan anak-anak mereka (aset duniawi) demi kekaguman publik. Kekaguman yang didapat ini hanyalah kekaguman palsu yang justru memicu kecemasan dan riya' pada pelakunya, serta iri hati pada yang melihat.
Bagi kaum Mukminin yang menyaksikan, ayat 55 berfungsi sebagai filter digital: jangan biarkan kemewahan yang dipamerkan di layar membuatmu kagum dan menggoyahkan keimananmu terhadap prinsip zuhud dan qana’ah (merasa cukup). Ingatlah selalu bahwa apa yang dilihat mata hanyalah kulit luar; batin pemilik harta tersebut mungkin sedang disiksa oleh kecemasan, ketakutan, dan kehampaan spiritual.
3. Mengukur Keberhasilan Anak
Anak-anak disebutkan secara spesifik sebagai sumber godaan. Dalam konteks modern, ini mencakup tekanan untuk memastikan anak-anak meraih kesuksesan duniawi maksimal (gelar tinggi, karier bergengsi), sering kali mengorbankan pendidikan agama mereka. Jika kita bangga dengan gelar akademik anak kita tetapi tidak peduli dengan kualitas shalat mereka, maka anak-anak tersebut berpotensi menjadi *fitnah* dan azab duniawi.
Keberhasilan sejati seorang anak adalah ketika mereka menjadi *'amal jariah* (amal yang terus mengalir) bagi orang tua, bukan hanya menjadi kebanggaan sosial sesaat. Ayat ini mengajarkan prioritas utama dalam pendidikan: keselamatan akhirat, di atas segala pencapaian dunia.
VII. Kontras Spiritual: Zuhud dan Qana'ah sebagai Penawar
Jika At-Taubah 55 adalah peringatan tentang bahaya keterikatan dunia, maka penawarnya adalah mengamalkan prinsip Zuhud (asketisme yang moderat) dan Qana’ah (rasa puas).
1. Konsep Zuhud yang Benar
Zuhud tidak berarti menolak dunia secara total, menjadi fakir, atau meninggalkan profesi. Zuhud, dalam definisi yang diajarkan oleh para salaf, adalah meletakkan dunia di tangan, bukan di hati. Orang yang zuhud mungkin memiliki harta, tetapi ia tidak dikendalikan olehnya. Ia tidak merasa sedih jika hartanya berkurang, dan ia tidak terlalu gembira jika hartanya bertambah.
Kaum munafik dalam ayat 55 gagal dalam zuhud. Harta mereka ada di hati mereka, menyebabkan mereka takut berkorban dan terikat kuat pada dunia hingga lupa akhirat. Zuhud adalah jalan untuk menghindari azab duniawi yang dijelaskan dalam ayat 55.
2. Kekuatan Qana’ah (Merasa Cukup)
Qana’ah adalah kepuasan batin yang mendalam terhadap apa yang Allah berikan. Qana’ah adalah perisai terkuat melawan *'ujub* dan hasad terhadap kekayaan orang lain. Ketika seseorang memiliki Qana’ah, ia tidak akan merasa kagum dengan kemewahan kaum munafik atau orang kafir, karena ia telah menemukan kekayaan sejati dalam hatinya, yaitu keimanan.
Nabi SAW bersabda, "Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan sejati adalah kekayaan jiwa." Qana'ah adalah implementasi praktis dari ayat 55. Jika hati kita puas dengan takdir Allah, maka kita tidak akan merasa cemas atau terikat pada harta, dan kita terhindar dari siksaan duniawi yang dialami oleh kaum munafik.
VIII. Reaksi Iman Terhadap Azab Duniawi
Ayat 55 menggarisbawahi adanya azab duniawi yang menimpa kaum munafik. Bagaimana seorang Mukmin harus bereaksi terhadap azab atau musibah duniawi yang menimpanya?
1. Musibah sebagai Kaffarah (Penghapus Dosa)
Ketika Mukmin diuji dengan kehilangan harta atau musibah pada anak, musibah tersebut berfungsi sebagai *kaffarah*, penghapus dosa, dan peningkatan derajat. Musibah Mukmin adalah kasih sayang, sementara kemudahan bagi munafik adalah *istidraj*.
Mukmin sejati melihat kesulitan finansial sebagai kesempatan untuk bersabar dan kembali kepada Allah. Orang munafik melihat kesulitan sebagai alasan untuk mengeluh, marah, dan semakin jauh dari agama. Inilah perbedaan mendasar antara siksaan duniawi bagi orang munafik yang disebutkan dalam ayat 55, dan ujian duniawi bagi orang Mukmin.
2. Keimanan sebagai Penjamin Ketenangan
Ketenangan (Sakinah) adalah nikmat duniawi terbesar yang tidak dapat dibeli dengan harta. Kaum munafik, meskipun kaya, hidup dalam ketidaktenangan (azab batin). Mukmin sejati, karena keterikatan hatinya pada Allah, memperoleh Sakinah, bahkan di tengah kemiskinan atau bahaya.
Surah At-Taubah 55 mengajarkan bahwa jika kita melihat seseorang makmur tetapi hatinya selalu gelisah, kita seharusnya tidak kagum. Kegelisahan itu adalah manifestasi dari azab duniawi yang Allah firmankan: sebuah hukuman batin atas pengkhianatan spiritual mereka.
IX. Perluasan Tafsir: Keterkaitan Ayat 55 dengan Ayat-Ayat Sebelumnya dan Sesudahnya
Ayat 55 tidak berdiri sendiri. Ia merupakan bagian integral dari serangkaian ayat dalam At-Tawbah yang secara sistematis menyingkap karakter kaum munafik.
1. Kontras dengan Ayat 54
Tepat sebelum Ayat 55, Ayat 54 menjelaskan mengapa infak (sedekah) yang dikeluarkan oleh kaum munafik tidak diterima oleh Allah:
"Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima nafkah-nafkah mereka melainkan karena sesungguhnya mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka tidak melaksanakan shalat melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka melainkan dengan rasa enggan." (QS. At-Tawbah: 54)
Ayat 54 menjelaskan tindakan lahiriah kaum munafik (malas shalat, enggan berinfak), sementara Ayat 55 masuk lebih dalam, menjelaskan motif psikologis dan spiritual di balik keengganan itu: yaitu kecintaan yang mendalam dan *'ujub* terhadap harta dan anak-anak mereka. Mereka takut hartanya berkurang karena kecintaan yang salah tersebut, sehingga infak terasa menyakitkan, menjadikannya siksaan duniawi yang sesungguhnya.
2. Peringatan tentang Kematian dalam Kekafiran
Ancaman dalam Ayat 55, yaitu kematian dalam keadaan kafir, diperkuat oleh banyak ayat lain, menunjukkan betapa parahnya kemunafikan. Kemunafikan adalah kondisi batin di mana seseorang secara sadar memilih kenyamanan duniawi dan menghindari tanggung jawab keimanan, hingga pada akhirnya, hidayah dicabut dari hatinya di momen krusial menjelang wafat.
Kematian dalam kekafiran adalah hasil akhir yang logis dari proses *istidraj*. Jika mereka menjadikan harta sebagai tuhan mereka di dunia, maka ketika nyawa dicabut, ikatan terakhir mereka adalah pada kekafiran terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
3. Konsep Azab Bertahap
Ayat 55 juga mengajarkan tentang azab yang bertahap. Sebelum azab neraka yang abadi, Allah memulai hukuman-Nya di dunia melalui tiga tahapan bagi kaum munafik:
- Azab Keterikatan: Harta dan anak menjadi fokus hidup yang membuat mereka menderita kecemasan.
- Azab Keengganan Ibadah: Mereka kehilangan kemampuan untuk menikmati ibadah (malas shalat dan berinfak).
- Azab Kematian yang Buruk: Nyawa mereka melayang dalam kondisi paling buruk, memutuskan harapan taubat.
Oleh karena itu, setiap Mukmin harus rutin memeriksa hatinya: Apakah harta yang saya miliki memberikan ketenangan, atau justru membawa kecemasan? Apakah anak-anak saya mendekatkan saya kepada Allah, atau justru menjauhkan saya karena obsesi duniawi?
X. Kesimpulan dan Penguatan Iman
Surah At-Tawbah Ayat 55 adalah sebuah mercusuar peringatan. Ia mengajarkan kita bahwa kekayaan dan keturunan, yang tampak sebagai nikmat, dapat berfungsi sebagai ujian yang keras dan bahkan azab yang menyakitkan bagi mereka yang memiliki hati yang sakit (munafik).
Pesan utamanya adalah:
- Jangan pernah terpukau atau terpesona oleh kemakmuran lahiriah orang lain jika kemakmuran itu tidak disertai dengan ketaatan kepada Allah.
- Pahamilah bahwa kekayaan yang diperoleh tanpa keimanan adalah sumber kecemasan, kesulitan, dan penyesalan duniawi, yang mengikat pelakunya erat-erat pada dunia hingga mati dalam keadaan kufur.
- Prioritaskan kualitas iman dan kedamaian batin (Qana'ah) di atas kuantitas aset materi (Amwal).
Kekuatan iman seorang Muslim sejati terletak pada kemampuannya memandang dunia sebagaimana adanya: tempat persinggahan, bukan tujuan akhir. Dengan memahami hakikat azab duniawi yang dijelaskan dalam Ayat 55, kita dapat membebaskan diri dari belenggu materialisme dan fokus pada bekal terbaik: ketakwaan dan amal saleh.
Semoga Allah SWT melindungi kita dari godaan harta yang menyesatkan dan mengaruniakan kepada kita kekayaan hati yang abadi, serta mematikan kita dalam keadaan Husnul Khatimah, dalam keadaan beriman penuh kepada-Nya.