Gambar: Gerbang abadi yang melambangkan janji Surga Adn dan cahaya Keridhaan Ilahi.
Surah At-Taubah, surah kesembilan dalam Al-Qur'an, dikenal dengan ketegasannya. Sebagian besar ayatnya diturunkan untuk membedakan secara tajam antara orang-orang mukmin sejati yang berjuang di jalan Allah dengan orang-orang munafik (hipokrit) yang bersembunyi di balik pengakuan iman. Setelah Allah SWT memaparkan siksaan pedih dan nasib buruk yang menanti kaum munafik dan kafir dalam ayat-ayat sebelumnya (seperti ayat 68 dan 69), Allah mengalihkan perhatian kepada nasib gilang-gemilang yang menanti hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa.
Ayat 72 dari Surah At-Taubah ini adalah puncak dari kontras tersebut, menyajikan janji agung yang meliputi tiga tingkatan kenikmatan tertinggi yang tak tertandingi: Surga yang kekal, tempat tinggal yang istimewa, dan kenikmatan yang melampaui segala materi—yaitu keridhaan Allah.
“Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat tinggal yang baik di Surga ‘Adn. Dan keridaan Allah (adalah) lebih besar. Itu adalah kemenangan yang agung.” (QS. At-Taubah [9]: 72)
Ayat ini menegaskan prinsip kesetaraan gender dalam ganjaran spiritual. Janji ini ditujukan kepada ٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتِ (orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan), menunjukkan bahwa standar takwa dan balasan ilahi tidak membedakan jenis kelamin; keadilan Allah meliputi setiap individu yang memenuhi syarat keimanan dan amal saleh.
Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita perlu membedah komponen utamanya, yang masing-masing merupakan tingkatan hadiah yang semakin tinggi dan semakin mendekatkan hamba kepada Penciptanya.
Ini adalah janji dasar Surga yang disebutkan berulang kali dalam Al-Qur'an. Kata جَنَّٰتٍ (surga-surga, jamak) mengindikasikan banyaknya jenis dan tingkatan Surga yang tersedia bagi orang mukmin, sesuai dengan derajat amal dan keimanan mereka.
Penyebutan *Masakin Tayyibah* (kediaman yang baik/suci) dan penyebutannya secara spesifik berada di *Jannat Adn* (Surga Adn) menunjukkan peningkatan derajat dan kualitas dari sekadar Surga secara umum.
Para mufasir menjelaskan bahwa *Masakin Tayyibah* tidak hanya merujuk pada keindahan fisik istana atau kediaman (yang terbuat dari mutiara, emas, atau perak), tetapi juga merujuk pada kesucian, kebahagiaan, dan kenyamanan yang sempurna.
Imam At-Tabari, dalam tafsirnya, menekankan bahwa "baik" (*tayyibah*) di sini mencakup segala aspek: keindahan arsitektur, kenikmatan suasana, kesucian dari segala kotoran (baik fisik maupun moral), dan yang terpenting, keberadaan di tempat yang tidak pernah terjadi kekecewaan, penyakit, atau kebencian.
Kata *Adn* secara etimologis berarti "tinggal, menetap, atau kekal". *Jannat Adn* sering diinterpretasikan sebagai Surga Tingkat Tertinggi, tempat yang paling mulia, atau pusat dari segala Surga. Beberapa ulama menafsirkan *Jannat Adn* sebagai tempat tinggal khusus bagi para nabi, siddiqin, syuhada, dan shalihin dengan derajat tertinggi.
Ini adalah peningkatan kualitatif. Seorang mukmin tidak hanya masuk Surga, tetapi ditempatkan di kediaman yang terbaik, di kawasan Surga yang paling mulia, sebuah tempat yang mencerminkan status istimewa mereka di sisi Allah.
Inilah inti teologis dan spiritual dari Ayat 72. Setelah menjanjikan segala kenikmatan materi dan tempat tinggal yang paling agung (Jannat Adn), Allah menambahkan bahwa ada karunia yang jauh melampaui semua itu: **Ridhwanullahi Akbar**—Keridhaan Allah yang Maha Besar.
Ayat ini secara eksplisit menggunakan kata أَكْبَرُ (Akbar/Lebih Besar), yang menegaskan bahwa kenikmatan spiritual keridhaan Ilahi melampaui nilai semua kenikmatan Surga, istana, bidadari, sungai, atau kekekalan itu sendiri.
Para ahli hikmah dan ulama tafsir bersepakat bahwa nilai Keridhaan Allah berada pada hierarki tertinggi kenikmatan akhirat, berdasarkan beberapa alasan mendasar:
Keridhaan Allah berarti jaminan mutlak. Begitu Allah menyatakan ridha kepada seorang hamba, tidak ada lagi ketakutan akan kehilangan, perubahan status, atau pengusiran. Bahkan di Surga, seorang mukmin mungkin secara naluriah masih mengharapkan yang lebih. Namun, ketika keridhaan Allah diraih, keinginan terhenti pada titik kepuasan dan kedamaian spiritual tertinggi.
Keridhaan Allah sering dikaitkan dengan karunia melihat wajah Allah (Ruyatullah), meskipun Surah At-Taubah 72 hanya menyebut 'Ridhwan'. Ulama seperti Ibn Kathir menjelaskan bahwa ketika penduduk Surga telah menerima segala hadiah materi, Allah berfirman: "Apakah kalian ingin sesuatu lagi yang Aku tambahkan?" Mereka menjawab: "Ya Tuhan kami, apa lagi yang Engkau tambahkan? Engkau telah memutihkan wajah kami, memasukkan kami ke Surga, dan menyelamatkan kami dari Neraka." Lalu Allah mengangkat hijab, dan keridhaan-Nya turun, dan pandangan mereka terhadap Wajah Allah adalah kenikmatan yang melupakan semua kenikmatan Surga lainnya. Inilah makna Ridhwanullahi Akbar; sebuah kenikmatan yang bersifat transendental, bukan materi.
Kenikmatan Surga (sungai, buah, istana) bersifat pasif; ia datang kepada hamba. Namun, keridhaan (Ridhwan) adalah kenikmatan aktif dan interaktif, yaitu perasaan dicintai, diterima, dan diakui oleh Sang Pencipta. Ini adalah pemenuhan hakikat penciptaan manusia itu sendiri.
Surga dan isinya adalah ciptaan Allah. Keridhaan Allah adalah sifat Allah yang diberikan. Kenikmatan ciptaan pasti terbatas. Namun, kenikmatan yang bersumber langsung dari sifat Ilahi adalah tak terbatas. Jika Allah telah ridha, maka semua kenikmatan Surga menjadi sempurna, karena keridhaan itu menyempurnakan persepsi dan jiwa yang menerimanya.
Dalam hadis riwayat Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri, Rasulullah SAW bersabda, ketika penduduk surga sudah mantap di dalamnya: “Kemudian Allah berfirman, ‘Aku akan memberi kalian lebih baik dari itu.’ Mereka bertanya, ‘Apa yang lebih baik dari itu?’ Allah berfirman, ‘Aku akan menurunkan keridhaan-Ku atas kalian, dan setelah itu Aku tidak akan pernah murka kepada kalian selama-lamanya.’”
Hadis ini secara eksplisit mengukuhkan bahwa **Ridhwan** adalah hadiah tertinggi, melebihi jaminan kekekalan di Surga itu sendiri.
Janji dalam At-Taubah 72 bukan hanya deskripsi tentang masa depan, tetapi juga merupakan motivasi fundamental dan peta jalan bagi kehidupan seorang mukmin di dunia. Tiga elemen janji tersebut mengajarkan tiga prinsip perjuangan:
Janji surga dengan sungai-sungainya menunjukkan bahwa perjuangan di dunia harus dilakukan dengan pengorbanan material dan fisik, seperti berjihad dengan harta dan jiwa (konteks Surah At-Taubah). Mukmin harus bersedia meninggalkan kenyamanan duniawi, mengetahui bahwa balasan fisik di akhirat jauh lebih indah dan kekal.
Janji kediaman yang baik (*Masakin Tayyibah*) menuntut mukmin untuk menjaga kualitas diri dan lingkungan sosialnya di dunia. *Tayyibah* (baik/suci) harus termanifestasi dalam akhlak yang baik, muamalah yang benar, dan mencari rezeki yang halal (*thayyib*). Hanya jiwa yang telah berusaha menyucikan dirinya dari hasad, riya, dan keburukan yang pantas menempati kediaman yang suci di sisi Allah.
Janji Keridhaan Allah (*Ridhwanullah*) adalah tujuan tertinggi tauhid. Ini membutuhkan ketulusan mutlak (*Ikhlas*). Amalan yang dilakukan semata-mata karena mengharap ridha-Nya, tanpa mengharap pujian manusia atau balasan duniawi, adalah kunci untuk mencapai tingkatan spiritual ini. Keridhaan tidak dapat dibeli dengan amal, tetapi dicapai melalui penyerahan diri total dan kesediaan untuk selalu berada di jalan yang diridhai, bahkan saat sulit.
Surah At-Taubah diturunkan pada masa-masa sulit pasca Perjanjian Hudaibiyah, terutama berfokus pada ekspedisi Tabuk. Surah ini secara keras mengkritik kaum munafik yang mencari alasan untuk menghindari perjuangan dan mengecam mereka yang mengabaikan perintah Allah demi kenikmatan sesaat.
Ayat 72 diletakkan setelah serangkaian ayat yang membahas nasib tragis kaum munafik (ayat 67-69) yang dijanjikan Neraka Jahanam dan kutukan di dunia dan akhirat.
| Kaum Munafik (Ayat Sebelumnya) | Kaum Mukmin (Ayat 72) |
|---|---|
| Dikutuk dan dijauhkan dari rahmat Allah. | Dijanjikan Keridhaan Allah yang Maha Besar. |
| Ditempatkan di Neraka Jahanam (tempat tinggal yang buruk). | Ditempatkan di Masakin Tayyibah di Jannat Adn (kediaman yang baik). |
| Amal mereka sia-sia (tidak ada kemenangan). | Dinyatakan sebagai *Al-Fawzul Azhim* (Kemenangan yang Agung). |
Kontras yang tegas ini berfungsi sebagai motivasi mendalam. Allah seolah berkata: "Pilihlah jalan mana yang kalian tempuh. Jika kalian berjuang dan taat, hadiahnya adalah Jannat Adn dan Ridhwan-Ku; jika kalian munafik, hadiahnya adalah Neraka Jahanam dan kemurkaan-Ku." Kemenangan (Al-Fawzul Azhim) tidak hanya terletak pada Surga, tetapi pada pengakuan dan penerimaan dari Sang Pencipta.
Ayat 72 ditutup dengan pernyataan: **ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ** (Itu adalah kemenangan yang agung). Kemenangan yang agung ini bukanlah sekadar keberhasilan meraih tujuan, tetapi keberhasilan mencapai puncak kebahagiaan dan keselamatan spiritual secara permanen.
Dalam terminologi Islam, terdapat beberapa tingkat kemenangan:
Kemenangan Agung ini didasarkan pada pemahaman bahwa kenikmatan materi di Surga, meskipun tak terbayangkan indahnya, masih merupakan sarana. Tujuan sejati dan puncak kenikmatan adalah *Ma’rifatullah* (mengenal Allah) dan *Ridhwanullah* (keridhaan Allah). Ketika Ridhwan telah tercapai, segala kerugian di dunia terasa amat kecil, dan segala kenikmatan Surga terasa berlipat ganda.
Penyebutan ٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتِ (mukminin laki-laki dan mukminat perempuan) secara terpisah memiliki signifikansi teologis yang tinggi dalam Al-Qur'an. Ini memastikan bahwa meskipun peran sosial dan tanggung jawab keluarga mungkin berbeda, ganjaran spiritual bagi mereka yang beriman dan beramal saleh adalah sama persis. Ayat ini menolak interpretasi yang merendahkan status spiritual wanita dalam meraih tingkatan Surga tertinggi, termasuk Surga Adn dan Keridhaan Ilahi.
Wanita mukminah yang menjaga kehormatan, mendidik anak-anak dengan tauhid, dan mendukung suami dalam kebaikan, serta menunaikan kewajiban pribadinya kepada Allah, akan mendapatkan hak penuh atas *Masakin Tayyibah* dan *Ridhwanullahi Akbar*.
Ayat 72 berfungsi sebagai penyeimbang filosofis terhadap paham materialisme. Walaupun Allah menjanjikan hadiah materi (istana dan sungai) yang tak terbayangkan, penekanan bahwa Keridhaan-Nya adalah yang paling besar mengalihkan fokus dari konsumsi menuju hubungan (relasi) dengan Tuhan.
Ayat ini mengajarkan zuhud yang sejati. Zuhud bukanlah berarti menolak dunia secara mutlak, melainkan memposisikan dunia sebagai sarana untuk meraih keridhaan Allah. Seseorang yang mukmin sejati tidak terperangkap dalam kemewahan Surga yang dijanjikan, tetapi matanya selalu tertuju pada Keridhaan Allah yang berada di atasnya. Jika Surga adalah hadiah, Keridhaan adalah cinta yang membuat hadiah itu berarti.
Karena Keridhaan Allah adalah hadiah termulia, maka amal saleh yang menghasilkan keridhaan tersebut haruslah amal yang paling murni. Ikhlas menjadi prasyarat utama. Sedekah, shalat, dan jihad yang dilakukan demi mencari pengakuan manusia atau bahkan hanya demi menghindari Neraka dan meraih Surga, mungkin menghasilkan kenikmatan di Surga, tetapi belum tentu mencapai tingkat *Ridhwanullahi Akbar*. Keridhaan hanya diberikan kepada hamba yang mengamalkan Islam dengan tujuan utama: mendapatkan cinta dan penerimaan dari Allah SWT.
Para ulama sufi sering merenungkan ayat ini sebagai landasan dalam perjalanan spiritual (suluk). Mereka mengajarkan bahwa mukmin harus melatih diri untuk mencapai tingkat Maqamul Ridhwan (Tingkatan Keridhaan), di mana hati menerima segala takdir Allah dengan lapang dada, baik takdir yang menyenangkan maupun yang menyakitkan. Keridhaan hamba terhadap takdir Allah merupakan jalan tercepat menuju Keridhaan Allah terhadap hamba-Nya.
Penyebutan khusus Jannat Adn memicu perdebatan mengenai arsitektur dan stratifikasi Surga. Berdasarkan hadis dan tafsir, Surga memiliki seratus tingkatan, di mana jarak antara satu tingkat dengan tingkat berikutnya adalah seperti jarak antara langit dan bumi.
Jannat Adn secara umum dipahami sebagai tempat kediaman utama dan kekal, yang berbeda dari surga-surga lain yang mungkin merupakan persinggahan atau taman-taman yang lebih rendah. Ini adalah Surga inti. Dalam riwayat-riwayat, disebutkan bahwa di Jannat Adn terdapat istana-istana megah yang terbuat dari berlian, permata, dan emas murni yang cahayanya menembus lapisan-lapisan Surga lainnya.
Mengenai *Masakin Tayyibah* (kediaman yang baik), sifat "baik" ini mencakup dimensi yang tidak pernah bisa diimajinasikan di dunia:
Dalam konteks Surga Adn, kediaman ini bukan hanya tempat peristirahatan, melainkan titik sentral di mana seluruh kenikmatan Surga berkumpul dan dari mana para penghuninya mendapatkan akses termudah kepada Ridhwanullahi Akbar.
Penggunaan kata *Akbar* (terbesar) dalam ayat ini adalah penegasan linguistik yang sangat kuat. Ketika Al-Qur'an membandingkan dua hal (A dan B) dan menyatakan B lebih besar (*akbar*) dari A, itu berarti B adalah tujuan utama dan A adalah subordinatnya.
Jika kita asumsikan Jannat Adn dengan segala kemewahannya adalah kenikmatan 100%, maka Keridhaan Allah melampaui 100% ini. Ini adalah kenikmatan yang bersifat metafisik dan tidak terukur oleh standar materi, bahkan standar Surga.
Para ulama menjelaskan bahwa ketika seorang hamba merasa bahwa Penciptanya, Yang Maha Kuat dan Maha Agung, telah memilihnya, mencintainya, dan ridha kepadanya, perasaan kebahagiaan itu melampaui kemampuan deskripsi. Kenikmatan fisik Surga, pada akhirnya, adalah hasil dari Keridhaan Allah. Tanpa Keridhaan, Surga itu sendiri tidak akan terwujud. Oleh karena itu, sumbernya (*Ridhwan*) pasti lebih mulia daripada hasilnya (*Jannat*).
Mukmin yang mencapai maqam tertinggi tidak beribadah karena takut Neraka atau bahkan karena mengharapkan Surga, tetapi karena cinta dan kerinduan kepada Allah. Ibadah yang didorong oleh kerinduan untuk mencapai *Ridhwan* adalah ibadah yang paling murni. Ayat 72 memvalidasi jalan spiritual ini, menunjukkan bahwa Allah menghargai hamba yang tujuan utamanya adalah diri-Nya, bukan hadiah-Nya.
Sufi abad pertengahan sering mengajarkan bahwa ibadah harus bersifat *muhsinin* (orang yang berbuat kebaikan), yang menyembah Allah seakan-akan mereka melihat-Nya, dan jika mereka tidak mampu, mereka yakin bahwa Allah melihat mereka. Tingkat *Ihsan* inilah yang membawa kepada *Ridhwanullahi Akbar*.
At-Taubah ayat 72 adalah janji definitif bagi orang-orang mukmin sejati yang telah membuktikan keimanan mereka melalui amal, pengorbanan, dan keteguhan di tengah ujian (sebagaimana konteks Surah At-Taubah).
Janji ini memberikan perspektif yang lengkap tentang kebahagiaan abadi:
Bagi setiap mukmin, ayat ini harus menjadi pengingat harian bahwa tujuan hidup di dunia adalah mencari dan mengumpulkan bekal untuk mencapai tiga hal ini. Setiap perbuatan baik, setiap kesabaran dalam kesulitan, setiap perjuangan melawan hawa nafsu dan kemunafikan, adalah investasi langsung untuk meraih kediaman yang baik dan, yang terpenting, senyum ridha dari Allah SWT.
Keridhaan Allah adalah hadiah yang paling berharga karena ia menggaransi kebahagiaan yang tidak hanya fisik atau temporal, tetapi kebahagiaan yang bersifat hakiki, abadi, dan melampaui dimensi materi. Inilah janji agung yang membedakan mukmin sejati dari mereka yang beriman hanya di permukaan.
Ayat 72 menutup perdebatan tentang nilai tertinggi bagi manusia. Nilai tertinggi bukanlah harta, jabatan, atau bahkan kehidupan yang panjang, melainkan status di sisi Allah, yang diwujudkan melalui **Ridhwanullahi Akbar**. Mukmin sejati berjuang bukan demi surga, melainkan demi Zat Yang memiliki Surga.
Kajian mendalam ini menunjukkan bahwa Al-Qur'an tidak pernah menyederhanakan konsep pahala. Pahala bersifat berlapis, semakin tinggi spiritualitas seseorang, semakin besar pula karunia yang diterimanya, puncaknya adalah pertemuan spiritual dengan Sang Khalik dalam keadaan diridhai, sebuah kemenangan yang tak tertandingi sepanjang masa dan dimensi.
Oleh karena itu, marilah kita jadikan pencarian ridha-Nya sebagai kompas utama dalam setiap langkah dan keputusan hidup, menuju kemuliaan abadi di *Masakin Tayyibah* dan Keridhaan-Nya yang Maha Besar.