Perintah Ketegasan terhadap Kafir dan Munafikin dalam Perspektif Syariah dan Sejarah
Surah At-Taubah merupakan salah satu surah Madaniyah yang diturunkan pada periode kritis dalam sejarah Islam, yaitu setelah Perjanjian Hudaibiyah dan menjelang ekspedisi Tabuk. Surah ini dikenal sebagai ‘Bara’ah’ (Pemutusan Hubungan), karena mengandung perintah-perintah yang tegas, pengumuman ultimatum, serta pembeberan secara rinci mengenai ciri-ciri kaum munafikin yang selama ini menyamar di tengah barisan kaum Muslimin.
Di antara ayat-ayat yang memiliki implikasi mendalam bagi kepemimpinan dan penegakan kebenaran adalah Ayat 73. Ayat ini adalah seruan langsung dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, memberikan mandat yang jelas mengenai bagaimana seharusnya sikap seorang pemimpin spiritual dan politik dalam menghadapi dua ancaman terbesar bagi umat: kaum kafir (ancaman eksternal) dan kaum munafikin (ancaman internal).
Memahami kedalaman makna ayat ini membutuhkan dekonstruksi istilah-istilah Arab yang digunakan, terutama karena konteks perintah kepemimpinan sering kali disalahpahami jika dilihat dari sudut pandang yang sempit. Ayat ini sarat dengan kata kerja imperatif yang menuntut tindakan proaktif dan ketegasan.
Panggilan ini bukan hanya seruan hormat, tetapi penegasan peran sentral Nabi sebagai pemimpin yang diberi otoritas penuh untuk menjalankan perintah ini. Ketika Allah memanggil beliau dengan 'Ya Ayyuha An-Nabi' (Wahai Nabi), ini menekankan aspek kenabian, yang membawa tanggung jawab untuk menyampaikan dan menegakkan syariat, bukan sekadar sebagai individu biasa. Ini membedakannya dari panggilan 'Ya Ayyuhal Rasul' (Wahai Rasul) yang lebih berfokus pada penyampaian risalah. Di sini, fokusnya adalah pada fungsi kepemimpinan dan pelaksanaan tugas.
Kata Jāhid adalah bentuk imperatif dari kata kerja Jahada, yang akar katanya adalah J-H-D (جهد), yang berarti mengerahkan segenap usaha, upaya, atau kemampuan. Jihad di sini jauh melampaui makna sempit ‘perang fisik’ (Qital).
Dalam konteks ayat ini, perintah Jahid mencakup semua dimensi ini, disesuaikan dengan jenis musuh yang dihadapi.
Perintah jihad dialamatkan kepada dua kelompok yang berbeda sifat ancamannya, sehingga strategi perlawanan pun harus berbeda:
A. Al-Kuffar (الْكُفَّارَ): Mereka adalah musuh yang jelas, yang menolak kebenaran secara terang-terangan (penolakan eksternal). Perlawanan terhadap mereka bisa berbentuk fisik (perang) atau non-fisik (diplomasi, isolasi ekonomi), tergantung perjanjian dan kondisi saat itu.
B. Al-Munafiqin (وَالْمُنَافِقِينَ): Mereka adalah musuh paling berbahaya (penolakan internal). Mereka mengaku beriman di lisan tetapi menyembunyikan kekufuran di hati. Kehadiran mereka merusak dari dalam, menyebarkan keraguan, dan melemahkan moral. Perjuangan melawan munafikin tidak selalu dengan pedang, melainkan dengan membeberkan (ekspos) kebohongan mereka, memutus pengaruh mereka, dan menegakkan hukum yang tegas atas perbuatan khianat mereka.
Kata kunci yang sangat penting adalah Ighlaẓ (اغْلُظْ), yang berarti bersikap keras, tegas, atau kaku. Ini berasal dari kata Ghilzah (غلظة), yang lawan katanya adalah Lin (kelembutan) atau Rifq (kasih sayang). Allah tidak memerintahkan Nabi untuk menjadi kejam (Qaswah), tetapi untuk bersikap tegas dan tidak kompromi dalam urusan prinsip dan hukum. Sikap keras ini merupakan prasyarat kepemimpinan ketika menghadapi pengkhianatan dan penolakan terang-terangan.
Ketegasan ini adalah manifestasi dari keadilan. Dalam menghadapi orang yang hatinya dipenuhi penyakit dan penolakan, kelembutan hanya akan dianggap sebagai kelemahan, sehingga ketegasan diperlukan untuk menjaga marwah syariat dan menghentikan kerusakan yang mereka timbulkan.
Bagian penutup ini berfungsi sebagai peringatan keras dan motivasi bagi Nabi dan kaum mukminin. Sanksi duniawi (Jihad dan Ighlaẓ) adalah awal, namun hukuman abadi (Jahannam) adalah kepastian. Ini menggarisbawahi betapa seriusnya kejahatan kekufuran dan, terutama, kemunafikan di mata Allah SWT. Kemunafikan adalah dosa ganda: menipu Allah dan menipu kaum Mukminin, sehingga tempat kembali mereka adalah seburuk-buruknya tempat.
Surah At-Taubah diturunkan ketika negara Islam di Madinah sudah stabil dan kuat, namun ancaman internal dan eksternal semakin kompleks. Periode ini adalah periode penentuan, di mana kaum Muslimin harus membersihkan barisan mereka sebelum berhadapan dengan kekuatan besar di luar Jazirah Arab.
Sebelum At-Taubah, kaum munafikin (yang dipimpin oleh Abdullah bin Ubayy bin Salul hingga wafatnya) masih diperlakukan dengan toleransi. Nabi SAW menggunakan pendekatan kelembutan dan kesabaran, berharap mereka akan kembali. Namun, ketika kekuatan Islam semakin besar, kemunafikan mereka semakin teruji, terutama selama Perang Tabuk. Mereka menunjukkan keengganan, menyebarkan desas-desus, bahkan berusaha menggagalkan ekspedisi militer.
At-Taubah 73 turun sebagai titik balik. Toleransi terhadap pengkhianatan internal dihentikan. Ayat ini memerintahkan Nabi SAW untuk tidak lagi bersabar atau berlembut hati terhadap mereka yang secara sistematis merusak dari dalam. Ini adalah pembersihan ideologis dan sosial yang mutlak diperlukan untuk memastikan integritas komunitas Muslim.
Penyebutan munafikin berdampingan dengan kafir menunjukkan bahwa, meskipun berbeda cara penanganannya, keduanya memiliki esensi ancaman yang setara. Sebagian ulama, seperti Imam Al-Qurtubi, bahkan menyatakan bahwa bahaya kaum munafikin lebih besar dan lebih serius bagi komunitas Islam dibandingkan bahaya kaum kafir yang terang-terangan. Kafir adalah musuh yang terlihat jelas pergerakannya, sementara munafik adalah duri dalam daging yang harus dioperasi keluar.
Jihad melawan kafir mungkin berakhir dengan perjanjian damai atau gencatan senjata, tetapi jihad melawan munafikin adalah jihad yang berkelanjutan dan internal, berupa pemurnian hati dan penegakan akuntabilitas di dalam masyarakat.
Perintah untuk berjihad dan bersikap keras harus dipahami dalam kerangka Syariah, membedakan antara tindakan fisik (yang terbatas) dan tindakan non-fisik (yang lebih sering terjadi).
Dalam konteks historis Nabi, jihad terhadap kafir umumnya berbentuk Qital (perang) jika mereka melanggar perjanjian atau menyerang. Namun, dalam konteks yang lebih luas, Jihad Bil Hujjah (argumen) adalah metode utama, terutama setelah kekuasaan Islam tertegak. Ketegasan (Ighlaẓ) terhadap mereka berarti:
Jihad terhadap munafikin umumnya tidak melibatkan perang fisik karena mereka secara lahiriah mengaku Muslim. Para mufasir sepakat bahwa ketegasan terhadap munafikin adalah melalui empat cara utama:
Ini adalah tugas para ulama dan pemimpin untuk membeberkan hujah-hujah mereka yang salah, menunjukkan inkonsistensi mereka, dan menjelaskan kepada publik kebohongan yang mereka sebarkan. Ayat-ayat Al-Quran, termasuk dalam Surah At-Taubah sendiri, telah berfungsi sebagai alat eksposur, yang secara terang-terangan menjelaskan sifat-sifat dan perbuatan mereka. Dengan demikian, mereka kehilangan kredibilitas dan pengaruh sosial mereka.
Jika kemunafikan mereka bermanifestasi dalam bentuk pengkhianatan, sabotase, atau fitnah, maka sanksi hukum harus diterapkan tanpa toleransi. Nabi SAW dalam sejarahnya menerapkan hukuman yang keras terhadap beberapa munafikin yang terbukti berkhianat, seperti penghancuran Masjid Dhirar yang dibangun sebagai markas subversif. Ketegasan di sini berarti tidak ada keringanan hukuman bagi mereka yang bersembunyi di balik gelar keagamaan untuk melakukan kejahatan politik atau sosial.
Ketegasan juga berarti isolasi politik. Mereka tidak diberi posisi kepemimpinan, tidak dipercaya, dan nasihat mereka ditolak. Dalam konteks kepemimpinan, ini adalah langkah krusial: menghilangkan kemampuan munafikin untuk mengambil keputusan vital bagi umat.
Sikap keras di hati berarti tidak memberikan cinta dan dukungan emosional yang tulus kepada mereka. Berbeda dengan mukmin lain yang harus dicintai karena Allah, munafikin diperlakukan dengan kecurigaan dan kewaspadaan, meskipun interaksi sosial minimal mungkin tetap ada untuk tujuan dakwah atau hukum.
Sangat penting untuk membedakan antara Ghilzah (ketegasan/sikap keras) yang diperintahkan dalam ayat ini, dengan Qaswah (kekejaman/hati yang keras) yang dilarang dalam Islam, sebagaimana firman Allah kepada Nabi di Surah Ali Imran, jika beliau memiliki hati yang keras, orang-orang akan lari darinya. (QS. Ali Imran: 159).
Ghilzah (Ketegasan): Merupakan sikap yang dibutuhkan oleh seorang pemimpin dalam menegakkan keadilan dan hukum. Ini adalah kekerasan yang terarah, terbatas pada urusan syariat dan hukum, dan didasarkan pada prinsip. Ghilzah adalah keberanian moral untuk mengatakan 'tidak' pada kebatilan, bahkan ketika kebatilan itu dikemas secara menarik.
Qaswah (Kekejaman): Merupakan penyakit hati, di mana seseorang bersikap kasar tanpa alasan yang benar, melampaui batas hukum, atau bahkan berlaku kejam kepada orang yang tidak bersalah. Ghilzah yang diperintahkan dalam At-Taubah 73 adalah sikap yang adil; itu bukan kekejaman emosional, melainkan ketegasan administratif dan hukuman yang proporsional.
Sikap Nabi SAW adalah cerminan sempurna dari Ghilzah. Beliau lembut terhadap orang mukmin, sabar terhadap kesalahan pribadi, namun tanpa kompromi (Ghilzah) ketika berhadapan dengan pengkhianatan, kemunafikan yang terstruktur, dan penolakan terhadap hukum Allah.
Para ulama kontemporer sepakat bahwa meskipun konteks penurunannya bersifat historis (Madinah abad ke-7), perintah dalam At-Taubah 73 memiliki relevansi yang tak lekang oleh waktu, terutama bagi kepemimpinan umat Islam di segala zaman.
Kemunafikan di zaman modern tidak terbatas pada orang yang menyembunyikan kekafiran di hati, tetapi juga mencakup mereka yang secara konsisten bertindak bertentangan dengan nilai-nilai yang mereka klaim anut, demi kepentingan pribadi atau kelompok. Ini termasuk:
Jihad terhadap munafikin modern ini berarti memegang teguh akuntabilitas, menuntut transparansi, dan menggunakan media serta edukasi untuk membeberkan fakta-fakta kebohongan dan inkonsistensi mereka (Jihad Bil Hujjah).
Dalam era relativisme nilai, perintah Ighlaẓ (bersikap keras) mengajarkan bahwa ada batas-batas syariat yang tidak boleh dilebur atau dikompromikan. Kepemimpinan Muslim harus memiliki tulang punggung moral dan keberanian untuk mempertahankan kebenaran, bahkan jika itu tidak populer atau bertentangan dengan arus global.
Sebagai contoh, ketegasan dalam menghadapi upaya legalisasi perbuatan maksiat dalam masyarakat adalah manifestasi dari Ighlaẓ yang diperlukan untuk menjaga kemaslahatan umum, meskipun tidak harus berbentuk kekerasan fisik, melainkan penegakan hukum dan kebijakan publik yang Islami.
Porsi ayat ini yang secara spesifik menargetkan munafikin membutuhkan perhatian lebih. Mengapa Al-Quran mendedikasikan begitu banyak ayat, terutama dalam At-Taubah, untuk mengupas tuntas karakter munafikin? Jawabannya terletak pada sifat ancaman yang mereka bawa.
Munafikin adalah ahli dalam subversi. Mereka tidak menyerang secara frontal, melainkan menyuntikkan racun keraguan, kekecewaan, dan perpecahan ke dalam tubuh umat. Mereka menggunakan fasilitas yang diberikan oleh komunitas Muslim untuk menyerang komunitas itu sendiri. Ayat 73 memerintahkan agar kegiatan subversif ini dihentikan dengan ketegasan, sehingga bibit-bibit penyakit sosial tidak menyebar luas.
Sebagai contoh, dalam sejarah Nabi, para munafikin sering menyebarkan isu-isu yang melemahkan moral tentara sebelum pertempuran besar, menabur perpecahan antara Muhajirin dan Ansar, atau menyebarkan fitnah terhadap keluarga Nabi (seperti peristiwa Haditsul Ifki). Perintah untuk bersikap keras terhadap mereka adalah perintah untuk membasmi sumber informasi palsu dan disinformasi.
Imam At-Tabari, dalam tafsirnya, menjelaskan bahwa jihad terhadap munafikin dilakukan melalui dua bentuk utama: Pertama, menegakkan hukuman atas mereka yang menampakkan perbuatan jahat (seperti bersumpah palsu, mencuri, atau berkhianat, meskipun lisan mereka beriman). Kedua, menelanjangi dan menampakkan kedok mereka kepada masyarakat umum agar kaum mukminin waspada dan tidak tertipu oleh penampilan luar mereka.
Jika munafikin melakukan kekafiran secara terang-terangan di depan umum, barulah mereka diperlakukan seperti kafir asli. Namun, selama mereka menyembunyikan kekafiran dan hanya menampakkan kemunafikan sosial atau politik, perlawanan diarahkan pada pemutusan pengaruh dan penegakan hukum atas kejahatan mereka.
Sikap keras ini tidak hanya berlaku bagi Nabi SAW, tetapi juga bagi setiap pemimpin Muslim setelah beliau, hingga hari kiamat. Ini adalah prinsip kepemimpinan (Siyasah Syar'iyyah). Sikap keras ini mencakup:
Kelembutan adalah karakteristik fundamental Nabi SAW (rahmatan lil alamin), namun kelembutan ini memiliki batas, yaitu ketika berhadapan dengan ancaman yang merusak dasar agama dan tatanan sosial. Ayat 73 menegaskan batas tersebut: kelembutan berakhir saat pengkhianatan dimulai.
Ayat ini menutup dengan peringatan tentang nasib kekal orang-orang kafir dan munafikin: "Tempat mereka adalah Jahannam dan itulah seburuk-buruk tempat kembali." Penekanan pada Jahannam sebagai tempat kembali yang pasti memiliki beberapa fungsi teologis:
Peringatan ini menegaskan bahwa segala bentuk perlawanan, pengkhianatan, dan penolakan terhadap kebenaran akan dibalas dengan keadilan yang mutlak. Ini menghapus keraguan apa pun yang mungkin dimiliki mukmin tentang hasil akhir dari perjuangan yang mereka lakukan.
Dengan mengetahui kepastian nasib para penentang, kaum mukminin diberikan motivasi dan kekuatan untuk terus teguh. Meskipun perjuangan di dunia mungkin sulit, hasil akhir yang ditunggu oleh musuh-musuh kebenaran adalah kerugian abadi. Ini adalah sumber kekuatan psikologis bagi mereka yang setia.
Fakta bahwa munafikin disebutkan bersama kafir dalam ancaman neraka ini menunjukkan betapa besar dosa mereka. Kemunafikan tidak hanya merusak hubungan sosial, tetapi merusak hubungan fundamental dengan Allah SWT. Mereka berada di lapisan neraka yang paling bawah (QS. An-Nisa: 145), menunjukkan bahwa kejahatan berpura-pura beriman lebih berat daripada kekafiran terbuka.
Perjuangan Nabi SAW melawan musuh-musuh ini, baik yang nyata maupun yang tersembunyi, adalah contoh nyata bagi setiap generasi. Ia menunjukkan bahwa mempertahankan kebenaran membutuhkan kewaspadaan yang konstan dan ketegasan moral yang tak tergoyahkan. Keberanian Nabi dalam menghadapi kritik dan konspirasi internal, meskipun beliau adalah pribadi yang paling lembut, menjadi pelajaran tak ternilai tentang bagaimana mengelola perbedaan antara kasih sayang pribadi dan tuntutan keadilan publik.
Untuk memahami sepenuhnya perintah 'Jahid dan Aghluẓ', kita perlu melihatnya sebagai sebuah spektrum perjuangan yang mencakup dimensi individu, sosial, dan politik.
Meskipun ayat ini ditujukan kepada Nabi sebagai pemimpin, ia juga mengandung pelajaran bagi setiap individu. Setiap mukmin harus "bersikap keras" terhadap kemunafikan dalam dirinya sendiri (Nifaq Amali), yaitu kontradiksi antara ucapan dan perbuatan, atau janji dan pelaksanaan. Jihad terhadap hawa nafsu dan bisikan syaitan adalah jihad yang paling besar, yang memerlukan ketegasan diri untuk tidak kompromi terhadap dosa-dosa kecil yang bisa menumbuhkan kemunafikan dalam hati.
Seorang mukmin yang gagal bersikap tegas terhadap dirinya sendiri, niscaya akan gagal dalam bersikap tegas terhadap kebatilan di luar dirinya.
Secara sosial, ketegasan berarti menciptakan lingkungan di mana kemunafikan tidak dapat berkembang. Ini dicapai melalui edukasi agama yang kuat, transparansi, dan menanamkan budaya saling menasihati (Amar Ma’ruf Nahi Munkar) yang jujur, bukan yang basa-basi. Ketika kebohongan dan pengkhianatan ditanggapi dengan cepat dan tegas oleh komunitas, ruang gerak munafikin akan menyempit.
Lingkungan yang terlalu toleran terhadap penyimpangan moral, di mana kesalahan ditutup-tutupi demi persatuan semu, adalah lahan subur bagi kemunafikan. Ketegasan dalam hal ini berarti tidak melindungi pelaku kejahatan, meskipun mereka adalah bagian dari kelompok mayoritas.
Pada tingkat kepemimpinan dan pemerintahan, perintah ini menuntut kebijakan yang membedakan dengan jelas antara kawan dan lawan, antara kebenaran dan kebatilan. Ini berarti membangun sistem hukum yang tidak memihak dan eksekutif yang tidak takut menerapkan sanksi yang diwajibkan syariat, baik terhadap pelanggar internal maupun musuh eksternal.
Seorang pemimpin yang lemah dan mudah dikompromikan oleh tekanan internal (munafikin) atau eksternal (kafir) akan menghancurkan masyarakatnya. Ayat 73 adalah piagam bagi kepemimpinan yang berani, adil, dan berprinsip.
Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, tugas ‘Jihad dan Ighlaẓ’ diwariskan kepada para Khulafaur Rasyidin dan pemimpin Muslim setelahnya. Kita melihat implementasi nyata dari ayat ini, terutama pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq RA saat beliau menghadapi kaum Murtaddin dan para nabi palsu (perang Riddah).
Keputusan Abu Bakar untuk bersikap sangat keras (Ghilzah) dan tidak kompromi sedikit pun terhadap mereka yang menolak membayar zakat atau murtad, meskipun banyak sahabat yang awalnya ragu, adalah manifestasi langsung dari semangat At-Taubah 73. Beliau memahami bahwa kelonggaran dalam urusan prinsip akan membuka pintu kehancuran total bagi Daulah Islam yang baru berdiri. Ketegasan ini menyelamatkan Islam dari keruntuhan di masa-masa awal.
Demikian pula, Khalifah Umar bin Khattab RA dikenal dengan ketegasannya dalam penegakan hukum (Ighlaẓ) terhadap pelanggar, meskipun ia dikenal sebagai pemimpin yang adil dan peduli. Ketegasan ini memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang berada di atas hukum, sebuah prinsip yang fundamental untuk membasmi bibit-bibit kemunafikan dan kesewenang-wenangan.
Warisan dari At-Taubah 73 adalah pesan yang berkelanjutan: Umat Islam tidak boleh menjadi komunitas yang naif atau lemah. Sifat kasih sayang (Rifq) harus mendominasi interaksi sesama mukmin, namun sifat ketegasan (Ghilzah) harus mendominasi interaksi dengan ancaman, pengkhianatan, dan kebatilan yang terorganisir.
Oleh karena itu, setiap Muslim, dalam kapasitasnya masing-masing – sebagai orang tua, pendidik, atau pemimpin – diwajibkan untuk mengadopsi ketegasan yang adil ini. Ketegasan dalam mendidik anak tentang kebenaran, ketegasan dalam melaksanakan pekerjaan dengan jujur, dan ketegasan dalam menolak segala bentuk korupsi dan kemunafikan. Karena pada akhirnya, ancaman yang paling menghancurkan bukanlah musuh yang datang dengan pedang, melainkan musuh yang bersembunyi dengan senyum palsu di tengah barisan kita.
Perintah 'Jahidil Kuffara wal Munafiqina waghluẓ 'alaihim' adalah fondasi kepemimpinan profetik yang kokoh, yang mengajarkan bahwa integritas dan kebenaran harus dipertahankan tanpa kompromi, agar destinasi akhir setiap mukmin bukan menjadi seburuk-buruk tempat kembali, tetapi surga yang penuh kenikmatan abadi.
Penghayatan mendalam terhadap ayat ini memandu umat untuk senantiasa waspada terhadap segala bentuk ancaman yang dapat merusak sendi-sendi keimanan, baik dari luar yang terang-terangan (kafir) maupun dari dalam yang terselubung (munafikin). Inilah esensi perjuangan abadi yang diwariskan kepada setiap generasi Muslim.
Ketegasan adalah perisai. Jihad adalah kendaraan. Dan petunjuk Al-Quran adalah peta. Dengan memegang teguh tiga unsur ini, umat Islam dapat berharap untuk mencapai kemenangan sejati, baik di dunia fana maupun di akhirat yang kekal.
Sikap keras yang dimaksudkan bukanlah emosi, melainkan pelaksanaan hukum yang tidak memihak. Itu adalah sikap seorang hakim yang menjatuhkan vonis yang benar, meskipun berat. Itu adalah sikap seorang pemimpin yang menolak proposal yang merusak moral bangsa, meskipun menguntungkan secara materi. Ghilzah adalah keberanian untuk memilih yang sulit dan benar, daripada yang mudah dan salah. Ini merupakan tuntutan kepemimpinan yang esensial dalam menjaga kemurnian tauhid dan keadilan sosial.
Di akhir zaman, ketika fitnah semakin merajalela dan kebenaran seringkali dikaburkan, urgensi dari At-Taubah 73 semakin terasa. Kemunafikan tidak pernah hilang; ia hanya berganti rupa sesuai dengan perkembangan zaman. Maka, senjata jihad, yaitu kebenaran dan ketegasan, harus diasah oleh setiap Muslim sebagai bagian dari persiapan untuk menghadapi hari perhitungan di hadapan Allah SWT.
Kafirin modern mungkin tidak selalu berupa tentara yang datang menyerang perbatasan, tetapi mungkin berupa ideologi yang merusak fitrah manusia. Munafikin modern mungkin bukan hanya orang yang berkhianat dalam perang, tetapi juga mereka yang berkhianat terhadap amanah publik, merusak sistem pendidikan, atau melemahkan institusi keagamaan dari dalam. Oleh karena itu, jihad hari ini adalah perjuangan yang multidimensional, menuntut kecerdasan, ketegasan, dan ketaqwaan yang tinggi.
Perintah bersikap keras ini juga berfungsi sebagai pendidikan bagi umat. Ia mendidik umat untuk tidak menjadi masyarakat yang lunak, mudah terombang-ambing oleh kepentingan sesaat, atau mudah ditipu oleh musuh dalam selimut. Kekuatan sebuah komunitas terletak pada integritas dan ketegasan anggotanya dalam menjunjung tinggi prinsip kebenaran.
Ayat ini, dengan segala kedalaman tafsirnya, mengajarkan bahwa kepemimpinan yang sukses adalah kepemimpinan yang seimbang: memiliki rahmat untuk yang loyal dan ketegasan untuk yang berkhianat. Tanpa keseimbangan ini, masyarakat akan terombang-ambing antara kezaliman dan kelemahan, yang pada akhirnya akan menuju kehancuran.
Maka, refleksi atas At-Taubah 73 harus mendorong kita untuk senantiasa melakukan introspeksi diri (muhasabah): Seberapa tegaskah kita terhadap kebatilan di sekitar kita? Seberapa beranikah kita menolak kemunafikan, baik yang datang dari orang lain maupun dari diri kita sendiri? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan menentukan apakah kita berada di jalan keselamatan, atau sebaliknya, di jalan menuju seburuk-buruk tempat kembali.
Perjuangan ini adalah ujian abadi. Semoga Allah SWT memberikan kita kekuatan dan hikmah untuk menjalankan perintah jihad dan ketegasan ini sesuai dengan tuntunan syariat-Nya.
Di dalam konteks perjuangan ideologis, Jahid berarti membongkar semua narasi palsu yang dibangun oleh kaum kafir dan munafikin untuk menyerang dasar-dasar Islam. Ini menuntut ilmu yang luas dan kemampuan berargumentasi yang superior. Ketegasan di sini bukan hanya menolak, tetapi juga memberikan solusi alternatif yang berdasarkan wahyu. Pemimpin Islam harus menjadi mercusuar yang memancarkan cahaya kebenaran, dan ketegasan adalah tiang penyangga dari mercusuar tersebut, mencegahnya roboh diterpa badai keraguan dan fitnah.
Oleh sebab itu, para ulama menekankan pentingnya pembinaan karakter yang kokoh (shidq) di kalangan kaum mukminin, karena hanya hati yang kokoh yang tidak akan tergelincir menjadi munafik. Ghilzah yang diperintahkan pada dasarnya dimulai dari pencegahan di tingkat individu dan sosial, sebelum diterapkan sebagai sanksi hukuman.
Menganalisis lebih jauh kata waġluẓ 'alaihim, para mufassir abad pertengahan memberikan penafsiran praktis. Bagi kafir, ketegasan bisa berarti membatasi interaksi politik dan ekonomi jika mereka menunjukkan permusuhan. Bagi munafikin, ketegasan bisa berarti pelarangan mereka dari masjid atau forum publik penting di mana mereka bisa menyebarkan racun perpecahan. Ini adalah tindakan perlindungan sosial yang diperlukan untuk kesehatan umat.
Kisah-kisah dalam Surah At-Taubah yang menceritakan tentang mereka yang tertinggal dari Perang Tabuk (seperti Ka'b bin Malik dan dua sahabat lainnya) dan bagaimana Nabi SAW bersikap tegas dengan memboikot mereka selama 50 hari, menunjukkan bentuk Ighlaẓ yang bertujuan mendidik dan memurnikan, bukan menghukum mati. Namun, boikot tersebut sangat keras (ghilzah) sehingga hati mereka hancur, dan akhirnya mereka kembali kepada Allah dengan taubat yang murni.
Ini mengajarkan kepada kita bahwa ketegasan dalam kepemimpinan tidak selalu identik dengan kekerasan fisik, melainkan dapat berupa sanksi sosial dan isolasi yang adil, yang berfungsi sebagai terapi moral yang menyakitkan namun menyembuhkan. Ini adalah manifestasi dari rahmat dalam bentuk ketegasan, karena tujuan utamanya adalah keselamatan akhirat mereka, meskipun mereka menolak di dunia.
Para ahli fiqih menafsirkan ayat ini sebagai dasar hukum wajibnya hukuman Tazir (hukuman yang tidak ditetapkan kadarnya) bagi kaum munafikin yang tidak melakukan kekafiran secara terang-terangan tetapi merusak umat melalui perbuatan tercela. Hukuman Tazir ini harus proporsional dan tegas (ghilzah) untuk mencegah terulangnya perbuatan yang sama.
Kekuatan narasi dalam ayat ini adalah peringatan konstan bahwa perjuangan Islam bersifat dual: melawan kebatilan di luar batas dan kebatilan di dalam batas. Seorang pemimpin yang hanya fokus pada ancaman eksternal dan melalaikan pembersihan internal, niscaya akan kalah. Kehancuran peradaban besar seringkali dimulai dari korosi internal yang dipimpin oleh mereka yang munafik.
Oleh karena itu, jika kita ingin memahami kepemimpinan yang sejati berdasarkan teladan Nabi, kita harus menerima bahwa ketegasan (ghilzah) adalah komponen yang tidak terpisahkan dari rahmat. Rahmat kepada mukmin sejati tidak lengkap tanpa ketegasan terhadap pengkhianat dan musuh, karena melindungi yang setia adalah bentuk kasih sayang tertinggi.
Dalam konteks global, umat Islam saat ini menghadapi tantangan yang sama. Banyak serangan ideologis datang dari pihak yang mengaku membela Islam, padahal tujuannya adalah memecah belah dan melemahkan. Jihad dan ketegasan hari ini menuntut umat untuk cerdas, berilmu, dan berani bersuara menentang narasi-narasi tersebut, sambil tetap menjaga ukhuwah di antara yang tulus.
Ketegasan At-Taubah 73 juga merupakan penguatan terhadap prinsip Al-Wala' wal Bara' (loyalitas dan penolakan). Loyalitas yang tulus hanya diberikan kepada kaum mukminin, dan sikap keras (bara') harus ditujukan kepada mereka yang secara nyata memusuhi Islam, baik di balik topeng persahabatan (munafikin) maupun di hadapan publik (kafir).
Jika umat gagal menerapkan prinsip ini, maka fondasi masyarakat akan rapuh. Allah SWT melalui ayat ini memberikan cetak biru yang jelas mengenai manajemen konflik, strategi pertahanan ideologis, dan etika kepemimpinan yang berprinsip. Ini adalah seruan untuk bertindak, bukan sekadar berwacana.
Ayat ini berfungsi sebagai pengingat abadi bahwa akhir dari kemunafikan adalah kepastian azab neraka. Peringatan ini harus menjadi dorongan bagi setiap orang yang memiliki sedikit saja penyakit kemunafikan dalam hati mereka untuk segera bertaubat, sebelum pintu taubat ditutup, dan sebelum mereka mendapatkan seburuk-buruk tempat kembali.
Dengan demikian, At-Taubah Ayat 73 adalah sebuah manifesto kepemimpinan yang komprehensif, mengikat, dan relevan sepanjang masa. Ia menuntut kejujuran radikal, keberanian tak tertandingi, dan implementasi hukum yang tegas tanpa pandang bulu.