Aluminium (Al) adalah logam non-besi yang sangat melimpah di kerak bumi. Meskipun melimpah, aluminium tidak pernah ditemukan dalam bentuk unsur murni di alam karena reaktivitasnya yang tinggi. Proses untuk mengubah bijih mentah menjadi logam aluminium murni adalah salah satu pencapaian teknik metalurgi paling penting di dunia. Proses ini dikenal sebagai Proses Hall-Héroult, sebuah metode intensif energi yang mendominasi produksi aluminium global hingga saat ini.
Memahami cara pembuatan aluminium memerlukan pemahaman tentang dua tahap utama: pertama, ekstraksi alumina dari bauksit; dan kedua, peleburan alumina menjadi aluminium cair.
Alt Text: Diagram alir proses produksi aluminium dari bauksit hingga aluminium cair melalui proses Bayer dan Hall-Héroult.
Langkah pertama dalam cara pembuatan aluminium adalah memperoleh bahan baku utamanya, yaitu alumina (aluminium oksida, Al₂O₃). Sumber utama alumina adalah bijih besi yang disebut bauksit, yang mengandung sekitar 30% hingga 60% aluminium hidroksida.
Bauksit ditambang, dihancurkan, dan digiling menjadi bubuk halus. Proses ini bertujuan untuk meningkatkan luas permukaan agar reaksi kimia selanjutnya lebih efisien.
Bubuk bauksit dicampur dengan larutan natrium hidroksida (NaOH) pekat dan dipanaskan di bawah tekanan tinggi (sekitar 150-200°C). Dalam kondisi ini, aluminium hidroksida larut membentuk natrium aluminat yang larut dalam air, sementara pengotor utama seperti oksida besi dan silika tetap tidak larut (disebut 'lumpur merah').
Reaksi kimia utamanya adalah:
$$ \text{Al(OH)}_3 + \text{NaOH} \rightarrow \text{Na}[\text{Al(OH)}_4] $$Larutan panas kemudian disaring untuk memisahkan lumpur merah. Setelah penyaringan, larutan natrium aluminat didinginkan. Pendinginan menyebabkan kristal aluminium hidroksida murni mengendap keluar dari larutan.
Aluminium hidroksida yang telah dimurnikan kemudian dipanaskan pada suhu sangat tinggi (sekitar 1000°C) dalam proses yang disebut kalsinasi. Pemanasan ini menghilangkan air kristal, meninggalkan bubuk putih murni yang disebut alumina (Al₂O₃).
Alumina adalah senyawa yang sangat stabil dan memiliki titik leleh sekitar 2072°C, membuatnya sulit dilebur menggunakan metode konvensional. Proses Hall-Héroult memecahkan masalah ini dengan menggunakan elektrolisis pada suhu yang lebih rendah.
Alumina dimasukkan ke dalam bak elektrolisis besar yang terbuat dari baja dan dilapisi grafit (bertindak sebagai katoda). Bahan kunci yang memungkinkan proses ini adalah kriolit ($\text{Na}_3\text{AlF}_6$), mineral alami yang dicairkan. Kriolit berfungsi sebagai pelarut elektrolitik yang menurunkan titik lebur campuran secara drastis menjadi sekitar 950°C.
Anoda (biasanya terbuat dari karbon/grafit) dicelupkan ke dalam larutan kriolit dan alumina cair. Arus listrik DC berkekuatan sangat besar dialirkan melalui larutan.
Pada anoda (kutub positif), karbon bereaksi dengan oksigen dari alumina, menghasilkan gas karbon dioksida dan mengorbankan anoda itu sendiri:
$$ 2\text{Al}_2\text{O}_3 + 3\text{C} \rightarrow 4\text{Al} + 3\text{CO}_2 $$Pada katoda (kutub negatif), ion aluminium yang tereduksi membentuk logam aluminium cair:
$$ \text{Al}^{3+} + 3e^- \rightarrow \text{Al} $$Karena aluminium cair lebih padat daripada kriolit, ia akan tenggelam ke dasar sel elektrolisis, di mana ia secara periodik disedot atau dituang. Aluminium yang dihasilkan pada tahap ini memiliki kemurnian sekitar 99,5% hingga 99,9%. Selanjutnya, aluminium ini dapat dimurnikan lebih lanjut jika diperlukan untuk aplikasi khusus.
Proses pembuatan aluminium, terutama tahap elektrolisis, membutuhkan konsumsi energi listrik yang sangat besar. Inilah sebabnya mengapa pabrik peleburan aluminium hampir selalu berlokasi di dekat sumber energi terbarukan yang murah, seperti pembangkit listrik tenaga air (hidroelektrik).
Meskipun prosesnya mahal secara energi, sifat aluminium—ringan, tahan korosi, dan dapat didaur ulang tanpa batas—menjadikannya material krusial dalam industri modern, mulai dari otomotif, penerbangan, hingga kemasan.