Cuka, sebuah cairan yang telah menjadi bagian integral dari peradaban manusia selama ribuan tahun, sesungguhnya adalah larutan air dari senyawa kimia yang dikenal sebagai asam asetat. Keterkaitan antara keduanya sangat erat: cuka adalah bentuk asam asetat yang terdilusi secara alami, dihasilkan melalui proses fermentasi biologis. Memahami cuka berarti menyelami dunia asam asetat (CH₃COOH), sebuah molekul sederhana namun memiliki peran yang sangat kompleks, melingkupi spektrum dari penambah rasa makanan hingga bahan baku esensial dalam industri petrokimia dan farmasi.
Asam asetat, juga dikenal sebagai asam etanoat, merupakan asam karboksilat organik kedua yang paling sederhana. Karakteristik utama yang membuatnya universal dan tak tergantikan adalah sifat keasamannya yang moderat, kemampuannya sebagai pelarut yang efektif, serta perannya sebagai agen pengawet alami. Konsentrasi asam asetat menentukan kegunaannya; sementara cuka rumah tangga umumnya mengandung 4% hingga 8% asam asetat, versi murni yang disebut asam asetat glasial digunakan dalam skala industri dengan konsentrasi mendekati 100%. Artikel ini akan mengupas tuntas struktur kimia asam asetat, mekanisme produksi cuka tradisional dan modern, serta eksplorasi mendalam mengenai aplikasinya yang tak terhitung jumlahnya.
Struktur Kimia Asam Asetat, senyawa inti dari cuka.
Asam asetat, dengan rumus kimia CH₃COOH, mendefinisikan dirinya melalui gugus karboksil (-COOH) yang terikat pada gugus metil (CH₃). Keberadaan gugus karboksil inilah yang memberikan sifat keasaman. Dalam konteks kimia organik, asam asetat memiliki beberapa sifat unik yang membedakannya dari asam mineral kuat seperti asam klorida (HCl) atau asam sulfat (H₂SO₄).
Asam asetat diklasifikasikan sebagai asam lemah. Ini berarti ketika dilarutkan dalam air, ia hanya terdisosiasi (terionisasi) sebagian untuk melepaskan ion hidrogen (H⁺) dan menghasilkan ion asetat (CH₃COO⁻). Kesetimbangan ini dijelaskan oleh persamaan:
Konstanta disosiasi asam (pKa) untuk asam asetat adalah sekitar 4.76. Nilai pKa yang relatif tinggi ini menunjukkan bahwa sebagian besar molekul asam asetat tetap dalam bentuk tidak terionisasi dalam larutan. Sifat asam lemah ini sangat penting bagi aplikasinya, terutama dalam makanan. Jika cuka adalah asam kuat, ia akan merusak jaringan biologis dengan parah. Karena sifat lemahnya, ia memberikan rasa asam yang tajam namun aman untuk dikonsumsi dalam konsentrasi yang wajar.
Istilah "asam asetat glasial" merujuk pada asam asetat yang hampir murni, biasanya lebih dari 99.8%. Nama ini berasal dari fakta bahwa asam asetat murni membeku pada suhu yang relatif tinggi, yaitu 16.6 °C (62 °F). Ketika membeku, ia membentuk kristal seperti es, yang menyerupai gletser (glacial). Asam asetat glasial adalah cairan yang sangat korosif dan tidak boleh disamakan dengan cuka rumah tangga. Karena titik bekunya yang rendah, penanganan asam asetat glasial di laboratorium atau pabrik memerlukan perhatian khusus, terutama di iklim yang lebih dingin, untuk mencegah penyumbatan jalur pipa akibat kristalisasi.
Asam asetat adalah pelarut protik polar yang sangat baik. Kemampuannya untuk melarutkan senyawa polar dan non-polar menjadikannya pelarut industri yang berharga. Ia digunakan dalam produksi berbagai bahan kimia organik, termasuk polimer, ester, dan turunan lainnya. Dalam skala rumah tangga, sifat pelarut ini adalah alasan utama mengapa cuka efektif dalam membersihkan noda mineral, kerak air, dan residu sabun yang tidak larut dalam air murni.
Produksi asam asetat dapat dibagi menjadi dua jalur utama: jalur biologis (fermentasi) yang menghasilkan cuka, dan jalur sintetik (petrokimia) yang menghasilkan asam asetat glasial untuk kebutuhan industri.
Cuka adalah hasil dari proses biokimia dua langkah yang mengubah gula menjadi asam asetat. Proses ini memerlukan dua jenis mikroorganisme spesifik dan urutan reaksi yang tepat.
Bahan baku yang mengandung gula (seperti sari buah, biji-bijian, atau madu) diubah menjadi etanol (alkohol) oleh ragi (sebagian besar dari genus Saccharomyces) dalam kondisi tanpa oksigen (anaerobik). Ini adalah langkah yang sama yang digunakan untuk membuat minuman beralkohol.
Sumber gula sangat menentukan jenis cuka yang dihasilkan. Cuka apel berasal dari sari apel, cuka anggur dari anggur, dan cuka malt dari barley yang difermentasi.
Etanol yang dihasilkan kemudian diubah menjadi asam asetat oleh sekelompok bakteri yang dikenal sebagai Acetobacter atau Gluconobacter. Proses ini memerlukan oksigen (aerobik). Bakteri ini mengoksidasi etanol menjadi asam asetat dan air.
Metode produksi cuka dapat dibagi lagi berdasarkan kecepatan dan teknologi yang digunakan:
Sekitar 90% dari asam asetat yang diproduksi secara global berasal dari jalur sintesis kimia, bukan fermentasi. Jalur sintetik ini menghasilkan asam asetat berkonsentrasi tinggi yang diperlukan untuk industri polimer dan pelarut.
Saat ini, metode yang paling dominan adalah karbonilasi metanol. Proses ini melibatkan reaksi metanol (CH₃OH) dengan karbon monoksida (CO). Reaksi ini difasilitasi oleh katalis, biasanya berbasis rodium atau iridium, yang beroperasi pada tekanan dan suhu tinggi. Proses ini dikenal dengan nama dagang seperti proses Monsanto atau, yang lebih modern dan efisien, proses Cativa (dikembangkan oleh BP Chemicals).
Efisiensi proses Cativa sangat tinggi dan menghasilkan produk dengan kemurnian yang luar biasa, menjadikannya standar emas untuk produksi asam asetat glasial global.
Meskipun kurang umum saat ini, metode sintetik lain meliputi:
Perbedaan mendasar antara cuka fermentasi dan asam asetat sintetik terletak pada adanya komponen minor. Cuka alami mengandung vitamin, mineral, asam non-asetat (seperti asam malat atau tartarat), dan senyawa volatil yang memberikan rasa dan aroma khas. Asam asetat sintetik hampir murni dan tidak memiliki komponen nutrisi atau rasa yang kompleks.
Meskipun semua cuka mengandung asam asetat, rasa, warna, dan kandungan nutrisi tambahannya sangat bervariasi tergantung pada bahan baku yang difermentasi. Variasi ini menghasilkan spektrum kuliner yang luas.
Ini adalah cuka yang paling umum dan serbaguna. Biasanya dibuat dari fermentasi alkohol biji-bijian (seperti jagung). Setelah fermentasi asam asetat, cuka ini didistilasi untuk menghilangkan semua kotoran dan komponen non-asam asetat lainnya, menghasilkan cairan bening tanpa rasa tambahan selain rasa asam murni. Konsentrasinya biasanya antara 5% hingga 8%. Penggunaan utamanya adalah untuk pembersihan rumah tangga, pengawetan (pickling), dan resep yang membutuhkan asam yang netral tanpa memengaruhi warna akhir.
Dibuat dari fermentasi sari apel, ACV sangat populer karena profil rasanya yang buah dan manfaat kesehatannya yang sering diperbincangkan. ACV yang belum disaring dan belum dipasteurisasi seringkali mengandung "mother of vinegar," yang merupakan jaringan selulosa yang mengandung bakteri dan enzim yang bermanfaat. Mother ini menandakan cuka tersebut masih hidup dan aktif secara mikrobiologis.
Cuka anggur dihasilkan dari fermentasi anggur merah atau putih. Cuka anggur merah memiliki rasa yang lebih tajam dan cocok untuk daging merah dan masakan yang kaya rasa, sementara cuka anggur putih lebih lembut dan sering digunakan dalam saus hollandaise atau salad ringan. Kualitas cuka anggur sangat dipengaruhi oleh kualitas anggur dasarnya dan durasi penuaan dalam tong kayu.
Cuka Balsamic tradisional adalah cuka yang paling dihormati. Berasal dari Modena dan Reggio Emilia, Italia, ia dibuat dari perasan anggur (mosto cotto) yang direbus hingga pekat, kemudian difermentasi, dan ditua selama minimal 12 hingga 25 tahun di serangkaian tong kayu yang berbeda. Proses penuaan ini menghasilkan cairan yang manis, kental, dan sangat kompleks. Balsamic komersial yang lebih murah biasanya adalah cuka anggur biasa dengan tambahan pemanis, pewarna, dan karamel.
Cuka malt berasal dari fermentasi malt barley, yang merupakan proses yang mirip dengan pembuatan bir. Cuka ini memiliki rasa yang khas, sedikit manis dan seringkali dianggap memiliki nuansa ‘roti’. Di Inggris, cuka malt adalah pelengkap wajib untuk hidangan fish and chips.
Populer di masakan Asia Timur, cuka beras dibuat dari fermentasi beras. Cuka ini jauh lebih lembut dan manis daripada cuka anggur atau cuka putih Barat. Karena keasamannya yang rendah (sekitar 3% hingga 4%), cuka beras ideal untuk bumbu sushi, saus celup, dan hidangan yang membutuhkan sedikit keasaman tanpa rasa yang terlalu menusuk.
Cuka, sebagai larutan asam asetat, berperan penting dalam kuliner dan solusi pembersih alami.
Aplikasi asam asetat melampaui batas dapur rumah tangga. Dari bahan dasar pelarut yang kuat hingga agen pengawet makanan, fleksibilitas kimianya telah menjadikannya komoditas global yang tak ternilai.
Di dapur, cuka berfungsi sebagai agen pemberi rasa, pengatur keasaman, dan pengawet.
Keasaman cuka dapat menyeimbangkan rasa manis atau lemak dalam hidangan. Dalam saus salad (vinaigrette), cuka tidak hanya memberikan rasa tajam tetapi juga membantu mengemulsi minyak dan bahan lainnya. Dalam masakan berlemak atau kaya rasa, sedikit cuka dapat 'memotong' kekayaan rasa tersebut, memberikan dimensi yang lebih segar pada hidangan.
Asam asetat, meskipun lemah, bekerja sebagai denaturator protein. Ketika digunakan dalam marinasi, asam ini membantu memecah serat-serat protein pada permukaan daging. Proses ini melunakkan daging dan memungkinkannya menyerap bumbu dengan lebih baik, meskipun penggunaan cuka yang berlebihan dapat membuat daging menjadi keras jika waktu marinasi terlalu lama.
Penggunaan cuka sebagai agen pengawet adalah salah satu fungsi tertuanya. Ketika sayuran (seperti timun atau bawang) direndam dalam larutan cuka, pH lingkungan turun drastis, biasanya hingga di bawah 4.6. Dalam lingkungan yang sangat asam ini, sebagian besar bakteri penyebab pembusukan dan patogen (termasuk Clostridium botulinum) tidak dapat bertahan hidup atau berkembang biak. Konsentrasi minimum 5% asam asetat seringkali disyaratkan untuk pengawetan makanan yang aman.
Dalam resep kue, cuka sering digunakan bersama dengan soda kue (natrium bikarbonat). Soda kue adalah basa. Ketika bereaksi dengan asam asetat, ia melepaskan gas karbon dioksida (CO₂) dengan cepat. Gas ini berfungsi sebagai agen ragi (leavening agent), menghasilkan tekstur yang ringan dan mengembang pada makanan yang dipanggang, seperti muffin atau roti cepat saji.
Cuka putih, dengan sifat antibakteri dan pelarut mineralnya, telah menjadi alternatif pembersih kimia yang populer dan ramah lingkungan.
Kekuatan asam asetat terletak pada kemampuannya bereaksi dengan deposit mineral basa. Kerak air, yang sering terdiri dari kalsium karbonat dan magnesium, adalah zat basa. Asam asetat bereaksi dengan kalsium karbonat, melarutkannya menjadi garam asetat yang larut dalam air dan gas karbon dioksida. Inilah mengapa cuka sangat efektif untuk membersihkan kepala pancuran, ketel, atau permukaan keramik yang kusam karena air sadah.
Cuka dapat menetralkan bau. Kebanyakan molekul bau yang tidak sedap (seperti bau keringat, asap, atau hewan peliharaan) bersifat basa. Ketika cuka (asam) disemprotkan, ia bereaksi dengan molekul bau tersebut, menetralkannya dan secara efektif menghilangkan bau tersebut, bukan hanya menutupinya.
Meskipun bukan pengganti desinfektan kelas medis, asam asetat pada konsentrasi cuka rumah tangga dapat menghambat pertumbuhan banyak jenis bakteri dan jamur. Penelitian menunjukkan bahwa cuka efektif melawan beberapa strain E. coli dan Salmonella, menjadikannya pilihan yang baik untuk mendisinfeksi permukaan dapur atau memotong bakteri pada sayuran dan buah-buahan.
Asam asetat glasial adalah bahan kimia yang sangat penting, berfungsi sebagai blok bangunan (building block) untuk ratusan produk industri.
Aplikasi industri tunggal terbesar untuk asam asetat adalah produksi Vinil Asetat Monomer (VAM). VAM kemudian digunakan untuk membuat polimer seperti Polivinil Asetat (PVA) dan kopolimer Etilen-Vinil Asetat (EVA). Polimer-polimer ini merupakan bahan utama dalam perekat, cat lateks, pelapis, tekstil, dan bahkan lapisan tahan air untuk beton.
Asam asetat bereaksi dengan alkohol untuk membentuk ester asetat (seperti etil asetat, butil asetat). Ester-ester ini adalah pelarut organik yang sangat penting dan banyak digunakan dalam industri kosmetik, farmasi, dan sebagai pelarut utama dalam produksi pernis, tinta, dan penghapus cat kuku. Butil asetat, misalnya, memberikan aroma buah pada banyak produk.
Asam asetat digunakan untuk membuat anhidrida asetat, yang merupakan reagen penting untuk asetilasi. Fungsi utamanya adalah dalam pembuatan selulosa asetat (digunakan untuk filter rokok, film fotografi, dan tekstil) dan, yang paling terkenal, dalam sintesis obat aspirin (asam asetilsalisilat).
Selama berabad-abad, cuka telah digunakan dalam pengobatan tradisional, mulai dari Mesir kuno hingga Hipokrates. Dalam dekade terakhir, cuka—terutama Cuka Apel (ACV)—telah menjadi subjek penelitian ilmiah yang intensif untuk memvalidasi klaim kesehatan tradisionalnya.
Ini adalah area yang paling banyak didukung oleh bukti ilmiah. Penelitian menunjukkan bahwa mengonsumsi asam asetat (cuka) sebelum makan, terutama yang mengandung karbohidrat tinggi, dapat membantu mengurangi lonjakan kadar glukosa darah pasca-prandial. Mekanisme yang dihipotesiskan melibatkan asam asetat yang mengganggu hidrolisis polisakarida menjadi monosakarida. Dengan kata lain, asam asetat memperlambat laju pengosongan lambung dan menghambat enzim tertentu yang mencerna pati, yang pada gilirannya mengurangi seberapa cepat gula diserap ke dalam aliran darah.
Bagi individu dengan resistensi insulin atau diabetes tipe 2, konsumsi cuka secara teratur (dalam jumlah yang dianjurkan) dapat meningkatkan sensitivitas insulin. Efek ini tidak berarti cuka adalah pengganti obat diabetes, tetapi dapat bertindak sebagai alat tambahan untuk manajemen diet.
Beberapa studi menunjukkan bahwa cuka dapat meningkatkan rasa kenyang (satiety) setelah makan. Ini diduga terjadi karena asam asetat memperlambat pencernaan. Dengan merasa kenyang lebih lama, seseorang cenderung mengurangi asupan kalori secara keseluruhan. Namun, para peneliti menekankan bahwa efek penurunan berat badan dari cuka adalah minimal dan harus selalu dikombinasikan dengan diet seimbang dan aktivitas fisik. Klaim bahwa cuka dapat secara ajaib "membakar lemak" tidak didukung oleh bukti ilmiah yang kuat.
Beberapa penelitian pada hewan dan observasi epidemiologis pada manusia menunjukkan bahwa konsumsi cuka dapat memiliki efek positif pada kesehatan kardiovaskular, terutama dalam menurunkan kadar trigliserida dan kolesterol LDL (jahat). Efek ini kemungkinan terkait dengan kemampuan asam asetat untuk memengaruhi metabolisme lipid di hati.
Di luar penggunaan rumah tangga, cuka memiliki potensi terapeutik sebagai agen antimikroba topikal. Konsentrasi asam asetat yang lebih tinggi (6-10%) telah digunakan dalam lingkungan klinis untuk mengobati infeksi telinga tertentu dan membantu proses penyembuhan luka, terutama luka bakar. Keasamannya secara efektif menghambat pertumbuhan beberapa bakteri berbahaya, termasuk Pseudomonas aeruginosa yang sulit diobati.
Meskipun cuka umumnya aman, konsumsi berlebihan atau dalam bentuk yang tidak diencerkan dapat menimbulkan risiko:
Untuk memahami sepenuhnya peran asam asetat dalam ekonomi global, kita harus melihat lebih dekat pada industri polimer. Asam asetat glasial adalah pilar bagi produksi dua polimer yang sangat mendasar dalam kehidupan modern: PVA dan PET.
Seperti yang telah disinggung, VAM adalah turunan utama asam asetat. VAM adalah monomer yang kemudian dipolimerisasi menjadi PVA. PVA adalah komponen kunci dalam banyak industri. Ini adalah dasar dari lem putih yang kita kenal (seperti lem kayu atau lem sekolah). PVA juga merupakan prekursor untuk polivinil alkohol (PVOH) yang digunakan dalam:
Meskipun asam asetat tidak secara langsung membentuk Polietilen Tereftalat (PET) — plastik yang digunakan untuk botol minuman — salah satu bahan baku utamanya adalah asam tereftalat (TPA). TPA diproduksi melalui proses oksidasi paraksilena. Dan di sinilah asam asetat berperan: Asam asetat glasial adalah pelarut yang paling umum digunakan dan esensial dalam proses oksidasi ini. Tanpa asam asetat sebagai medium reaksi, produksi TPA dalam skala besar menjadi tidak layak secara ekonomi.
Ini menunjukkan bahwa setiap botol air minum atau wadah plastik PET yang kita lihat bergantung pada asam asetat glasial sebagai perantara kimia yang memfasilitasi reaksi pembentukan bahan baku utamanya. Skala kebutuhan industri ini sangat masif, mendominasi konsumsi asam asetat global.
Dalam konteks isu lingkungan dan pencarian solusi kimia yang lebih ramah lingkungan, cuka menempati posisi unik sebagai bahan kimia yang dapat terurai secara hayati (biodegradable) dan berasal dari sumber daya terbarukan (gula dan pati).
Meskipun sebagian besar asam asetat industri masih berasal dari sumber petrokimia (karbon monoksida dan metanol), jalur fermentasi cuka menawarkan model produksi yang berkelanjutan. Cuka dapat diproduksi dari limbah pertanian, seperti kulit buah, sisa molase, atau whey, mengubah produk sampingan yang tidak diinginkan menjadi komoditas berharga. Tren menuju bioteknologi hijau sedang mendorong penelitian untuk meningkatkan efisiensi proses fermentasi agar asam asetat berbasis bio dapat bersaing dengan biaya produksi sintetik.
Di tingkat konsumen, cuka berfungsi sebagai pengganti yang unggul untuk banyak pembersih rumah tangga yang mengandung amonia, klorin, atau senyawa organik volatil (VOC) yang berbahaya. Menggunakan cuka putih sebagai pembersih tidak hanya mengurangi paparan terhadap bahan kimia keras tetapi juga meminimalkan dampak lingkungan dari pembuangan produk pembersih tersebut ke sistem air.
Namun, perlu ditekankan kembali bahwa cuka adalah asam lemah dan tidak boleh digunakan secara sembarangan. Meskipun aman pada permukaan yang tahan asam, penggunaan cuka pada permukaan tertentu (seperti marmer, granit, atau batu kapur) harus dihindari karena asam asetat dapat mengikis material karbonat yang bersifat basa pada batu-batuan tersebut, menyebabkan kerusakan permanen.
Memahami konsentrasi asam asetat adalah kunci untuk penggunaan yang aman dan efektif. Perbedaan antara cuka makanan, cuka pembersih, dan asam asetat industri sangat signifikan dalam hal korosivitas dan penanganan.
Perbedaan antara 5% dan 99% asam asetat bukan hanya masalah konsentrasi numerik, tetapi juga perbedaan dalam bahaya dan aplikasinya. Kekuatan pKa (4.76) tetap sama, tetapi konsentrasi ion H⁺ yang tersedia untuk reaksi kimia meningkat secara eksponensial seiring dengan peningkatan kemurnian, menjadikan asam asetat glasial sangat reaktif dan berbahaya.
Dalam cuka yang diproduksi secara alami dan tidak dipasteurisasi, seringkali muncul formasi seperti lendir, keruh, atau jaring-jaring yang mengambang. Ini disebut "mother of vinegar." Secara ilmiah, mother adalah biofilm selulosa yang terbentuk dari koloni bakteri Acetobacter. Kehadirannya adalah bukti bahwa cuka tersebut adalah hasil fermentasi biologis yang aktif. Meskipun sepenuhnya aman dan sering dianggap berharga karena kandungan probiotiknya, mother of vinegar sering dihilangkan dari produk komersial karena alasan estetika. Cuka yang mengandung mother dianggap oleh sebagian kalangan sebagai produk dengan kualitas superior untuk kesehatan.
Mengingat peran sentral asam asetat dalam industri, upaya terus-menerus dilakukan untuk mengoptimalkan produksinya. Inovasi bioteknologi berfokus pada dua area utama:
Peneliti mikroba terus berupaya merekayasa strain bakteri Acetobacter yang dapat mentolerir konsentrasi alkohol dan asam yang lebih tinggi, memungkinkan produksi cuka yang lebih cepat dengan hasil akhir yang lebih pekat. Selain itu, pengembangan bioreaktor yang lebih canggih, yang dapat mengoptimalkan transfer oksigen ke bakteri, juga berkontribusi pada efisiensi proses.
Salah satu area penelitian yang paling menarik adalah sintesis asam asetat dari karbon dioksida (CO₂) dan hidrogen. Proses ini, jika diskalakan, dapat menawarkan jalur yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. CO₂ ditangkap dan digunakan sebagai sumber karbon (C), sementara hidrogen (H₂) berfungsi sebagai agen pereduksi. Meskipun masih dalam tahap pengembangan, ini menunjukkan potensi asam asetat untuk menjadi produk 'hijau' di masa depan, mengurangi ketergantungan pada metanol berbasis fosil.
Secara keseluruhan, asam asetat (cuka) adalah salah satu senyawa kimia tertua yang digunakan manusia, tetapi perannya terus berevolusi. Dari bumbu sederhana di meja makan hingga katalis dalam revolusi plastik global, kimiawi sederhana dari molekul CH₃COOH ini memastikan bahwa cuka dan asam asetat akan tetap menjadi tulang punggung yang tak tergantikan dalam kehidupan, industri, dan keberlanjutan masa depan.
Kisah cuka tidak terlepas dari sejarah peradaban manusia. Keberadaannya mendahului banyak penemuan kimia modern, membuktikan sifatnya yang inheren dan alami.
Bukti arkeologi menunjukkan bahwa Babilonia menggunakan cuka yang berasal dari kurma sekitar 5000 SM. Bangsa Mesir kuno memanfaatkannya sebagai minuman, dan di Roma kuno, air minum sering dicampur dengan cuka untuk sterilisasi dan rasa; minuman ini dikenal sebagai posca. Cuka memiliki nilai militer yang tinggi karena kemampuannya untuk mengawetkan makanan dalam perjalanan panjang dan menjaga kebersihan air.
Hipokrates, Bapak Kedokteran, secara rutin meresepkan cuka untuk membersihkan luka dan mengobati penyakit pernapasan. Penggunaan cuka dalam pengobatan berlanjut hingga abad pertengahan, di mana ia dianggap sebagai disinfektan kuat untuk melawan wabah penyakit. Salah satu ramuan terkenal, yang disebut 'Cuka Empat Pencuri' (Four Thieves Vinegar), dipercaya dapat melindungi dari Kematian Hitam karena ramuan ini kaya akan herbal yang direndam dalam asam asetat.
Dalam masakan, cuka tidak hanya berfungsi sebagai rasa asam. Di Asia, cuka beras digunakan sebagai agen keseimbangan yang penting, terutama dalam masakan Jepang (untuk sushi) dan masakan Tiongkok (untuk menyeimbangkan rasa manis, asin, dan pedas). Di Eropa, cuka adalah dasar untuk berbagai jenis mustard, saus, dan gastrique, yang menambah kedalaman pada hidangan yang kaya. Variasi regional dalam fermentasi, seperti cuka Balsamic yang kental atau cuka Jerez yang ditua di Spanyol, menunjukkan betapa budaya telah menyesuaikan dan menyempurnakan proses oksidasi asam asetat ini menjadi bentuk seni kuliner.
Meskipun cuka telah dikenal selama ribuan tahun, asam asetat baru diisolasi secara murni oleh ahli kimia pada abad ke-18. Kimiawan Jerman Hermann Kolbe berhasil mensintesis asam asetat dari zat anorganik pada pertengahan abad ke-19, membuktikan bahwa senyawa organik dapat diciptakan di luar organisme hidup, sebuah penemuan yang revolusioner pada masanya dan membuka jalan bagi kimia sintetik modern yang kita kenal sekarang.
Baik sebagai produk fermentasi alami yang kaya rasa dan sejarah, maupun sebagai bahan kimia industri yang kritis untuk produksi polimer, perekat, dan serat modern, cuka dan asam asetat terus membuktikan diri sebagai salah satu zat yang paling serbaguna dan penting dalam katalog kimia dan kehidupan sehari-hari manusia.