Deuterokanonika: Kitab Suci yang Terlupakan?

Deuterokanonika

Sebuah gambaran visual tentang pentingnya teks-teks yang kaya makna.

Dalam dunia kekristenan, ketika berbicara tentang kitab suci, sebagian besar umat merujuk pada kanon kitab suci yang diterima secara luas, yaitu Alkitab Protestan yang terdiri dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Namun, terdapat sekumpulan kitab yang memiliki sejarah kompleks dan status yang bervariasi di kalangan denominasi Kristen. Kitab-kitab ini dikenal sebagai "deuterokanonika". Istilah "deuterokanonika" berasal dari bahasa Yunani, yang berarti "kanon kedua" atau "kitab-kitab yang masuk dalam kanon belakangan".

Kitab-kitab deuterokanonika ini mencakup Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, Sirakh (atau Yesua bin Sirakh), Barukh, Surat Yeremia, serta tambahan pada Ester dan Daniel. Bagi Gereja Katolik Roma, Gereja Ortodoks Timur, dan beberapa gereja Ortodoks Oriental lainnya, kitab-kitab ini dianggap sebagai bagian integral dari Perjanjian Lama dan memiliki otoritas ilahi yang sama dengan kitab-kitab lainnya. Namun, bagi sebagian besar tradisi Protestan, kitab-kitab ini dikategorikan sebagai "apokrifa", yang berarti "tersembunyi" atau "tidak otentik", dan umumnya tidak dianggap sebagai kitab suci yang memiliki otoritas setara.

Sejarah dan Perdebatan

Perdebatan mengenai kanonisitas kitab-kitab ini telah berlangsung selama berabad-abad. Akar perdebatan ini dapat ditelusuri kembali ke masa-masa awal Kekristenan dan bahkan hingga masa Yahudi Helenistik. Kitab-kitab deuterokanonika banyak ditulis dalam bahasa Yunani, bukan Ibrani, yang merupakan bahasa asli sebagian besar kitab Perjanjian Lama.

Septuaginta, terjemahan Perjanjian Lama ke dalam bahasa Yunani yang diselesaikan pada abad ke-3 SM, memasukkan kitab-kitab ini tanpa pembedaan yang jelas. Mayoritas pemimpin gereja awal, termasuk para Bapa Gereja, sering kali mengutip kitab-kitab ini dalam tulisan-tulisan mereka, menunjukkan penerimaan yang luas atas kontennya. Santo Agustinus, misalnya, mengakui kitab-kitab ini sebagai bagian dari Kitab Suci.

Namun, ketika Martin Luther menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Jerman pada abad ke-16, ia memisahkan kitab-kitab ini dari kitab-kitab kanonik lainnya, menempatkannya di bagian terpisah yang ia sebut sebagai "Apokrifa". Keputusan Luther ini sangat berpengaruh dan menjadi dasar bagi kanon Alkitab Protestan yang digunakan hingga saat ini. Alasan Luther menarik diri dari kanon yang lebih luas ini umumnya dikaitkan dengan perbedaan doktrinal, seperti ajaran tentang perbuatan baik yang dapat menebus dosa, yang ia yakini tidak memiliki dasar yang kuat dalam kitab-kitab suci yang ia terima.

Dewan Trente (Council of Trent) pada pertengahan abad ke-16 secara definitif menetapkan kitab-kitab deuterokanonika sebagai bagian dari kanon suci bagi Gereja Katolik Roma, meneguhkan apa yang telah diterima oleh gereja sepanjang sejarahnya. Keputusan ini merupakan respons langsung terhadap Reformasi Protestan.

Nilai dan Ajaran

Terlepas dari perdebatan teologis mengenai status kanoniknya, kitab-kitab deuterokanonika menawarkan nilai yang kaya dan mendalam bagi pembaca dari berbagai latar belakang iman. Kitab-kitab ini menyajikan berbagai genre sastra, mulai dari narasi sejarah, kisah kepahlawanan, hikmat, hingga puisi.

Misalnya, kitab Tobit menceritakan kisah iman dan kesetiaan keluarga dalam menghadapi kesulitan, menekankan pentingnya doa, amal, dan perlindungan ilahi. Kitab Yudit memberikan kisah heroik seorang wanita yang menyelamatkan bangsanya dari penindasan. Kebijaksanaan Salomo dan Sirakh adalah teks-teks hikmat yang penuh dengan nasihat praktis dan refleksi teologis tentang keadilan, kebenaran, dan hubungan manusia dengan Tuhan. Barukh dan Surat Yeremia berisi pesan kenabian dan ratapan yang menggugah, sementara tambahan pada Ester dan Daniel memberikan kedalaman dan dimensi spiritual yang lebih pada narasi aslinya.

Kitab-kitab ini bukan sekadar artefak sejarah keagamaan, tetapi juga sumber inspirasi yang kaya, menawarkan pandangan unik tentang kehidupan iman di era Perjanjian Lama dan memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang warisan spiritual umat Yahudi dan Kristen awal.

Bagi mereka yang tidak secara teologis menerima kitab-kitab ini sebagai bagian dari Kitab Suci, mereka masih dapat menemukan nilai historis, sastra, dan budaya dalam membacanya. Kitab-kitab ini memberikan konteks penting untuk memahami pemikiran keagamaan dan budaya pada periode intertestamental (periode antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru), yang sangat memengaruhi perkembangan Kekristenan.

Kesimpulan

Deuterokanonika tetap menjadi topik yang menarik dan terkadang kontroversial dalam studi Alkitab. Statusnya yang unik mengundang refleksi tentang bagaimana kanon kitab suci terbentuk, bagaimana tradisi gereja berkembang, dan bagaimana kita menafsirkan dan menerima teks-teks suci. Memahami keberadaan dan isi kitab-kitab ini memperkaya wawasan kita tentang kekayaan warisan teologis yang dimiliki oleh berbagai komunitas iman Kristen. Mereka adalah bagian penting dari permadani tebal sejarah keagamaan yang terus menawarkan pelajaran berharga bagi pencari kebenaran.

🏠 Homepage