Representasi visual keterkaitan Fiqh (koin) dan digitalisasi (koneksi) dalam arisan.
Arisan, dalam tradisi masyarakat Indonesia, adalah bentuk praktik tolong-menolong atau investasi mikro yang telah mengakar kuat. Secara harfiah, arisan adalah singkatan dari ākumpulan bersamaā (atau sering disebut juga *simpan pinjam bergiliran* atau *Rotating Savings and Credit Association* - ROSCA). Praktik ini didasarkan pada akad yang fundamental, yakni pengumpulan dana secara periodik oleh sekelompok orang, di mana seluruh dana tersebut (pokok) kemudian diberikan secara bergiliran kepada salah satu anggota.
Nahdlatul Ulama (NU), melalui forum-forum kajian hukumnya seperti Bahtsul Masail, telah lama memberikan perhatian serius terhadap praktik-praktik muamalah yang terjadi di tengah masyarakat. Arisan konvensional, yang biasanya diselenggarakan secara tatap muka, pada dasarnya telah disepakati keabsahannya dalam kerangka Fiqh Islam, sepanjang memenuhi kaidah-kaidah dasar, terutama menghindari unsur riba, *gharar* (ketidakjelasan), dan *maisir* (judi).
Namun, perkembangan teknologi informasi telah melahirkan fenomena baru: Arisan Online. Platform digital memungkinkan arisan dilakukan lintas batas geografis, dengan jumlah peserta yang jauh lebih besar, serta melibatkan mekanisme pembayaran dan penarikan yang dikelola oleh pihak ketiga (administrator atau aplikasi). Digitalisasi ini membawa kompleksitas baru yang memerlukan tinjauan fiqh yang mendalam. Pertanyaan utamanya adalah: Apakah perubahan media (dari fisik ke digital) dan penambahan elemen administrasi (biaya admin, sistem pengundian otomatis) mengubah status hukum dasar arisan dari yang awalnya *mubah* (diperbolehkan) menjadi bermasalah secara syariah?
Kajian ini bertujuan untuk menguraikan landasan hukum arisan online berdasarkan kerangka berpikir Fiqh Muamalah yang dianut oleh NU. Ruang lingkup pembahasan meliputi tiga aspek utama: (1) Identifikasi akad dasar yang berlaku pada arisan (apakah *Qardh*, *Ta'awun*, atau kombinasi); (2) Analisis elemen-elemen baru dalam arisan online (biaya administrasi, sistem keamanan, dan risiko gagal bayar); dan (3) Penentuan hukum kontemporer melalui pendekatan *Bahtsul Masail*.
Untuk memahami hukum arisan online, kita harus kembali pada akar kontrak yang membentuk praktik arisan konvensional. Dalam pandangan ulama NU, arisan bukan merupakan akad tunggal yang memiliki nama spesifik dalam kitab-kitab fiqh klasik. Sebaliknya, arisan adalah penggabungan beberapa akad (kontrak) yang diizinkan dan berinteraksi dalam satu sistem.
Akad utama yang mendasari setiap pembayaran iuran dalam arisan adalah *Qardh* (pinjaman). Setiap anggota yang menyetorkan iuran pada dasarnya memberikan pinjaman kepada kumpulan (dana kolektif) yang kelak akan diambil oleh anggota yang berhak. Pinjaman ini memiliki sifat *tabarru'* (transaksi sosial non-profit). Dengan demikian, ketika seorang anggota memenangkan giliran (mendapatkan kumpulan uang), ia dianggap telah mengambil pinjaman dari anggota-anggota lain, dan ia berkewajiban untuk melunasi pinjaman tersebut melalui iuran-iuran periodik berikutnya. Dalam kaidah fiqh, pinjaman (*qardh*) tidak boleh menarik keuntungan bagi pemberi pinjaman. Hadits masyhur menyebutkan: "Setiap pinjaman yang mendatangkan manfaat (tambahan) maka itu adalah riba." Oleh karena itu, arisan dianggap sah karena tidak ada anggota yang menerima kembali uangnya dalam jumlah lebih besar daripada yang ia setorkan.
Dalam perspektif madzhab Syafi'i, yang menjadi pegangan utama NU, akad *qardh* mensyaratkan adanya serah terima objek pinjaman, yakni uang atau aset yang nilainya bisa dikembalikan setara. Arisan memenuhi syarat ini. Namun, kompleksitas arisan terletak pada aspek kebergiliran. Anggota yang mendapat giliran di awal (sebelum melunasi iurannya secara penuh) dianggap sebagai penerima pinjaman murni. Sementara anggota yang mendapat giliran di akhir (setelah iurannya hampir penuh) dianggap sebagai pemberi pinjaman secara dominan. Fiqh melihat sistem ini sebagai saling pinjam-meminjam yang disepakati secara kolektif, menempatkannya di bawah payung akad *tabarru'at* (amal sosial).
Jika ada unsur kesengajaan untuk mendapatkan keuntungan finansial murni dari proses kebergiliran (misalnya, menjaminkan iuran atau menaikkan nilai hadiah di akhir putaran untuk menarik peserta), maka status *qardh* ini bisa bergeser dan mendekati transaksi yang dilarang, seperti riba terselubung atau *gharar* (jika janji keuntungannya tidak pasti).
Meskipun secara teknis didominasi oleh akad *Qardh*, roh dari arisan adalah *Ta'awun* (kerjasama atau tolong-menolong). Arisan adalah mekanisme yang memungkinkan anggota yang membutuhkan dana segar (khususnya yang mendapat giliran awal) untuk mengakses dana tersebut tanpa harus berhadapan dengan sistem perbankan konvensional yang mungkin membebankan riba. Prinsip *Ta'awun* ini sejalan dengan ajaran Islam yang menganjurkan umatnya untuk saling membantu dalam kebaikan.
Dalam konteks NU, landasan hukum arisan dikuatkan oleh aspek kemaslahatan (kebaikan umum) dan sosial. Karena arisan murni berbasis komunitas dan bertujuan meringankan beban, ia mendapatkan justifikasi *syarāi* sebagai bentuk *taāawun ala al-birr wa al-taqwa* (tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan).
Keabsahan arisan konvensional bergantung pada ketegasannya dalam menghindari dua unsur utama:
Nahdlatul Ulama memiliki metodologi khas dalam menetapkan hukum kontemporer, yang dikenal sebagai *Bahtsul Masail* (pembahasan masalah-masalah). Metodologi ini tidak bersifat independen dari sumber hukum Islam (Al-Qur'an, Hadits, Ijma', Qiyas), melainkan mengaplikasikannya melalui kerangka Madzhab Syafi'i, dengan mempertimbangkan pendapat tiga madzhab lainnya (Hanafi, Maliki, Hanbali) dan kaidah-kaidah Fiqh (Al-Qawa'id Al-Fiqhiyyah).
Dalam menyikapi arisan online, Bahtsul Masail akan melalui tahapan yang ketat:
Beberapa kaidah fiqh sangat penting dalam menilai arisan online, terutama:
Perbedaan mendasar antara arisan konvensional dan arisan online terletak pada keterlibatan pihak ketiga (platform/aplikasi) yang berperan sebagai penyelenggara, penjamin, dan pengelola. Peran baru ini memunculkan isu-isu fiqh yang spesifik.
Sebagian besar platform arisan online mengenakan biaya administrasi kepada peserta, baik dalam bentuk biaya pendaftaran, biaya bulanan, atau potongan dari dana yang diterima (untuk yang mendapat giliran awal). Pungutan ini adalah titik krusial yang memerlukan klasifikasi akad yang tepat.
Jika biaya administrasi (admin fee) murni digunakan untuk menutupi biaya operasional platform (pengembangan aplikasi, pemeliharaan sistem, keamanan data, notifikasi, dan jasa penarikan/transfer dana), maka pungutan tersebut diklasifikasikan sebagai *Ujrah* (upah atau sewa jasa) dalam akad *Ijarah*. Dalam hal ini, platform bertindak sebagai *ajir* (penyedia jasa) yang diwakilkan oleh anggota arisan (*wakil*) untuk mengurus sistem.
Syarat sahnya *Ujrah* adalah:
Dalam Fiqh Muamalah, terutama yang diterapkan NU, sangat penting untuk memisahkan antara akad *Qardh* (pinjaman non-profit) dan akad *Ijarah* (sewa jasa). Uang yang dipertukarkan dalam arisan adalah *Qardh*, sedangkan biaya administrasi adalah *Ijarah*. Jika kedua akad ini dicampuradukkan sedemikian rupa sehingga biaya admin terasa sebagai bunga pinjaman, maka status kehalalannya menjadi diragukan.
Oleh karena itu, platform arisan online yang sah menurut Fiqh NU harus mampu menunjukkan transparansi bahwa biaya yang dipungut murni untuk jasa manajemen dan bukan berasal dari keuntungan meminjamkan uang. Ini membutuhkan verifikasi mendalam oleh ahli Fiqh kontemporer.
Salah satu kelemahan terbesar arisan online adalah risiko gagal bayar (*wanprestasi* atau *mughalathah*). Karena peserta tidak saling mengenal secara fisik (seperti dalam arisan konvensional), peluang anggota melarikan diri atau tidak melanjutkan pembayaran setelah mendapatkan giliran awal menjadi sangat tinggi. Risiko ini berpotensi menyebabkan *gharar* bagi anggota lain, terutama yang mendapat giliran akhir.
NU sering menyarankan solusi penjaminan (*Dhamanah* atau *Kafalah*). Dalam konteks arisan online, platform harus menyediakan sistem penjaminan yang kuat. Ada dua skema yang mungkin:
Penyalahgunaan istilah 'arisan online' seringkali terjadi pada praktik keuangan yang dilarang keras dalam Islam, yaitu skema Ponzi atau Arisan Berantai (Multi-Level Marketing/MLM yang tidak memiliki produk riil dan bergantung pada perekrutan anggota baru).
Arisan yang sah (secara Fiqh) memiliki karakteristik mutlak: **Setiap anggota menerima kembali jumlah yang sama dengan total iuran yang mereka berikan.** Arisan adalah transaksi nol-sum (tidak ada keuntungan atau kerugian dari pokok dana). Tujuannya adalah pertukaran likuiditas, bukan investasi.
Sebaliknya, Skema Ponzi atau Arisan Berantai Haram memiliki karakteristik:
Di beberapa platform online, terjadi praktik di mana slot arisan (giliran) dijual atau dilelang. Misalnya, seorang anggota yang ingin dana cepat bersedia mendapatkan uang arisan dengan potongan 10% (misalnya, seharusnya menerima Rp 10 juta, ia hanya menerima Rp 9 juta, dan Rp 1 juta sisanya dibagi kepada anggota lain atau diambil platform).
Praktik ini sangat problematis dalam Fiqh Muamalah:
Digitalisasi arisan seringkali dilengkapi dengan fitur-fitur tambahan yang mempermudah, namun juga dapat menimbulkan masalah fiqh baru.
Arisan online umumnya menggunakan algoritma komputer untuk menentukan pemenang secara acak. Dalam Fiqh, pengundian (*Qur'ah*) diperbolehkan asalkan tidak mengandung unsur *maisir* dan dilakukan secara adil. Karena arisan online didasarkan pada kesepakatan awal dan semua pihak pada akhirnya akan menerima pokok dana mereka, penggunaan algoritma pengundian dianggap sah (Mubah).
Namun, tantangan bagi NU adalah memastikan transparansi. Jika sistem pengundian adalah *black box* (tidak bisa diverifikasi) dan platform memiliki kemampuan untuk memanipulasi hasil (misalnya, mengutamakan anggota tertentu), maka unsur *gharar* (ketidakpastian dan potensi kecurangan) muncul. Syarat keabsahan arisan online adalah jaminan teknis bahwa proses pengundian murni acak dan telah disepakati oleh semua pihak.
Dalam arisan online, dana seringkali ditampung sementara oleh platform melalui layanan pihak ketiga. Status dana ini adalah *Wadi'ah* (titipan). Platform harus memastikan bahwa dana titipan ini tidak digunakan untuk investasi atau menghasilkan bunga (karena hal ini akan menjadikannya *Wadi'ah Ma'lumah* yang dapat menghasilkan riba).
Biaya transfer yang dikenakan oleh *payment gateway* dan diteruskan kepada anggota arisan dianggap sebagai biaya transaksi yang sah dan tidak termasuk riba, asalkan biaya tersebut adalah biaya riil dari bank atau penyedia layanan, dan bukan keuntungan tambahan bagi platform arisan.
Berdasarkan metodologi Bahtsul Masail, NU cenderung mempertahankan hukum asal arisan sebagai *mubah* (diperbolehkan), dengan syarat ketat yang harus dipenuhi oleh penyelenggara dan peserta arisan online.
Agar sebuah platform arisan online dianggap sah dan sejalan dengan Fiqh Muamalah, terutama dalam kerangka Madzhab Syafi'i yang dipegang NU, setidaknya harus memenuhi prasyarat berikut:
Kontrak arisan harus sangat eksplisit dan dapat diakses oleh semua anggota. Detail yang harus jelas meliputi: jumlah iuran, jadwal pembayaran, total uang yang akan diterima (pokok harus sama dengan total iuran), dan mekanisme pengundian yang transparan. Tidak boleh ada janji-janji yang bersifat spekulatif.
Platform harus secara jelas memisahkan uang pokok arisan (dana *qardh*) dari biaya administrasi (*ujrah*). Biaya admin hanya boleh dikenakan sebagai imbalan atas jasa pengelolaan teknis dan harus proporsional. Tidak boleh ada potongan dari dana *qardh* yang menjadi keuntungan bagi platform, karena hal ini dapat dikategorikan sebagai riba.
Dalam banyak putusan Bahtsul Masail, jika ada biaya yang dipungut, biaya tersebut harus dibayar secara terpisah oleh anggota, bukan dipotong dari dana pinjaman. Prinsipnya adalah *āPinjaman yang ditarik darinya manfaat (tambahan) adalah ribaā* harus dihindari sepenuhnya.
Platform wajib memiliki mekanisme pengamanan yang kuat untuk mencegah gagal bayar (wanprestasi) atau penipuan. Jika terjadi kegagalan bayar, platform harus menalangi kerugian (melakukan *kafalah*). Jika platform tidak menalangi dan risiko kerugian ditanggung sepenuhnya oleh anggota yang mendapat giliran akhir, maka arisan tersebut berpotensi menjadi *gharar* yang dilarang.
Idealnya, platform harus mewajibkan jaminan legal atau deposit bagi peserta yang mendapat giliran awal. Jaminan ini penting untuk memastikan bahwa hak anggota lain yang masih menyetor iuran tidak terancam.
Seiring berkembangnya zaman, banyak individu menggunakan arisan sebagai sarana investasi kecil. Dalam pandangan Fiqh, arisan bukanlah sarana investasi (seperti saham, obligasi, atau mudharabah). Arisan adalah alat manajemen likuiditas. Meskipun anggota yang mendapat giliran terakhir diuntungkan karena nilai uang mereka terlindungi dari inflasi selama periode tersebut, keuntungan ini bukanlah tujuan utama akad *qardh*.
Jika arisan secara eksplisit dipromosikan sebagai produk investasi yang menjanjikan imbal hasil (lebih dari pokok), maka akadnya telah bergeser dari *Qardh* dan *Ta'awun* menjadi *Syirkah* (kemitraan) atau *Mudharabah* (bagi hasil). Jika demikian, platform harus memenuhi seluruh syarat akad *syirkah* (misalnya, transparansi dalam pembagian keuntungan dan kerugian yang sah), jika tidak, ia kembali jatuh pada kategori *riba* atau *maisir*.
Untuk mencapai bobot pembahasan yang komprehensif, penting untuk mengupas lebih jauh mengenai konsep *Gharar* (ketidakjelasan atau ketidakpastian) dan bagaimana ia bermanifestasi secara spesifik dalam ekosistem digital arisan.
Gharar secara bahasa berarti risiko atau bahaya. Dalam terminologi fiqh muamalah, *gharar* adalah ketidakpastian atau keraguan dalam kontrak yang dapat menyebabkan pertikaian dan kerugian pada salah satu pihak. Imam Asy-Syafi'i melarang jual beli yang mengandung *gharar*, terutama jika *gharar* tersebut berada pada unsur pokok kontrak.
Ulama membagi *gharar* menjadi tiga jenis:
Dalam konteks arisan online, *Gharar Fahisy* muncul ketika:
Selain aspek Fiqh murni, NU juga menekankan aspek etika dalam bermuamalah (*akhlaqul karimah*). Arisan online, karena sifatnya yang anonim dan digital, berpotensi merusak etika kerjasama.
Platform yang mengelola dana arisan bertindak sebagai *amin* (pemegang amanah). Pengelola memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga integritas dana (*hifdhul mal*). Penggunaan dana arisan (pinjaman/qardh) untuk kepentingan pribadi pengelola adalah pelanggaran etika dan dapat dikategorikan sebagai *khianat* (pengkhianatan amanah), bahkan jika dana tersebut kemudian dikembalikan. NU selalu menegaskan pentingnya integritas moral dalam setiap transaksi, terutama yang melibatkan dana publik.
Dalam Bahtsul Masail, ketika menentukan hukum muamalah kontemporer, ulama NU juga mempertimbangkan regulasi negara (hukum positif). Meskipun Fiqh memiliki landasan hukum yang berbeda, peraturan pemerintah yang bertujuan melindungi konsumen, mencegah penipuan, dan menjamin stabilitas keuangan dianggap sejalan dengan prinsip *maslahah mursalah* (kebaikan umum yang tidak secara eksplisit diatur dalam dalil, namun sejalan dengan tujuan syariat).
Oleh karena itu, arisan online yang sah secara Fiqh harus pula sah secara hukum negara (memiliki izin resmi, terutama jika melibatkan pengelolaan dana besar). Jika suatu praktik bertentangan dengan hukum positif, ulama cenderung menghukumnya sebagai *makruh* atau bahkan *haram*, karena melanggar ketertiban umum dan berpotensi menimbulkan perselisihan yang dilarang syariat.
Bagi anggota yang telah mendapat giliran awal dan kemudian sengaja tidak melunasi iurannya (wanprestasi), tindakannya adalah haram, karena ia melanggar akad *qardh* (hutang). Dalam Fiqh, menunda pembayaran hutang bagi orang yang mampu adalah kezaliman (*zulm*). Meskipun arisan online menawarkan anonymity, kewajiban syariah tetap mengikat individu untuk melunasi hutangnya hingga putaran selesai.
Setelah melakukan klasifikasi akad dan menganalisis elemen-elemen digital, dapat disimpulkan bahwa hukum arisan online dalam perspektif Fiqh Muamalah NU adalah sebagai berikut:
Arisan online pada dasarnya adalah *Mubah* (diperbolehkan) dan merupakan turunan dari akad *Qardh* (pinjaman) dan *Ta'awun* (kerjasama). Keabsahan ini didukung oleh prinsip kemaslahatan sosial dan tradisi ('urf) yang baik.
Status hukum *mubah* ini berubah menjadi *Haram* seketika unsur-unsur berikut ditemukan dalam pelaksanaan arisan online:
Forum Bahtsul Masail NU akan selalu mendorong umat untuk memilih praktik arisan online yang dikelola secara transparan, memiliki izin legal, dan yang paling penting, mematuhi prinsip *Qardh Hasan* (pinjaman tanpa bunga) dan *Ta'awun* yang seikat dengan amanah. Kehati-hatian dalam bermuamalah digital adalah kunci utama untuk menjaga harta dari perkara syubhat.
Implementasi Fiqh di era digital menuntut ketaatan pada kaidah klasik sekaligus adaptabilitas terhadap teknologi baru, menjamin bahwa transaksi komunitas seperti arisan tetap menjadi sarana kebaikan dan bukan pintu gerbang menuju praktik keuangan yang dilarang oleh syariat.
Adalah kewajiban bagi setiap muslim untuk memastikan bahwa platform yang mereka gunakan sebagai perantara arisan online telah melalui verifikasi ketat dan menerapkan sistem yang menjamin pemisahan akad secara paripurna. Tanpa jaminan tersebut, risiko pelanggaran syariah sangatlah besar, dan ulama NU akan menganjurkan kembali kepada praktik arisan konvensional yang lebih terjamin keamanannya dan transparansi sosialnya.
***
Pendalaman terhadap akad *Qardh* menjadi mutlak dalam konteks arisan, baik konvensional maupun online. Dalam pandangan Syafiāiyyah, *Qardh* merupakan akad pinjam-meminjam harta yang mana peminjam berhak memanfaatkan harta tersebut dan wajib mengembalikannya dengan jumlah yang setara (nilai atau kuantitasnya). Harta yang boleh di-*qardh*-kan haruslah harta yang dapat dibayar kembali sejenisnya, seperti uang atau komoditas standar (yang dikenal sebagai *mitsliyyat*).
Arisan memenuhi unsur *qardh* karena anggota menyetor uang (harta *mitsliyyat*), dan mereka berhak mendapatkan kembali sejumlah uang yang sama (pokok iuran). Prinsip non-profit dalam *qardh* (yakni larangan mengambil manfaat tambahan) menjadi benteng pertahanan utama Fiqh terhadap riba. Ketika arisan dilakukan secara online, mekanisme transfer dana dan pencatatan yang dilakukan oleh platform digital tidak boleh mengubah sifat dasar *qardh* ini.
Perlu ditekankan bahwa status hutang (dayn) yang muncul dari *qardh* dalam arisan adalah hutang yang kuat (*dayn qawi*), sehingga kewajiban melunasinya sangat mengikat secara syariah. Bahkan jika seorang anggota meninggal, hutangnya (sisa iuran yang belum dibayar) harus diselesaikan dari harta warisannya. Platform online harus mampu mencatat dan menagih hutang ini dengan sistem yang memadai, selaras dengan prinsip *hifdhul mal* (perlindungan harta) yang merupakan salah satu tujuan utama syariat Islam (*maqashid syariāah*).
Dalam konteks ekonomi modern, nilai uang cenderung terdepresiasi akibat inflasi, terutama pada arisan dengan periode yang sangat panjang (misalnya, 3ā5 tahun). Anggota yang mendapat giliran akhir secara riil menerima uang yang memiliki daya beli lebih rendah dibandingkan yang mereka setorkan di awal. Apakah hal ini melanggar prinsip *qardh* yang mensyaratkan pengembalian yang setara?
Ulama fiqh klasik umumnya tidak memasukkan perhitungan inflasi dalam akad *qardh* karena fokus mereka adalah kesamaan kuantitas nominal (misalnya, 100 rupiah harus dikembalikan 100 rupiah). Namun, ulama kontemporer, termasuk beberapa yang terlibat dalam Bahtsul Masail, mulai mendiskusikan konsep *'Iadah an-Nilai* (pengembalian nilai). Mayoritas ulama NU masih berpegangan pada kaidah klasik, yaitu pengembalian secara nominal (harta *mitsliyyat*), kecuali jika ada kesepakatan dari awal untuk mengaitkan nilai dengan emas atau komoditas tertentu, yang mana hal ini sangat jarang dilakukan dalam arisan rakyat biasa. Oleh karena itu, kerugian riil akibat inflasi dianggap sebagai risiko ekonomi umum yang ditanggung oleh anggota yang mendapat giliran akhir, dan bukan merupakan pelanggaran syariah terhadap akad *qardh*.
Dalam ranah online, kepercayaan dibangun bukan lagi berdasarkan ikatan sosial tatap muka, melainkan berdasarkan algoritma dan keamanan data. Oleh karena itu, Bahtsul Masail menuntut platform arisan online untuk memiliki sistem auditor internal dan eksternal yang dapat membuktikan bahwa dana anggota tidak dicampur dengan dana operasional perusahaan dan bahwa semua data transaksi (termasuk pengundian) tidak dapat dimanipulasi.
Jika platform menggunakan kontrak pintar (*smart contract*) berbasis teknologi blockchain untuk menjalankan arisan, maka ini mungkin akan dipandang lebih sesuai dengan prinsip fiqh karena meningkatkan transparansi (tidak ada admin yang dapat mengubah data). Namun, penggunaan teknologi baru ini juga harus dipastikan bebas dari unsur spekulasi yang dilarang.
Dalam kesimpulannya, NU senantiasa menjunjung tinggi prinsip keadilan (*al-'adl*) dan penghindaran kezaliman (*zulm*) dalam setiap transaksi. Arisan online hanya akan mendapatkan legitimasi penuh jika prinsip-prinsip klasik *Qardh* dan *Ta'awun* ini mampu dipertahankan tanpa cela, meskipun mediumnya telah berubah secara radikal menjadi digital.
Tanggung jawab etis dan fiqh melekat pada setiap individu yang terlibat, mulai dari pengembang aplikasi, administrator platform, hingga peserta arisan itu sendiri. Memilih arisan online yang benar-benar syar'i adalah bentuk ketaatan dalam bermuamalah, dan ulama NU menyerukan agar umat selektif dalam memilih platform yang menjamin kepatuhan syariah dan hukum positif secara simultan. Keberlanjutan praktik arisan sebagai sarana tolong-menolong di era digital sangat bergantung pada kejujuran dan transparansi semua pihak.
***
Mempertimbangkan secara komprehensif seluruh aspek yang telah dibahasāmulai dari akar akad *Qardh*, perlunya pemisahan *Ujrah*, mitigasi risiko *Gharar Fahisy*, hingga kewaspadaan terhadap skema haramāmenunjukkan betapa Fiqh Muamalah tidak statis melainkan dinamis, senantiasa beradaptasi tanpa mengorbankan prinsip-prinsip syariat yang universal. Sikap kehati-hatian (ihtiyat) yang diterapkan oleh Bahtsul Masail NU dalam masalah arisan online adalah cerminan dari tanggung jawab ulama untuk melindungi kemaslahatan umat dari transaksi yang meragukan.
Penjelasan yang panjang lebar ini harus dipahami sebagai panduan bagi umat. Jika platform online tidak memberikan detail yang cukup tentang bagaimana mereka mengatasi masalah *gharar*, maka sebaiknya umat mengambil langkah menjauh. Prinsip *Darrul Mafasid Muqaddamun 'ala Jalbil Mashalih* (menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada meraih manfaat) menjadi landasan bagi penetapan hukum kehati-hatian ini.
Setiap anggota arisan harus menyadari bahwa tanggung jawab hukum dan etika tidak hilang hanya karena transaksi dilakukan melalui layar ponsel. Kewajiban untuk membayar hutang tetap ada, dan kewajiban platform untuk menjaga amanah pun tetap tinggi. Inilah esensi dari Fiqh Muamalah yang diterapkan oleh Nahdlatul Ulama dalam menghadapi tantangan ekonomi digital, memastikan bahwa teknologi menjadi pelayan syariat, bukan sebaliknya.
***
Demikianlah analisis mendalam ini, mencakup spektrum luas dari definisi klasik hingga aplikasi digital paling modern, menjaga agar khazanah Fiqh tetap relevan dan memberikan solusi hukum yang menenteramkan bagi seluruh masyarakat Indonesia, khususnya warga Nahdliyin.