Kekuasaan Legislatif Sebelum Amandemen
Sebelum dilakukannya amandemen konstitusi, struktur dan peran lembaga legislatif sering kali mencerminkan model tata kelola yang cenderung sentralistik. Pada banyak sistem, khususnya yang menganut sistem presidensial klasik atau sistem parlementer dengan dominasi eksekutif yang kuat, kekuasaan legislatif cenderung terkonsentrasi pada satu kamar atau terbatas dalam mekanisme pengawasan.
Ciri utama dari periode ini adalah minimnya pembagian kekuasaan yang tegas terhadap fungsi legislasi. Misalnya, dalam beberapa kasus, eksekutif memiliki inisiatif legislasi yang sangat dominan atau bahkan mengeluarkan peraturan setingkat undang-undang melalui mekanisme darurat tanpa pengawasan legislatif yang memadai. Legislatif mungkin berperan lebih sebagai stempel persetujuan daripada sebagai mitra sejajar dalam pembentukan kebijakan publik.
Fungsi pengawasan juga seringkali lemah. Mekanisme akuntabilitas yang dimiliki parlemen terhadap pemerintah seringkali bersifat formalitas belaka. Dewan perwakilan rakyat (DPR) pada fase ini mungkin belum memiliki otonomi anggaran yang penuh, yang secara tidak langsung membatasi kemampuan mereka untuk melaksanakan fungsi pengawasan secara independen. Pembatasan terhadap hak interpelasi atau hak angket juga dapat menjadi penghalang signifikan bagi optimalisasi peran legislatif.
Dampak Amandemen terhadap Legislatif
Amandemen konstitusi merupakan momentum krusial yang bertujuan menyeimbangkan kembali struktur kekuasaan negara. Reformasi besar biasanya menyasar penguatan fungsi legislatif agar dapat menjalankan peran checks and balances secara efektif. Penguatan ini umumnya terlihat dari beberapa aspek fundamental.
Pertama, penambahan atau penguatan lembaga representasi. Jika sebelumnya hanya ada satu kamar (unikameral), amandemen seringkali mendorong pembentukan sistem bikameral (DPR dan DPD, misalnya). Tujuannya adalah memberikan ruang representasi yang lebih spesifik, seperti representasi daerah atau wilayah, yang memberikan dimensi baru dalam proses legislasi dan pengawasan.
Kedua, peningkatan otonomi legislatif. Amandemen memberikan penegasan yang lebih kuat mengenai kewenangan DPR untuk membentuk undang-undang, termasuk penajaman mekanisme pembahasan rancangan undang-undang (RUU) yang diinisiasi oleh pemerintah. Legislatif memperoleh kontrol penuh atas proses legislasi, membatasi peluang intervensi sewenang-wenang dari cabang kekuasaan lain.
Kekuasaan Legislatif Setelah Amandemen
Setelah amandemen, terjadi transformasi signifikan pada dinamika kekuasaan. Lembaga legislatif bertransformasi menjadi pilar utama demokrasi yang memiliki mandat lebih kuat dari rakyat. Mereka tidak lagi hanya sekadar badan legislatif, tetapi juga pusat perdebatan kebijakan publik yang substantif.
Kewenangan pengawasan menjadi jauh lebih tajam. Misalnya, melalui penguatan hak interpelasi, hak bertanya, dan terutama hak untuk menyelidiki kebijakan publik yang dianggap merugikan negara atau publik. Proses ini memaksa eksekutif untuk lebih transparan dan bertanggung jawab dalam setiap langkah tindakannya. Pengesahan APBN, yang merupakan jantung dari fungsi anggaran, kini sepenuhnya berada di tangan parlemen, memastikan bahwa alokasi sumber daya negara benar-benar sesuai dengan aspirasi yang diwakili.
Selain itu, dalam konteks bikameralisme, seringkali terjadi pembagian fokus. Jika DPR berfokus pada isu-isu nasional dan anggaran, kamar kedua (senat atau dewan perwakilan daerah) mungkin lebih berfokus pada perlindungan kepentingan regional atau memastikan kebijakan nasional tidak mengabaikan keragaman daerah. Perbedaan fokus ini menciptakan proses legislasi yang lebih matang, melalui perdebatan dan penyeimbangan kepentingan yang lebih holistik. Secara keseluruhan, amandemen bertujuan menggeser legislatif dari posisi yang pasif menjadi aktor politik yang aktif dan mandiri dalam sistem ketatanegaraan.
Perubahan konstitusi adalah cerminan evolusi kebutuhan negara dalam mencapai keseimbangan kekuasaan yang ideal.