Ilustrasi konsep kejelasan petunjuk Ilahi.
Ayat 64 dari Surah An-Nahl, sebagaimana yang tertera dalam transliterasi Latin "Wa mā anzalnā 'alaikal-kitāba illā litubayyina lahumul-ladzīkhtalafū fīhi...", adalah salah satu penegasan fundamental mengenai tujuan utama diturunkannya Al-Qur'an. Ayat ini secara langsung menunjuk kepada Nabi Muhammad SAW sebagai penerima wahyu, sekaligus menjelaskan fungsi sentral kitab suci tersebut dalam kehidupan manusia.
Frasa kunci dalam ayat ini adalah "illā litubayyina lahum", yang berarti "kecuali agar engkau menjelaskan kepada mereka." Ayat ini menghilangkan keraguan bahwa Al-Qur'an diturunkan tanpa tujuan praktis. Tujuan utamanya adalah sebagai alat klarifikasi. Di masa kerasulan, masyarakat Mekkah dan sekitarnya terjerumus dalam perselisihan mendalam mengenai berbagai isu fundamental: keesaan Allah (tauhid), kenabian, hari pembalasan, hingga tata cara ibadah yang benar.
Perselisihan ini bukan sekadar perbedaan pendapat minor, melainkan jurang pemisah antara kebenaran dan kesesatan. Al-Qur'an hadir sebagai pemisah (furqan) yang menjelaskan mana yang hak dan mana yang batil. Ketika wahyu dibacakan dan dijelaskan oleh Rasulullah SAW, kerumitan yang tadinya tampak samar menjadi terang benderang. Ayat ini menegaskan bahwa penjelasan yang dibawa oleh wahyu adalah solusi definitif atas perdebatan yang menyesatkan.
Ayat ini juga menunjukkan peran vital kenabian. Allah tidak hanya menurunkan teks, tetapi juga menunjuk Nabi Muhammad SAW sebagai juru bicara dan penafsir pertama. Tugas beliau adalah "tubayyina"—membuat sesuatu menjadi jelas. Dalam konteks tafsir, ini mencakup penjelasan makna literal, konteks turunnya ayat (asbabun nuzul), dan implementasi praktis dari ajaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa penjelasan kenabian (Sunnah), banyak makna Al-Qur'an akan tetap terbuka terhadap interpretasi liar yang justru akan menimbulkan perselisihan baru, ironisnya bertentangan dengan tujuan awal ayat ini.
Selain fungsi klarifikasi perselisihan, ayat ini menyebutkan dua manfaat universal lainnya yang terkandung dalam Al-Qur'an: "wa hudanw wa rahmatan" (petunjuk dan rahmat).
Kedua fungsi ini tidak berlaku untuk semua orang, melainkan dikhususkan bagi "liqaumim yu'minūn(a)"—orang-orang yang beriman. Keimanan menjadi kunci untuk menerima kejelasan (hudan) dan merasakan limpahan rahmat (rahmatan) dari Al-Qur'an. Seseorang yang hatinya tertutup tidak akan dapat melihat petunjuk tersebut, meskipun teksnya jelas tertera.
Relevansi An-Nahl 64 tetap kuat hingga kini. Di era informasi yang penuh dengan narasi tandingan dan perbedaan pandangan ekstrem, Al-Qur'an dan Sunnah tetap menjadi jangkar kebenaran. Tugas umat Islam adalah kembali merujuk pada sumber otentik tersebut untuk memilah informasi, memahami ajaran agama secara benar, dan menyikapinya dengan ketenangan yang didasari oleh iman. Ayat ini mengingatkan bahwa keragaman interpretasi harus selalu diselesaikan dengan kembali kepada penjelasan yang telah diberikan oleh Rasulullah, yang bersumber dari wahyu ilahi yang otentik.
Dengan demikian, Surah An-Nahl ayat 64 adalah deklarasi misi kerasulan dan kitab suci: untuk mengakhiri kebingungan, memberikan arah hidup, dan menyebarkan kasih sayang Allah kepada mereka yang sungguh-sungguh mencari kebenaran.