Metafisika Aristoteles: Pencarian Filsafat Pertama

Metafisika Aristoteles, yang ia sebut sebagai "Filsafat Pertama," adalah landasan pemikiran Barat yang berupaya memahami 'ada sebagai ada' (being qua being). Ini adalah studi tentang sifat realitas yang paling mendasar, jauh melampaui fisika. Konsep-konsep sentral seperti Ousia (Substansi), Hilemorfisme (Materi dan Bentuk), Dynamis (Potensi), Energeia (Aktualitas), dan Aitia (Sebab) membentuk kerangka kerja yang tak lekang oleh waktu untuk menganalisis eksistensi.

I. Definisi dan Konteks Filsafat Pertama

Aristoteles, dalam karyanya yang kini dikenal sebagai Metafisika (nama yang diberikan oleh editor kemudian, Andronikus dari Rhodes, yang mengelompokkan risalah ini "setelah fisika"), mendefinisikan subjek kajiannya sebagai ilmu yang paling tinggi. Ilmu ini tidak berfokus pada sifat-sifat khusus suatu objek (seperti fisika yang mempelajari benda bergerak, atau matematika yang mempelajari kuantitas), melainkan pada apa yang menyatukan semua hal yang ada: realitas itu sendiri.

1. Mengapa "Ada sebagai Ada"?

Slogan utama metafisika Aristoteles adalah studi tentang to on hei on, atau ‘ada sebagai ada’. Ini berarti bahwa metafisika tidak tertarik pada apa yang membuat seorang manusia berbeda dari patung, melainkan tertarik pada fakta fundamental bahwa keduanya ada. Ini adalah penyingkapan prinsip-prinsip universal dan penyebab-penyebab utama dari semua eksistensi.

Pembedaan ini sangat penting. Aristoteles melihat bahwa semua ilmu lain hanya mempelajari segmen tertentu dari realitas: biologi mempelajari makhluk hidup, geometri mempelajari garis dan bentuk. Filsafat Pertama, sebaliknya, berfungsi sebagai ilmu arsitektonik, menyediakan kerangka ontologis bagi semua disiplin ilmu lainnya. Jika kita tidak memahami apa itu "ada" pada tingkat yang paling mendasar, pemahaman kita tentang jenis-jenis "ada" yang lebih spesifik akan selalu timpang.

2. Empat Tugas Utama Metafisika

Aristoteles membagi tugas Metafisika menjadi empat cabang yang saling terkait, meskipun fokus utamanya pada ousia dan teologi:

  1. Ontologi: Studi tentang ‘ada sebagai ada’ dan sifat-sifatnya yang melekat.
  2. Etiologi: Studi tentang sebab-sebab pertama (Empat Sebab).
  3. Ousiologi: Studi tentang Substansi (Ousia), sebagai pusat ontologi.
  4. Teologi: Studi tentang makhluk yang kekal dan tak bergerak (Penggerak Tak Tergerakkan).

Ini menunjukkan bahwa bagi Aristoteles, studi tentang keberadaan, prinsip kausalitas, dan entitas ilahi adalah bagian dari satu proyek intelektual yang koheren, bertujuan untuk mencapai kebijaksanaan tertinggi (sophia).

II. Pilar Sentral: Substansi (Ousia)

Konsep yang paling mendominasi seluruh proyek Metafisika Aristoteles adalah Ousia, atau Substansi. Aristoteles menyatakan dengan jelas bahwa pertanyaan yang selalu diajukan dan selalu membingungkan adalah: Apa itu substansi? Substansi adalah hal fundamental yang menopang semua kualitas, kuantitas, dan relasi lain yang mungkin dimiliki oleh suatu objek. Tanpa substansi, tidak ada realitas yang dapat dipertahankan.

1. Substansi sebagai Subjek (Hypokeimenon)

Dalam analisis gramatikal dan ontologisnya, Aristoteles mendefinisikan substansi sebagai subjek dasar (hypokeimenon) dari predikasi. Substansi adalah apa yang dapat dipredikasikan oleh hal lain, tetapi ia sendiri tidak pernah dipredikasikan mengenai subjek lain. Ambil contoh "Sokrates." Kita bisa mengatakan "Sokrates adalah bijaksana," atau "Sokrates tinggi." "Bijaksana" dan "tinggi" adalah atribut, sedangkan Sokrates adalah subjek yang memiliki atribut-atribut tersebut. Sokrates adalah substansi.

2. Pembedaan Substansi Primer dan Sekunder

Dalam Kategori, Aristoteles membuat perbedaan penting yang kemudian menjadi landasan pemikiran ontologisnya:

Prioritas ontologis selalu terletak pada Substansi Primer. Jika tidak ada individu (Sokrates), maka tidak ada spesies (Manusia). Namun, definisi Substansi Sekunder memberikan kita pengetahuan yang jauh lebih baik tentang apa itu Sokrates, karena ia memberikan esensi universalnya.

3. Sepuluh Kategori (Predikamen)

Substansi (Ousia) adalah kategori pertama dan yang paling mendasar di antara sepuluh kategori yang digunakan Aristoteles untuk mengklasifikasikan segala sesuatu yang dapat dikatakan tentang ‘ada’. Sembilan kategori sisanya, yang dikenal sebagai aksiden, semuanya bergantung pada substansi. Kategori-kategori ini menunjukkan cara-cara berbeda di mana keberadaan dapat dipredikasikan:

  1. Substansi (Ousia): Apa itu (Manusia, Kuda).
  2. Kuantitas (Poson): Seberapa besar (Dua meter, Sepuluh kilo).
  3. Kualitas (Poion): Seperti apa (Bijaksana, Merah).
  4. Relasi (Pros ti): Dalam kaitannya dengan apa (Lebih besar dari, Ayah dari).
  5. Tempat (Pou): Di mana (Di Lyceum, Di pasar).
  6. Waktu (Pote): Kapan (Kemarin, Tahun lalu).
  7. Posisi (Keisthai): Bagaimana ia berpose (Duduk, Berdiri).
  8. Kepemilikan (Echein): Apa yang ia miliki (Memakai baju besi).
  9. Aksi (Poiein): Apa yang ia lakukan (Memotong, Membakar).
  10. Penerimaan (Paschein): Apa yang dilakukan padanya (Dipotong, Dibakar).

Sembilan kategori terakhir ini tidak dapat eksis tanpa kategori pertama. Anda tidak dapat memiliki 'kemerahan' tanpa ada sesuatu (Substansi) yang merah. Oleh karena itu, substansi adalah inti dari seluruh ontologi.

III. Hilemorfisme: Materi dan Bentuk (Hyle dan Morphe)

Setelah mengidentifikasi Substansi sebagai fokus utama, Aristoteles harus menjelaskan apa yang menyusun Substansi itu. Jawabannya terletak pada doktrin Hilemorfisme (dari bahasa Yunani hylē, materi, dan morphē, bentuk), yang menyatakan bahwa setiap substansi fisik yang dapat berubah adalah perpaduan yang tak terpisahkan dari materi dan bentuk.

1. Materi (Hyle)

Materi adalah potensi mentah, bahan baku, yang belum memiliki determinasi atau identitas tertentu. Materi adalah apa yang bertahan melalui perubahan. Ketika seorang pemahat mengubah balok marmer (materi) menjadi patung (substansi), materi itu sendiri tidak hilang, tetapi memperoleh bentuk baru. Materi, pada dasarnya, adalah prinsip yang menerima bentuk.

Dalam pemikiran Aristoteles, terdapat konsep Materi Pertama (Prima Materia), yang merupakan materi murni, tanpa bentuk sama sekali. Materi Pertama ini tidak pernah eksis dalam isolasi di dunia nyata, karena segala sesuatu yang kita temui selalu sudah berbentuk. Materi Pertama hanyalah konsep teoritis yang menunjukkan batas potensi murni.

2. Bentuk (Morphe atau Eidos)

Bentuk adalah esensi, struktur, atau prinsip pengorganisasian yang membuat materi menjadi sesuatu yang spesifik. Bentuk bukanlah kontur fisik (meskipun dapat mencakup itu), tetapi lebih merupakan definisi substansial. Bentuk adalah apa yang bersifat universal dan dapat didefinisikan. Bentuk memberikan aktualitas dan determinasi pada materi.

Bentuk Aristotelian sangat berbeda dari Ide atau Bentuk Platonis. Bagi Plato, Bentuk berada di dunia terpisah, transenden. Bagi Aristoteles, Bentuk bersifat imanen; ia berada di dalam objek fisik itu sendiri. Bentuk dan materi hanya dapat dipisahkan secara konseptual, bukan secara aktual, kecuali untuk Bentuk murni yang merupakan Penggerak Tak Tergerakkan.

Diagram Hilemorfisme Visualisasi interaksi antara Materi dan Bentuk yang menghasilkan Substansi. Materi (Hyle) Bentuk (Morphe) Substansi (Ousia)

Gambar 1: Prinsip Hilemorfisme.

IV. Dinamika Realitas: Potensi (Dynamis) dan Aktualitas (Energeia)

Setelah menetapkan apa itu substansi (materi + bentuk), Aristoteles beralih ke pertanyaan paling mendasar yang diwarisi dari filsuf pra-Sokrates: Bagaimana perubahan itu mungkin terjadi? Parmenides mengatakan perubahan adalah ilusi karena ‘non-ada’ tidak dapat menjadi ‘ada’, dan Heraclitus mengatakan segalanya selalu berubah. Aristoteles memecahkan dilema ini dengan konsep pasangan Potensi dan Aktualitas.

1. Potensi (Dynamis)

Potensi adalah kapasitas inheren suatu benda untuk berubah atau menjadi sesuatu yang lain. Potensi adalah ‘ada’ dalam pengertian tertentu, namun bukan ‘ada’ yang sepenuhnya terealisasi. Sebuah biji pohon ek adalah pohon ek secara potensial (dynamis); ia memiliki kemampuan internal untuk tumbuh menjadi pohon dewasa, asalkan kondisi eksternal memungkinkan.

Potensi terbagi menjadi dua jenis: potensi aktif (kemampuan untuk memengaruhi) dan potensi pasif (kemampuan untuk dipengaruhi atau diubah). Misalnya, seorang pembangun memiliki potensi aktif untuk membangun rumah, sementara batu bata memiliki potensi pasif untuk diubah menjadi rumah.

2. Aktualitas (Energeia atau Entelecheia)

Aktualitas adalah realisasi, penyelesaian, atau kesempurnaan dari potensi. Ini adalah ‘ada’ dalam pengertian yang paling penuh dan terealisasi. Jika biji pohon ek tumbuh menjadi pohon dewasa, ia telah mencapai aktualitasnya. Aktualitas adalah gerak (kinesis) yang selesai atau tujuan (telos) yang dicapai.

Aristoteles menggunakan istilah yang lebih spesifik, entelecheia, yang secara harfiah berarti ‘memiliki tujuan dalam dirinya sendiri’. Aktualitas (energeia) dan penyelesaian (entelecheia) adalah konsep yang sangat erat kaitannya; keduanya menekankan bahwa perubahan memiliki arah dan tujuan, bukan sekadar pergeseran acak.

3. Perubahan sebagai Transisi

Perubahan (kinēsis) didefinisikan sebagai transisi dari potensi ke aktualitas. Perubahan terjadi karena Materi (potensi) memperoleh Bentuk (aktualitas). Jika sebatang kayu (potensi menjadi panas) diletakkan di dekat api, ia menjadi panas (aktualitas). Perubahan ini bukanlah transisi dari non-ada ke ada (seperti yang ditakutkan Parmenides), melainkan transisi dari satu cara 'ada' (potensial) ke cara 'ada' yang lain (aktual).

"Perubahan tidak mungkin terjadi tanpa adanya potensi. Namun, potensi selalu inferior dibandingkan aktualitas. Aktualitas selalu lebih unggul secara logis, epistemologis, dan ontologis."

Aktualitas mendahului potensi dalam tiga cara: secara definisi (kita harus tahu apa itu rumah yang telah selesai untuk memahami potensi batu bata), secara waktu (meskipun biji mendahului pohon, Pohon yang aktual harus ada untuk menghasilkan biji itu), dan secara substansi (Penggerak Tak Tergerakkan adalah aktualitas murni yang mendahului semua potensi).

V. Prinsip Kausalitas: Doktrin Empat Sebab (Aitia)

Jika Filsafat Pertama bertujuan untuk memahami realitas, ia harus menjelaskan mengapa realitas itu seperti adanya. Aristoteles mengembangkan doktrin Empat Sebab (Aitia) sebagai kerangka kerja yang komprehensif untuk menjelaskan perubahan, eksistensi, dan tujuan segala sesuatu. Keempat sebab ini bukan hanya ‘penyebab’ dalam pengertian modern (efisien), tetapi lebih kepada ‘penjelasan’ mengapa sesuatu ada.

1. Sebab Material (Causa Materialis)

Sebab material adalah materi, bahan, atau komponen yang darinya sesuatu dibuat. Ini menjawab pertanyaan: "Terbuat dari apa?"

2. Sebab Formal (Causa Formalis)

Sebab formal adalah bentuk, pola, esensi, atau definisi dari suatu benda. Ini menjawab pertanyaan: "Apa itu?" atau "Apa strukturnya?"

3. Sebab Efisien (Causa Efficiens)

Sebab efisien adalah agen yang memulai perubahan atau gerakan. Ini adalah apa yang secara tradisional kita sebut 'penyebab'—sumber langsung dari perubahan. Ini menjawab pertanyaan: "Oleh apa itu dibuat?"

4. Sebab Final (Causa Finalis)

Sebab final adalah tujuan, maksud, atau tujuan akhir dari suatu benda. Ini adalah prinsip teleologis yang sangat penting dalam pemikiran Aristoteles. Ini menjawab pertanyaan: "Untuk apa itu dibuat?"

Diagram Empat Sebab Aristoteles Visualisasi Empat Sebab (Material, Formal, Efisien, Final) yang mengelilingi Substansi. Objek Material Formal Efisien Final (Tujuan)

Gambar 2: Empat Sebab (Aitia) Aristoteles.

5. Prioritas Sebab Final

Meskipun keempat sebab diperlukan untuk penjelasan yang lengkap, bagi Aristoteles, sebab final seringkali merupakan yang paling penting. Dalam konteks makhluk hidup, sebab formal dan sebab final cenderung menyatu. Bentuk (DNA, struktur spesies) juga merupakan tujuan yang harus dicapai oleh organisme. Ayam ada untuk bertelur, bukan hanya karena ada telur yang menghasilkannya. Teleologi—studi tentang tujuan—adalah inti dari Metafisika dan Filsafat Alam Aristoteles.

VI. Teologi Aristoteles: Penggerak Tak Tergerakkan

Cabang terakhir dan tertinggi dari Filsafat Pertama Aristoteles adalah Teologi, studi tentang entitas ilahi. Ketika Aristoteles mencari penyebab pertama dari semua gerakan di kosmos, ia menyimpulkan bahwa harus ada sumber gerakan yang tidak tergerakkan oleh hal lain, jika tidak, kita akan jatuh ke dalam regresi tak terbatas (rantai kausal yang tidak berujung).

1. Argumentasi Keterbatasan Gerakan

Dalam Fisika dan Metafisika (Buku Lambda), Aristoteles berpendapat bahwa gerakan di alam semesta (gerak bintang, perubahan musiman) bersifat kekal. Karena gerakan ini kekal, maka harus ada sesuatu yang menyebabkan gerakan kekal ini. Jika setiap penggerak digerakkan oleh penggerak lain, kita tidak pernah mencapai penjelasan fundamental. Oleh karena itu, harus ada Penggerak Pertama yang menggerakkan tetapi ia sendiri tidak digerakkan: Primum Mobile.

2. Sifat Penggerak Tak Tergerakkan (Unmoved Mover)

Penggerak Tak Tergerakkan (PTT) harus memiliki sifat-sifat ontologis yang paling sempurna:

3. Bagaimana PTT Menggerakkan?

PTT tidak menggerakkan melalui dorongan mekanis (seperti sebab efisien), karena itu akan menyiratkan bahwa PTT melakukan aksi fisik, yang merupakan perubahan. PTT menggerakkan sebagai Sebab Final, yaitu sebagai objek cinta atau hasrat. PTT adalah tujuan yang diinginkan oleh kosmos. Bola-bola langit (yang diyakini bergerak secara abadi) berusaha meniru kesempurnaan PTT dengan melakukan gerakan yang paling sempurna, yaitu gerakan melingkar yang seragam.

Dengan demikian, teologi Aristoteles menempatkan entitas ilahi (PTT) sebagai aktualitas dan tujuan final dari semua eksistensi fisik. Ini adalah puncak dari seluruh proyek metafisika, menyatukan studi tentang ‘ada sebagai ada’ dengan studi tentang entitas tertinggi.

VII. Kritik Aristoteles Terhadap Platonisme

Sebagian besar Metafisika Aristoteles dikembangkan sebagai tanggapan kritis terhadap doktrin Bentuk (Ide) transenden dari gurunya, Plato. Aristoteles setuju bahwa pengetahuan sejati harus universal, tetapi ia menolak lokasi Bentuk di Dunia Ide yang terpisah.

1. Argumen Orang Ketiga (The Third Man Argument)

Kritik paling terkenal Aristoteles adalah Argumen Orang Ketiga. Jika ada seorang manusia (partikular) yang menyerupai Bentuk Manusia (universal), maka harus ada sesuatu ketiga yang menjelaskan kesamaan antara manusia partikular dan Bentuk Manusia. Jika sesuatu ketiga ini juga memerlukan Bentuk, rantai ini akan berlanjut tanpa batas (regresi tak terbatas).

Bagi Aristoteles, ini menunjukkan bahwa teori Plato gagal menjelaskan partisipasi (bagaimana partikular mengambil bagian dalam Bentuk) dan menggandakan masalah dengan menciptakan entitas baru yang tidak perlu.

2. Imanensi versus Transendensi

Aristoteles berargumen bahwa jika Bentuk (esensi) ada di dunia terpisah (transenden), Bentuk tidak dapat menjadi sebab bagi eksistensi hal-hal fisik. Bentuk yang terlepas dari materi tidak dapat menjelaskan perubahan atau pembentukan substansi di dunia ini. Oleh karena itu, Bentuk harus bersifat imanen (berada di dalam) hal-hal partikular. Doktrin Hilemorfisme adalah solusi Aristoteles untuk masalah universalitas: Bentuk adalah universal (esensi) yang terwujud dalam partikular (materi).

VIII. Logika dan Prinsip Metafisika

Aristoteles juga menetapkan prinsip-prinsip logis fundamental yang harus diikuti dalam studi tentang realitas, yang ia tempatkan dalam Metafisika, karena prinsip-prinsip ini berlaku untuk ‘ada’ apa pun.

1. Prinsip Non-Kontradiksi (PNC)

PNC adalah prinsip yang paling pasti dari semua prinsip, yang Aristoteles rumuskan dalam Metafisika Buku Gamma: "Tidak mungkin hal yang sama menjadi dan tidak menjadi milik hal yang sama pada saat yang sama dan dalam hal yang sama."

PNC bukan hanya prinsip logika; itu adalah prinsip ontologi. Jika PNC tidak benar, maka tidak ada yang dapat diketahui atau dikatakan secara bermakna. Jika sesuatu bisa 'ada' dan 'tidak ada' pada saat yang sama dalam hal yang sama, maka substansi akan runtuh, dan kita kembali ke kekacauan Heraclitean.

2. Prinsip Tengah Terlarang (Principle of Excluded Middle)

Prinsip ini menyatakan bahwa untuk setiap pernyataan, baik pernyataan itu benar atau pernyataan negasinya benar; tidak ada tengah-tengah. Sesuatu harus A atau non-A. Prinsip ini memastikan bahwa kita dapat membuat klaim definitif tentang realitas.

Prinsip-prinsip ini menunjukkan bahwa bagi Aristoteles, pemikiran dan realitas memiliki struktur yang sejajar. Struktur logis kita mencerminkan struktur ontologis dunia.

IX. Puncak Teleologi: Jiwa (Psyche) dan Tujuan Hidup

Meskipun studi tentang jiwa sering dikaitkan dengan De Anima (Tentang Jiwa), esensi jiwa adalah sebab formal tertinggi dan tujuan final (teleologis) dari makhluk hidup, yang menjadikannya topik penting dalam metafisika.

1. Definisi Jiwa Aristoteles

Aristoteles mendefinisikan jiwa (psychē) sebagai bentuk aktual dari tubuh alami yang secara potensial memiliki kehidupan. Dengan kata lain, jiwa adalah sebab formal dan efisien yang mengatur dan menghidupkan materi (tubuh).

Jiwa bukanlah entitas terpisah yang terperangkap dalam tubuh (seperti pandangan Platonis), melainkan cara tubuh itu hidup. Jika mata adalah materi, daya penglihatan (kemampuan melihat) adalah bentuknya atau jiwanya. Jika kemampuan melihat hilang, mata menjadi patung mata atau mata yang mati—ia kehilangan esensinya.

2. Tiga Tingkat Jiwa

Aristoteles mengklasifikasikan jiwa sesuai dengan tingkat kompleksitas dan fungsi yang dapat dicapainya, mencerminkan hierarki teleologis:

Fungsi Jiwa Rasional, atau akal (Nus), adalah aktualitas tertinggi bagi manusia. Oleh karena itu, tujuan (telos) manusia adalah menjalankan fungsi rasional ini dengan baik dan sempurna, yang merupakan konsep dasar kebahagiaan (eudaimonia) dalam etika Aristoteles.

X. Universalitas, Partikularitas, dan Pengetahuan

Masalah abadi dalam filsafat adalah hubungan antara yang universal (esensi, definisi) dan yang partikular (individu konkret). Metafisika Aristoteles menawarkan solusi yang tegas dan praktis.

1. Pengetahuan Universal Melalui Induksi

Aristoteles tidak setuju bahwa pengetahuan universal (Bentuk) sudah tertanam sebelum kelahiran (seperti yang diyakini Plato). Sebaliknya, pengetahuan universal diperoleh melalui proses induksi (pengamatan berulang). Kita melihat banyak manusia partikular, dan melalui proses abstraksi mental, kita mengekstrak Bentuk Manusia (esensi universal) dari materi yang spesifik.

Universalitas, dalam pandangan Aristoteles, ada di dalam hal-hal partikular, dan bukan terpisah darinya. Substansi sekunder (genus dan spesies) adalah universal yang kita butuhkan untuk pengetahuan, tetapi mereka hanya ada karena Substansi Primer (individu) ada.

2. Peran Akal Aktif (Nus Poietikos)

Dalam bagian De Anima yang sangat sulit, Aristoteles membedakan antara akal pasif dan akal aktif. Akal Pasif adalah seperti materi, yang menerima Bentuk-Bentuk yang diabstraksi dari pengalaman sensorik. Akal Aktif (Nus Poietikos) adalah Aktualitas murni yang berfungsi mengubah data sensorik potensial menjadi pengetahuan aktual (konsep universal).

Akal aktif ini sering ditafsirkan sebagai bagian ilahi dan kekal dalam diri manusia, satu-satunya bagian jiwa yang mungkin terlepas dari tubuh. Peran Akal Aktif adalah memastikan bahwa ada penyebab yang efisien bagi kita untuk bergerak dari potensi pengetahuan ke aktualitas pengetahuan, mirip dengan bagaimana PTT menggerakkan kosmos.

XI. Warisan dan Pengaruh Abadi

Metafisika Aristoteles tidak hanya menjadi ilmu yang paling tinggi pada masanya, tetapi juga menjadi tulang punggung bagi perkembangan filsafat dan teologi Barat selama lebih dari dua milenium.

1. Membentuk Teologi Monoteistik

Pada Abad Pertengahan, para filsuf Muslim (Al-Farabi, Ibnu Sina/Avicenna, Ibnu Rusyd/Averroes) dan kemudian teolog Kristen (Thomas Aquinas) mengintegrasikan kerangka metafisika Aristoteles secara mendalam ke dalam pemikiran mereka. Konsep Penggerak Tak Tergerakkan (Aktualitas Murni) diidentifikasi dengan Tuhan dalam tradisi monoteistik. Empat Sebab digunakan untuk menjelaskan ciptaan dan desain kosmos, dan konsep Hilemorfisme digunakan untuk memahami sakramen dan sifat manusia.

Thomas Aquinas, khususnya, menyusun sintesis besar antara teologi Kristen dan Aristotelianisme. Metafisika Aristoteles menyediakan alat terminologi yang canggih (Potensi/Aktualitas, Substansi/Aksiden) yang memungkinkan penjelasan rasional mengenai misteri teologis.

2. Landasan Ilmu Pengetahuan Modern

Meskipun ilmu pengetahuan modern pada akhirnya menolak teleologi dalam fisika (menghilangkan Sebab Final dari alam non-hidup) dan fokus pada Sebab Efisien, kerangka kerja Aristoteles tentang klasifikasi, definisi, dan kausalitas menjadi dasar bagi metode ilmiah awal. Konsepnya tentang substansi dan sifat-sifatnya masih digunakan dalam ontologi dan linguistik.

3. Relevansi Kontemporer

Di era kontemporer, metafisika Aristoteles terus relevan dalam filsafat pikiran, etika (melalui teleologi kebahagiaan), dan ontologi formal. Penekanan Aristoteles pada esensi imanen (bentuk) masih diperdebatkan dalam diskusi mengenai identitas pribadi dan sifat objek.

Karya Aristoteles tidak hanya menjelaskan 'apa' yang ada, tetapi juga 'mengapa' ia ada dan 'untuk apa' ia ada, menawarkan pandangan dunia yang terstruktur, rasional, dan berorientasi pada tujuan. Pencariannya akan Filsafat Pertama tetap menjadi pencapaian intelektual paling monumental dalam sejarah pemikiran Barat.

🏠 Homepage