Peleburan aluminium adalah salah satu proses fundamental dalam industri metalurgi. Aluminium, logam ringan yang sangat serbaguna dan tahan korosi, jarang ditemukan dalam bentuk murni di alam. Ia harus diekstraksi dari bijih bauksit melalui proses Hall-Héroult yang kompleks, menghasilkan aluminium oksida, yang kemudian dilebur untuk menghasilkan aluminium murni (aluminium primer). Selain itu, peleburan juga krusial dalam proses daur ulang (aluminium sekunder).
Proses peleburan aluminium melibatkan pemanasan material hingga mencapai suhu lelehnya, yaitu sekitar 660°C (1220°F). Namun, dalam praktik industri, suhu peleburan seringkali dinaikkan sedikit di atas titik leleh untuk memastikan fluiditas yang baik dan efisiensi proses.
Bahan baku yang dilebur bisa berupa ingot aluminium primer, skrap aluminium daur ulang (sekunder), atau campuran keduanya. Skrap aluminium memerlukan pembersihan awal untuk menghilangkan kontaminan seperti oli, cat, atau material asing lainnya. Kontaminan ini dapat menghasilkan gas yang menimbulkan cacat pada produk akhir.
Pemilihan tungku sangat bergantung pada skala produksi dan jenis bahan baku. Tiga jenis tungku utama yang umum digunakan adalah:
Setelah bahan dimasukkan ke dalam tungku, pemanasan dimulai. Selama proses ini, beberapa langkah penting dilakukan untuk menjaga kualitas logam cair:
Aluminium yang telah dilebur dan diproses menjadi paduan tertentu adalah bahan baku utama bagi berbagai sektor industri. Sifatnya yang ringan, kekuatan yang tinggi setelah dipadukan, dan ketahanan korosi menjadikannya tak tergantikan.
Industri otomotif sangat bergantung pada peleburan aluminium untuk memproduksi blok mesin, pelek roda, dan komponen struktural guna mengurangi bobot kendaraan dan meningkatkan efisiensi bahan bakar. Selain itu, industri dirgantara menggunakan paduan aluminium berkekuatan tinggi untuk badan pesawat. Sektor konstruksi juga memanfaatkannya untuk kusen jendela dan fasad bangunan.
Yang tidak kalah penting adalah peran aluminium sekunder (daur ulang). Peleburan skrap aluminium membutuhkan energi hingga 95% lebih sedikit dibandingkan produksi aluminium primer dari bauksit. Ini menjadikan proses peleburan ulang sebagai pilar utama dalam keberlanjutan industri material global.
Meskipun sangat bermanfaat, peleburan aluminium menghadapi tantangan terkait emisi gas rumah kaca, terutama jika menggunakan sumber energi berbasis bahan bakar fosil. Inovasi kini berfokus pada penggunaan energi terbarukan dan pengembangan tungku yang lebih efisien secara termal. Teknologi peleburan baru, seperti penggunaan sel elektrolitik yang didukung energi hijau, terus dikembangkan untuk menjadikan produksi aluminium lebih ramah lingkungan tanpa mengorbankan kualitas material yang sangat dibutuhkan dunia modern ini.
Secara keseluruhan, peleburan aluminium tetap menjadi inti dari manufaktur modern, menjembatani antara bahan mentah dan produk akhir berteknologi tinggi yang kita gunakan sehari-hari.