(Simbol Amal, Keikhlasan, dan Pengawasan Tiga Saksi)
Surah At-Taubah (Pengampunan) adalah surah ke-9 dalam Al-Qur'an. Ayat 105 dari surah ini turun dalam konteks membahas kewajiban orang-orang yang bertaubat dan pentingnya amal saleh setelah melalui periode ujian keimanan. Ayat ini memberikan perintah tegas dan universal kepada seluruh umat Islam mengenai hakikat kerja dan pengawasan atasnya.
Artinya: Dan katakanlah (Muhammad), "Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan." (QS. At-Taubah: 105)
Perintah "I'malū" (اعْمَلُوا) bukan sekadar anjuran, melainkan perintah (fi'il amr) yang menunjukkan kewajiban mutlak. Dalam konteks Islam, "amal" memiliki makna yang jauh lebih luas daripada sekadar pekerjaan duniawi untuk mencari nafkah. Amal mencakup segala tindakan yang dilakukan oleh seorang hamba, baik yang bersifat ritual (ibadah), sosial (muamalah), maupun profesional (duniawi).
Hubungan antara iman (kepercayaan) dan amal (tindakan) adalah hubungan yang tidak terpisahkan dalam akidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Iman bukan hanya pengakuan hati, tetapi juga pembenaran lisan dan pembuktian melalui amal perbuatan. Ayat 105 ini menekankan bahwa setelah pengakuan iman, langkah berikutnya adalah pembuktian melalui kerja dan aktivitas. Keimanan yang pasif dianggap tidak sempurna.
Konteks turunnya ayat ini sering dikaitkan dengan mereka yang menangguhkan taubat mereka atau yang diuji keimanannya. Setelah taubat diterima, Allah memerintahkan mereka untuk segera kembali beraktivitas, menunjukkan keseriusan taubat mereka melalui amal saleh yang berkelanjutan. Ini menunjukkan bahwa taubat sejati harus diikuti dengan perubahan perilaku dan peningkatan kualitas kerja.
Perintah untuk bekerja ini menegaskan bahwa seorang Muslim tidak boleh berdiam diri menunggu rezeki tanpa berusaha. Kerja adalah proses ketaatan, di mana niat yang benar dapat mengubah pekerjaan duniawi menjadi ibadah yang bernilai pahala.
Ayat ini secara implisit memerintahkan ihsan (kesempurnaan atau keunggulan) dalam bekerja. Karena pekerjaan tersebut akan dilihat oleh Allah dan Rasul-Nya, seorang mukmin harus memastikan bahwa pekerjaannya dilakukan dengan kualitas terbaik, kejujuran maksimal, dan keikhlasan niat. Bekerja yang asal-asalan, curang, atau malas, bertentangan langsung dengan semangat pengawasan yang disebutkan dalam ayat ini.
Para ulama tafsir kontemporer sering menghubungkan ayat ini dengan etos kerja dalam masyarakat modern. Seorang insinyur, dokter, petani, atau guru, semua berada di bawah payung perintah "I'malū" dan harus menjalankan tugasnya sebagai representasi ketaatan kepada Allah, sadar bahwa setiap detail pekerjaannya tercatat dan disaksikan.
Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa perintah 'bekerjalah' adalah dorongan untuk melanjutkan pekerjaan yang baik. Ketika manusia diperintahkan untuk bekerja, itu disertai janji bahwa pekerjaan mereka tidak akan sia-sia, melainkan akan disaksikan dan diberi balasan setimpal.
Inti filosofis dan teologis dari QS At-Taubah 105 terletak pada pernyataan bahwa amal perbuatan manusia akan disaksikan oleh tiga entitas: Allah SWT, Rasulullah SAW, dan kaum mukminin. Struktur pengawasan rangkap tiga ini berfungsi sebagai motivasi keikhlasan dan standar kualitas tertinggi.
Allah adalah saksi primer dan utama. Pengetahuan Allah bersifat mutlak (Al-Alim) dan meliputi segala sesuatu, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi (niat). Penekanan pada penglihatan Allah berfungsi sebagai fondasi teologis bagi Ikhlas.
Pengawasan Allah bukan sekadar 'melihat' secara fisik, melainkan 'mengetahui' secara sempurna. Allah mengetahui niat di balik tindakan, motivasi terdalam, kesulitan yang dihadapi, dan hasil akhir dari pekerjaan tersebut. Jika seseorang bekerja hanya untuk pujian manusia (riya'), meskipun pekerjaannya terlihat sempurna, Allah mengetahui kekurangan niatnya dan amal tersebut menjadi sia-sia.
Kesadaran bahwa Allah Maha Melihat menuntut seorang hamba untuk senantiasa memperbaiki niat (tashih an-niyyah). Setiap pagi, ketika seorang Muslim memulai aktivitasnya, ia harus menyadari bahwa ia bekerja di bawah pengawasan Ilahi, yang menjamin bahwa tidak ada upaya yang tulus akan terlewatkan atau terzalimi.
Kesadaran akan pengawasan Allah menumbuhkan dua emosi penting: khawf (takut) dan raja' (harapan). Takut bahwa pekerjaan kita tidak sesuai dengan standar syariat atau cacat niat; dan harapan bahwa meskipun pekerjaan kita kecil di mata manusia, ia besar di sisi Allah selama niatnya murni.
Para ulama berbeda pendapat mengenai bagaimana Rasulullah SAW 'melihat' amal umatnya setelah beliau wafat, namun mayoritas ulama Ahlus Sunnah meyakini bahwa amal umat disajikan (diperlihatkan) kepada beliau.
Berdasarkan Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, amal perbuatan umat Islam disajikan kepada Nabi Muhammad SAW secara berkala. Hal ini merupakan kekhususan (khususiyah) yang diberikan kepada beliau.
Penyajian amal kepada Rasulullah memiliki makna yang mendalam:
Saksi ketiga ini membawa dimensi sosial dan etika dalam bekerja. Pengawasan kaum mukminin memiliki dua makna utama: pengawasan di dunia (syahadah al-dunya) dan pengawasan di akhirat (syahadah al-akhirah).
Ini adalah kesaksian langsung yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Kaum mukminin melihat hasil pekerjaan, integritas, dan konsistensi perilaku saudaranya. Kesaksian ini mencakup:
Dengan demikian, bekerja di bawah pengawasan mukminin menuntut transparansi, keadilan, dan tanggung jawab sosial. Pekerjaan yang baik harus membawa manfaat nyata bagi umat, bukan hanya keuntungan pribadi.
Pada Hari Kiamat, kaum mukminin akan menjadi saksi atas amal perbuatan saudara-saudara mereka, baik yang dilakukan secara terang-terangan maupun tersembunyi, terutama dalam konteks perlakuan terhadap sesama.
Kombinasi ketiga saksi ini—Allah (Maha Mengetahui Niat), Rasulullah (Maha Mengetahui Kepatuhan Sunnah), dan Kaum Mukminin (Maha Mengetahui Kualitas Dampak Sosial)—menciptakan sistem akuntabilitas paripurna yang meliputi dimensi spiritual, ritual, dan sosial.
Bagian kedua dari ayat 105 berfungsi sebagai penutup sekaligus peringatan keras: semua manusia pada akhirnya akan dikembalikan kepada Allah SWT, Yang Maha Mengetahui yang gaib (tidak terlihat) dan yang nyata (terlihat).
Penyebutan Allah sebagai "Yang Mengetahui yang Gaib dan yang Nyata" sangat relevan dengan perintah bekerja dan sistem pengawasan yang dijelaskan sebelumnya. 'Yang Nyata' (Asy-Syahadah) merujuk pada segala sesuatu yang dilihat oleh manusia, termasuk hasil akhir pekerjaan dan perilaku lahiriah. 'Yang Gaib' (Al-Ghayb) merujuk pada segala yang tersembunyi, termasuk niat tulus (ikhlas) atau niat buruk (riya'), serta rahasia hati manusia.
Ketika manusia dikembalikan kepada-Nya, tidak ada satu pun amal, besar atau kecil, yang dapat disembunyikan. Bahkan amal yang lolos dari pengawasan Rasulullah dan kaum mukminin (karena sifatnya sangat rahasia) akan terungkap di hadapan Allah.
Ayat ini berujung pada proses penghisaban: "Lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan." (Fayunabbi'ukum Bimā Kuntum Ta‘malūn). Pengungkapan ini bersifat menyeluruh, detail, dan adil.
Hisab (perhitungan amal) adalah manifestasi dari keadilan absolut Allah. Di dunia, seseorang mungkin berhasil menyembunyikan kecurangan, kemalasan, atau ketidakikhlasan. Namun, di Hari Penghisaban, catatan amal (kitab al-a’mal) akan dibentangkan, dan Allah akan menjadi Hakim tertinggi. Bahkan anggota tubuh manusia akan bersaksi atas amal yang telah dilakukan.
Karena Allah yang memberitakan hasil akhir, kualitas niat (yang tersembunyi/gaib) menjadi penentu utama penerimaan amal. Pekerjaan yang tampak mulia di mata manusia namun diniatkan untuk mendapatkan pujian, akan dinilai berdasarkan niat yang cacat tersebut. Sebaliknya, amal yang kecil dan tersembunyi, namun dilakukan dengan niat ikhlas lillahi ta'ala, akan dibalas berlipat ganda.
Ayat 105 ini selaras dengan banyak ayat lain yang menekankan akuntabilitas dan janji balasan atas pekerjaan. Misalnya:
"Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya."
Perintah untuk bekerja dalam At-Taubah 105 adalah perintah untuk mempersiapkan bekal terbaik, sebab masa kerja di dunia sangat terbatas, sementara hasil perhitungan di akhirat bersifat kekal.
Ayat ini bukan sekadar perintah teologis; ia adalah fondasi bagi etika kerja Muslim (Islamic Work Ethic). Implementasi ayat 105 dalam kehidupan sehari-hari menghasilkan karakter yang unggul, yaitu karakter yang proaktif, produktif, dan berorientasi akhirat.
Kesadaran bahwa amal dilihat oleh tiga pihak menciptakan keadaan spiritual yang disebut Muraqabah. Muraqabah adalah kesadaran terus-menerus bahwa Allah mengawasi setiap detik tindakan, pikiran, dan hati kita. Praktik muraqabah adalah senjata utama melawan kemalasan, riya’ (pamer), dan nifaq (kemunafikan).
Dalam konteks bekerja, Muraqabah memastikan bahwa standar internal (keikhlasan) selalu dijaga, bahkan ketika tidak ada atasan atau rekan kerja yang melihat. Seorang pekerja yang menerapkan Muraqabah tidak akan mencuri waktu kerja, tidak akan mengurangi timbangan, dan tidak akan lalai dalam tugasnya, karena ia menyadari pengawasan yang jauh lebih tinggi daripada pengawasan manusia.
Tantangan terbesar dalam menjalankan perintah "bekerjalah" adalah menjaga keikhlasan ketika amal kita disaksikan. Penekanan bahwa amal juga disaksikan oleh "kaum mukminin" dapat menjadi ujian bagi niat.
Jika seorang hamba bekerja keras dan beramal saleh agar dipuji oleh manusia (riya'), ia telah merusak amal tersebut. Ayat ini tidak melarang hasil kerja dilihat orang lain; yang dilarang adalah menjadikannya sebagai motivasi utama. Kaum mukminin akan melihat hasil pekerjaan; namun, yang harus dicari adalah pujian dari Allah semata. Niat harus murni karena Allah, meskipun hasilnya bermanfaat bagi manusia dan dilihat oleh mereka.
Ulama tasawuf mengajarkan bahwa untuk mengatasi riya', seseorang harus selalu berupaya memiliki ‘amal sirr’ (amal tersembunyi) yang hanya diketahui oleh dirinya dan Allah, sebagai penyeimbang bagi ‘amal jahar’ (amal yang terang-terangan).
Perintah "I'malū" (bekerjalah) mengandung dorongan kuat untuk produktivitas. Islam memandang kemiskinan dan ketergantungan sebagai keadaan yang harus dihindari. Bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan diri, keluarga, dan membantu umat adalah ibadah. Namun, karena pekerjaan tersebut disaksikan, produktivitas harus diikuti dengan kualitas (itqan).
Seorang Muslim dianjurkan untuk tidak hanya menjadi konsumen, tetapi juga produsen, penemu, dan kontributor peradaban. Semua profesi yang halal memiliki kemuliaan di mata Allah jika dilakukan dengan jujur dan niat ibadah, di bawah kesadaran pengawasan tiga saksi tersebut.
Salah satu poin penting yang terkandung dalam ayat 105 adalah sifat berkelanjutan dari amal. Penggunaan bentuk kata kerja yang menunjukkan proses, menyiratkan bahwa seorang mukmin harus senantiasa dalam keadaan bekerja dan beramal hingga akhir hayat. Islam tidak menganjurkan ‘pensiun’ dari amal saleh.
Perintah untuk bekerja adalah perintah yang tidak dibatasi waktu. Bahkan setelah berhasil dalam satu proyek kebaikan, seorang mukmin diperintahkan untuk segera beralih ke proyek kebaikan berikutnya, sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Insyirah: 7-8:
"Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain). Dan hanya kepada Tuhanmu lah engkau berharap."
Ayat At-Taubah 105 menegaskan bahwa kesibukan dalam amal harus dijaga, karena setiap saat dari kehidupan adalah kesempatan untuk mengumpulkan bekal yang akan disaksikan dan dihisab di akhirat. Rasa kantuk, kemalasan, atau menunda pekerjaan adalah kerugian yang terekam dalam catatan amal.
Dalam konteks pengawasan Rasulullah dan kaum mukminin, salah satu amal terbaik yang ditekankan adalah amal jariyah (amal yang terus mengalir pahalanya). Amal jariyah adalah pekerjaan yang manfaatnya terus dirasakan oleh kaum mukminin bahkan setelah pelakunya meninggal dunia. Misalnya, membangun sekolah, menyumbang ilmu yang bermanfaat, atau menanam pohon.
Ketika amal jariyah ini terus disaksikan oleh kaum mukminin (mereka yang mengambil manfaat darinya) dan amal tersebut disajikan kepada Rasulullah SAW, pahalanya akan terus mengalir, sejalan dengan prinsip pengawasan dan penghargaan yang disebutkan dalam ayat ini.
Surah At-Taubah banyak membahas mengenai taubat dan sanksi bagi mereka yang melanggar janji. Ayat 105 datang sebagai penutup bagi kisah taubat. Ia mengajarkan bahwa taubat sejati tidak berhenti pada penyesalan lisan, tetapi harus dilanjutkan dengan aksi nyata (amal saleh) yang membuktikan kebenaran penyesalan tersebut. Ini adalah pemulihan reputasi di hadapan Allah, Rasul, dan masyarakat mukmin.
Seorang yang telah bertaubat, diperintahkan untuk kembali aktif bekerja, bukan untuk menenggelamkan diri dalam penyesalan yang pasif. Kehidupan setelah taubat harus diisi dengan kerja keras untuk mengganti waktu dan kesempatan yang terbuang.
Ayat ini juga memberikan tanggung jawab etika kepada kaum mukminin. Jika kita adalah saksi, kita harus menjadi saksi yang adil. Kaum mukminin tidak boleh menyebarkan fitnah atau menzalimi rekan mereka yang bekerja keras. Mereka harus menghargai kerja keras, memberikan dukungan, dan melakukan kritik konstruktif (nasihat) jika melihat kekurangan, sesuai dengan tuntunan syariat.
Menjadi saksi berarti menjadi bagian dari sistem akuntabilitas ilahi. Oleh karena itu, kejujuran dalam kesaksian, baik di dunia maupun di akhirat, adalah kewajiban yang sangat besar bagi setiap individu Muslim.
Kesimpulannya, QS At-Taubah ayat 105 adalah perintah fundamental yang mengintegrasikan iman, kerja, etika sosial, dan akuntabilitas spiritual. Ayat ini menempatkan kerja keras (amal) sebagai jembatan menuju pengampunan dan kedekatan dengan Sang Pencipta, memastikan bahwa tidak ada satu pun langkah kebaikan yang tersembunyi atau terabaikan, dan setiap hamba akan mendapatkan balasan yang sempurna dari Yang Maha Mengetahui segala rahasia.
Untuk memahami sepenuhnya kedalaman perintah dalam At-Taubah 105, perlu diperjelas bagaimana niat (yang gaib) berinteraksi dengan pekerjaan (yang nyata) dan bagaimana ini relevan dalam kehidupan profesional modern.
Dalam ilmu tauhid, amal terbagi dua: fisik (yang tampak) dan niat (yang tersembunyi). Ayat 105 secara langsung membahas kedua dimensi ini melalui konsep Gaib (niat, keikhlasan) dan Nyata (pekerjaan, hasil). Hadits terkenal, "Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya," menjadi ruh penjelas bagi ayat ini.
Bekerja tanpa niat ibadah, meskipun menghasilkan manfaat duniawi, kehilangan nilainya di akhirat. Sebaliknya, pekerjaan sehari-hari seperti mengajar, mengurus rumah tangga, atau memproduksi barang, dapat diubah menjadi ibadah tingkat tinggi (amal saleh) hanya dengan mentransfer niat: dari sekadar mencari uang menjadi memenuhi kewajiban keluarga, berbuat baik kepada sesama, atau membangun peradaban Islam.
Tantangan terbesar bukanlah memulai dengan niat yang baik, melainkan mempertahankan niat tersebut di tengah godaan dunia. Pengawasan Rasulullah dan kaum mukminin menjadi ujian. Jika pujian mulai menggeser niat, maka nilai amal tersebut berkurang. Konsep muraqabah yang ekstensif harus diterapkan di setiap fase pekerjaan: saat merencanakan, saat melaksanakan, dan saat mengevaluasi.
Seorang Muslim yang meyakini Ayat 105 tidak mungkin menjadi pekerja yang ceroboh. Prinsip Itqan, atau bekerja dengan standar kesempurnaan dan profesionalisme tertinggi, adalah hasil langsung dari keyakinan pada tiga saksi.
Jika Allah Maha Sempurna dalam penciptaan-Nya, maka hamba-Nya harus berusaha menjadi sempurna dalam pekerjaannya. Standar kualitas Islam melampaui standar ISO atau standar hukum semata, karena ia mencakup integritas moral (tidak ada penipuan) dan kesungguhan hati. Apabila pekerjaan kita akan disaksikan oleh Rasulullah, bagaimana mungkin kita berani menyajikan hasil yang tidak sempurna?
Poin "wal-Mu’minūn" adalah pengakuan terhadap pentingnya komunitas (jamaah) dalam mengawasi moral dan etika. Masyarakat Muslim tidak boleh bersikap apatis terhadap pekerjaan orang lain.
Kesaksian mukminin juga berarti saling menolong untuk mencapai amal saleh yang lebih besar. Jika suatu pekerjaan disaksikan oleh masyarakat, masyarakat memiliki tanggung jawab untuk mendukung dan memfasilitasi kebaikan tersebut.
Jika seorang Muslim beramal secara rahasia (sirr) dan Allah ridha, Allah akan menjadikan orang-orang saleh (mukminin) melihat hasil dari amal tersebut dan memuji pelakunya. Pujian tulus dari orang-orang saleh ini (yang muncul tanpa diminta oleh si pelaku amal) adalah 'gaji' duniawi yang Allah berikan, yang menguatkan hati si pelaku untuk terus beramal, bukan untuk mencari ketenaran, tetapi sebagai tanda penerimaan dari Allah.
Penutup ayat ini mengenai pengembalian kepada 'Ālimil Ghaybi Wasy-Syahādati (Yang Mengetahui Gaib dan Nyata) adalah puncak dari semua motivasi. Ini menghilangkan kekhawatiran bahwa amal baik yang tersembunyi akan terlupakan atau amal buruk yang tersembunyi akan luput dari hukuman.
Keadilan Allah sempurna karena Dia mengetahui faktor-faktor yang tidak diketahui manusia: keadaan hati saat beramal, intensitas kesulitan yang dihadapi, dan kadar keikhlasan. Oleh karena itu, seorang hamba harus berusaha maksimal dalam bekerja dan menyerahkan hasil perhitungan sepenuhnya kepada Allah, karena Dialah Hakim yang paling adil.
Ayat 105 Surah At-Taubah ini adalah fondasi bagi kehidupan Muslim yang seimbang: aktif di dunia, tetapi berorientasi pada hasil akhirat. Ia mendorong setiap Muslim untuk hidup sebagai individu yang produktif, etis, dan sadar spiritual, selalu berada di bawah pengawasan Ilahi, kenabian, dan sosial.
Pemahaman yang lebih dalam memerlukan kajian terhadap pilihan kata (mufrodat) yang digunakan Allah dalam menyusun ayat yang penuh makna ini.
Allah menggunakan kata kerja سَيَرَى (Fasayarā) yang berasal dari akar kata ra'a, yang berarti 'melihat' atau 'mengetahui.' Bentuk sa-yarā menggunakan awalan sa (sin), yang dalam tata bahasa Arab menunjukkan masa depan yang dekat (sebentar lagi) atau janji pasti. Ini memberikan makna urgensi: pekerjaanmu tidak hanya akan dilihat di masa depan yang jauh (akhirat), tetapi juga saat ini dan sebentar lagi (sejak dilakukan).
Ayat ini tidak menggunakan kata syahid (saksi yang formal) untuk Allah atau Rasulullah, melainkan yarā (melihat/mengetahui). Hal ini menunjukkan bahwa pengawasan Allah bersifat lebih komprehensif daripada sekadar formalitas kesaksian; ia adalah pengawasan yang meliputi ilmu (pengetahuan), basirah (pandangan), dan ihathah (meliputi semua hal).
Susunan tiga entitas ini (Allah, Rasulullah, Kaum Mukminin) mencerminkan hierarki pengawasan yang sempurna dalam Islam:
Ketiga tingkat ini harus dipenuhi oleh seorang mukmin. Tidak cukup amal hanya baik secara sosial (dilihat mukminin) tetapi cacat niat (tidak dilihat Allah secara positif), dan tidak cukup niat baik (dilihat Allah) tetapi tidak sesuai syariat (tidak dilihat Rasulullah secara positif).
Kata وَسَتُرَدُّوْنَ (wa saturaddūna) berarti 'dan kamu akan dikembalikan'. Ini adalah bentuk pasif yang menekankan bahwa kepulangan menuju Allah adalah keniscayaan dan bukan pilihan. Manusia tidak memiliki daya untuk menolak atau menunda kepulangan tersebut. Kesadaran akan kepastian pengembalian ini menjadi penyeimbang terhadap perintah bekerja di dunia.
Jika bagian pertama ayat mendorong aktivitas, bagian kedua memberikan perspektif akhirat. Kedua aspek ini—aktivitas dunia dan persiapan akhirat—harus berjalan seiringan. Kerja keras di dunia tanpa kesadaran hisab akan menjadi sia-sia, dan kesadaran hisab tanpa kerja keras akan menghasilkan kemalasan dan ketergantungan.
Surah At-Taubah, terutama ayat-ayat sebelumnya, banyak membahas tentang kaum munafik (nifaq) yang malas berjuang dan hanya beramal untuk dilihat manusia. Ayat 105 menjadi antitesis total terhadap perilaku munafik.
Kaum munafik bekerja agar dilihat kaum mukminin, tetapi mereka tidak peduli dengan pandangan Allah atau Rasul-Nya. Ayat 105 memerintahkan orang beriman untuk bekerja, tetapi menempatkan pandangan Allah dan Rasul di atas segalanya, baru kemudian pandangan kaum mukminin. Ini adalah perbedaan mendasar antara amal yang tulus dan amal yang berpura-pura (riya').
Dengan demikian, QS At-Taubah 105 adalah panduan komprehensif yang membentuk karakter Muslim sejati: seorang pekerja keras yang ikhlas, teliti dalam mengikuti sunnah, bertanggung jawab secara sosial, dan selalu siap menghadapi Hari Perhitungan.
Pengkajian mendalam terhadap perintah ilahi ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang mengintegrasikan spiritualitas dengan produktivitas, dan menuntut umatnya untuk mencapai kualitas tertinggi dalam setiap aspek kehidupan, karena semua yang dilakukan tercatat dan akan disaksikan oleh yang paling berhak menyaksikannya.