Surat An-Nas (Manusia) adalah surat ke-114 dan merupakan surat terakhir dalam susunan mushaf Al-Qur'an. Bersama dengan Surat Al-Falaq, surat ini dikenal sebagai 'Al-Mu'awwidzatain' (Dua Surat Perlindungan). Kedua surat ini diturunkan sebagai penawar dan perisai spiritual yang sangat penting, terutama pada masa-masa sulit, dan menjadi bacaan rutin Rasulullah ﷺ sebelum tidur maupun saat menghadapi cobaan.
Fokus utama dari surat ini adalah memohon perlindungan kepada Allah SWT dari tiga sumber kejahatan utama yang mengganggu ketenangan jiwa manusia: kejahatan diri sendiri, kejahatan jin, dan kejahatan manusia. Tiga ayat pertama dari surat mulia ini secara spesifik mendefinisikan entitas yang harus kita berlindung darinya.
1. Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan (Pemelihara) manusia."
Ayat pertama membuka dengan perintah langsung dari Allah kepada Nabi Muhammad ﷺ untuk mengucapkan kalimat permohonan perlindungan, "Qul A'udzu" (Katakanlah: Aku berlindung). Kata "berlindung" (أَعُوذُ - A'udzu) menunjukkan kerendahan diri dan pengakuan bahwa manusia tidak mampu melindungi dirinya sendiri dari segala marabahaya, baik yang terlihat maupun yang gaib.
Target perlindungan pertama adalah Rabbun Naas (رب النَّاسِ), yaitu Tuhan Pemelihara seluruh manusia. Penggunaan kata "Rabb" di sini sangat signifikan. Rabb berarti Penguasa, Pemelihara, dan Pencipta. Dengan berlindung kepada Rabb-nya manusia, seorang mukmin menegaskan bahwa hanya Pencipta dan Pengatur seluruh urusan manusia yang memiliki otoritas penuh untuk memberikan keamanan. Perlindungan ini mencakup kebutuhan fisik, spiritual, dan metafisik seluruh umat manusia.
2. Raja (Penguasa) manusia.
Ayat kedua melengkapi konsep perlindungan dengan menyebutkan sifat Allah sebagai Malikin Naas (مَلِكِ النَّاسِ), yaitu Raja atau Penguasa Manusia. Jika Rabb menekankan aspek pemeliharaan dan pengasuhan, Malik menekankan aspek kedaulatan dan kepemilikan mutlak.
Dalam konteks perlindungan, sifat Al-Malik menegaskan bahwa tidak ada raja, pemimpin, atau kekuatan duniawi (baik dari kalangan jin maupun manusia) yang dapat menyentuh atau mengganggu kita tanpa izin-Nya. Permohonan ini meniadakan rasa takut terhadap otoritas tirani manusia atau intimidasi makhluk halus. Jika Allah adalah Raja mereka, maka mereka semua tunduk pada kehendak-Nya. Ini adalah penegasan tauhid dalam aspek kekuasaan.
3. Tuhan (Yang disembah) manusia.
Ayat ketiga menguatkan permohonan dengan menyebut Allah sebagai Ilahin Naas (إِلَهِ النَّاسِ), yaitu Ilah (Tuhan yang berhak disembah) bagi manusia. Penekanan pada Ilah berfungsi sebagai landasan mengapa manusia berhak meminta perlindungan.
Seseorang hanya berhak menyembah dan memohon pertolongan kepada Dzat yang berhak atas pengabdian total. Dengan menyebut Allah sebagai Ilah mereka, seorang hamba menegaskan bahwa satu-satunya yang pantas menerima ketaatan penuh adalah Dia. Ini berarti, jika ada yang mencoba menyesatkan, mengganggu ibadah, atau menarik jiwa dari jalan ketaatan, maka mereka harus dihadapkan pada kenyataan bahwa sumber ibadah yang sebenarnya adalah Allah, Sang Ilah. Ayat ini secara implisit menyiapkan panggung untuk ayat berikutnya yang akan menyebutkan sumber godaan spesifik (Al-Waswas al-Khannas).
Kombinasi tiga nama dan sifat Allah dalam tiga ayat pertama ini membentuk fondasi perlindungan spiritual yang kokoh.
Ketika kita mengucapkan ketiga frasa ini, kita secara sadar mengalihkan ketergantungan kita dari segala sumber kekuatan buatan manusia atau khayalan jin, menuju Kekuatan Tertinggi yang mengatur siklus hidup dan mati semua manusia. Ini adalah ritual pemurnian niat sebelum kita menghadapi musuh tersembunyi yang akan dijelaskan dalam ayat 4 hingga 6. Memahami ketiga ayat ini berarti memahami bahwa perlindungan sejati hanya datang dari Dzat yang menguasai, memelihara, dan layak disembah oleh seluruh umat manusia.