Dalam ajaran Islam, pernikahan merupakan sebuah ibadah yang suci dan memiliki aturan yang jelas demi menjaga keharmonisan keluarga serta tatanan masyarakat. Al-Qur'an, sebagai kitab suci pedoman umat Islam, telah menggariskan berbagai ketentuan terkait pernikahan, termasuk siapa saja yang diharamkan untuk dinikahi. Salah satu landasan penting mengenai hal ini terdapat dalam Surat An-Nisa ayat 23 dan 24. Ayat-ayat ini secara rinci menjelaskan batasan-batasan dalam hubungan perkawinan yang dilarang, yang bertujuan untuk menjaga kemurnian nasab, kehormatan keluarga, dan mencegah terjadinya kekacauan sosial.
Ayat ke-23 dari Surat An-Nisa merupakan penjelasan lebih lanjut dari ayat sebelumnya yang berbicara mengenai larangan menikahi wanita-wanita tertentu. Ayat ini merinci siapa saja dari kalangan kerabat yang haram untuk dinikahi. Allah SWT berfirman:
"Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anak perempuanmu; saudara-saudara perempuanmu; bibi-bibi dari pihak ayahmu; bibi-bibi dari pihak ibumu; keponakan-keponakanmu, baik laki-laki maupun perempuan, dari saudara-saudaramu yang laki-laki; keponakan-keponakanmu, baik laki-laki maupun perempuan, dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara-saudara perempuanmu sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu akibat dari istrimu yang telah kamu masuki, tetapi jika kamu belum masuk ke dalamnya maka kamu tidak berdosa (mengawininya); dan (diharamkan) mausui wanita-wanita istri anak-anak kandungmu dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua wanita bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Ayat ini menjelaskan secara eksplisit mengenai beberapa golongan wanita yang haram dinikahi karena hubungan nasab (keturunan) dan hubungan persusuan. Kategori tersebut meliputi: ibu kandung, anak perempuan, saudara perempuan, bibi dari pihak ayah (bibi), bibi dari pihak ibu (bibi), keponakan perempuan dari saudara laki-laki, keponakan perempuan dari saudara perempuan, ibu susuan, saudara perempuan susuan. Selain itu, juga diharamkan menikahi mertua (ibu dari istri) dan anak tiri perempuan yang sudah pernah digauli istrinya (kecuali jika belum digauli, maka boleh menikahi anak tirinya). Terakhir, ayat ini juga melarang mengawini dua wanita yang bersaudara sekaligus dalam satu waktu.
Melanjutkan pembahasan mengenai larangan pernikahan, ayat ke-24 dari Surat An-Nisa memberikan ketentuan tambahan, terutama terkait status budak dan pernikahan bagi orang yang tidak mampu. Allah SWT berfirman:
"Dan (diharamkan) wanita-wanita yang telah bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (perbudakan). Demikianlah ketentuan dari Allah bagimu. Dihalalkan bagimu selain dari yang demikian itu, yaitu kamu mencari (dengan hartamu) wanita-wanita yang masih dalam ikatan pernikahanmu untuk berbuat zina, karena itu mana satu wanita yang kamu nikmati dari mereka, maka berikanlah kepada mereka maskawinnya (sebagai mana yang telah ditetapkan), dan tidak ada dosa bagimu dalam apa yang kamu sepakati bersama setelah (penetapan) maskawin itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."
Ayat ini menambahkan bahwa wanita yang sudah bersuami juga haram dinikahi, kecuali budak wanita yang dimiliki. Ketentuan ini tentu terkait dengan konteks sosial pada masa penurunan ayat. Selain itu, ayat ini juga menegaskan bahwa selain dari wanita-wanita yang telah disebutkan haram dalam ayat-ayat sebelumnya, wanita lain yang belum bersuami dihalalkan untuk dinikahi. Syaratnya adalah mencari mereka dengan tujuan pernikahan yang sah (muhsinin), bukan untuk berzina (musafihin). Jika terjadi pernikahan, maka wajib diberikan maskawin kepada wanita yang dinikahi, dan kesepakatan mengenai maskawin setelah akad nikah juga diperbolehkan. Ayat ini menekankan pentingnya pernikahan yang didasari niat yang benar dan pemenuhan hak-hak istri.
Ketentuan larangan pernikahan dalam Al-Qur'an, khususnya dalam Surat An-Nisa ayat 23-24, memiliki berbagai hikmah yang mendalam. Pertama, menjaga kemurnian keturunan (nasab). Dengan melarang pernikahan antara kerabat dekat, Al-Qur'an mencegah perkawinan sedarah yang dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan dan sosial. Kedua, menjaga kehormatan dan martabat keluarga. Menghindari pernikahan dengan wanita yang telah bersuami atau dari kategori yang diharamkan merupakan bentuk penghormatan terhadap ikatan pernikahan yang sudah ada dan mencegah terjadinya fitnah serta permusuhan.
Ketiga, menjaga tatanan sosial. Adanya batasan yang jelas dalam pernikahan membantu mencegah terjadinya kekacauan dalam hubungan antarindividu dan antar keluarga. Keempat, sebagai bentuk perlindungan terhadap wanita. Dengan aturan yang jelas, wanita dilindungi dari eksploitasi dan penindasan dalam urusan pernikahan. Kelima, membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Pernikahan yang sah dan sesuai tuntunan agama akan menjadi pondasi yang kuat bagi terciptanya keluarga yang harmonis dan penuh kasih sayang.
Memahami dan mengamalkan isi dari Surat An-Nisa ayat 23 dan 24 ini adalah sebuah kewajiban bagi setiap Muslim. Hal ini tidak hanya sekadar mematuhi perintah agama, tetapi juga merupakan upaya untuk membangun diri, keluarga, dan masyarakat yang lebih baik, terhormat, dan harmonis sesuai dengan ajaran Islam yang universal.