Simbol nomor ayat
Surat An Nisa' merupakan surat ke-4 dalam Al-Qur'an yang memiliki cakupan pembahasan yang sangat luas, meliputi hukum-hukum keluarga, muamalah, dan berbagai aspek kehidupan sosial. Salah satu ayat yang sangat penting dan sering menjadi rujukan dalam pembahasan keluarga, khususnya pernikahan, adalah Surat An Nisa' ayat 24. Ayat ini mengandung pedoman Ilahi mengenai status perempuan dalam konteks hubungan pernikahan dan batasan-batasan yang diatur demi terjaganya tatanan masyarakat yang harmonis dan bermartabat.
Mari kita simak terlebih dahulu teks Arab dan terjemahan dari Surat An Nisa' ayat 24:
Ayat ini turun sebagai penegasan larangan yang sudah ada sebelumnya, yaitu larangan menikahi wanita yang pernah dinikahi oleh ayah. Larangan ini mencakup ibu tiri, nenek tiri, dan wanita lain yang termasuk dalam kategori mahram dari jalur ayah. Perbuatan menikahi wanita yang telah dinikahi ayah dianggap sebagai perbuatan yang sangat buruk, baik dari sisi moral, sosial, maupun agama.
Allah SWT menyebut perbuatan ini sebagai "fāḥisah" (فَاحِشَةً), yang berarti perbuatan keji, melampaui batas, dan bertentangan dengan fitrah manusia yang lurus. Selain itu, perbuatan ini juga dilabeli sebagai "maqt" (مَقْتًا), yang berarti dibenci. Kebencian ini bisa datang dari Allah, malaikat, dan juga sesama manusia, karena melanggar norma-norma kekerabatan yang suci.
Lebih lanjut, ayat ini juga menegaskan bahwa jalan atau cara ini adalah "sāʾa sabīlā" (سَاءَ سَبِيلًا), yang berarti seburuk-buruk jalan. Ini menunjukkan bahwa praktik semacam itu tidak akan membawa kebaikan, bahkan akan menciptakan berbagai masalah dan kehancuran dalam tatanan keluarga dan masyarakat.
Larangan dalam ayat ini memiliki tujuan yang sangat mulia. Pertama, ia menjaga kesucian hubungan kekerabatan. Hubungan ayah dan anak adalah pondasi utama dalam keluarga. Menikahi wanita yang pernah menjadi istri ayah akan mengaburkan garis keturunan dan menimbulkan kebingungan dalam struktur keluarga. Ini juga dapat merusak rasa hormat dan kasih sayang antara anak terhadap ayah dan ibunya (tiri).
Kedua, larangan ini melindungi martabat wanita. Dalam sistem masyarakat yang tidak memiliki aturan jelas, wanita bisa saja diperlakukan sebagai objek yang bisa diwariskan atau berpindah tangan seperti harta benda. Islam datang dengan ajaran yang mengangkat derajat wanita dan melarang segala bentuk perlakuan yang merendahkan martabat mereka. Pernikahan harus didasarkan atas suka sama suka, bukan karena paksaan atau warisan.
Ketiga, ayat ini memperjelas batasan-batasan syariat dalam pernikahan. Dalam Islam, ada daftar jelas mengenai siapa saja wanita yang haram dinikahi (mahram). Larangan menikahi mantan istri ayah termasuk dalam kategori mahram karena hubungan kekerabatan yang terbentuk. Memahami dan mengamalkan batasan ini adalah bagian dari ketaatan seorang Muslim kepada Tuhannya.
Frasa "illa mā qad salaf" (إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ) dalam ayat ini mengacu pada beberapa interpretasi. Salah satu interpretasi yang paling umum adalah bahwa ia merujuk pada praktik yang mungkin telah terjadi di masa jahiliyah sebelum Islam datang. Dengan turunnya ayat ini, praktik tersebut dihapuskan dan diharamkan secara mutlak. Dengan kata lain, apa yang terjadi di masa lalu yang belum ada larangan jelas, kini dilarang.
Beberapa ulama juga menafsirkan bahwa pengecualian ini bisa jadi merujuk pada beberapa kasus spesifik yang sudah terjadi dan tidak mungkin diubah lagi, namun dengan penekanan bahwa perbuatan tersebut tetap buruk dan tidak boleh diulangi. Inti dari ayat ini adalah penegasan larangan yang tegas untuk masa kini dan masa mendatang.
Meskipun ayat ini secara spesifik melarang menikahi wanita yang pernah dinikahi ayah, pemahaman mendalamnya memberikan pelajaran penting mengenai prinsip-prinsip pernikahan dalam Islam. Prinsip-prinsip ini mencakup pentingnya menjaga hubungan kekerabatan, menghormati kedudukan ibu (termasuk ibu tiri), serta pentingnya aturan yang jelas dalam sebuah rumah tangga.
Ayat ini juga mengingatkan kita akan pentingnya moralitas dan etika dalam setiap aspek kehidupan, terutama yang berkaitan dengan hubungan antarmanusia. Perbuatan yang keji dan dibenci akan selalu membawa konsekuensi negatif, baik di dunia maupun di akhirat. Sebagai umat Muslim, kita diperintahkan untuk senantiasa memilih jalan yang diridhai Allah SWT dan menjauhi segala sesuatu yang dapat mendatangkan murka-Nya.
Dengan memahami Surat An Nisa' ayat 24 secara komprehensif, kita dapat lebih menghargai pentingnya aturan dan batasan yang ditetapkan oleh Allah SWT demi kebaikan individu, keluarga, dan masyarakat secara keseluruhan. Ini adalah panduan abadi yang menjaga nilai-nilai luhur dan kesucian hubungan manusia.