Surah At-Tawbah (Pengampunan) atau yang juga dikenal dengan nama Surah Bara'ah (Pemutusan) merupakan salah satu surah yang paling unik dan krusial dalam Al-Qur'an. Keunikannya terletak pada fakta bahwa ia adalah satu-satunya surah yang dimulai tanpa lafal Bismillâhir-Raḫmânir-Raḫîm. Ayat pertama surah ini, yang menjadi fokus utama kajian ini, adalah sebuah deklarasi yang sangat tegas, mendalam, dan memiliki implikasi sejarah, hukum, serta teologis yang tak terhingga.
Ayat pertama Surah At-Tawbah (Surah ke-9) berbunyi:
Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita harus menempatkannya dalam kerangka waktu setelah Fathu Makkah (Penaklukan Mekah) pada tahun ke-8 Hijriah. Pada saat inilah, kekuasaan Islam di Jazirah Arab mulai menguat, namun masih ada sisa-sisa perjanjian yang dibuat sebelumnya, terutama Perjanjian Hudaibiyah dan pakta-pakta lain dengan suku-suku Musyrikin di sekitar Mekah dan Madinah.
Ketiadaan Bismillâhir-Raḫmânir-Raḫîm (Dengan Nama Allah, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang) di awal Surah At-Tawbah adalah titik diskusi utama di kalangan ulama. Konsensus umum Mufassirin adalah bahwa basmalah menyiratkan rahmat dan kedamaian, sementara surah ini secara keseluruhan adalah deklarasi perang, pemutusan perjanjian, dan peringatan keras. Imam Ar-Razi, dalam tafsirnya, menjelaskan bahwa surah ini turun membawa pedang dan api, yang bertolak belakang dengan sifat Ar-Rahman (Maha Pengasih). Ini adalah manifestasi keadilan ilahi dalam menghadapi pengkhianatan dan pelanggaran janji yang berulang kali dilakukan oleh pihak Musyrikin.
Deklarasi ini harus disampaikan dengan ketegasan mutlak. Allah SWT, melalui Rasul-Nya, memberikan ultimatum terakhir. Kelembutan dan kerahiman telah diberikan melalui perjanjian damai sebelumnya (seperti Hudaibiyah), namun pelanggaran yang terjadi membutuhkan respons yang sebanding: pemutusan total, yang tidak cocok dibuka dengan ungkapan rahmat.
Perjanjian Hudaibiyah (628 M/6 H) seharusnya berlaku selama sepuluh tahun. Namun, suku Khuza’ah yang bersekutu dengan Nabi Muhammad SAW diserang oleh Bani Bakr, yang bersekutu dengan Quraisy Mekah. Quraisy secara terbuka mendukung Bani Bakr dengan persenjataan dan pasukan. Tindakan ini merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap inti perjanjian Hudaibiyah. Konsekuensi dari pengkhianatan ini adalah Penaklukan Mekah. Setelah Mekah ditaklukkan, masih ada suku-suku lain yang memegang perjanjian dengan kaum Muslimin, tetapi sejarah menunjukkan bahwa banyak dari mereka tidak menepati janji atau menunjukkan permusuhan yang laten. Surah At-Tawbah ayat 1 datang untuk membersihkan seluruh Jazirah Arab dari sisa-sisa kemusyrikan dan pengkhianatan ini, menetapkan standar baru bagi perjanjian damai di masa depan.
Kata Bara'ah adalah nomen (isim) yang berarti 'pemutusan', 'lepas diri', 'deklasi bebas', atau 'pengumuman pelepasan tanggung jawab'. Ini bukan sekadar pembatalan, tetapi penarikan diri secara resmi dan tegas dari ikatan yang telah ada. Maknanya sangat kuat, menunjukkan bahwa pihak Muslimin tidak lagi terikat oleh ketentuan perjanjian apa pun dengan pihak Musyrikin yang telah melanggar janji.
Bara'ah menyiratkan kejelasan hukum. Tidak ada ambiguitas atau keraguan. Deklarasi ini berasal ‘min Allahi wa Rasulih’ (dari Allah dan Rasul-Nya), menempatkan perintah ini sebagai otoritas tertinggi yang tidak dapat diganggu gugat. Ini menegaskan bahwa keputusan pemutusan perjanjian ini bukan keputusan politis semata oleh Rasulullah, melainkan ketetapan ilahi yang harus dilaksanakan.
Frasa ini merujuk kepada 'mereka yang kamu telah mengadakan perjanjian dengan mereka'. Ini mengacu pada suku-suku atau individu Musyrikin yang sebelumnya memiliki perjanjian damai atau gencatan senjata dengan kaum Muslimin. Penting untuk dicatat, ayat ini tidak berlaku universal kepada semua Musyrikin, tetapi spesifik kepada mereka yang terlibat dalam perjanjian, dan yang kemudian melanggarnya atau yang perjanjiannya bersifat sementara.
Ulama fiqh membagi perjanjian di sini menjadi beberapa kategori:
Frasa 'dari orang-orang musyrikin' secara jelas membatasi objek deklarasi. Ini adalah pemutusan ikatan politik atau militer dengan mereka yang menganut paham politeisme (syirik). Ini menegaskan batasan antara komunitas iman dan komunitas syirik, terutama dalam konteks hubungan politik dan militer pasca-Penaklukan Mekah.
Ayat 1 Surah At-Tawbah sering disebut sebagai ayat yang memulai periode terakhir hukum perjanjian damai dalam Islam, khususnya di Jazirah Arab. Implementasi ayat ini dilakukan pada musim haji tahun ke-9 Hijriah. Rasulullah SAW menugaskan Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk menyampaikan deklarasi ini di hadapan khalayak ramai di Mekah.
Ayat-ayat berikutnya menjelaskan lebih lanjut mengenai masa tenggang yang diberikan, yang dikenal sebagai 'masa empat bulan' (disebut dalam ayat 2). Deklarasi Bara'ah ini efektif sejak hari raya haji (10 Dzulhijjah) dan berakhir pada hari ke-10 Rabi’ul Akhir tahun berikutnya. Masa ini adalah kesempatan bagi pihak Musyrikin untuk memutuskan dua pilihan:
Penting untuk dipahami bahwa ultimatum ini bukan tindakan sepihak yang tiba-tiba. Ia didahului oleh serangkaian pengkhianatan yang panjang, dan bahkan setelah deklarasi, masih diberikan masa tenggang yang cukup (empat bulan) agar mereka dapat mengorganisir diri, mempertimbangkan posisi mereka, atau pindah lokasi dengan aman. Ini menunjukkan adanya unsur keadilan bahkan dalam keputusan yang paling keras sekalipun.
Meskipun Surah At-Tawbah Ayat 1 adalah deklarasi pemutusan, ayat-ayat selanjutnya menegaskan prinsip Islam yang mendasar: Penghormatan terhadap Janji. Ayat 4 dan 7 memberikan pengecualian eksplisit:
"Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sedikit pun (isi perjanjianmu) dan tidak (pula) menolong seorang pun yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai habis waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa." (QS. At-Tawbah: 4)
Hal ini menunjukkan bahwa Bara'ah hanya ditujukan kepada mereka yang secara nyata telah melanggar janji, atau kepada mereka yang perjanjiannya telah habis masa berlakunya atau tidak memiliki batas waktu. Bagi mereka yang jujur dan setia menepati perjanjian, kaum Muslimin diperintahkan untuk tetap menghormati ikatan tersebut hingga batas waktu yang ditentukan berakhir. Ini adalah bukti bahwa Islam menjunjung tinggi integritas moral dan pemenuhan kewajiban kontrak, bahkan di tengah kondisi perang ideologis.
Banyak ulama klasik, seperti Imam Asy-Syafi'i, berpendapat bahwa Surah At-Tawbah (terutama ayat 1-5) bertindak sebagai pembatal (Nāsikh) bagi ayat-ayat perdamaian dan toleransi yang turun sebelumnya, terutama dalam konteks Jazirah Arab pada masa itu. Ini tidak berarti bahwa perdamaian secara umum dilarang, melainkan bahwa pada tahap akhir penegakan Daulah Islamiyah di pusatnya, batas-batas hukum harus ditegakkan dengan ketat.
Namun, penafsiran yang lebih modern dan kontekstual menekankan bahwa ayat-ayat Bara'ah adalah respons spesifik terhadap keadaan tertentu: pengkhianatan massal dan kegagalan diplomasi damai yang berulang kali dimanfaatkan oleh musuh untuk melemahkan negara Islam yang baru berdiri. Oleh karena itu, hukum pemutusan perjanjian ini adalah hukuman yang dijatuhkan setelah proses keadilan yang panjang, bukan norma umum untuk hubungan internasional.
Deklarasi Bara'ah menandai puncak penegasan kedaulatan Islam. Dengan menuntut pemutusan ikatan dengan Musyrikin dan memberikan ultimatum untuk masuk Islam atau meninggalkan Jazirah Arab, ayat ini secara efektif membersihkan pusat spiritual Islam (Mekah dan Madinah) dari elemen-elemen yang secara ideologis bertentangan. Tindakan ini krusial untuk menjaga kemurnian tauhid dan stabilitas politik di pusat Daulah Islamiyah.
Ayat 1 ini menanamkan konsep bahwa ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya harus lebih diutamakan daripada semua ikatan duniawi, termasuk perjanjian politik yang telah terbukti rapuh dan rentan terhadap pengkhianatan. Keputusan ilahi adalah yang tertinggi, dan ketika perjanjian manusia berbenturan dengan perlindungan iman dan komunitas, ketetapan Allah yang harus diimplementasikan.
Kajian terhadap ayat 1 Surah At-Tawbah sangat kaya dalam tradisi tafsir. Para ulama besar seperti Ath-Thabari, Al-Qurthubi, dan Ibnu Katsir memberikan detail yang sangat penting terkait pelaksanaan dan ruang lingkup hukum ayat ini.
Ibnu Katsir menekankan bahwa deklarasi ini diturunkan setelah para Musyrikin melanggar perjanjian yang mereka miliki dengan Nabi SAW, khususnya setelah Perang Khandaq dan peristiwa-peristiwa berikutnya. Beliau mengutip riwayat dari sahabat, terutama penugasan Ali bin Abi Thalib pada musim haji untuk membacakan Bara'ah. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Nabi SAW awalnya menunjuk Abu Bakar sebagai pemimpin haji, tetapi kemudian mengutus Ali untuk membacakan Bara'ah karena tradisi Arab mengharuskan deklarasi pemutusan perjanjian yang serius dilakukan oleh anggota keluarga terdekat atau kepala suku yang bersangkutan, sebagai simbol otoritas penuh.
Ath-Thabari fokus pada aspek hukum dan sejarah. Beliau menjelaskan bahwa istilah 'Bara'ah' berfungsi sebagai pemberitahuan resmi bahwa semua perjanjian yang sebelumnya ada, baik yang dilanggar maupun yang tidak memiliki batas waktu jelas, sekarang dianggap batal setelah masa tenggang empat bulan. Beliau juga memaparkan perbedaan pendapat ulama mengenai apakah ayat ini mencakup semua Musyrikin secara umum atau hanya Musyrikin Jazirah Arab. Mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum ini paling ketat diterapkan di Jazirah Arab, yang merupakan tanah suci bagi Tauhid.
Al-Qurthubi, seorang ahli fiqh, menganalisis implikasi hukum secara ekstensif. Beliau membahas mengapa Allah menggunakan kata 'Bara'ah' (pemutusan) dan bukan 'Faskh' (pembatalan). Bara'ah lebih tegas dan final. Al-Qurthubi juga membahas jenis perjanjian mana yang dicakup oleh ayat 1 ini, menegaskan kembali bahwa perjanjian yang dicederai atau yang tidak berbatas waktu adalah target utama. Beliau secara spesifik membahas durasi masa tenggang empat bulan, menekankan bahwa ini adalah rahmat yang diberikan, memberikan pihak musuh cukup waktu untuk memikirkan kembali pilihan mereka atau pindah secara damai.
Meskipun Ayat 1 hanya menyatakan pemutusan, Ayat 2 dan seterusnya menjelaskan detail implementasi. Masa tenggang empat bulan adalah elemen keadilan yang terintegrasi dalam deklarasi ini. Masa tenggang ini dikenal sebagai Sayr (berjalan/berpindah) dalam konteks hukum perang Islam. Pemberian masa tenggang memiliki tiga tujuan utama:
Bahkan ketika sebuah perjanjian dilanggar, Islam tidak mengizinkan serangan mendadak tanpa peringatan. Keadilan menuntut agar pihak yang perjanjiannya diputus diberi kesempatan untuk mengamankan diri, aset, dan keluarga mereka. Ini berbeda dengan praktik perang yang lazim di masa itu, di mana pengkhianatan sering dibalas dengan serangan tanpa ampun.
Masa empat bulan juga merupakan kesempatan terakhir bagi mereka untuk menerima Islam. Tujuan utama Bara'ah bukan untuk pembinasaan, tetapi untuk membersihkan wilayah dari syirik dan memberikan kepastian politik. Jika mereka memilih Islam, mereka akan diterima sebagai saudara seiman tanpa diskriminasi.
Para ulama sepakat bahwa kekerasan hukum yang diumumkan dalam Surah At-Tawbah ini, terutama mengenai masa tenggang dan ultimatum keras, sangat terikat pada konteks Jazirah Arab. Ini adalah wilayah di mana Nabi SAW diutus dan merupakan pusat monoteisme yang harus dilindungi dari pengaruh syirik yang konstan. Hukuman ini adalah hasil dari pelanggaran perjanjian yang berulang-ulang di wilayah yang sangat strategis tersebut. Menerapkan hukum ini secara universal dan tanpa konteks pada semua perjanjian damai di masa modern akan mengabaikan latar belakang historis yang mendalam ini.
Deklarasi Bara'ah mengubah peta politik dan hukum di Jazirah Arab secara permanen. Konsekuensi langsungnya adalah penegasan bahwa perjanjian damai harus dihormati; jika dilanggar, konsekuensinya tegas dan final. Warisan hukum dari ayat ini memberikan pelajaran penting dalam fiqh siyasah (hukum politik Islam):
Ayat ini mengajarkan bahwa perjanjian damai (mu'ahadah) dalam Islam harus didasarkan pada itikad baik. Jika pihak lain menunjukkan tanda-tanda pengkhianatan atau memanfaatkan perjanjian tersebut untuk merusak kepentingan Muslimin, maka negara Islam memiliki hak, bahkan kewajiban, untuk memutus perjanjian tersebut setelah memberikan peringatan yang adil.
Pemutusan perjanjian harus dilakukan secara terbuka dan transparan. Tidak boleh ada pemutusan diam-diam atau serangan mendadak. Deklarasi Bara'ah yang dibacakan di Mekah di hadapan semua orang, serta pemberian masa tenggang empat bulan, menetapkan standar etika yang tinggi untuk pemutusan pakta militer. Ayat ini menegaskan bahwa etika ilahi harus diterapkan bahkan dalam situasi konflik terberat.
Penekanan pada pengecualian bagi mereka yang setia (Ayat 4) menjadi dasar hukum yang sangat kuat. Ia menunjukkan bahwa permusuhan dalam Islam tidak bersifat kolektif atau rasis. Ia didasarkan pada tindakan, integritas, dan penepatan janji. Kepercayaan adalah mata uang yang paling berharga dalam hubungan, dan mereka yang menjaganya harus dilindungi.
Para ulama ushul fiqh (prinsip hukum) memperdebatkan apakah Surah At-Tawbah, khususnya Ayat 1 dan Ayat 5 (Ayat Pedang), merupakan ayat yang mencabut (Nāsikh) semua ayat tentang kesabaran dan toleransi.
Sebagian ulama berpendapat bahwa ayat-ayat Bara'ah menasakh (membatalkan) lebih dari seratus ayat yang berbicara tentang memaafkan, bersabar, dan berdamai, menjadikan Bara'ah sebagai hukum final dalam berurusan dengan Musyrikin secara umum. Pandangan ini sering muncul dalam literatur fiqh klasik yang ditulis pada masa kekuatan politik Islam berada di puncaknya, fokus pada ekspansi dan perlindungan wilayah.
Ulama lain (termasuk ulama modern seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan sebagian ulama kontemporer) berargumen bahwa Bara'ah bersifat Muqayyad (terikat konteks). Hukum yang terkandung di dalamnya terikat pada kondisi di mana:
Bagi mereka, ayat-ayat perdamaian dan toleransi tetap berlaku dalam konteks umum, terutama dalam hubungan dengan non-Muslim yang damai (Ahlu Dzimmah atau mereka yang berdamai). Ayat 1 adalah alat penegakan hukum darurat (hukm al-ḍarūrah) untuk mengatasi krisis integritas perjanjian, bukan prinsip umum dalam diplomasi.
Pandangan kontekstual ini sangat penting untuk pemahaman kontemporer, memastikan bahwa Islam tidak dilihat sebagai agama yang secara default melarang perjanjian damai, melainkan sebagai agama yang menuntut integritas dalam perjanjian tersebut. Jika perjanjian dihormati, Islam memerintahkan untuk menghormatinya sepenuhnya, seperti yang ditegaskan kembali dalam Ayat 4 dari surah yang sama.
Di luar implikasi hukum dan politik, Surah At-Tawbah Ayat 1 memberikan pelajaran spiritual yang mendalam tentang hubungan kita dengan Allah:
Seluruh peristiwa Bara'ah berakar pada kegagalan pihak Musyrikin untuk menunaikan amanah perjanjian. Bagi seorang Muslim, ayat ini adalah pengingat keras bahwa menepati janji adalah bagian integral dari iman. Ketika sebuah perjanjian dilanggar, itu mencerminkan kelemahan moral yang akhirnya membawa pada kehancuran dan pemutusan hubungan, baik di tingkat antar-negara maupun antar-individu.
Frasa "Bara'ah min Allahi wa Rasulih" menegaskan bahwa sumber keputusan dan otoritas tertinggi berada pada kehendak Ilahi. Ini mengajarkan pentingnya tunduk pada perintah Allah, bahkan ketika perintah itu terasa sulit atau kontroversial, karena keputusannya selalu didasarkan pada keadilan yang melampaui kepentingan sesaat manusia.
Deklarasi ini menegaskan bahwa dalam wilayah yang telah disucikan bagi Tauhid, kemusyrikan (Syirik) tidak dapat ditoleransi, terutama jika ia menjadi sumber pengkhianatan dan konflik. Ayat ini adalah penegasan identitas tauhid yang murni, menuntut pemisahan total dari praktik-praktik yang menyekutukan Allah, demi menjaga integritas spiritual komunitas.
Kesimpulannya, Surah At-Tawbah Ayat 1 bukanlah ayat yang hanya bicara tentang perang, melainkan deklarasi tentang keadilan, pemenuhan janji, dan penegasan kedaulatan Ilahi. Ia mengatur bagaimana hubungan politik harus diakhiri secara etis dan adil, setelah semua upaya damai gagal dan pengkhianatan telah terjadi. Ayat ini berfungsi sebagai peringatan bahwa Allah dan Rasul-Nya tidak akan pernah menerima pelanggaran perjanjian yang merusak fondasi komunitas dan iman. Konteks sejarah yang unik dan implementasi hukum yang terperinci menjadikan ayat ini salah satu landasan paling penting dalam kajian Fiqh Siyasah dan Tafsir Al-Qur'an.
Deklarasi pemutusan perjanjian yang diawali oleh ayat ini, meskipun keras, merupakan langkah yang diperlukan untuk menjamin stabilitas dan keselamatan komunitas Muslimin pada masa-masa formatif tersebut. Keputusan untuk memutus perjanjian ini, dengan segala konsekuensinya, adalah penutup bagi periode negosiasi yang panjang dan pembuka bagi era baru di mana Islam berkuasa penuh di Jazirah Arab, menetapkan keadilan dan ketertiban. Kekuatan kata 'Bara'ah' masih bergema hingga kini, mengingatkan umat Islam tentang pentingnya ketegasan dalam menegakkan kebenasan dan keadilan, serta bahaya dari pengkhianatan dan inkonsistensi moral.
Pemahaman yang utuh terhadap Surah At-Tawbah Ayat 1 membutuhkan penelusuran mendalam terhadap riwayat Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya ayat), praktik-praktik Rasulullah SAW dalam berinteraksi dengan suku-suku Musyrikin, serta bagaimana para sahabat utama, seperti Ali dan Abu Bakar, mengimplementasikan perintah ini. Detail-detail implementasi inilah yang menyingkapkan nuansa keadilan di balik ketegasan lafal ‘Bara’ah’. Mereka yang tidak melanggar janji, sekali lagi ditekankan, tidak termasuk dalam deklarasi pemutusan ini, menunjukkan bahwa prinsip dasar Islam adalah penghormatan terhadap janji yang tulus.
Kajian historis menunjukkan bahwa suku-suku yang paling keras menentang Islam dan yang paling sering melanggar perjanjian adalah yang paling terpengaruh oleh deklarasi ini. Hal ini bukan tindakan sewenang-wenang, melainkan respons bertahap terhadap tindakan agresif yang terus-menerus. Ayat ini adalah manifestasi dari prinsip: barang siapa menanam pengkhianatan, ia akan menuai pemutusan. Prinsip ini berlaku abadi dalam etika moral dan politik Islam.
Pada akhirnya, At-Tawbah Ayat 1 mengajarkan bahwa rahmat Allah (yang biasanya diwakili oleh Basmalah) memang luas, tetapi rahmat itu berjalan seiring dengan keadilan dan hukuman yang setimpal bagi pengkhianatan yang disengaja. Tidak ada tempat untuk kompromi ketika integritas perjanjian yang melindungi keamanan dan iman umat telah dicederai berkali-kali. Ayat ini adalah landasan bagi kebijakan luar negeri Islam yang menekankan kejujuran, transparansi dalam pemutusan hubungan, dan keadilan dalam menghadapi musuh yang melanggar batas.
Deklarasi ini juga memberikan pelajaran tentang kepemimpinan. Ketika keputusan sulit harus diambil demi kebaikan komunitas secara keseluruhan, harus ada ketegasan yang didasarkan pada petunjuk ilahi. Penugasan Ali untuk membacakan Bara'ah menunjukkan pentingnya otoritas spiritual dan politik bersatu dalam menyampaikan pesan yang sangat krusial ini. Ini adalah momen penegasan bahwa negara Islam memiliki hak dan kewenangan untuk menetapkan aturan main yang baru di wilayahnya, terutama setelah musuh menunjukkan ketidakmampuan untuk hidup damai berdasarkan perjanjian yang telah disepakati.
Dalam konteks modern, Surah 9 Ayat 1 sering disalahpahami sebagai seruan perang tanpa batas. Padahal, kajian mendalam menunjukkan bahwa ayat ini adalah prosedur hukum yang sangat spesifik, terikat waktu (masa tenggang empat bulan), dan terikat pada subjek tertentu (Mushrikin yang melanggar janji di Jazirah Arab). Pengambilan pelajaran dari ayat ini haruslah berfokus pada etika integritas kontrak dan keharusan untuk memberikan peringatan yang jelas sebelum melakukan pemutusan hubungan yang serius, sesuai dengan tuntutan keadilan Islam.
Surah ini, melalui ayat pertamanya, mewakili titik balik dalam sejarah Islam, memindahkan fokus dari tahap pembinaan toleransi dan pembangunan di Madinah menuju tahap konsolidasi dan penegasan kedaulatan di Jazirah Arab. Ini adalah fondasi bagi penegakan tatanan sosial dan politik yang didasarkan murni pada prinsip-prinsip Tauhid, memastikan bahwa tidak ada kekuatan lain yang dapat mengancam stabilitas internal dan spiritual umat.
Keunikan Surah At-Tawbah, dimulai dengan Bara'ah tanpa Basmalah, adalah sinyal keras yang abadi: ketika kedaulatan Ilahi dan integritas moral dipertaruhkan, ketegasan adalah rahmat yang diperlukan untuk melindungi komunitas iman dari pengkhianatan yang berulang. Ayat 1 adalah awal dari babak baru yang menuntut pertanggungjawaban penuh dari semua pihak yang terlibat dalam perjanjian dengan kaum Muslimin.
Penting untuk menggarisbawahi lagi mengenai sifat deklarasi ini sebagai proklamasi publik. Bara'ah diumumkan secara terbuka pada pertemuan haji terbesar, memastikan bahwa tidak ada pihak yang dapat mengklaim ketidaktahuan. Transparansi dalam pemutusan perjanjian ini adalah bagian dari etika perang dan diplomasi Islam. Ini menghindari fitnah dan memastikan bahwa semua tindakan yang diambil setelah masa tenggang adalah sah di mata hukum dan etika Ilahi.
Para ahli hukum Islam terus merujuk pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam Surah At-Tawbah ketika membahas isu-isu modern mengenai perjanjian internasional, penarikan diri dari pakta, dan hak kedaulatan suatu negara untuk melindungi diri dari ancaman internal atau eksternal yang menggunakan perjanjian damai sebagai kedok. Ayat 1 memberikan preseden yang jelas: integritas dan kesetiaan janji adalah prasyarat mutlak bagi keberlanjutan hubungan damai.
Konteks yang mendalam dan berlapis ini – mulai dari nuansa linguistik kata 'Bara'ah', penetapan masa tenggang empat bulan, hingga pengecualian bagi pihak yang setia – menunjukkan bahwa ayat 1 Surah At-Tawbah adalah salah satu ayat yang paling cermat dan terperinci dalam Al-Qur'an mengenai etika konflik dan perdamaian, yang tujuan utamanya adalah mengakhiri anarki pengkhianatan dan menciptakan stabilitas politik dan spiritual yang fundamental bagi umat Islam.
Pengaruh ayat ini terhadap hukum perang (Siyar) dalam Islam sangat besar. Ini menegaskan prinsip bahwa pengkhianatan adalah alasan yang cukup untuk memutus perjanjian, tetapi pemutusan itu harus diikuti oleh peringatan yang adil. Tanpa kejujuran dan pemenuhan janji, tidak ada perdamaian sejati yang dapat dibangun. Deklarasi tegas ini menutup tirai bagi era perjanjian yang tidak stabil dan membuka jalan bagi konsolidasi kekuatan Islam di Jazirah Arab, yang kemudian menjadi landasan bagi penyebaran dakwah ke seluruh dunia.
Oleh karena itu, ketika membaca dan merenungkan Surah At-Tawbah Ayat 1, fokus harus diarahkan pada prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan integritas yang menjadi landasan deklarasi tersebut, bukan hanya pada implikasi konflik. Ayat ini adalah cerminan dari otoritas Allah yang tidak pernah gagal dalam menegakkan standar moral dan hukum yang tertinggi bagi umat manusia.