Simbol Islam Al-Qur'an

Surah An-Nisa Ayat 1-10: Memahami Hak dan Kewajiban dalam Keluarga dan Masyarakat

Surah An-Nisa, yang berarti "Wanita", adalah surah Madaniyyah yang diturunkan setelah hijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah. Surah ini memiliki kedalaman makna yang luar biasa, mencakup berbagai aspek kehidupan seorang Muslim, mulai dari hubungan keluarga, hak-hak perempuan dan anak yatim, hingga tata kelola masyarakat dan peradilan. Ayat-ayat awal dari Surah An-Nisa, khususnya dari ayat 1 hingga 10, memberikan fondasi penting mengenai kewajiban dan tanggung jawab setiap individu dalam membangun tatanan sosial yang adil dan harmonis.

Ayat-ayat ini secara spesifik menekankan pentingnya menjaga hubungan silaturahmi, kepedulian terhadap kelompok rentan, serta kehati-hatian dalam mengelola harta. Memahami dan mengamalkan ajaran dalam ayat-ayat awal ini adalah langkah krusial bagi setiap Muslim untuk mewujudkan kehidupan yang berkah dan diridhai Allah SWT.

Ayat 1-7: Ketakwaan, Penciptaan, dan Hubungan Kekeluargaan

Ayat 1:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
"Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan dari padanya Allah menciptakan isterinya (Hawa); dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu."

Ayat pertama ini adalah seruan universal kepada seluruh umat manusia. Allah SWT memerintahkan untuk senantiasa bertakwa, yaitu menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dasar ketakwaan ini adalah pengakuan bahwa Allah adalah Sang Pencipta tunggal yang telah menciptakan manusia dari satu jiwa (Adam) dan kemudian menciptakan pasangannya (Hawa). Dari pasangan inilah kemudian berkembang biak manusia menjadi banyak. Ayat ini juga menegaskan pentingnya menjaga hubungan silaturahmi (hubungan kekerabatan) dan menggunakan nama Allah sebagai wasilah dalam berbagai urusan, menunjukkan betapa agung dan patutnya Allah untuk senantiasa diingat dan dimintai pertolongan.

Ayat 2-3: Urusan Yatim dan Pernikahan

وَآتُوا الْيَتَامَىٰ أَمْوَالَهُمْ ۖ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ ۖ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَىٰ أَمْوَالِكُمْ ۚ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
"Dan berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka, jangan kamu menukarkan yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu memakan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan demikian itu adalah dosa yang besar. Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan, maka nikahilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat aniaya."

Selanjutnya, Allah mengarahkan perhatian pada perlindungan anak yatim dan pengaturan pernikahan. Ayat 2 mengingatkan untuk menyerahkan harta anak yatim kepada mereka ketika telah dewasa, serta melarang keras untuk mencampuradukkan harta yang baik dengan yang buruk milik anak yatim dengan harta sendiri, apalagi memakannya. Ini menunjukkan betapa Islam sangat menjaga hak-hak anak yang kehilangan orang tua. Ayat 3 kemudian membahas mengenai pernikahan, khususnya mengenai kebolehan berpoligami (hingga empat istri) dengan syarat mampu berlaku adil. Namun, jika ada kekhawatiran tidak dapat berlaku adil, maka cukup dengan satu istri saja, atau wanita yang dimiliki. Hal ini ditekankan agar tidak terjadi kecenderungan menyimpang dari keadilan.

Ayat 4-7: Mahar Pernikahan, Harta Pusaka, dan Kehidupan Pasangan

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نُفْلًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا وَابْتَلُوا الْيَتَامَىٰ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ ۖ وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبَدَرًا أَنْ يَكْبَرُوا ۚ وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ ۖ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ حَسِيبًا لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ ۚ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
"Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian dari Allah, jika mereka dengan senang hati memberikan kepadamu sebagian dari maskawin itu, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu." "Dan janganlah kamu berikan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya (selain dari anak-anak yatim) harta kamu yang dijadikan Allah penopang kehidupanmu, tetapi berilah mereka belanja dan pakaian dari harta itu dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik." "Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah, apabila menurut pendapatmu mereka sudah cerdas (cakap) menghadapi harta, maka serahkanlah kepada mereka harta mereka. Dan janganlah kamu memakannya (harta anak yatim) dengan boros dan tergesa-gesa sebelum mereka dewasa. Siapa yang kaya, hendaknya menjaga diri (dari memakan harta anak yatim), dan siapa yang miskin, hendaknya memakannya dengan cara yang patut. Apabila kamu sudah menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu mengadakan saksi atas mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (perhitungan)." "Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabat, dan bagi perempuan ada hak bagian pula dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabat, baik harta itu sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan."

Ayat 4 menekankan kewajiban memberikan mahar kepada istri sebagai tanda penghargaan dan hak mereka dalam pernikahan. Jika sang istri dengan rela hati memberikan sebagian maharnya kembali kepada suami, maka itu adalah hal yang diperbolehkan. Ayat 5 melanjutkan peringatan untuk tidak memberikan harta kepada orang yang belum cakap mengelolanya, namun tetap memberikan nafkah dan pakaian dari harta tersebut, serta berbicara dengan baik. Ayat 6 kembali mengingatkan untuk menguji kematangan anak yatim sebelum menyerahkan harta mereka, dan menekankan agar harta tersebut tidak dihabiskan dengan boros atau terburu-buru. Ada instruksi bagi yang kaya untuk menjaga diri dan bagi yang miskin untuk memakannya secara patut. Pencatatan transaksi dan saksi diperlukan demi kehati-hatian. Terakhir, ayat 7 memberikan penjelasan fundamental mengenai hak waris, yaitu bahwa baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak bagian dari harta warisan orang tua dan kerabat, baik harta itu sedikit maupun banyak, sebagai bagian yang telah ditentukan.

Ayat 8-10: Kewajiban Terhadap Kerabat Miskin dan Perhatian Terhadap Harta

Ayat 8:

وَإِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ أُولُو الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينُ فَارْزُقُوهُمْ مِنْهُ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا
"Dan apabila pembagian warisan itu dihadiri oleh kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin, maka berikanlah sebagian dari harta itu untuk mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik."

Ayat 8 memberikan adab penting dalam pembagian warisan. Jika ada kerabat yang tidak berhak mendapat warisan, anak yatim, atau orang miskin yang turut hadir saat pembagian, maka dianjurkan untuk memberikan sebagian dari harta warisan tersebut kepada mereka sebagai bentuk kepedulian sosial dan silaturahmi. Serta ucapkanlah perkataan yang baik untuk menyenangkan hati mereka.

Ayat 9-10:

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْهُمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا ۖ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya mereka meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatirkan keadaan mereka. Maka hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar." "Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka menelan api neraka ke dalam perut mereka dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)."

Ayat 9 adalah pengingat yang kuat bagi setiap orang untuk memikirkan nasib anak-anak mereka sendiri yang lemah jika ditinggal pergi. Dengan merasakan kekhawatiran tersebut, maka hendaknya mereka juga memiliki kekhawatiran yang sama terhadap anak-anak yatim yang memerlukan perlindungan. Allah memerintahkan untuk bertakwa dan berkata perkataan yang benar dalam urusan mereka. Ayat 10 adalah ancaman keras bagi mereka yang memakan harta anak yatim secara zalim. Allah SWT menegaskan bahwa tindakan tersebut sama saja dengan menelan api neraka ke dalam perut mereka, dan kelak mereka akan diazab di neraka yang menyala-nyala. Ini adalah peringatan tegas untuk tidak sekali-kali menyentuh atau memakan harta anak yatim secara tidak sah.

Secara keseluruhan, Surah An-Nisa ayat 1-10 memberikan panduan moral dan hukum yang fundamental. Ajaran-ajaran ini tidak hanya mengatur hubungan dalam keluarga, tetapi juga membentuk dasar-dasar keadilan sosial, kepedulian terhadap kaum lemah, serta pentingnya pengelolaan harta yang amanah. Mengamalkan nilai-nilai dalam ayat-ayat ini berarti membangun masyarakat yang kuat, adil, dan dilindungi oleh Allah SWT.

🏠 Homepage