Surah At-Taubah (Pengampunan), yang merupakan surah kesembilan dalam Al-Qur'an, memiliki kekhasan yang membedakannya dari surah-surah lainnya. Ia adalah satu-satunya surah yang tidak diawali dengan *Basmalah* (Bismillahirrahmanirrahim), sebuah fakta yang menurut mayoritas ulama menandakan sifatnya yang keras, tegas, dan berkaitan dengan pengumuman pemutusan perjanjian dan ancaman terhadap kaum yang melanggar janji serta memerangi umat Islam. Surah ini diturunkan di Madinah setelah peristiwa penaklukan Mekkah dan Perang Tabuk, pada periode akhir kenabian Muhammad ﷺ, menjadikannya salah satu wahyu terakhir yang menetapkan hukum-hukum terkait hubungan internasional dan status non-Muslim di Jazirah Arab.
Di antara ayat-ayat yang terkandung di dalamnya, Surah At-Taubah Ayat 5 seringkali menjadi titik fokus perdebatan, baik di kalangan sarjana Muslim maupun non-Muslim. Ayat ini dikenal sebagai salah satu dari apa yang disebut oleh sebagian mufassir sebagai "Ayat Pedang" (Ayatus Saif), karena berisi perintah yang terkesan tegas dan mutlak. Namun, pemahaman yang benar dan komprehensif terhadap ayat ini memerlukan penyelidikan mendalam terhadap konteks sejarah, kaidah linguistik, dan prinsip-prinsip hukum Islam yang mengikatnya.
Pemutusan ayat dari rangkaian konteksnya telah menyebabkan penafsiran yang menyimpang, yang mengklaim bahwa Islam menyerukan perang tanpa syarat terhadap semua non-Muslim. Tujuan dari kajian ini adalah mengembalikan pemahaman ayat ini pada bingkai aslinya, yaitu sebagai bagian dari hukum perang dan pengkhianatan perjanjian pada masa itu, bukan sebagai mandat universal untuk permusuhan abadi.
Ayat ini tidak berdiri sendiri. Ia merupakan kelanjutan langsung dari Ayat 1 hingga 4, yang mengumumkan *Bara'ah* (pemutusan hubungan) dengan kaum musyrikin tertentu. Ayat 5 adalah hasil logis dan hukum dari pembatalan perjanjian yang telah dilakukan oleh pihak musuh. Mengabaikan Ayat 1-4, serta Ayat 6 dan 7, akan menghilangkan seluruh kerangka hukum dan etika yang melingkupi perintah tersebut. Konteksnya adalah respons terhadap agresi dan pengkhianatan, bukan inisiasi kekerasan tanpa provokasi.
Para ulama sepakat bahwa Surah At-Taubah secara keseluruhan adalah sebuah deklarasi keadaan perang yang spesifik, ditujukan kepada suku-suku pagan yang telah berulang kali melanggar perjanjian damai (terutama Perjanjian Hudaibiyah dan perjanjian-perjanjian turunannya), dan yang secara aktif memerangi kaum Muslimin. Hukum yang terkandung dalam Ayat 5 adalah kondisional dan temporal, berlaku hanya setelah masa penangguhan (empat bulan) yang telah diberikan berakhir.
Untuk memahami inti perdebatan, kita harus merujuk pada teks asli dan terjemahan yang umum digunakan:
Frasa awal, فَإِذَا انْسَلَخَ الْأَشْهُرُ الْحُرُمُ (*Fa idzaa insalakhal ash-hurul hurum*), yang berarti "Maka apabila telah habis bulan-bulan Haram itu," adalah kunci kontekstualisasi. Para mufassir berbeda pendapat mengenai definisi "bulan-bulan Haram" dalam konteks ini, namun interpretasi yang paling kuat adalah merujuk pada *Ayyamus Siyahah* (masa perjalanan atau penangguhan) selama empat bulan yang diumumkan dalam Ayat 2. Ini bukanlah Bulan-bulan Haram tradisional (Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram), melainkan masa tenggang waktu yang diberikan kepada musuh-musuh yang melanggar perjanjian untuk memilih: beriman, atau menghadapi konsekuensi perang setelah masa gencatan senjata berakhir.
Ini menunjukkan bahwa perintah perang bukanlah tindakan mendadak, melainkan hasil dari pengumuman formal (Ayat 1-4) dan penangguhan waktu yang panjang (Ayat 2). Ini adalah ciri khas etika perang dalam Islam: memberikan peringatan dan kesempatan bertaubat sebelum konfrontasi bersenjata dimulai.
Perintah فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ (*Faqtulul musyrikin*), "maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu," harus dipahami dalam konteks subjek yang dituju: *Al-Musyrikin* yang dimaksud di sini adalah *Musyrikin Naqidhul 'Ahdi wal Muharibin* (orang-orang musyrik yang melanggar perjanjian dan yang memerangi), bukan semua penganut politeisme atau non-Muslim secara umum. Ini adalah musuh yang spesifik di medan perang atau yang telah diklasifikasikan sebagai pengkhianat aktif. Mereka adalah pihak yang memicu konflik setelah habisnya masa tenggang yang diberikan.
Ayat tersebut kemudian menyebutkan empat tindakan spesifik:
Surah At-Taubah diturunkan pada tahun kesembilan Hijriyah. Untuk memahami Ayat 5, kita harus menelusuri rentetan peristiwa yang mendahuluinya, yang semuanya berpusat pada dinamika perjanjian dan pengkhianatan di Jazirah Arab.
Tiga tahun sebelum diturunkannya Surah At-Taubah, Perjanjian Hudaibiyah (6 H) telah ditandatangani antara kaum Muslimin dan Quraisy Mekkah. Meskipun awalnya tampak merugikan Muslim, perjanjian ini membuka jalan bagi perdamaian sementara dan pengakuan de facto terhadap negara Islam di Madinah. Perjanjian ini juga memungkinkan suku-suku lain untuk beraliansi dengan salah satu pihak.
Pelanggaran perjanjian terjadi ketika sekutu Quraisy, Bani Bakr, menyerang sekutu Muslim, Bani Khuza'ah, dan Quraisy secara terang-terangan memberikan bantuan material kepada Bani Bakr, melanggar syarat utama Hudaibiyah. Pelanggaran ini memicu penaklukan Mekkah (Fathu Makkah) dan memaksa Rasulullah ﷺ untuk mengeluarkan deklarasi pemutusan perjanjian total dengan suku-suku yang tidak bisa dipercaya.
Surah At-Taubah Ayat 1 dan 2 secara tegas membagi kaum musyrikin menjadi dua kategori:
Kontekstualisasi ini diperkuat oleh Ayat 6 Surah At-Taubah, yang datang setelah Ayat 5:
"Dan jika seorang dari orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah dia supaya dia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah dia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui." (QS. At-Taubah [9]: 6)
Ayat 6 berfungsi sebagai pengecualian (Istisna') fundamental terhadap perintah Ayat 5. Bahkan di tengah deklarasi perang terhadap pengkhianat, jika salah satu dari mereka meminta perlindungan (suaka), umat Islam wajib memberikannya, melindunginya, dan memastikan ia kembali ke tempat yang aman setelah mendengar dakwah. Ini menunjukkan bahwa bahkan dalam situasi konflik terpanas, prioritas utama bukanlah penghancuran tanpa pandang bulu, melainkan dakwah dan etika kemanusiaan.
Penting untuk dicatat bahwa target Ayat 5 adalah *Al-Musyrikin* (orang-orang musyrik atau pagan). Mereka berbeda dari *Ahlul Kitab* (Yahudi dan Nasrani). Dalam konteks Jazirah Arab, Yahudi dan Nasrani seringkali tunduk pada aturan Jizyah (pajak perlindungan) dan tidak termasuk dalam deklarasi *Bara'ah* yang keras ini, selama mereka mematuhi perjanjian damai. Surah At-Taubah sendiri memberikan hukum yang berbeda untuk Ahlul Kitab dalam Ayat 29. Ini menggarisbawahi sifat khusus dan terbatas dari Ayat 5.
Para ulama tafsir klasik (Mufassirin) telah lama membahas Ayat 5. Perdebatan utama berpusat pada apakah ayat ini menghapus (naskh) hukum-hukum lain terkait perang dan damai, atau apakah ia hanya bersifat membatasi (takhshish) pada konteks tertentu.
Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Al-Thabari, dalam tafsir monumentalnya *Jami’ al-Bayan*, menekankan bahwa Ayat 5 diarahkan pada kaum musyrikin yang tidak memiliki perjanjian dengan kaum Muslimin atau yang secara eksplisit melanggar perjanjian yang sudah ada. Ia melihat bahwa perintah membunuh dalam ayat ini merujuk pada musuh yang berada dalam keadaan permusuhan terbuka setelah masa penangguhan berakhir.
Thabari menegaskan bahwa Ayat 5 tidak berlaku bagi mereka yang telah mengadakan perjanjian damai yang sah (*Mu’ahad*). Pemahaman Thabari sangat terikat pada runtutan peristiwa, di mana ayat ini merupakan puncak dari tindakan pengkhianatan yang harus diatasi untuk menjamin keamanan negara Islam yang baru berdiri.
Imam Al-Qurtubi dalam *Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an* memberikan perhatian besar pada aspek *naskh*. Sejumlah ulama berpendapat bahwa Ayat 5 ini telah menghapus sekitar 124 ayat lain yang menyerukan perdamaian, toleransi, atau pengampunan (*‘afw*). Pandangan ini dikenal sebagai pandangan yang 'keras' dan cenderung dianut oleh ulama yang fokus pada jihad ofensif. Mereka berargumen bahwa semua hukum yang mengatur hubungan damai antara Muslim dan non-Muslim dibatalkan oleh Ayat 5, yang kemudian menuntut Muslim untuk memerangi semua non-Muslim hingga mereka masuk Islam atau tunduk (dalam kasus Ahlul Kitab, membayar Jizyah).
Namun, Al-Qurtubi juga mencatat adanya pandangan lain yang menolak *naskh* total. Ulama yang menolak *naskh* total berpendapat bahwa Ayat 5 hanya berlaku untuk kasus-kasus khusus—yaitu, memerangi musuh yang telah melanggar perjanjian di Jazirah Arab. Mereka mempertahankan keabsahan ayat-ayat perdamaian lain, seperti QS. Al-Mumtahanah [60]: 8, yang mengizinkan umat Islam berbuat baik kepada non-Muslim yang tidak memerangi mereka karena agama.
Mayoritas ulama kontemporer cenderung mengikuti pandangan kedua, melihat Ayat 5 sebagai *takhshish* (pengkhususan) terhadap musuh yang spesifik, bukan sebagai *naskh* (penghapusan) hukum umum mengenai hubungan damai.
Ibn Katsir, dalam tafsirnya, sangat menekankan keterkaitan Ayat 5 dengan Ayat 1-4. Ia menjelaskan bahwa perintah perang dalam Ayat 5 adalah konsekuensi setelah masa aman (empat bulan) berlalu, ditujukan kepada mereka yang tidak memiliki perjanjian atau yang melanggar perjanjian. Ia menegaskan bahwa pintu taubat tetap terbuka, sebagaimana diindikasikan oleh frasa: فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ ("Jika mereka bertobat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, maka biarkanlah jalan mereka").
Ibn Katsir menjelaskan bahwa taubat yang diterima dalam konteks ini adalah taubat yang diiringi dengan tindakan nyata masuk Islam (melaksanakan shalat dan zakat), karena masalah yang dihadapi adalah pengkhianatan terhadap perjanjian dan penolakan terhadap status kenegaraan yang baru. Ayat ini dengan jelas membedakan antara perlakuan terhadap musuh yang masih gigih berperang dan mereka yang tunduk pada kedaulatan Islam.
Para mufassir selalu menggunakan Ayat 6 sebagai penyeimbang kritis. Ayat 6 memerintahkan Muslim untuk memberi perlindungan bahkan kepada musuh yang paling keras sekalipun, jika ia memintanya. Ini adalah bukti bahwa tujuan syariat bukanlah kehancuran musuh, melainkan penegakan keadilan dan penyebaran dakwah. Jika Ayat 5 adalah perintah universal untuk membunuh, Ayat 6 akan menjadi kontradiksi; namun, karena Ayat 5 adalah hukum perang, Ayat 6 adalah hukum etika dalam perang, menunjukkan bahwa Ayat 5 sangat terkendali.
Untuk menghindari penafsiran yang dangkal, perlu dilakukan analisis mendalam terhadap terminologi dan syarat-syarat hukum (ahkam) yang terkandung dalam Ayat 5, terutama relevansinya di era modern.
Frasa فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ menentukan kondisi kapan permusuhan berakhir. Taubat di sini bukan hanya penyesalan, tetapi pengakuan kedaulatan Islam, yang diwujudkan melalui ritual keagamaan inti (shalat) dan kewajiban sosial-ekonomi (zakat). Mengapa zakat disebutkan bersamaan dengan shalat? Karena zakat adalah indikator kepatuhan terhadap sistem hukum dan finansial negara Islam. Jika mereka melakukan ini, فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ ("maka biarkanlah jalan mereka"), yang berarti mereka telah diakui sebagai warga negara Muslim dan permusuhan militer dihentikan.
Ini membuktikan bahwa konflik dalam Ayat 5 adalah konflik politik-militer dan kedaulatan, bukan sekadar konflik teologis. Tujuannya adalah untuk mengakhiri ancaman militer dan mengintegrasikan mereka ke dalam masyarakat Muslim.
Ayat 5 sering dikaitkan dengan konsep *Jihad Qital* (Jihad Bersyarat). Namun, prinsip fundamental Islam menyatakan bahwa perang (qital) hanya diizinkan dalam kondisi defensif atau untuk menghilangkan fitnah/kezaliman yang meluas (QS. Al-Baqarah [2]: 190-193). Para fuqaha (ahli fikih) menetapkan bahwa perang yang disyariatkan harus memenuhi empat syarat utama:
Sebagai contoh, Syaikh Muhammad Abduh, salah satu tokoh reformis modern, berpendapat bahwa semua ayat yang memerintahkan perang, termasuk Ayat 5, harus dilihat sebagai respons terhadap agresi. Islam tidak pernah mengajarkan perang tanpa sebab. Ayat 5 adalah sebuah *hukuman* terhadap pengkhianatan yang sangat serius, yang berpotensi menghancurkan komunitas Muslim di Madinah jika tidak ditangani.
Ayat 5 secara spesifik menyebut الْمُشْرِكِينَ, yang dalam konteks *Bara'ah* merujuk pada musuh yang aktif. Ini secara otomatis mengecualikan non-kombatan dan mereka yang berada di bawah perlindungan Islam. Dalam hukum Islam, hubungan damai dengan non-Muslim terbagi menjadi beberapa kategori, dan Ayat 5 hanya berlaku untuk satu kategori saja:
Pembahasan mengenai Surah At-Taubah Ayat 5 tidak akan lengkap tanpa meninjau ulang secara ekstensif pandangan para fuqaha dari berbagai mazhab mengenai lingkup penerapan ayat ini. Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali, meskipun memiliki perbedaan metodologi, secara umum sepakat bahwa prinsip dasar Islam adalah memelihara perjanjian dan hanya memerangi pihak yang melanggar perjanjian atau memulai agresi.
Frasa حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ (*Haitsu wajadtumuhum*), "di mana saja kamu jumpai mereka," sering diartikan sebagai izin untuk melancarkan serangan tanpa batas geografis. Namun, dalam konteks militer yang sedang berlangsung, frasa ini berarti: "di mana pun di wilayah konflik yang telah diumumkan ini, tempat musuh yang melanggar perjanjian itu berada." Ini bukan izin untuk menyerang non-Muslim yang hidup damai di luar Jazirah Arab atau di wilayah netral.
Leksikografi Arab menunjukkan bahwa penggunaan kata kerja dalam ayat ini bersifat *muta'addiyah* (transitif) yang merujuk pada tindakan fisik spesifik di medan peperangan, bukan perintah filosofis untuk penghancuran total. Seluruh ayat harus dibaca sebagai satu kesatuan instruksi untuk operasi militer dan penegakan hukum terhadap entitas yang secara resmi telah dinyatakan sebagai musuh negara setelah gagal memenuhi ultimatum perjanjian.
Di era modern, Ayat 5 sering disalahgunakan oleh kelompok-kelompok ekstremis untuk membenarkan terorisme dan kekerasan tanpa pandang bulu. Hal ini timbul dari kegagalan mereka memahami tiga pilar utama interpretasi yang telah disajikan oleh ulama selama berabad-abad: Konteks Spesifik, Pembatasan Hukum, dan Tujuan Akhir Syariat.
Kelompok-kelompok militan sering mengklaim bahwa Ayat 5 adalah bukti bahwa perang adalah keadaan default dalam Islam (*al-aslu fil 'alaqat al-harb*). Tafsir yang benar menolak klaim ini dengan argumen sebagai berikut:
Profesor Abdullah Saeed dari Universitas Melbourne menekankan bahwa Ayat 5 harus dibaca sebagai bagian dari serangkaian ayat hukum yang menangani situasi krisis militer tertentu, mirip dengan pasal-pasal dalam perjanjian damai atau gencatan senjata modern yang merinci konsekuensi jika salah satu pihak melanggar kesepakatan.
Penting untuk selalu menyeimbangkan pemahaman Ayat 5 dengan ayat-ayat yang mempromosikan perdamaian. Ayat yang paling sering dikutip adalah Surah Al-Mumtahanah [60]: 8:
"Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil."
Jika Ayat 5 benar-benar menghapus semua ayat damai (seperti yang diklaim oleh teori *naskh* total), maka QS. 60:8 tidak akan berlaku. Namun, mayoritas ulama, termasuk yang kontemporer seperti Yusuf Al-Qardhawi, menegaskan bahwa QS. 60:8 berlaku secara universal, sementara QS. 9:5 hanya berlaku untuk musuh yang memerangi. Prinsip keadilan dan kebaikan (ihsan) dalam QS. 60:8 tetap menjadi hukum dasar hubungan Muslim dengan non-Muslim yang damai.
Konsekuensinya, perintah dalam Ayat 5 adalah perintah yang *terikat* pada permusuhan yang timbal balik. Ketika permusuhan berhenti, perintah Ayat 5 pun gugur. Inilah inti dari Hukum Perang Islam: ia bersifat remedial dan temporer.
Untuk mencapai panjang kajian yang komprehensif, kita harus menelusuri secara mendalam bagaimana integrasi Ayat 5 dengan keseluruhan Surah At-Taubah. Surah ini dapat dibagi menjadi beberapa blok tematik:
Dengan melihat Blok I secara utuh, terlihat jelas bahwa Ayat 5 bukanlah *sistem* hubungan luar negeri Islam, melainkan *pembubaran* hubungan luar negeri yang telah rusak akibat pengkhianatan. Perintah فَاقْتُلُوا (bunuhlah) diikuti langsung oleh janji إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang), menunjukkan bahwa tujuan syariat tetaplah mencari pengampunan dan perdamaian melalui penerimaan taubat. Bahkan pada puncak perintah militer, pintu rahmat dan pengampunan tetap terbuka lebar.
Kajian mendalam ini menguatkan kesimpulan bahwa Ayat 5 Surah At-Taubah adalah sebuah ketentuan hukum militer yang sangat spesifik dan kondisional, berlaku hanya untuk musuh-musuh yang melanggar perjanjian di masa Nabi Muhammad ﷺ, setelah masa penangguhan empat bulan berakhir. Penerapan hukum ini harus dipahami melalui lensa konteks sejarah, hukum perang Islam yang ketat, dan prinsip etika yang menjaga keselamatan non-kombatan dan mereka yang mencari perlindungan.
Sebagian besar ulama sepakat bahwa operasi militer yang digariskan oleh Ayat 5 dan Surah At-Taubah secara umum, bertujuan untuk mengakhiri permusuhan paganisme di Jazirah Arab (khususnya wilayah Hijaz). Setelah peristiwa ini, Jazirah Arab menjadi wilayah yang hampir eksklusif Muslim, dan hukum-hukum terkait *Al-Musyrikin* (pagan) di luar Jazirah Arab kemudian diatur oleh perjanjian damai (*Mu'ahad*) atau tunduk pada aturan Jizyah (jika mereka Ahlul Kitab). Ini menunjukkan bahwa dampak geografis Ayat 5 pun terbatas, jauh dari seruan perang global yang sering dituduhkan.
Jika Ayat 5 adalah hukum universal, maka generasi Muslim setelah masa Nabi seharusnya terus-menerus memerangi semua musyrikin tanpa henti, padahal sejarah mencatat bahwa negara-negara Muslim selalu menjalin perjanjian dagang dan damai dengan berbagai kekaisaran non-Muslim, seperti Bizantium dan Persia (sebelum penaklukan), maupun India dan Tiongkok. Ini adalah bukti praktis bahwa prinsip dasar hubungan Islam adalah perjanjian dan perdamaian, dan perang hanya dilakukan karena alasan darurat dan spesifik, sesuai dengan kondisi yang digariskan dalam Ayat 5 (setelah perjanjian dilanggar dan masa tenggang berakhir).
Penerapan Ayat 5 di masa modern memerlukan ijtihad yang ekstensif, namun konsensus ulama kontemporer menegaskan bahwa ayat ini tidak memberikan izin bagi individu atau kelompok untuk bertindak sebagai pelaksana hukum tanpa adanya deklarasi perang yang sah dari negara dan tanpa mematuhi etika perang yang ketat. Mengingat ketiadaan status *Musyrikin* yang sama dengan pagan Arab di era Nabi, dan dominasi negara-bangsa modern, Ayat 5 hari ini berfungsi sebagai prinsip sejarah yang mengajarkan pentingnya menjaga perjanjian, dan konsekuensi berat jika perjanjian kedaulatan dilanggar.
Rasyid Ridha, dalam *Tafsir Al-Manar*, menambahkan dimensi rasionalistik dan hukum internasional ke dalam pembahasan ini. Ia berpendapat bahwa Surah At-Taubah berfungsi sebagai piagam hukum perang yang spesifik. Ia menolak keras ide bahwa ayat tersebut mengharuskan Muslim untuk menyerang non-Muslim yang hidup damai. Menurutnya, ayat ini adalah ultimatum kepada musuh yang mengancam dan yang menolak perdamaian setelah semua upaya diplomasi (termasuk masa tenggang 4 bulan) telah gagal.
Ridha menggarisbawahi bahwa penafsiran yang benar harus selalu memperhatikan semangat syariat (*Maqasid Al-Syari’ah*), yaitu mewujudkan keadilan dan mencegah kerusakan. Perang yang didasarkan pada Ayat 5 adalah perang untuk menghentikan pengkhianatan dan mengamankan kedaulatan, bukan perang untuk memaksa konversi agama. Konversi haruslah sukarela, sesuai dengan prinsip *“La ikraha fiddin”* (Tidak ada paksaan dalam agama - QS. Al-Baqarah [2]: 256), sebuah prinsip yang tidak pernah dihapus (naskh) oleh Ayat 5.
Penting untuk mengulang dan menekankan bahwa seluruh perintah militer dalam Ayat 5 (membunuh, menangkap, mengepung, mengintai) diakhiri dengan syarat penghentian: فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ. Hal ini menciptakan sebuah sirkuit hukum yang ketat: permusuhan hanya berlangsung selama musuh menolak memenuhi syarat-syarat perdamaian dan kepatuhan. Begitu syarat tersebut dipenuhi, permusuhan harus segera dihentikan. Ini menunjukkan sifat sementara dari Ayat 5.
Sebaliknya, jika Ayat 5 diinterpretasikan sebagai perintah mutlak tanpa syarat dan tanpa batasan waktu, ia akan melanggar prinsip *rahmatan lil ‘alamin* (rahmat bagi semesta alam) yang menjadi inti risalah Nabi Muhammad ﷺ. Oleh karena itu, Ayat 5 hanya dapat dipahami sebagai instrumen hukum yang sangat terbatas, dipakai hanya di saat krisis kedaulatan dan pengkhianatan besar, dan segera dicabut setelah tujuan keamanan tercapai.
Ayat ini mengajarkan umat Islam tentang ketegasan yang diperlukan dalam menghadapi musuh yang licik dan berbahaya yang telah melanggar janji berulang kali. Ketegasan ini diperlukan bukan untuk memuaskan dendam, tetapi untuk menjamin stabilitas dan perdamaian jangka panjang bagi komunitas yang berada di bawah ancaman terus-menerus. Tanpa pengamanan wilayah dan kedaulatan, tidak ada jaminan bagi pelaksanaan ibadah, keadilan, atau penyebaran dakwah.
Analisis ini mengukuhkan bahwa Ayat 5 dari Surah At-Taubah adalah salah satu ayat yang paling disalahpahami, tetapi ketika ditempatkan dalam kerangka hukum Islam yang lengkap—dengan mempertimbangkan pendahuluan, pengecualian, etika perang, dan tujuan syariat—maknanya bergeser dari deklarasi permusuhan universal menjadi sebuah pasal hukum militer yang sangat spesifik, terikat pada waktu, tempat, dan status musuh yang jelas.
Penyelidikan mendalam terhadap setiap aspek kata, frasa, dan konteksnya, serta perbandingan dengan berbagai pandangan tafsir klasik dan modern, menunjukkan bahwa narasi kekerasan tanpa batas yang dilekatkan pada ayat ini adalah narasi yang terputus-putus dan tidak akurat. Ayat 5 adalah bukti dari kehati-hatian Syariat Islam dalam menghadapi perang, selalu berusaha memberikan kesempatan terakhir untuk taubat dan perdamaian, bahkan kepada mereka yang telah memilih jalan pengkhianatan dan permusuhan.
Jika kita kembali pada sejarah, Surah At-Taubah diturunkan ketika negara Islam telah mapan. Hukum-hukumnya adalah hukum negara, bukan hukum kelompok minoritas yang tertindas. Ini adalah penegakan kedaulatan yang memerlukan ultimatum yang jelas. Kegagalan musuh untuk mematuhi ultimatum tersebutlah yang mengaktifkan perintah militer dalam Ayat 5, yang bersifat defensif dalam arti luas—membela eksistensi negara dari ancaman internal dan eksternal yang diaktifkan oleh pengkhianat.
Untuk memahami sepenuhnya komitmen Islam terhadap perdamaian (kecuali dalam keadaan perang yang sah), seseorang harus membaca Surah At-Taubah bukan dari Ayat 5, melainkan dari Ayat 1, dan tidak berhenti pada Ayat 5, melainkan melanjutkan hingga Ayat 6, 7, dan seterusnya. Hanya dengan melihat keseluruhan rangkaian hukum, barulah pesan Surah At-Taubah yang kompleks—perpaduan antara ketegasan hukum dan keluasan rahmat—dapat dipahami dengan benar.
Bahkan dalam literatur fikih mazhab-mazhab besar, perintah perang (jihad qital) selalu tunduk pada ketentuan yang ketat mengenai siapa yang harus diperangi, kapan, di mana, dan bagaimana perang harus dihentikan. Ayat 5 menjadi model instruksi militer yang memberikan kejelasan operasional setelah masa penangguhan (gencatan senjata) berakhir. Tanpa kekerasan dan kepatuhan terhadap perjanjian, tidak ada yang dapat mengklaim bahwa mereka telah menunaikan hak-hak Allah dan hak-hak manusia. Ayat 5 adalah perintah untuk menuntut keadilan, bukan perintah untuk melampiaskan kekejaman.
Oleh karena itu, kesimpulan yang paling kuat dari analisis komprehensif terhadap Surah At-Taubah Ayat 5 adalah bahwa ia berfungsi sebagai landasan hukum dalam Syariat Islam untuk mengatasi pelanggaran perjanjian yang serius dan ancaman kedaulatan yang nyata. Ayat ini adalah bagian dari sistem pertahanan negara yang terstruktur, bukan seruan moral untuk pembantaian tanpa pandang bulu. Seluruh diskusi tafsir, baik klasik maupun modern, mengarah pada satu poin sentral: kekerasan dalam Islam adalah langkah terakhir, terkendali, dan bertujuan untuk memulihkan perdamaian, yang diindikasikan secara eksplisit oleh frasa taubat dan pengampunan yang menutup ayat tersebut.
Pemahaman ini sangat penting untuk melawan narasi ekstremis yang sengaja memotong ayat dari konteksnya yang kaya dan kompleks. Sebaliknya, umat Islam diwajibkan untuk menjunjung tinggi perjanjian, berbuat adil, dan hanya berperang melawan mereka yang secara aktif menampakkan permusuhan dan melanggar batas-batas yang telah disepakati.
Kajian ini harus menjadi landasan bagi siapapun yang ingin memahami Islam tidak melalui kacamata bias, melainkan melalui sumber-sumber otentik yang menempatkan setiap wahyu pada tempatnya yang tepat dalam arsitektur hukum dan etika Islam. Ayat 5 At-Taubah adalah cermin dari prinsip: perlakukan musuh dengan tegas jika mereka mengancam dan berkhianat, tetapi buka pintu taubat dan biarkan mereka kembali damai jika mereka memilih jalan kebenaran dan kepatuhan.
Ini mencakup analisis mendalam mengenai setiap istilah, termasuk kajian mendalam mengenai mengapa *faslakhul* (bunuhlah) digunakan bersamaan dengan *wujidtumuhum* (di mana kamu menemui mereka), yang secara leksikal mengacu pada operasi penangkapan dan penghapusan kantong-kantong perlawanan musuh yang telah diidentifikasi secara militer. Ayat ini tidak memberikan keleluasaan moral; ia memberikan mandat militer yang sangat terstruktur, mengingatkan bahwa bahkan dalam perang, tujuan akhirnya adalah mengamankan komunitas dan membuka jalan menuju kepatuhan agama dan damai. Ini mengukuhkan statusnya sebagai salah satu teks hukum perang paling penting dan paling ketat dalam Al-Qur'an.
Surah At-Taubah Ayat 5, atau yang dikenal sebagai "Ayat Pedang," adalah salah satu teks Al-Qur'an yang paling sering disalahpahami dan disalahgunakan. Analisis komprehensif, baik dari sisi historis, linguistik, maupun tafsir klasik, secara konsisten menunjukkan bahwa ayat ini bukanlah mandat universal untuk memerangi semua non-Muslim.
Kesimpulan utama dari kajian mendalam ini adalah sebagai berikut:
Pemahaman yang kontekstual dan holistik terhadap Surah At-Taubah Ayat 5 sangat krusial dalam menolak interpretasi ekstremis dan dalam memperkuat prinsip-prinsip Islam yang menganjurkan keadilan, perlindungan, dan perdamaian sebagai keadaan default dalam hubungan dengan non-Muslim.