Dalam kitab suci Al-Qur'an, Allah SWT senantiasa memberikan petunjuk dan tuntunan bagi umat manusia agar dapat menjalani kehidupan yang adil, harmonis, dan penuh keberkahan. Di antara banyak ayat yang mengajarkan nilai-nilai luhur tersebut, Surat An-Nisa ayat 58 dan 59 memiliki kedudukan penting. Kedua ayat ini secara gamblang menjelaskan tentang kewajiban mengembalikan amanah kepada pemiliknya dan pentingnya menegakkan keadilan dalam setiap aspek kehidupan, terutama bagi para pemimpin atau pemegang kekuasaan.
Ayat 58 dari Surat An-Nisa berbunyi:
Artinya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada orang yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, agar kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat."
Ayat ini memuat dua perintah utama yang sangat fundamental. Pertama, perintah untuk menyampaikan amanat kepada orang yang berhak. Amanat di sini memiliki makna yang sangat luas, mencakup segala sesuatu yang dititipkan kepada seseorang, baik itu harta benda, rahasia, jabatan, maupun kepercayaan. Menjaga dan mengembalikan amanah adalah tanda dari keimanan seseorang. Mengkhianati amanah, sekecil apapun itu, adalah sebuah dosa. Ini mengajarkan kita untuk selalu jujur dan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dipercayakan kepada kita.
Kedua, perintah untuk menetapkan hukum dengan adil. Perintah ini ditujukan terutama kepada mereka yang memiliki wewenang dalam memutuskan perkara, seperti hakim, pemimpin, atau bahkan kepala keluarga. Keadilan dalam menetapkan hukum berarti tidak memihak, tidak pandang bulu, dan berdasarkan pada kebenaran serta hukum yang berlaku. Adil bukan berarti sama rata, melainkan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Keharusan berlaku adil ini menjadi pilar utama dalam membangun tatanan masyarakat yang tertib, damai, dan sejahtera.
Allah menutup ayat ini dengan menegaskan bahwa Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat. Ini adalah pengingat bahwa setiap tindakan, setiap keputusan, dan setiap pengkhianatan amanah, sekecil apapun, tidak luput dari pandangan dan pendengaran Allah SWT. Hal ini seyogyanya menjadi motivasi bagi setiap individu untuk senantiasa berhati-hati dalam ucapan dan perbuatannya.
Melengkapi perintah-perintah sebelumnya, ayat 59 Surat An-Nisa memberikan arahan mengenai bagaimana seharusnya sikap seorang mukmin dalam menghadapi perbedaan pendapat atau urusan yang memerlukan keputusan:
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri (pemegang urusan) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya."
Ayat ini menekankan pentingnya ketaatan berlapis. Ketaatan tertinggi tentu saja kepada Allah SWT, sebagai sumber segala hukum dan kebaikan. Diikuti dengan ketaatan kepada Rasulullah Muhammad SAW, yang merupakan penjelas dan pelaksana ajaran Allah. Kemudian, ada ketaatan kepada ulil amri, yaitu para pemimpin atau pemegang urusan. Ketaatan kepada ulil amri ini bersifat kondisional, yaitu selama mereka menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya. Jika ulil amri memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan syariat, maka ketaatan beralih kepada Allah dan Rasul-Nya.
Poin krusial dalam ayat ini adalah instruksi tentang cara menyelesaikan perselisihan. Ketika terjadi perbedaan pendapat atau perselisihan dalam suatu urusan, umat Muslim diperintahkan untuk mengembalikannya kepada Al-Qur'an dan Sunnah Rasul. Ini menunjukkan bahwa sumber hukum tertinggi dalam Islam adalah wahyu Allah dan praktik Nabi Muhammad SAW. Dalam menghadapi berbagai persoalan, baik individu maupun kolektif, solusi sejati hanya dapat ditemukan dengan merujuk pada ajaran ilahi.
Menegaskan kembali bahwa cara ini adalah yang terbaik dan paling utama, terutama bagi mereka yang benar-benar beriman. Hal ini bukan sekadar saran, melainkan sebuah prinsip fundamental dalam menjalani kehidupan seorang mukmin. Kehidupan yang berlandaskan Al-Qur'an dan Sunnah akan senantiasa terarah pada kebaikan dan memiliki akhir yang mulia.
Kedua ayat ini memberikan pelajaran yang sangat relevan di setiap zaman. Dalam konteks modern, ayat 58 mengingatkan para pengusaha untuk jujur dalam bertransaksi, para profesional untuk tidak menyalahgunakan wewenangnya, dan setiap individu untuk menjaga kepercayaan yang diberikan. Bagi para pemangku kebijakan publik, ayat ini adalah mandat suci untuk menjalankan pemerintahan dengan adil, transparan, dan akuntabel.
Sementara itu, ayat 59 memberikan panduan tata kelola masyarakat yang efektif. Dalam menghadapi isu-isu kompleks, umat Islam didorong untuk tidak mudah terpecah belah oleh perbedaan pendapat, melainkan mencari solusi berdasarkan prinsip-prinsip agama. Kepatuhan pada Allah, Rasul, dan pemimpin yang saleh, serta merujuk pada Al-Qur'an dan Sunnah ketika terjadi perselisihan, adalah kunci untuk menjaga persatuan dan keutuhan umat.
Memahami dan mengamalkan isi Surat An-Nisa ayat 58 dan 59 bukan hanya sekadar kewajiban ritual, tetapi merupakan fondasi untuk membangun pribadi yang berintegritas dan masyarakat yang berkeadilan. Dengan mengembalikan amanah dan senantiasa berupaya menegakkan keadilan, serta patuh pada ajaran Allah dan Rasul-Nya, umat Islam dapat meraih keselamatan dunia dan akhirat.