Al-Qur'an sebagai kitab suci umat Islam merupakan sumber pedoman hidup yang komprehensif, mencakup berbagai aspek kehidupan, mulai dari ibadah hingga muamalah. Di dalam surat An-Nisa, terdapat ayat-ayat yang memberikan arahan jelas mengenai cara bersikap dan berinteraksi, terutama dalam konteks keluarga dan masyarakat. Dua ayat yang sangat penting untuk dipahami dan direnungkan adalah An-Nisa ayat 19 dan An-Nisa ayat 22. Kedua ayat ini, meskipun berbeda fokusnya, saling melengkapi dalam membentuk individu yang bertakwa dan masyarakat yang harmonis.
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali jika mereka melakukan pekerjaan zina yang terang, dan bergaullah dengan mereka secara patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
(QS. An-Nisa: 19)
Ayat ke-19 dari surat An-Nisa ini memberikan penekanan kuat pada pentingnya keadilan dan perlakuan yang baik terhadap kaum wanita, khususnya dalam konteks pernikahan dan pasca perceraian. Sebelum kedatangan Islam, praktik-praktik yang tidak adil terhadap wanita, termasuk pewarisan mereka sebagai harta benda atau pemaksaan untuk mengembalikan mahar, masih lazim terjadi. Islam datang untuk menghapus praktik-praktik keji tersebut.
Pesan utama dari ayat ini adalah larangan untuk mewarisi wanita secara paksa. Ini berarti tidak boleh memperlakukan wanita sebagai objek warisan yang bisa diambil alih tanpa persetujuan dan hak mereka. Selain itu, dilarang keras menyusahkan wanita demi mengambil kembali sebagian dari apa yang telah diberikan sebagai mahar, kecuali dalam kasus zina yang jelas terbukti. Hal ini menunjukkan betapa Islam sangat menjaga kehormatan dan hak-hak wanita, termasuk dalam urusan harta.
Lebih jauh lagi, ayat ini mengajarkan tentang pentingnya bergaul dengan mereka (istri) secara patut (ma'ruf). Ini mencakup perkataan yang baik, perlakuan yang lembut, dan pemenuhan hak-hak mereka sebagai pasangan hidup. Bahkan jika seorang suami merasa tidak suka atau tidak cocok dengan istrinya, ia diperintahkan untuk bersabar. Mengapa? Karena ketidakcocokan yang dirasakan bisa jadi merupakan awal dari kebaikan yang lebih besar yang tidak disadari. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, termasuk hikmah di balik setiap ujian dan cobaan dalam rumah tangga. Ayat ini menjadi pengingat bagi para pria untuk senantiasa bersikap adil, sabar, dan berbuat baik kepada istri mereka, serta menghargai mereka sebagai manusia yang memiliki hak dan martabat.
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah ayahnya (suami)nya kawin, terkecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya perbuatan itu adalah suatu kekejian dan dibenci dan amat buruklah jalan itu.”
(QS. An-Nisa: 22)
Beranjak ke ayat ke-22 dari surat yang sama, fokusnya beralih pada pengaturan dalam pernikahan, khususnya mengenai larangan menikahi wanita yang sudah bersuami atau wanita yang masih dalam ikatan pernikahan. Ayat ini secara tegas melarang seorang pria untuk mempersunting wanita yang secara sah telah menjadi istri orang lain.
Larangan ini memiliki beberapa tujuan mendasar dalam Islam. Pertama, menjaga kehormatan dan nasab (garis keturunan). Pernikahan yang sah menciptakan ikatan yang suci, dan merusak ikatan tersebut dengan mencoba menikahi istri orang lain adalah perbuatan yang sangat tercela dan dilarang. Kedua, mencegah terjadinya konflik dan perselisihan yang tidak perlu di tengah masyarakat. Mengambil istri orang lain akan menimbulkan kemarahan, dendam, dan permusuhan antara kedua keluarga atau pihak yang terkait.
Ayat ini menyebutkan bahwa perbuatan tersebut adalah "suatu kekejian" (fahisyah), "dibenci" (maghtah), dan "amat buruklah jalannya" (sa'a sabila). Sebutan-sebutan ini menunjukkan betapa seriusnya larangan ini dalam pandangan Allah. Konteks "terkecuali yang telah terjadi pada masa lampau" merujuk pada praktik-praktik di masa jahiliyah yang mungkin sudah terlanjur terjadi sebelum turunnya ayat ini sebagai larangan, dan itu pun kemudian diatur penyelesaiannya. Namun, secara umum, larangan ini berlaku mutlak untuk masa mendatang.
Penjelasan mengenai surat An-Nisa ayat 19 dan 22 ini menunjukkan betapa Al-Qur'an memberikan perhatian besar pada pembentukan keluarga yang sehat, harmonis, dan berkeadilan. Ayat 19 mengajarkan cara berinteraksi dengan wanita secara adil dan penuh kasih sayang, serta kesabaran dalam menghadapi perbedaan. Sementara itu, ayat 22 menegaskan batasan-batasan syar'i dalam pernikahan demi menjaga kesuciannya dan mencegah kezaliman. Kedua ayat ini merupakan cerminan dari ajaran Islam yang universal dan abadi, yang bertujuan untuk membangun masyarakat yang utuh dan penuh berkah. Dengan memahami dan mengamalkan isi kedua ayat ini, diharapkan setiap individu dapat menjadi bagian dari solusi, bukan masalah, dalam kehidupan berkeluarga maupun bermasyarakat.