Surat An Nisa, yang berarti "Wanita", adalah salah satu surat terpanjang dalam Al-Qur'an dan membahas berbagai aspek hukum dan moral yang berkaitan dengan keluarga, hak-hak wanita, serta tanggung jawab sosial. Di antara ayat-ayat penting yang terkandung di dalamnya, Surat An Nisa ayat 6 dan 7 memegang peranan krusial dalam menetapkan prinsip-prinsip fundamental mengenai pembagian harta warisan dan bagaimana umat Islam harus bersikap terhadap anak yatim serta kerabat. Pemahaman mendalam terhadap kedua ayat ini tidak hanya memberikan panduan praktis terkait warisan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai keadilan, kasih sayang, dan tanggung jawab.
وَٱبْتَلُوهُمۡ حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغُواْ ٱلنِّكَاحَ فَإِنۡ ءَانَسۡتُم مِّنۡهُمۡ رُشۡدًا فَٱدۡفَعُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ أَمۡوَٰلَهُمۡۖ وَلَا تَأۡكُلُوهَآ إِسۡرَافًا وَبَدَرًا أَن يَكۡبَرُواْۚ وَمَن كَانَ غَنِيًّا فَلۡيَسۡتَعۡفِفۡۖ وَمَن كَانَ فَقِيرًا فَلۡيَأۡكُلۡ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ فَإِذَا دَفَعۡتُمۡ إِلَيۡهِمۡ أَمۡوَٰلَهُمۡ فَأَشۡهِدُواْ عَلَيۡهِمۡۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ حَسِيبًا
"Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka mencapai usia dewasa. Kemudian jika menurutmu mereka sudah cerdas (mampu mengurus harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu memakannya (hartanya) karena boros dan tergesa-gesa (menanti) mereka dewasa. Dan siapa (wali) yang mampu, maka hendaknya dia menjaga (kehormatan) dirinya, dan siapa yang miskin, hendaklah dia memakan (hartanya) dengan cara yang makruf (pantas). Kemudian apabila kamu sudah menyerahkan kepada mereka harta-hartanya, maka hendaklah kamu mengadakan saksi saksi atas mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Penghisab." (QS. An Nisa: 6)
Ayat keenam Surat An Nisa ini secara spesifik mengatur tentang bagaimana mengelola harta anak yatim piatu. Prinsip utamanya adalah ujian dan pengawasan hingga mereka mencapai usia dewasa dan menunjukkan kematangan dalam mengelola keuangan. Para wali atau pengasuh tidak diperkenankan mengambil harta tersebut untuk keperluan pribadi dengan cara boros atau terburu-buru. Ada garis pembatas yang jelas: jika wali tersebut mampu, ia harus menahan diri dari memakan harta anak yatim. Namun, jika wali tersebut fakir atau membutuhkan, ia diperbolehkan mengambil secukupnya sesuai dengan cara yang wajar dan pantas, sebagai ganti tenaga dan waktu yang telah dicurahkan untuk mengasuh dan mendidik anak yatim. Pentingnya akuntabilitas juga ditekankan dengan anjuran untuk mengadakan saksi ketika harta warisan diserahkan kepada anak yatim yang sudah dewasa. Ini bertujuan untuk menjaga agar penyerahan berjalan adil dan transparan.
لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنۡهُ أَوۡ كَثُرَۚ نَصِيبًا مَّفۡرُوضًا
"Bagi laki-laki ada bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabat, dan bagi perempuan pun ada bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabat, sebagian yang sedikit atau banyak, yaitu bagian yang telah ditetapkan." (QS. An Nisa: 7)
Beranjak ke ayat ketujuh, Surat An Nisa memberikan ketetapan yang lebih rinci mengenai pembagian harta warisan. Ayat ini menegaskan bahwa baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama atas warisan dari orang tua dan kerabat. Tidak ada diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dalam urusan warisan ini. Allah SWT secara tegas menyatakan bahwa bagian yang diperoleh, baik sedikit maupun banyak, adalah *nasiiban mafrudhan* – bagian yang telah ditetapkan oleh Allah. Ini merupakan pengakuan penting atas hak ekonomi kaum wanita di masa lampau yang seringkali terpinggirkan dalam urusan warisan.
Lebih lanjut, ayat ini tidak hanya menetapkan hak, tetapi juga implikasi dari hak tersebut. Adanya penetapan bagian warisan menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai keadilan dan keseimbangan dalam distribusi kekayaan keluarga. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa setiap anggota keluarga yang berhak mendapatkan bagiannya, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Pembagian ini harus dilakukan berdasarkan ketentuan syariat yang telah ditetapkan, dan seringkali dalam prakteknya, terdapat aturan detail mengenai besaran bagian masing-masing ahli waris yang dijelaskan lebih lanjut dalam ilmu Fara'idh (ilmu waris Islam).
Kedua ayat ini, An Nisa ayat 6 dan 7, saling melengkapi dan memberikan gambaran utuh tentang bagaimana Islam memandang urusan harta dan tanggung jawab keluarga. Ayat 6 fokus pada perlindungan dan pengelolaan harta anak yatim, menekankan amanah dan kehati-hatian. Sementara itu, ayat 7 berbicara tentang hak waris yang adil bagi semua anggota keluarga, baik laki-laki maupun perempuan, sebagai bentuk pemenuhan hak dan pengakuan atas kedudukan mereka.
Penerapan prinsip-prinsip dalam kedua ayat ini memerlukan pemahaman yang benar dan niat yang tulus untuk menegakkan keadilan. Dalam konteks sosial modern, ini berarti tidak hanya mengikuti aturan hukum waris, tetapi juga mengedepankan etika dalam pengasuhan anak yatim, memastikan transparansi dalam setiap transaksi, dan membina hubungan keluarga yang harmonis berdasarkan rasa saling menghormati dan bertanggung jawab. Kepatuhan terhadap perintah Allah dalam kedua ayat ini merupakan wujud ketakwaan dan cara untuk meraih keberkahan serta keridaan-Nya.