Surat At-Taubah Ayat 103

Fondasi Sistem Ekonomi Ilahi: Menggali Makna Surat At-Taubah 103

Surat At-Taubah, khususnya ayat 103, menempati posisi sentral dalam pemahaman ajaran Islam tentang harta, kekayaan, dan hubungan antara individu dengan masyarakat. Ayat ini bukan sekadar perintah untuk membayar zakat, melainkan sebuah formula komprehensif yang menghubungkan kewajiban finansial dengan dimensi spiritual yang mendalam, yaitu penyucian jiwa (tazkiyah) dan pemberian ketenangan (sakan).

Ayat ini diturunkan setelah peristiwa yang melibatkan sebagian orang yang mengakui kesalahan mereka dan bertaubat kepada Allah, di mana mereka menahan diri dari ikut serta dalam perang Tabuk. Mereka menawarkan harta mereka sebagai bukti kesungguhan taubat. Respons ilahi ini kemudian menjadi dasar abadi bagi institusi Zakat, menjadikannya pilar ekonomi yang wajib dan terstruktur.

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Ambillah (wahai Muhammad) zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menjadi) ketenangan jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. At-Taubah: 103)

Kajian mendalam terhadap ayat ini memerlukan pembongkaran setiap frasa kuncinya, memahami tidak hanya makna harfiahnya, tetapi juga implikasi hukum (fiqh), spiritual (tazkiyah), dan sosiologisnya. At-Taubah 103 adalah blueprint bagi sistem keuangan yang menyeimbangkan antara tanggung jawab negara (atau pemimpin) dan kesejahteraan spiritual rakyat.

Ilustrasi Penyucian Harta Sebuah ilustrasi yang melambangkan tangan yang sedang mengambil kotoran dari tumpukan harta, menyimbolkan penyucian melalui zakat. Zakat

Analisis Lughawi dan Tafsir Ayat (Khudz, Shadaqah, Tath-hir, Tazkiyah)

1. Perintah Mendasar: ‘Khudz Min Amwaalihim’ (Ambillah dari Harta Mereka)

Kata kunci pertama adalah Khudz (خُذْ), yang merupakan kata kerja perintah (fi’il amr). Penggunaan perintah tegas ini menandakan sifat wajib dari tindakan tersebut dan secara spesifik diarahkan kepada Nabi Muhammad ﷺ sebagai pemimpin negara (ulil amri).

Implikasi Hukum dari ‘Khudz’

Para ulama tafsir dan fiqh menyepakati bahwa perintah ‘Khudz’ mengandung implikasi bahwa Zakat bukanlah sekadar sedekah sukarela, tetapi kewajiban yang harus ditarik dan dikumpulkan oleh otoritas negara. Ini adalah titik perbedaan krusial antara Zakat (wajib) dan Infak/Sedekah (sukarela).

Makna ‘Min Amwaalihim’ (Dari Harta Mereka)

Kata Min (مِنْ) dalam frasa ini bersifat tab’idh, yang berarti ‘sebagian’. Hal ini menggarisbawahi keadilan Zakat, yaitu bahwa yang diambil hanyalah sebagian kecil dari harta yang telah mencapai nisab dan haul, bukan seluruh harta. Harta yang tersisa tetap menjadi milik penuh wajib Zakat.

2. Hakikat Harta yang Diambil: ‘Shadaqatan’ (Zakat)

Meskipun ayat ini menggunakan istilah Shadaqatan (صَدَقَةً), para mufassir sepakat bahwa dalam konteks ayat yang berbicara tentang kewajiban pengumpulan oleh negara dan memiliki fungsi pembersihan, yang dimaksud adalah Zakat Fardhu (Zakat Wajib). Penggunaan kata ‘Shadaqah’ di sini merujuk pada kebenaran (sidq) iman seseorang, karena membayar Zakat adalah bukti nyata kejujuran iman dan ketaatan kepada perintah Allah.

Perbedaan Terminologi:

Zakat berasal dari akar kata *zaka* yang berarti tumbuh, suci, dan berkah. Sementara *Shadaqah* merujuk pada kebenaran. Dalam konteks syariat, Zakat adalah pemberian yang terstruktur dan wajib, sedangkan Shadaqah lebih luas, mencakup yang wajib dan yang sunnah (sukarela).

3. Tujuan Ganda Zakat: Tath-hir dan Tazkiyah

Inti spiritual dan moral dari At-Taubah 103 terletak pada frasa: Tuthahhiruhum wa Tuzakkiihim Bihaa (kamu membersihkan mereka dan mensucikan mereka dengannya).

A. Tuthahhiruhum (تُطَهِّرُهُمْ) – Penyucian Fisik dan Materi

Kata *Tath-hir* merujuk pada penyucian dari kotoran atau najis. Dalam konteks harta, penyucian ini memiliki dua dimensi utama:

  1. Penyucian dari Harta Haram: Zakat membersihkan harta dari potensi syubhat (keraguan) atau hak orang lain yang mungkin secara tidak sengaja tercampur. Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa harta yang menumpuk tanpa Zakat ibarat tanah yang tidak diolah; ia mengandung potensi penyakit.
  2. Pembersihan Dosa: Zakat berfungsi sebagai penebus dosa yang terkait dengan kecintaan berlebihan pada dunia atau kesalahan dalam mencari rezeki. Zakat, dalam hal ini, menjadi kifarat (penebus).

B. Tuzakkiihim (وَتُزَكِّيهِمْ) – Pertumbuhan Spiritual dan Moral

Kata *Tazkiyah* lebih mendalam daripada *Tath-hir*. Jika *Tath-hir* adalah penghilangan kotoran, *Tazkiyah* adalah penumbuhan kebaikan. Ini adalah peningkatan kualitas spiritual dan moral:

Penting untuk dicatat bahwa ayat ini menggunakan bentuk transitif, yang berarti subjek yang melakukan penyucian dan penumbuhan adalah Nabi Muhammad (atau otoritas Zakat). Ini menunjukkan bahwa proses penyucian bukan hanya inisiatif individu, tetapi juga memerlukan peran mediasi dan pengawasan oleh pemimpin yang sah.

Peran Doa Pemimpin: ‘Wa Shalliy ‘Alaihim’ (Dan Berdoalah untuk Mereka)

Setelah memerintahkan pengambilan Zakat, Allah memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk Wa Shalliy ‘Alaihim (وَصَلِّ عَلَيْهِمْ), yakni berdoa untuk mereka yang telah membayar Zakat. Ini adalah unsur unik yang jarang ditemukan dalam ayat-ayat tentang kewajiban finansial lainnya.

1. Implikasi dari Doa Kenabian

Perintah ini menunjukkan bahwa tugas pemimpin Zakat tidak berakhir pada pengumpulan harta. Ada dimensi spiritual dan psikologis yang harus dipenuhi. Ketika Zakat diserahkan, pemimpin harus memberikan apresiasi spiritual dan pengakuan atas ketaatan mereka. Ini memperkuat ikatan antara umat dan pemimpin mereka.

Tafsir klasik mencatat bahwa ketika orang-orang datang membawa Zakat mereka, Rasulullah ﷺ biasa mendoakan mereka dengan doa spesifik, seperti: اللهم صل على آل فلان (Ya Allah, berilah rahmat/berkah kepada keluarga si fulan).

2. Sumber Ketenangan: ‘Inna Shalaataka Sakanun Lahum’

Inilah puncak dari ayat 103: Inna Shalaataka Sakanun Lahum (إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ). Sesungguhnya doamu itu menjadi ketenangan jiwa bagi mereka. Kata *Sakan* (سَكَنٌ) berarti ketenangan, kedamaian, atau tempat perlindungan.

Mengapa doa pemimpin menjadi ketenangan bagi pembayar Zakat?

  1. Validasi Spiritual: Doa tersebut berfungsi sebagai validasi bahwa amal mereka telah diterima oleh Allah. Ini menghilangkan kekhawatiran dan keraguan apakah ibadah finansial mereka sah.
  2. Pengakuan Sosial: Ketenangan datang dari pengetahuan bahwa ketaatan mereka diakui oleh Rasulullah ﷺ dan oleh masyarakat. Ini menumbuhkan rasa kehormatan dan kebanggaan dalam ketaatan.
  3. Jaminan Keamanan: Dalam konteks sejarah di mana ayat ini diturunkan (terkait dengan taubat), doa Nabi menjamin bahwa taubat mereka telah diterima dan mereka kembali menjadi anggota penuh komunitas Muslim, bebas dari hukuman atau kecaman sosial.

Ini mengajarkan prinsip tata kelola yang penting: Administrasi Zakat harus manusiawi dan melayani, bukan sekadar penarik pajak yang dingin. Prosesnya harus diiringi oleh nuansa spiritualitas dan doa.

Ilustrasi Ketenangan dan Doa Ilustrasi kubah masjid atau simbol ketenangan dengan tangan berdoa di bawahnya. Sakan

Fiqh Al-Ayat: Hukum Zakat Berdasarkan At-Taubah 103

Ayat 103 At-Taubah adalah dalil fundamental yang membentuk kerangka fiqh Zakat. Para fukaha merujuk padanya untuk menetapkan otoritas, jenis harta, dan sifat wajib Zakat.

1. Wewenang Pengumpul Zakat (Amil)

Perintah 'Khudz' menegaskan bahwa Zakat adalah hak Baitul Mal dan harus dikumpulkan oleh Amil (petugas Zakat). Amil yang sah harus ditunjuk oleh Imam. Tugas Amil meliputi:

2. Jenis Harta yang Terkena Zakat (Amwaalihim)

Meskipun ayat ini umum, konteks penurunannya mengarah pada Zakat kekayaan yang 'terlihat' (Zakat al-Zhahirah) seperti ternak dan pertanian, serta kekayaan yang 'tersembunyi' (Zakat al-Bathinah) seperti emas, perak, dan perdagangan.

Perspektif Fiqh tentang Harta

Para ulama menyimpulkan dari ayat ini dan hadis-hadis terkait bahwa harta yang wajib dizakati harus memenuhi syarat-syarat umum:

  1. Milik Penuh: Harta tersebut harus berada dalam kepemilikan penuh Muzakki.
  2. Tumbuh/Potensial Tumbuh (Nami): Harta tersebut harus memiliki potensi menghasilkan keuntungan (misalnya modal dagang, investasi) atau memang secara alami tumbuh (misalnya ternak).
  3. Mencapai Nisab: Jumlah minimum yang ditetapkan syariat.
  4. Mencapai Haul: Berlalu satu tahun hijriyah (kecuali hasil pertanian/pertambangan).

Perbedaan pandangan muncul mengenai Zakat profesi atau penghasilan modern. Sebagian ulama kontemporer menggunakan prinsip *Tazkiyah* dalam ayat 103 sebagai dalil bahwa setiap jenis kekayaan yang menghasilkan harus dikenakan Zakat agar kekayaan tersebut murni dan diberkahi.

3. Fiqh tentang Penolakan Zakat

Ayat 103, dengan penekanan pada kata 'Khudz' (Ambillah), adalah dasar hukum bagi Imam (pemerintah) untuk memerangi mereka yang menolak membayar Zakat, seperti yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq terhadap para pembangkang Zakat (peristiwa Perang Riddah). Penolakan Zakat dipandang bukan hanya sebagai pelanggaran finansial, tetapi sebagai penolakan terhadap salah satu rukun Islam dan ancaman terhadap ketertiban sosial yang diatur oleh syariat.

Dimensi Maqasid Syariah: Tujuan Luhur Zakat

At-Taubah 103 tidak hanya menjelaskan bagaimana Zakat diambil, tetapi mengapa Zakat harus ada. Ayat ini adalah manifestasi dari Maqasid Syariah (Tujuan Syariah) dalam menjaga kekayaan dan jiwa.

1. Hifzhul Maal (Menjaga Harta)

Sekilas, Zakat tampak mengurangi harta. Namun, dalam perspektif syariat, Zakat adalah mekanisme perlindungan. Zakat membersihkan harta (Tath-hir) dari hak orang lain, sehingga melindungi sisa harta dari kehancuran spiritual dan azab. Harta yang tidak dizakati berpotensi membawa malapetaka bagi pemiliknya, baik di dunia maupun di akhirat.

Selain itu, Zakat menjaga sistem ekonomi dari konsentrasi kekayaan yang berlebihan. Dengan mengalirkan dana dari orang kaya ke orang miskin, daya beli masyarakat dijaga, yang pada gilirannya menjaga stabilitas pasar dan investasi.

2. Hifzhun Nafs (Menjaga Jiwa)

Zakat, melalui Tazkiyah, berfungsi menjaga jiwa Muzakki dari penyakit moral. Namun, ia juga menjaga jiwa masyarakat fakir miskin dari keputusasaan, kemiskinan ekstrem, dan dorongan untuk melakukan kejahatan karena kelaparan atau kebutuhan. Zakat adalah jaring pengaman sosial yang memastikan martabat manusia terjaga.

3. Mewujudkan Keadilan Sosial dan Pemerataan

Ayat ini menekankan bahwa Zakat adalah alat untuk mencapai keadilan. Ketika Zakat diambil dan didistribusikan dengan benar, kesenjangan sosial berkurang, dan terciptalah masyarakat yang saling menanggung beban. Keadilan ini pada akhirnya membawa kepada Sakan (ketenangan) bagi seluruh umat, baik yang memberi maupun yang menerima.

Ilustrasi Pertumbuhan Harta dan Masyarakat Sebuah ilustrasi yang menunjukkan tangan sedang menanam benih di samping tumpukan koin, melambangkan pertumbuhan (tazkiyah) dan aliran kekayaan. Berkah

Zakat dalam Konteks Sejarah dan Penerapan Kontemporer

Keberhasilan penerapan Surat At-Taubah 103 terbukti dalam sejarah Islam awal, khususnya pada masa Khulafaur Rasyidin.

1. Model Nabi Muhammad dan Abu Bakar

Rasulullah ﷺ secara pribadi menerima dan mendoakan para pembayar Zakat, menciptakan institusi Amil yang kuat. Setelah beliau wafat, prinsip 'Khudz' menjadi pegangan Khalifah Abu Bakar dalam mempertahankan stabilitas negara. Ketika beberapa suku Arab menolak membayar Zakat kepada pemerintahan Madinah, Abu Bakar berargumen, "Demi Allah, jika mereka menahan dariku seekor anak kambing yang dulu mereka serahkan kepada Rasulullah, aku akan memerangi mereka atas penolakan itu." Ini menunjukkan bahwa Zakat adalah kontrak sosial dan hukum, bukan sekadar sedekah keagamaan individu.

2. Peran Zakat dalam Kesejahteraan Khalifah Umar bin Abdul Aziz

Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, penerapan Zakat yang ketat dan efektif, sejalan dengan prinsip Tazkiyah dan pemerataan, dilaporkan mencapai titik di mana sulit menemukan orang yang berhak menerima Zakat. Ini adalah bukti nyata bahwa implementasi penuh dari At-Taubah 103 dapat mengatasi kemiskinan struktural.

3. Relevansi Zakat dalam Ekonomi Modern

Di era modern, di mana sistem keuangan didominasi oleh kapitalisme berbasis bunga (riba) yang rentan terhadap ketidaksetaraan, peran Zakat yang bebas riba dan wajib menjadi semakin vital. Lembaga-lembaga Zakat kontemporer (BAZNAS, LAZ) mencoba mengadaptasi perintah dalam At-Taubah 103 dengan tantangan saat ini:

Faktor-Faktor Yang Merusak Tujuan Tath-hir dan Tazkiyah

Meskipun Zakat dijamin oleh Allah sebagai alat penyucian dan pertumbuhan, efektivitasnya bisa terganggu jika praktik pengelolaannya menyimpang dari ruh ayat 103.

1. Kurangnya Ikhlas (Bagi Muzakki)

Jika Muzakki membayar Zakat karena terpaksa, pamer, atau sekadar formalitas, tujuan Tazkiyah (pertumbuhan spiritual) tidak akan tercapai. Zakat adalah ibadah, dan ibadah harus didasarkan pada keikhlasan (niat yang murni).

2. Ketidakprofesionalan Amil (Bagi Pengelola)

Jika Amil tidak transparan, tidak efisien, atau tidak memenuhi perintah ‘Wa Shalliy ‘Alaihim’ (tidak memberikan pelayanan spiritual), maka rasa ‘Sakan’ (ketenangan) bagi pembayar Zakat akan hilang. Zakat dapat dipandang sebagai pajak yang memberatkan, bukan sebagai ibadah yang menenangkan.

3. Distribusi yang Salah Sasaran

Jika dana Zakat tidak disalurkan kepada delapan ashnaf sebagaimana mestinya, atau jika penggunaannya konsumtif semata tanpa upaya pemberdayaan, maka tujuan sosial Zakat (pemerataan dan pertumbuhan masyarakat) akan gagal.

Oleh karena itu, At-Taubah 103 berfungsi sebagai pengingat konstan bahwa Zakat adalah sistem yang terintegrasi, di mana aspek hukum (khudz), aspek moral (tath-hir/tazkiyah), dan aspek pelayanan spiritual (sakan) harus berjalan beriringan.

Penjelasan Mendalam tentang Konsep Sakan (Ketenangan)

Konsep *Sakan* dalam ayat 103 adalah salah satu poin teologis terpenting. Ketenangan yang dijanjikan oleh doa Nabi/pemimpin adalah janji kembalinya stabilitas emosional dan spiritual setelah melaksanakan kewajiban yang mungkin terasa berat bagi jiwa yang melekat pada harta.

1. Sakan sebagai Ketenangan Batin

Dalam ilmu tasawuf, harta sering dianggap sebagai hijab (penghalang) antara hamba dan Tuhannya. Keterikatan berlebihan pada harta menghasilkan kecemasan (apakah akan berkurang, hilang, atau dicuri). Ketika seseorang memenuhi kewajiban Zakat, ia secara praktis mengorbankan sebagian dari hijab tersebut demi Allah. Doa Nabi berfungsi sebagai ‘validasi’ bahwa pengorbanan itu sah, dan dengan demikian, kekhawatiran batin pun diangkat, digantikan oleh ketenangan (Sakinah).

2. Sakan sebagai Keamanan Sosial

Bagi masyarakat, Zakat menciptakan ketenangan sosial. Jika orang-orang kaya menunaikan hak fakir miskin, kemarahan dan konflik kelas dapat dicegah. Setiap individu, baik yang kaya maupun yang miskin, merasa aman (Sakan) dalam sistem yang adil di mana kebutuhan dasar terpenuhi dan harta mereka terlindungi oleh keberkahan. Ketenangan ini meluas dari individu ke komunitas.

3. Sakan dan Penerimaan Taubat

Dalam konteks spesifik penurunannya (orang-orang yang bertaubat), *Sakan* adalah konfirmasi bahwa taubat mereka diterima. Setelah melakukan kesalahan besar, jiwa seseorang dipenuhi kegelisahan dan ketidakpastian. Ketika Nabi mendoakan mereka setelah menerima Zakat mereka, itu adalah jaminan dari otoritas tertinggi bahwa Allah telah mengampuni, membawa ketenangan absolut bagi jiwa yang gelisah.

Kesimpulan Integratif: At-Taubah 103 sebagai Pilar Peradaban

Surat At-Taubah 103 adalah lebih dari sekadar ayat tentang Zakat; ia adalah pilar bagi peradaban yang seimbang. Ia menetapkan prinsip-prinsip tata kelola yang bertanggung jawab (melalui 'Khudz'), keadilan ekonomi yang didukung oleh spiritualitas ('Tath-hir' dan 'Tazkiyah'), dan sistem dukungan psikologis dan spiritual bagi warga negara (melalui 'Sakan').

Perintah Khudz min amwaalihim shadaqatan tuthahhiruhum wa tuzakkiihim bihaa menunjukkan bahwa tindakan mengambil Zakat bukanlah tindakan yang merugikan, melainkan tindakan yang memberdayakan dan memurnikan. Zakat berfungsi sebagai alat sirkulasi darah dalam tubuh ekonomi umat Islam. Jika sirkulasi ini lancar, maka kesehatan spiritual dan material umat akan terjamin.

Di akhir ayat, Allah menegaskan Wallahu samii'un 'aliim (Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui). Penegasan ini mengakhiri perintah tersebut dengan pengingat bahwa Allah mendengar doa Nabi, Dia mengetahui keikhlasan Muzakki, dan Dia mengetahui upaya yang dilakukan oleh Amil Zakat. Ini adalah jaminan akhir bahwa seluruh proses, dari kewajiban pengambilan hingga pencapaian ketenangan, berada dalam pengawasan dan pengetahuan Ilahi yang sempurna.

Merefleksikan ayat 103 dari Surat At-Taubah berarti menyadari bahwa ibadah finansial adalah jembatan yang menghubungkan urusan duniawi (harta) dengan tujuan ukhrawi (penyucian jiwa). Kewajiban ini, jika dilaksanakan sesuai dengan ruh ayat, akan menghasilkan masyarakat yang stabil, adil, dan individu-individu yang mencapai kedamaian batin sejati.

Mengupas Lebih Jauh: Tafsiran Fiqh dan Kontemporer terhadap Nisab dan Haul

Meskipun ayat 103 fokus pada perintah pengambilan Zakat dan tujuan spiritual, implementasi 'Khudz' secara praktis menuntut adanya batasan hukum. Batasan ini dirumuskan dari hadis-hadis Nabi yang menjelaskan detail mengenai Nisab dan Haul, yang menjadi tafsiran operasional dari 'Min Amwaalihim' (sebagian dari harta mereka).

1. Nisab (Batas Minimum Kekayaan)

Nisab adalah batas minimal harta yang harus dimiliki seseorang agar ia diwajibkan membayar Zakat. Konsep Nisab memastikan bahwa hanya mereka yang sudah mapan secara finansial yang dibebani kewajiban ini, menjaga prinsip keadilan.

Para ulama kontemporer menggunakan prinsip ini untuk mendefinisikan Nisab bagi Zakat Saham, Zakat Obligasi, dan Zakat Investasi lainnya, berpegangan pada asas bahwa setiap harta yang *nami* (produktif atau berpotensi tumbuh) harus melalui proses *Tath-hir* (penyucian) yang diamanatkan dalam At-Taubah 103.

2. Haul (Jangka Waktu Kepemilikan)

Haul adalah syarat kepemilikan harta selama satu tahun penuh (kecuali Zakat pertanian, hasil laut, dan rikaz). Syarat Haul ini memastikan bahwa Zakat hanya dikenakan pada kekayaan yang stabil, bukan pada modal kerja yang berputar cepat atau harta yang sifatnya sementara.

Tujuan dari Haul, selaras dengan prinsip *Tath-hir* dan *Tazkiyah*, adalah memberikan kesempatan bagi pemilik harta untuk memanfaatkan kekayaannya selama satu periode penuh sebelum sebagian kecil hak fakir miskin diambil. Ini adalah keseimbangan antara hak pemilik harta dan hak masyarakat.

Sistem Imbal Balik: Berkah dan Azab bagi Pembayar dan Penolak Zakat

Ayat 103 menjanjikan imbalan yang sangat besar bagi pembayar Zakat: *Tath-hir*, *Tazkiyah*, dan *Sakan*. Sebagai kebalikannya, Al-Qur'an dan hadis juga memberikan peringatan keras bagi mereka yang menahan hak Allah dan enggan mematuhi perintah 'Khudz'.

1. Berkah (Barakah) dan Pertumbuhan

Prinsip Zakat (Tazkiyah) berjanji bahwa harta yang dikeluarkan tidak berkurang, melainkan bertambah keberkahannya (Barakah). Berkah di sini bukan hanya peningkatan kuantitas, tetapi peningkatan kualitas: Harta menjadi bermanfaat, terlindungi dari musibah, dan mendatangkan ketenangan bagi pemiliknya.

Imam Ar-Razi, dalam tafsirnya, menjelaskan bahwa Zakat yang dikeluarkan dengan ikhlas, meskipun kecil, akan menumbuhkan pahala yang berlipat ganda, sejalan dengan prinsip *Tazkiyah* (pertumbuhan) yang bersifat ukhrawi.

2. Azab bagi Penolak Zakat

Ayat-ayat lain dalam Surat At-Taubah (misalnya ayat 34-35) memperingatkan tentang azab yang menanti bagi mereka yang menimbun emas dan perak tanpa menunaikan kewajibannya. Harta yang tidak disucikan (Tath-hir) melalui Zakat akan menjadi sumber siksaan di hari kiamat.

Ini memperkuat mengapa 'Khudz' itu penting: karena manusia sering kali lemah di hadapan harta. Perintah pengambilan oleh otoritas negara memastikan bahwa hak Allah dipenuhi, melindungi individu dari azab akibat kerakusan mereka sendiri.

Zakat dan Etika Kekayaan dalam Islam

Ayat 103 menyajikan pandangan etika Islam tentang kekayaan: Kekayaan bukanlah tujuan akhir, melainkan alat dan amanah. Kepemilikan harta dalam Islam adalah relatif; ada bagian di dalamnya yang merupakan hak orang lain, yang harus dikeluarkan melalui Zakat.

1. Melawan Materialisme

Zakat adalah terapi spiritual melawan materialisme yang mendewakan harta. Setiap tahun, Muzakki diingatkan bahwa keterikatan pada harta duniawi harus dilepaskan melalui pengorbanan yang disyariatkan. Proses *Tazkiyah* membersihkan hati dari penyakit materialisme.

2. Amanah dan Tanggung Jawab

Kekayaan dipandang sebagai amanah dari Allah. Perintah 'Khudz' menegaskan bahwa tanggung jawab mengelola kekayaan tidak hanya berdimensi personal (bagaimana mencari rezeki), tetapi juga berdimensi sosial (bagaimana mendistribusikannya kembali). Pengelola harta yang baik adalah mereka yang sukses dalam menjaga amanah *Tath-hir* dan *Tazkiyah*.

Melalui kajian mendalam terhadap setiap aspek Surat At-Taubah 103—mulai dari perintah 'Khudz' yang tegas hingga janji 'Sakan' yang menenangkan—kita menemukan bahwa Zakat bukan hanya kewajiban, tetapi adalah arsitektur yang dirancang Ilahi untuk menciptakan keseimbangan sempurna antara kemakmuran duniawi dan kesucian spiritual.

🏠 Homepage