Al-Qur'an adalah petunjuk paripurna, dan setiap ayat di dalamnya memuat lautan hikmah yang tak pernah kering. Di antara mutiara-mutiara petunjuk tersebut, terdapat satu ayat yang singkat namun padat dengan perintah yang membentuk pondasi kehidupan seorang Mukmin sejati: Surat At-Taubah ayat 119.
Ayat ini diturunkan dalam konteks yang penuh ujian dan tantangan, yaitu setelah peristiwa Perang Tabuk. Ia merupakan penutup bagi kisah tiga orang sahabat yang teruji keimanannya, memberikan penegasan tentang dua pilar utama keselamatan di dunia dan akhirat: Takwa kepada Allah dan Persahabatan dengan Orang-orang yang Benar (As-Siddiqin). Memahami dan mengamalkan perintah ganda ini adalah kunci menuju derajat tertinggi di sisi Ilahi.
Teks dan Terjemahan Q.S. At-Taubah Ayat 119
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَكُونُواْ مَعَ ٱلصَّٰدِقِينَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur)."
Dua perintah eksplisit diserukan kepada kaum Mukminin. Perintah pertama bersifat internal dan vertikal (hubungan dengan Allah), yaitu *Ittaqullāh* (Bertakwalah kepada Allah). Perintah kedua bersifat eksternal dan horizontal (hubungan dengan sesama), yaitu *Kunū ma'aṣ-ṣādiqīn* (Jadilah bersama orang-orang yang benar). Kedua pilar ini tidak dapat dipisahkan; ketakwaan harus dibuktikan dengan kebenaran dalam ucapan, perbuatan, dan persahabatan.
Pilar Pertama: Implementasi Taqwa (Ittaqullāh)
Ayat 119 dimulai dengan seruan yang lembut namun tegas kepada orang-orang yang mengaku beriman. Allah memerintahkan mereka untuk bertaqwa. Konsep taqwa adalah intisari dari ajaran Islam, sebuah kata yang mencakup seluruh spektrum ketaatan dan kesadaran diri.
Definisi Komprehensif Taqwa
Secara bahasa, *taqwa* berasal dari kata kerja *waqā*, yang berarti menjaga atau melindungi diri. Dalam terminologi syariat, taqwa diartikan sebagai upaya seorang hamba untuk menjaga dirinya dari siksa Allah dengan cara melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, seolah-olah ada penghalang antara dirinya dan murka Ilahi.
Ulama klasik, seperti Ibnu Rajab Al-Hanbali, mendefinisikan taqwa sebagai menempatkan penghalang (perisai) antara diri kita dan apa yang kita takuti. Bagi seorang Mukmin, penghalang tersebut adalah ketaatan kepada Allah, yang melindunginya dari neraka.
Dimensi Taqwa dalam Kehidupan
Perintah taqwa dalam Q.S. 9:119 menuntut implementasi totalitas dalam tiga dimensi utama:
1. Taqwa dalam Akidah (Keyakinan)
Ini adalah pondasi taqwa. Taqwa dalam akidah berarti memurnikan tauhid, meyakini Allah sebagai satu-satunya Rabb yang berhak disembah, tanpa menyekutukan-Nya sedikit pun. Keyakinan yang teguh ini menghasilkan ketenangan batin dan menjadikan segala amal perbuatan berikutnya bernilai di sisi Allah.
2. Taqwa dalam Ibadah (Ritual)
Taqwa menuntut pelaksanaan ibadah wajib (shalat, puasa, zakat, haji) dengan penuh keikhlasan (*sidq fil niyyah*) dan sesuai tuntunan syariat (ittiba'). Ini mencakup menjaga kualitas ibadah, tidak sekadar kuantitas. Misalnya, menjaga kekhusyuan dalam shalat dan ketulusan dalam berpuasa.
3. Taqwa dalam Muamalah (Interaksi Sosial)
Ini adalah bidang yang paling sering teruji. Taqwa dalam muamalah berarti berlaku adil, jujur, menepati janji, tidak curang dalam timbangan, tidak mengambil hak orang lain, dan berinteraksi dengan sesama manusia berdasarkan akhlak mulia yang dicontohkan Rasulullah ﷺ. Ketaatan pada aspek ini membuktikan kebenaran iman seseorang, yang mana ini sangat erat kaitannya dengan perintah kedua ayat ini.
Taqwa Sebagai Syarat Sidq
Perlu dipahami bahwa perintah untuk 'bersama orang-orang yang benar' (perintah kedua) tidak dapat dipisahkan dari 'bertaqwa kepada Allah' (perintah pertama). Taqwa adalah prasyarat untuk dapat mengenali, memilih, dan mempertahankan persahabatan dengan orang-orang yang benar. Tanpa taqwa, seseorang mudah tergelincir pada kefasikan atau kenifakan, sehingga ia tidak akan mampu memilih lingkungan yang shaleh.
Pilar Kedua: Bersama Orang-orang yang Benar (Kunū Ma'aṣ-Ṣādiqīn)
Inilah puncak penegasan moral dalam ayat 119. Setelah memerintahkan taqwa, Allah melanjutkan dengan perintah sosial yang krusial: "dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur)." Kata kunci di sini adalah As-Ṣādiqīn.
Siapakah As-Ṣādiqīn (Orang-orang yang Benar)?
Kata *ṣādiqīn* berasal dari akar kata *ṣidq*, yang memiliki makna kejujuran, kebenaran, ketulusan, dan kesesuaian antara batin dan lahiriah. As-Siddiqin adalah mereka yang telah mencapai derajat kebenaran tertinggi setelah para Nabi. Mereka adalah orang-orang yang konsisten dalam kebenaran, baik dalam perkataan, perbuatan, niat, maupun sikap.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan bersahabat dengan *As-Ṣādiqīn* adalah berada di pihak yang jujur, menjauhi kebohongan dan para pelakunya, dan mengadopsi jalan hidup yang lurus. *As-Ṣādiqīn* adalah lawan mutlak dari *al-munāfiqūn* (orang-orang munafik), yang hidupnya diliputi kebohongan dan kepalsuan.
Empat Pilar Sidq (Kebenaran)
Kebenaran yang dituntut dari *As-Ṣādiqīn* meliputi empat aspek:
- Sidq fil Qawl (Kebenaran dalam Ucapan): Ini adalah level paling dasar, yaitu berbicara apa adanya, tanpa menambah atau mengurangi fakta. Seorang yang *ṣādiq* menjaga lisannya dari ghibah, fitnah, dan sumpah palsu.
- Sidq fil Niyyah (Kebenaran dalam Niat): Ini adalah keikhlasan. Niat yang benar (jujur) berarti seluruh amal perbuatan hanya ditujukan untuk mencari keridaan Allah semata, bukan karena pujian manusia atau tujuan duniawi lainnya.
- Sidq fil Azm (Kebenaran dalam Kehendak/Tekad): Ini adalah kesungguhan hati. Apabila seseorang berniat melakukan kebaikan, ia bertekad kuat untuk merealisasikannya, tidak menunda atau ragu-ragu.
- Sidq fil Amal (Kebenaran dalam Perbuatan): Ini adalah konsistensi. Perbuatannya selaras dengan ucapannya dan niatnya. Ia tidak hanya pandai berkata-kata tentang kebaikan, tetapi juga gigih dalam melakukannya, termasuk saat tidak ada orang yang melihat.
Mengapa Harus Bersama Mereka?
Perintah untuk 'bersama' *As-Ṣādiqīn* menekankan pentingnya lingkungan (bi’ah) dalam menjaga iman. Keimanan bukanlah perkara statis yang bisa dijaga seorang diri di tengah gelombang fitnah dan godaan. Lingkungan yang jujur dan benar berfungsi sebagai:
- Pengingat (Tadzkirah): Ketika kita lupa atau lalai, mereka yang jujur akan mengingatkan kita pada kebenaran, seperti cermin yang jujur.
- Pendukung (Sanad): Dalam menghadapi kesulitan dan ujian, keberadaan mereka memberikan kekuatan dan dukungan moral untuk tetap teguh di atas jalan yang lurus.
- Standar Moral (Qudwah): Perilaku dan akhlak mereka menjadi standar bagi kita untuk terus meningkatkan diri. Kebenaran adalah sesuatu yang menular, sebagaimana kebohongan dan kenifakan juga menular.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menekankan bahwa persahabatan yang benar adalah salah satu dari sedikit benteng yang tersisa bagi Mukmin di akhir zaman. Berpisah dari *As-Ṣādiqīn* sama saja dengan menyerahkan diri kepada godaan syaitan dan kawan-kawan yang buruk, yang akan memperindah kebatilan.
Konteks Historis: Ujian Kejujuran Pasca Perang Tabuk
Salah satu aspek terpenting dalam memahami makna mendalam Q.S. At-Taubah 119 adalah mengetahui Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya ayat). Ayat ini merupakan bagian akhir dari serangkaian ayat (mulai dari 117) yang membahas pengampunan Allah kepada orang-orang yang tertinggal dari Perang Tabuk, termasuk di dalamnya kisah tiga orang sahabat yang jujur.
Peristiwa Perang Tabuk dan Ujian Mental
Perang Tabuk adalah ekspedisi militer yang sangat berat. Musim panas yang menyengat, jarak yang jauh, dan kekeringan membuat banyak orang enggan berangkat. Setelah kepulangan Rasulullah ﷺ ke Madinah, banyak kaum munafik datang dengan berbagai alasan palsu untuk membenarkan ketidakhadiran mereka. Allah SWT kemudian menurunkan ayat-ayat yang membuka kedok kebohongan para munafik tersebut.
Kisah Ka’ab bin Malik dan Dua Sahabat Lainnya
Di tengah barisan pembohong, muncul tiga orang sahabat mulia yang jujur mengakui kesalahan mereka: Ka’ab bin Malik, Murarah bin Rabi’, dan Hilal bin Umayyah. Mereka tidak memiliki alasan syar’i untuk absen, tetapi mereka jujur mengakui kelalaian mereka kepada Rasulullah ﷺ.
Sebagai hukuman, Rasulullah ﷺ memerintahkan para sahabat untuk memboikot ketiga orang ini. Boikot ini berlangsung selama lima puluh hari. Ka'ab bin Malik, yang paling dikenal dari ketiganya, menceritakan masa-masa sulit tersebut, di mana ia merasa seolah-olah seluruh bumi menjadi sempit baginya. Istri dan anak-anaknya diasingkan, dan tak seorang pun menyapanya. Ini adalah ujian yang sangat berat, menguji apakah kejujuran mereka akan goyah atau tidak.
Kejujuran yang Membawa Pengampunan
Selama lima puluh hari, mereka tetap berpegang teguh pada kejujuran mereka, menolak saran untuk berbohong demi meredakan hukuman. Akhirnya, Allah menurunkan ayat 118, yang mengisahkan penerimaan tobat mereka:
“Dan juga kepada tiga orang yang ditangguhkan penerimaan tobat mereka, hingga apabila bumi telah terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun terasa sempit bagi mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari siksaan Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sungguh, Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.” (QS. At-Taubah: 118)
Tepat setelah kisah pengampunan mereka, Allah langsung menurunkan ayat 119: "Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur)."
Konteks ini mengajarkan pelajaran yang sangat kuat: Kejujuran (Sidq) adalah jalan yang sulit, penuh ujian, dan seringkali membutuhkan pengorbanan sosial (seperti yang dialami Ka'ab), tetapi pada akhirnya, kejujuranlah yang membawa kepada ampunan dan keridaan Allah. Ayat 119 berfungsi sebagai kesimpulan hukum dari kisah tersebut: Jadilah seperti Ka'ab bin Malik dan sahabatnya—orang-orang yang memilih kebenaran, meskipun pahit—dan carilah persahabatan dengan mereka yang memiliki kualitas serupa.
Sintesis dan Korelasi Antara Taqwa dan Sidq
Taqwa Sebagai Akar, Sidq Sebagai Buah
Perintah dalam Q.S. 9:119 adalah sebuah formula kesuksesan yang utuh. Taqwa adalah akar batin yang mendorong seseorang untuk melakukan kebaikan karena rasa takut dan harap kepada Allah. Sementara *sidq* (kebenaran) adalah manifestasi lahiriah dari taqwa tersebut. Seorang yang bertaqwa tidak mungkin menjadi pembohong; dan seorang yang jujur pasti memiliki fondasi taqwa yang kuat.
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa taqwa tanpa kejujuran adalah taqwa yang cacat, dan kejujuran tanpa taqwa rentan terhadap penyimpangan motivasi. Kedua perintah ini saling menguatkan, membentuk karakter Mukmin yang kokoh, di mana hati dan lisannya selaras dengan syariat. Persahabatan dengan *As-Ṣādiqīn* memastikan lingkungan yang mendukung pertumbuhan akar taqwa dan pemeliharaan buah *sidq*.
Peran Siddiqin dalam Membangun Umat
Perintah untuk ‘bersama’ orang-orang yang benar bukan hanya saran moral, tetapi juga perintah kolektif untuk menjaga keutuhan umat. Dalam masyarakat yang dibanjiri informasi palsu dan intrik, kehadiran kelompok yang berpegang teguh pada kebenaran adalah katup pengaman. Mereka adalah benteng melawan nifak (kemunafikan).
Allah memuji orang-orang yang jujur dalam banyak ayat, menempatkan mereka pada derajat tinggi. Salah satu contoh termulia adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang gelar 'Ash-Shiddiq' (Yang Amat Benar) ia peroleh karena kecepatan dan keteguhan imannya dalam membenarkan Rasulullah ﷺ, bahkan dalam peristiwa yang paling sulit diterima akal, seperti Isra’ Mi’raj. Kesetiaan dan kejujuran mutlaknya menjadikannya teladan utama dari ayat 119 ini.
Jaminan Kebenaran dan Jauhi Nifak
Ayat 119 secara implisit adalah peringatan keras terhadap bahaya Nifak (kemunafikan). Kisah tiga sahabat yang jujur diletakkan bersebelahan dengan kisah orang-orang munafik yang berbohong. Orang munafik menyembunyikan kekafiran di balik tampilan keimanan, sedangkan orang *ṣādiq* menyelaraskan batin dan lahirnya dalam kebenaran.
Nifak adalah penyakit yang menggerogoti iman dari dalam dan menghancurkan trust (kepercayaan) dalam masyarakat. Dengan memerintahkan kita untuk bersahabat dengan *As-Ṣādiqīn*, Allah pada hakikatnya memerintahkan kita untuk memutus hubungan yang mengarah pada kebohongan dan kenifakan. Persahabatan yang buruk dapat menyeret seseorang jauh dari taqwa, sebagaimana persahabatan yang baik (dengan *As-Ṣādiqīn*) akan menariknya mendekat kepada Allah.
Rasulullah ﷺ bersabda: "Jujur itu membawa kepada kebajikan, dan kebajikan itu membawa ke surga. Senantiasa seseorang berlaku jujur, sehingga ia dicatat di sisi Allah sebagai seorang yang jujur (ṣiddīq). Dan dusta itu membawa kepada kejahatan, dan kejahatan itu membawa ke neraka. Senantiasa seseorang berlaku dusta, sehingga ia dicatat di sisi Allah sebagai pendusta." (H.R. Bukhari dan Muslim).
Ayat 119 ini adalah janji: jika kita bertaqwa dan memilih jalan kebenaran bersama orang-orang yang benar, maka status *ṣiddīq* dan jaminan surga adalah balasan yang pasti.
Penerapan Q.S. At-Taubah 119 dalam Kehidupan Modern
Meskipun diturunkan ribuan tahun yang lalu dalam konteks peperangan, relevansi Q.S. 9:119 tidak pernah luntur. Di era digital dan informasi yang cepat, di mana batas antara fakta dan kebohongan (hoaks) semakin kabur, perintah untuk 'bersama orang-orang yang benar' menjadi sangat vital.
1. Taqwa di Tengah Gempuran Materi
Taqwa modern menuntut kita untuk menjaga batasan halal dan haram dalam aspek finansial, profesi, dan hiburan. Seseorang yang bertaqwa di era ini adalah ia yang mampu menahan diri dari godaan riba, suap, dan pekerjaan yang meragukan (syubhat), meskipun tekanan ekonomi begitu kuat. Ia menggunakan media sosial dan teknologi dengan penuh kesadaran akan pengawasan Ilahi.
2. Sidq Digital dan Lisan yang Terjaga
Perintah *sidq fil qawl* (kebenaran dalam ucapan) kini meluas menjadi *sidq fil ma'lumat* (kebenaran dalam informasi). Seorang Mukmin yang mengamalkan ayat 119 akan sangat berhati-hati sebelum menyebarkan berita, memverifikasi kebenaran informasi, dan menolak berpartisipasi dalam penyebaran fitnah atau ujaran kebencian secara daring.
- Verifikasi (Tabayyun): Tidak mudah percaya pada klaim tanpa bukti.
- Integritas Data: Menghindari manipulasi data atau informasi demi keuntungan pribadi atau kelompok.
3. Memilih Komunitas dan Lingkungan yang Membangun
Makna *Kunū ma'aṣ-ṣādiqīn* hari ini tidak hanya terbatas pada interaksi fisik, tetapi juga komunitas virtual. Kita diperintahkan untuk mencari komunitas, majelis ilmu, dan teman-teman yang kualitas imannya, kejujurannya, dan integritasnya teruji. Keberadaan di tengah *As-Ṣādiqīn* memberikan "imun" terhadap degradasi moral yang terjadi di lingkungan yang lain.
Jika kita tidak menemukan kelompok *ṣādiqīn* yang ideal, perintah ini menuntut kita untuk menjadi bagian dari mereka, yaitu dengan memperbaiki kualitas diri kita sendiri agar layak menjadi sahabat yang jujur dan benar bagi orang lain.
4. Istiqamah dalam Muhasabah
Taqwa dan Sidq membutuhkan proses muhasabah (introspeksi) yang berkelanjutan. Tiga sahabat yang diampuni dalam Asbabun Nuzul menunjukkan bahwa mengakui kesalahan (kejujuran pada diri sendiri) adalah langkah pertama menuju taubat dan perbaikan. Seorang Mukmin harus selalu bertanya pada dirinya: Apakah ucapan dan perbuatanku hari ini telah selaras dengan taqwaku kepada Allah? Apakah aku telah meniru kualitas *As-Ṣādiqīn*?
Proses introspeksi ini harus dibarengi dengan keberanian untuk mengakui kebenaran, bahkan jika kebenaran itu merugikan diri sendiri—sebagaimana keberanian Ka'ab bin Malik yang memilih pengasingan daripada kebohongan yang instan.
Menuju Derajat As-Siddiqiyyah
Tujuan akhir dari pengamalan Q.S. At-Taubah 119 adalah mencapai derajat As-Siddiqiyyah, yaitu tingkatan yang diberikan Allah kepada mereka yang mencapai puncak kejujuran dan ketulusan. Tingkatan ini disebut dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 69:
“Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah sebaik-baik teman hidup.” (QS. An-Nisa’: 69)
Ayat An-Nisa’ ini memberikan gambaran jelas mengenai imbalan bagi mereka yang konsisten menerapkan Taqwa dan Sidq. Mereka akan ditempatkan pada barisan yang mulia, bersama para Nabi, dan mendapatkan predikat *shiddiqin*—sebuah derajat yang jauh lebih mulia daripada sekadar orang saleh biasa.
Oleh karena itu, Q.S. At-Taubah 119 bukan sekadar nasihat; ia adalah peta jalan yang sangat spesifik. Peta tersebut mengarahkan Mukmin untuk mengendalikan hubungan vertikal (taqwa) dan memfilter hubungan horizontal (bersama *As-Ṣādiqīn*). Dengan memegang teguh dua pilar ini, seorang hamba akan terlindungi dari kesesatan dan mencapai kebahagiaan sejati, meneladani kejujuran para pahlawan Tabuk, dan mengikuti jejak kekokohan Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Keselamatan di hari kiamat sangat bergantung pada kemurnian hati dan amal, dan tidak ada yang lebih memurnikan hati dan amal selain taqwa dan sidq. Maka, tugas setiap Mukmin adalah senantiasa memeriksa hatinya agar selalu bertaqwa, dan memilih lingkungannya agar senantiasa dikelilingi oleh cahaya kebenaran.
Telaah Lebih Lanjut: Manifestasi Taqwa dan Sidq dalam Kehidupan Keluarga
Perintah taqwa dan sidq harus dimulai dari unit terkecil masyarakat: keluarga. Taqwa dalam keluarga termanifestasi dalam pendidikan anak-anak yang berbasis syariat, penyediaan rezeki yang halal, dan komunikasi yang penuh kasih sayang dan tanggung jawab. Suami, istri, dan anak-anak harus jujur satu sama lain. Ketika seorang ayah bersikap jujur tentang sumber rezekinya, ia sedang menanamkan taqwa. Ketika anak berani mengakui kesalahan tanpa takut dimarahi berlebihan, ia sedang diajari *sidq*.
Kesalehan dan kejujuran dalam rumah tangga adalah benteng pertama. Jika keluarga dipimpin oleh taqwa dan diwarnai kejujuran, maka anak-anak yang tumbuh di dalamnya secara otomatis akan menjadi bagian dari *As-Ṣādiqīn* di masa depan. Mereka akan tahu bagaimana memilih lingkungan yang baik karena mereka sudah terbiasa dengan standar kebenaran yang tinggi di rumah.
Perbandingan Kontras: Sidq versus Kizhbu (Kebohongan)
Untuk memahami kemuliaan *sidq*, kita harus melihat lawan mutlaknya: *kizhbu* (kebohongan). Allah SWT mencela kebohongan dalam banyak ayat. Kebohongan bukan hanya sekadar kata-kata yang tidak sesuai fakta, tetapi merupakan manifestasi dari hati yang sakit dan jauh dari taqwa. Setiap kebohongan adalah lubang yang merusak kapal iman seseorang.
Dampak kebohongan sangat luas: ia menghilangkan kepercayaan, merusak ikatan sosial, dan yang paling berbahaya, ia menarik pelakunya ke dalam lingkaran *nifak*. Orang yang terbiasa berbohong akan merasa sulit untuk bersahabat dengan *As-Ṣādiqīn*, sebab kehadiran orang-orang benar akan membongkar kepalsuan dirinya. Sebaliknya, orang yang jujur akan merasakan ketenangan, sebagaimana firman Allah, ‘Ketahuilah, sesungguhnya para wali Allah itu tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati’ (QS. Yunus: 62). Salah satu ciri wali Allah adalah kejujuran yang konsisten, yang menghilangkan kebutuhan untuk bersembunyi atau cemas akan terbongkarnya rahasia.
Taqwa, Sidq, dan Amanah (Kepercayaan)
Tidak ada amanah tanpa kejujuran. Seorang yang bertaqwa, ia pasti akan menjaga amanah. Dan penjagaan amanah adalah bukti *sidq fil amal*. Dalam konteks modern, amanah bisa berupa kerahasiaan data, integritas kerja, atau janji yang telah diucapkan. Jika kita gagal dalam amanah, itu berarti ada kerusakan pada pilar *sidq* kita, dan jika kerusakan *sidq* terjadi, maka taqwa kita sedang diuji dengan sangat berat. Oleh karena itu, Q.S. 9:119 adalah ajakan totalitas untuk kembali pada nilai-nilai fundamental yang membangun masyarakat yang saling percaya dan diridai Allah SWT.
Dengan demikian, perjalanan seorang Mukmin yang ideal adalah perjalanan yang berporos pada kesadaran akan Allah (Taqwa) dan komitmen total pada Kebenaran (Sidq), memastikan bahwa kita selalu berada di jalur yang sama dengan mereka yang telah lebih dahulu membuktikan kesetiaan dan kejujuran mereka kepada Sang Pencipta.
Semoga kita termasuk dalam golongan orang-orang yang bertaqwa dan selalu dikumpulkan bersama *As-Ṣādiqīn*.