Surat At-Taubah, yang berada di urutan kesembilan dalam Al-Qur'an, dikenal dengan nuansa ketegasan dan penetapan hukum syariah. Di tengah seruan universal untuk berjuang dan berkorban, muncullah satu ayat yang berfungsi sebagai penyeimbang filosofis, sosiologis, dan spiritual bagi umat Islam. Ayat ini bukanlah rem, melainkan sebuah kompas yang mengarahkan energi umat: pentingnya mendalami ilmu agama, atau yang dikenal sebagai Tafaqquh fid-Din.
Ayat yang dimaksud, Surat At-Taubah ayat 122, menetapkan sebuah prinsip fundamental dalam pembentukan peradaban Islam yang berkelanjutan, memadukan semangat aksi dengan kedalaman kognitif dan spiritual. Tanpa pemahaman yang terkandung di dalamnya, umat akan terjerumus ke dalam dilema antara aksi buta (tanpa ilmu) dan stagnasi intelektual (tanpa aksi).
Teks dan Terjemahan At-Taubah 122
Allah SWT berfirman:
Terjemahan maknanya:
"Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama (liyatafaqqahū fid-dīn) dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya."
Ayat ini adalah batu penjuru yang menjustifikasi adanya spesialisasi dalam Islam, membagi tugas antara mereka yang ‘pergi’ (berjuang/bertindak) dan mereka yang ‘tinggal’ (belajar/mendalami). Ayat ini secara eksplisit menciptakan dua kelompok strategis yang saling melengkapi dalam tubuh umat.
Bagian I: Konsep Nafiru dan Pengecualian Universal
1. Kewajiban Nafiru (Pergi atau Bergerak)
Kata Nafiru (نفروا) secara literal berarti ‘berangkat’ atau ‘pergi’ dengan semangat dan kecepatan. Dalam konteks ayat-ayat sebelumnya dalam At-Taubah, Nafiru sering dikaitkan dengan pergi ke medan jihad fisik (perang). Ayat ini turun pada masa di mana seruan untuk berpartisipasi dalam ekspedisi militer adalah tuntutan yang mendesak, terutama saat Perang Tabuk.
Namun, Allah SWT segera menyertakan pengecualian: وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا كَافَّةً (Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya). Pengecualian ini sangat krusial. Jika semua kaum Mukminin pergi, baik untuk perang, berdagang, maupun mencari rezeki di luar kota, maka kota Madinah akan kosong. Kekosongan ini akan menciptakan kerentanan ganda: kerentanan pertahanan fisik dan kerentanan pengetahuan spiritual.
Para ulama tafsir menegaskan bahwa seruan universal untuk Nafiru (semua pergi) akan bertentangan dengan kebutuhan keberlanjutan peradaban. Sebuah masyarakat tidak bisa hanya terdiri dari prajurit. Ia membutuhkan pendidik, hakim, dokter, dan penasihat spiritual yang terdidik. Ayat 122 inilah yang memberikan legitimasi teologis bagi pembagian peran ini, yang pada dasarnya adalah fondasi bagi institusi pendidikan Islam formal.
2. Pembagian Tugas yang Strategis (Thaa’ifah)
Ayat tersebut kemudian menawarkan solusi: فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَائِفَةٌ (Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang). Kata Thaa’ifah (طائفة) merujuk pada sekelompok kecil, faksi, atau beberapa individu yang memiliki tujuan khusus. Dalam konteks ini, ia merujuk pada dua interpretasi utama para mufasir:
- Interpretasi Pertama: Kelompok yang pergi adalah kelompok yang berjuang (Nafiru), sementara kelompok yang tinggal adalah kelompok yang belajar. Ini sesuai dengan konteks ayat-ayat perang sebelumnya.
- Interpretasi Kedua (Lebih Populer): Kelompok yang pergi adalah kelompok kecil yang berangkat untuk tujuan spesifik, yaitu mencari ilmu pengetahuan agama dari Rasulullah SAW atau pusat ilmu lainnya, sementara mayoritas pergi untuk berjuang atau bekerja. Setelah ilmu didapatkan, mereka kembali ke kaum mereka.
Interpretasi kedua, yang didukung kuat oleh konteks keberlanjutan ajaran, menekankan bahwa kewajiban mencari ilmu agama (*thalab al-ilmi*) adalah alasan utama bagi kelompok kecil ini untuk tidak ikut serta dalam ekspedisi militer umum. Ini menunjukkan bahwa pencarian ilmu, jika dilakukan secara spesialis dan mendalam, memiliki urgensi yang setara, bahkan terkadang melebihi, urgensi perjuangan fisik bagi keberlangsungan spiritual umat.
Bagian II: Inti Ayat - Tafaqquh fid-Din
1. Definisi dan Kedudukan Tafaqquh
Tujuan utama dari pengecualian ini adalah: لِّيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ (untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama). Kata kunci di sini adalah Tafaqquh. Tafaqquh bukan sekadar ‘belajar’ (ta’allum) atau ‘mengetahui’ (ma’rifah). Ia membawa makna yang jauh lebih dalam.
Tafaqquh berasal dari akar kata fiqh (فقه) yang berarti pemahaman yang mendalam, teliti, dan komprehensif. Jika seseorang hanya tahu aturan shalat, itu adalah ma’rifah. Jika seseorang mampu memahami hikmah di balik gerakan shalat, mengaitkannya dengan tujuan syariah (maqashid), dan mampu mengambil kesimpulan hukum dari sumber (istinbath), maka ini adalah Tafaqquh.
Oleh karena itu, Tafaqquh merujuk pada:
- Ilmu Ushul: Memahami dasar-dasar syariat, Al-Qur'an, Hadis, Ijma', dan Qiyas.
- Ilmu Furu’: Memahami detail hukum (Fiqih) yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
- Ilmu Maqashid: Memahami tujuan dan maksud tertinggi dari setiap ketentuan syariat (konservasi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta).
Penghargaan terhadap Tafaqquh sangat tinggi. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, niscaya Allah menjadikannya faqih (berpemahaman mendalam) dalam agama." Ini menunjukkan bahwa Tafaqquh adalah tanda utama kebaikan (khair) yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya.
2. Peran Sentral Ahli Ilmu
Ayat 122 secara tidak langsung mendirikan institusi ulama dan cendekiawan agama sebagai pilar utama komunitas. Mereka yang memiliki Tafaqquh bertanggung jawab atas integritas dan kesinambungan doktrin Islam. Tanpa mereka, umat akan menghadapi risiko penyimpangan (bid’ah) atau pemahaman yang dangkal (zhahir) yang rentan terhadap interpretasi yang salah.
Tafaqquh memastikan bahwa ketika masyarakat menghadapi tantangan baru—baik dalam ranah sosial, ekonomi, maupun politik—keputusan yang diambil tetap berakar pada prinsip-prinsip syariat yang kokoh. Ini membutuhkan kedalaman analisis yang hanya dapat dicapai melalui pengorbanan waktu dan energi yang setara dengan pengorbanan dalam medan perang.
Fakta bahwa ayat ini membolehkan sebagian mukminin absen dari jihad fisik demi Tafaqquh menunjukkan bahwa mencari ilmu spesialis adalah Fardhu Kifayah (kewajiban kolektif) yang mendekati status Fardhu Ain (kewajiban individu) bagi individu yang terpilih. Jika tidak ada yang melaksanakannya, seluruh komunitas akan berdosa karena kehilangan benteng spiritual dan intelektualnya.
Bagian III: Fungsi Setelah Kembali (Indzar)
1. Prinsip Kembali dan Mengajar
Bagian ketiga dan tak terpisahkan dari ayat ini adalah tujuan akhir dari proses Tafaqquh: وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ (dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya). Kewajiban belajar tidak bersifat individualistis, melainkan sosial dan komunal.
Proses ini bersifat siklus:
- Kepergian (Nafiru): Sebagian kecil pergi mencari ilmu di pusat-pusat peradaban Islam (misalnya, Madinah pada masa Nabi, atau Kufah, Baghdad, Kairo di masa berikutnya).
- Pendalaman (Tafaqquh): Mereka mendedikasikan diri untuk memahami syariat secara mendalam, bukan sekadar menghafal.
- Kepulangan (Ruju’): Mereka kembali ke kaum, suku, atau wilayah asal mereka.
- Peringatan (Indzar): Mereka mulai mengajarkan, membimbing, dan memperingatkan kaum mereka.
Kata Indzar (إنذار) berarti memberi peringatan, terutama peringatan yang mengandung konsekuensi (seperti peringatan akan adzab atau kesalahan). Ini menunjukkan bahwa peran ulama tidak hanya memberikan kabar gembira (tabshir), tetapi juga memberikan peringatan keras terhadap penyimpangan moral atau doktrinal.
2. Indzar sebagai Jaminan Keamanan Spiritual
Kaum yang ditinggalkan—yang sibuk dengan jihad, pertanian, atau perdagangan—berpotensi melupakan detail-detail ajaran atau terjerumus dalam rutinitas yang menjauhkan mereka dari esensi agama. Ketika para ahli ilmu kembali, mereka berfungsi sebagai "pekerja sosial spiritual" yang memastikan kualitas keimanan masyarakat tetap terjaga.
Tanpa Indzar, seluruh perjuangan fisik yang dilakukan dalam jihad akan sia-sia jika fondasi spiritual masyarakat runtuh. Jika para mujahid kembali ke rumah dan mendapati keluarga mereka telah jauh dari ajaran, kemenangan fisik mereka tidak akan berkelanjutan.
Oleh karena itu, Tafaqquh dan Indzar adalah benteng pertahanan kedua (benteng intelektual dan spiritual), sama pentingnya dengan benteng pertahanan militer. Tafaqquh adalah sarana, dan Indzar adalah tujuannya. Keduanya bertujuan untuk mencapai hasil akhir: لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (supaya mereka itu dapat menjaga dirinya).
Bagian IV: Sintesis Keseimbangan Abadi
1. Harmoni Aksi dan Ilmu
At-Taubah 122 mengajarkan prinsip harmoni abadi. Jihad (aksi) dan Tafaqquh (ilmu) tidak boleh dipandang sebagai dua kutub yang saling bertentangan, melainkan dua sayap yang harus dikepakkan secara seimbang agar umat dapat terbang menuju kemajuan dan keridhaan Ilahi. Jika hanya ada aksi tanpa ilmu, hasilnya adalah fanatisme yang salah arah. Jika hanya ada ilmu tanpa aksi, hasilnya adalah stagnasi dan intelektualisme yang mandul.
Keseimbangan ini menjamin bahwa setiap perjuangan (baik fisik maupun non-fisik) didasarkan pada pemahaman yang benar, etika yang tinggi, dan tujuan yang sejalan dengan Maqashid Syariah. Ayat ini memberikan kerangka kerja manajemen sumber daya manusia dalam masyarakat Islam awal, memastikan bahwa talenta terbaik didistribusikan sesuai kebutuhan strategis jangka panjang.
2. Pengorbanan dalam Mencari Ilmu
Ayat ini juga menyiratkan bahwa mencari Tafaqquh adalah bentuk perjuangan yang setara dengan jihad fisik. Seorang penuntut ilmu yang melakukan perjalanan jauh, meninggalkan kenyamanan, dan mendedikasikan bertahun-tahun hidupnya untuk memahami kitab suci dan sunnah, berada dalam perjalanan spiritual yang sangat mulia. Ibnu Abbas, sahabat Nabi, bahkan dikenal rela menempuh perjalanan jauh hanya untuk mengonfirmasi satu hadis.
Perjalanan ilmu ini membutuhkan kesabaran, kerendahan hati, dan ketekunan yang luar biasa. Pengorbanan finansial dan waktu yang dikeluarkan oleh Thaa’ifah (kelompok pencari ilmu) adalah investasi kolektif yang akan menghasilkan imbalan spiritual dan sosial bagi seluruh komunitas.
Umat Islam perlu menyadari bahwa kemunduran seringkali bukan hanya karena kelemahan militer, tetapi karena kemunduran intelektual. Ketika ulama sejati berkurang, ruang diisi oleh penafsir-penafsir dadakan yang pemahamannya dangkal, menyebabkan perpecahan dan kebingungan. Oleh karena itu, investasi dalam Tafaqquh adalah investasi dalam masa depan peradaban.
Bagian V: Relevansi Kontemporer At-Taubah 122
1. Tafaqquh di Era Modern: Spesialisasi Ilmu
Dalam konteks modern, makna Nafiru meluas dari sekadar ekspedisi militer. Nafiru mencakup perjuangan dalam bidang ekonomi, teknologi, diplomasi, dan kemanusiaan. Umat Islam harus bergerak aktif (Nafiru) di semua sektor kehidupan. Namun, prinsip Tafaqquh tetap relevan.
Jika semua orang sibuk berjuang mencari nafkah atau membangun teknologi, siapa yang akan menjaga integritas agama? Ayat 122 berfungsi sebagai mandat bagi adanya institusi keagamaan yang kuat—universitas Islam, pesantren, atau sekolah tinggi ilmu syariah—yang bertujuan melahirkan para spesialis agama (fuqaha) yang mampu menjawab kompleksitas zaman.
Kebutuhan Tafaqquh saat ini lebih mendesak, sebab masalah kontemporer (seperti bioetika, keuangan syariah global, dan tantangan digital) menuntut pemahaman agama yang tidak hanya berpegang pada teks literal, tetapi juga mampu melakukan ijtihad berbasis Maqashid Syariah yang mendalam.
2. Indzar dalam Masyarakat Digital
Konsep Indzar juga bertransformasi. Kepulangan para ulama yang telah mendalami ilmu tidak hanya berarti kembali secara geografis. Di era digital, Indzar dapat berupa penyebaran ilmu melalui media, publikasi ilmiah, dan pendidikan daring, untuk menjangkau kaum Muslimin yang tersebar luas di seluruh dunia.
Para ahli Tafaqquh hari ini memiliki tanggung jawab untuk menyaring banjir informasi dan misinformasi yang mendera umat. Mereka harus mampu menawarkan jawaban yang menenangkan, berprinsip, dan konstruktif, sehingga masyarakat modern dapat menjaga dirinya (yahdzarun) dari fitnah, kesesatan ideologis, dan nihilisme spiritual yang diakibatkan oleh perkembangan duniawi yang serba cepat.
Bagian VI: Pendalaman Filosofis dan Spiritual
1. Keutamaan Niat dalam Ilmu
Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah dan ulama lainnya sering menekankan bahwa pengorbanan yang disyaratkan oleh Tafaqquh harus diiringi dengan niat yang murni (Niyyah Shahihah). Niat untuk menuntut ilmu haruslah demi melaksanakan kewajiban Ilahi dan untuk tujuan Indzar, bukan demi popularitas, kedudukan, atau harta duniawi. Ilmu yang didasarkan pada niat yang murni akan menghasilkan pemahaman yang diberkahi dan mampu menggerakkan hati masyarakat.
Dalam Tafaqquh, seorang pelajar harus meninggalkan sifat-sifat tercela seperti kesombongan intelektual. Ilmu hanya akan bersemayam dalam hati yang rendah hati dan haus akan kebenaran. Proses Tafaqquh adalah proses pembersihan diri spiritual sekaligus pengayaan kognitif.
2. Tafaqquh sebagai Bentuk Taqwa
Al-Ghazali dalam karyanya, Ihya' Ulumiddin, banyak membahas kedudukan ilmu. Ia menggarisbawahi bahwa ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang meningkatkan ketakwaan (Taqwa) seseorang kepada Allah SWT. Tafaqquh yang dicari dalam At-Taubah 122 bukanlah ilmu yang bersifat spekulatif semata, melainkan ilmu yang memimpin pada amal saleh dan peningkatan kesadaran akan hari akhir.
Tujuan akhir Yahdzarun (menjaga diri) secara esensial berarti menjaga diri dari murka Allah, yakni Taqwa. Dengan demikian, ayat ini menghubungkan secara tegas antara pengorbanan kolektif (Nafiru), pengorbanan intelektual (Tafaqquh), dan peningkatan spiritual individu dan komunal (Taqwa).
Ayat ini mengajarkan kepada kita bahwa kekuatan umat Islam tidak diukur semata-mata dari jumlah pasukan atau kekayaan materi, melainkan dari kedalaman pemahaman agamanya. Kekuatan sejati terletak pada kemampuan ulama untuk membimbing umat melalui labirin kehidupan dengan cahaya wahyu dan kearifan sunnah.
3. Perluasan Makna Nafiru bagi Pelajar
Meskipun Tafaqquh membebaskan dari Nafiru dalam arti jihad fisik, ulama kontemporer seperti Syaikh Yusuf Al-Qaradawi dan lainnya sering mengingatkan bahwa Nafiru bagi penuntut ilmu adalah perjuangan melawan kemalasan, hawa nafsu, dan lingkungan yang tidak kondusif. Pergi untuk belajar, berpisah dari keluarga, dan hidup sederhana demi ilmu adalah ‘Nafiru’ intelektual yang sangat berharga.
Setiap jam yang dihabiskan dalam perpustakaan, setiap malam yang dihabiskan untuk menghafal dan meneliti, adalah bentuk jihad yang membangun benteng peradaban yang jauh lebih tahan lama daripada benteng fisik. Benteng ini, yang didirikan di atas ilmu yang mendalam, akan bertahan lintas generasi, menjamin bahwa warisan Rasulullah SAW senantiasa hidup dan relevan.
Kesimpulan dan Penutup
Surat At-Taubah ayat 122 adalah piagam agung dalam Islam yang menetapkan peran fundamental bagi ilmu pengetahuan agama yang mendalam dan terspesialisasi (Tafaqquh fid-Din). Ayat ini membagi tanggung jawab umat menjadi dua kelompok vital:
- Kelompok Aksi (Nafiru), yang menjalankan urusan duniawi dan pertahanan fisik.
- Kelompok Ilmu (Thaa’ifah), yang bertanggung jawab atas kesinambungan doktrin dan bimbingan spiritual (Indzar).
Keseimbangan antara aksi dan ilmu ini adalah kunci untuk menghindari ekstremisme dan stagnasi. Umat harus terus menghasilkan ulama yang kompeten dan terpercaya, yang pengorbanan mereka dalam mencari Tafaqquh setara dengan pengorbanan para pejuang. Ilmu dan aksi adalah dua poros yang harus berputar serentak; ilmu memberikan peta jalan, dan aksi adalah perjalanannya.
Mari kita renungkan betapa mendalamnya hikmah ayat ini. Allah tidak menghendaki kehampaan, baik kehampaan spiritual karena semua sibuk dunia, maupun kehampaan duniawi karena semua sibuk ibadah. Dia menghendaki keberlimpahan dalam ilmu dan amal, dalam perjuangan dan pemahaman, demi mencapai tujuan tertinggi: keselamatan diri dan masyarakat dari kesesatan, yang termaktub dalam janji لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ.
Tanggung jawab Tafaqquh bukan hanya milik segelintir ulama, melainkan tanggung jawab seluruh umat untuk mendukung dan memuliakan mereka yang mendedikasikan hidupnya untuk tugas mulia ini. Dengan demikian, Surat At-Taubah 122 tetap menjadi panduan abadi bagi setiap generasi Muslim dalam membangun peradaban yang kokoh, adil, dan berilmu.
Pengembangan pemahaman terhadap ayat ini harus terus dilakukan, mengingat tantangan zaman terus berubah. Kita perlu memperluas definisi Tafaqquh untuk mencakup kemampuan melakukan dialog antar-iman, memahami isu-isu global, dan mengaplikasikan etika Islam dalam setiap inovasi dan teknologi modern. Tanpa spesialisasi yang mendalam ini, umat akan kehilangan arah di tengah badai ideologi kontemporer.
Ayat ini adalah seruan untuk mendirikan pusat-pusat keunggulan intelektual yang menjadi mercusuar bagi umat. Pusat-pusat ini harus menjadi tempat di mana para pencari ilmu menempuh perjalanan 'Nafiru' spiritual mereka, kemudian kembali dengan bekal yang cukup untuk melaksanakan tugas 'Indzar' yang berat namun mulia.
Keseimbangan yang diajarkan oleh ayat ini memastikan bahwa Islam tidak pernah menjadi agama yang stagnan. Ia adalah agama yang dinamis, menuntut pengorbanan di medan perjuangan sekaligus pengorbanan di meja studi. Keduanya memiliki martabat yang sama di hadapan Allah SWT, asalkan niatnya adalah meninggikan kalimat-Nya.
Marilah kita melihat kembali sejarah peradaban Islam. Masa keemasan Islam selalu ditandai dengan bersinarnya ulama dan fuqaha, yang ilmunya menjadi sumber inspirasi bagi para pemimpin dan masyarakat awam. Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Ahmad, dan para mujtahid besar lainnya adalah buah dari pemenuhan perintah Tafaqquh yang diamanatkan dalam At-Taubah 122. Mereka adalah kelompok Thaa’ifah yang melakukan perjalanan spiritual, kembali, dan memberi peringatan kepada kaum mereka.
Oleh karena itu, setiap Muslim, meskipun tidak secara langsung menjadi ahli ilmu, memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa kelompok Thaa’ifah pencari ilmu terus ada dan difasilitasi. Mendukung lembaga pendidikan agama, menghormati peran ulama, dan menyebarkan ilmu yang benar adalah bentuk partisipasi kolektif dalam memenuhi perintah Ilahi ini. Tugas Indzar tidak hanya menimpa ulama, tetapi juga setiap Muslim yang telah mendapatkan sedikit ilmu, sesuai dengan kemampuan dan lingkup pengaruhnya.
Membayangkan masyarakat yang ideal berdasarkan At-Taubah 122 adalah membayangkan sebuah umat di mana para profesional (yang melakukan Nafiru dalam bidang dunia) tunduk pada bimbingan spiritual dan etika dari para ulama (yang melakukan Tafaqquh). Ketika politik, ekonomi, dan teknologi dipandu oleh kedalaman agama, barulah peradaban Islam dapat mencapai puncaknya kembali.
Perluasan makna Tafaqquh juga mencakup pendalaman ilmu tentang sejarah dan sains Islam itu sendiri. Bukan hanya Fiqih dan Hadis, Tafaqquh modern juga menuntut pemahaman terhadap tantangan yang ditimbulkan oleh sekularisme, ateisme, dan relativisme moral. Ulama masa kini harus menjadi ahli dalam 'Fiqih Realitas' (Fikih Al-Waqi'), yang hanya bisa dicapai melalui pendalaman ilmu agama yang komprehensif, sebagaimana diperintahkan oleh ayat ini.
Sejatinya, Surat At-Taubah ayat 122 adalah cetak biru untuk masa depan yang lestari, di mana setiap individu memiliki peran yang jelas, dan setiap peran saling melengkapi, menciptakan sebuah sistem yang tak hanya kuat secara fisik, tetapi juga kaya secara intelektual dan kokoh secara spiritual. Pemahaman yang mendalam (Tafaqquh) adalah investasi paling berharga yang bisa dilakukan oleh suatu umat.
Marilah kita menutup kajian mendalam ini dengan penegasan bahwa perintah Allah dalam ayat ini tidak bersifat opsional. Ia adalah prasyarat untuk keutuhan dan keselamatan umat. Kita harus senantiasa bertanya: Di manakah posisi kita? Apakah kita bagian dari kelompok Nafiru yang berjuang di medan kehidupan? Atau apakah kita bagian dari kelompok Thaa’ifah yang mendedikasikan diri untuk Tafaqquh? Atau, yang terbaik, apakah kita mampu memadukan keduanya, menjadikan setiap aksi kita berlandaskan ilmu yang mendalam?
Ayat ini mendorong kita untuk berpikir jangka panjang, bukan hanya tentang kemenangan sesaat di dunia, tetapi tentang kemenangan abadi di akhirat, yang hanya bisa dicapai melalui ilmu yang memandu amal, dan amal yang disinari oleh ilmu.