Pendahuluan: Signifikansi Ayat dalam Konteks Surah At-Taubah
Surah At-Taubah, surah kesembilan dalam Al-Qur'an, memiliki kekhasan tersendiri karena ia diturunkan tanpa diawali dengan lafazh *Bismillahirrahmannirrahim*. Surah ini dikenal sebagai surah yang tegas, mengungkap sifat-sifat munafik, dan menetapkan hukum-hukum serius terkait jihad, perjanjian, dan loyalitas. Ayat-ayatnya, khususnya yang diturunkan pasca Perang Tabuk, berfungsi sebagai pemurnian barisan umat Islam, memisahkan antara mukmin yang benar-benar berkorban dengan mereka yang hanya berpura-pura. Di antara ayat-ayat yang memuat janji agung serta peringatan keras, terdapat Surat At-Taubah Ayat 120, sebuah permata yang mengukir prinsip pengorbanan sejati.
Ayat 120 ini secara spesifik ditujukan kepada kaum Muslimin yang berusaha menghindari panggilan jihad, khususnya pada ekspedisi yang dikenal paling sulit, yaitu Perang Tabuk. Ayat ini tidak hanya mencela mereka yang absen, tetapi juga memberikan penghargaan luar biasa (ganti rugi rohani dan pahala) kepada mereka yang berangkat. Ayat ini memastikan bahwa setiap lelah, lapar, haus, dan pengeluaran yang dialami di jalan Allah, tidak akan berlalu sia-sia. Justru, kesulitan fisik tersebut adalah mata uang yang dibayar tunai dengan catatan amal saleh yang tidak terhingga nilainya.
Teks dan Terjemah Surat At-Taubah Ayat 120
Ayat ini adalah inti dari seluruh diskusi mengenai jihad dan pengorbanan di Surah At-Taubah:
Asbabun Nuzul: Eksplorasi Ekspedisi Tabuk
Memahami Ayat 120 tidak lengkap tanpa menyelami konteks sejarahnya yang spesifik, yaitu Perang Tabuk (disebut juga *Ghazuwah al-'Usrah*, Ekspedisi Kesulitan). Peristiwa ini terjadi pada tahun ke-9 Hijriyah, menjelang akhir hayat Nabi Muhammad ﷺ.
Kondisi Ekspedisi Kesulitan (Al-'Usrah)
Panggilan untuk Tabuk datang pada waktu yang paling sulit. Tiga faktor utama membuat perjalanan ini sangat menguji keimanan:
- Musim Panas Ekstrem: Perjalanan sejauh ratusan kilometer ke utara (menuju Tabuk, dekat perbatasan Syam) terjadi di musim panas yang sangat menyengat di Semenanjung Arab. Sumber air sangat langka.
- Kekurangan Logistik: Umat Islam berada dalam kondisi ekonomi sulit saat itu. Transportasi (unta dan kuda) terbatas, makanan dan air pun tidak mencukupi, sehingga disebut 'Usrah (kesulitan).
- Jarak Jauh dan Ancaman Besar: Musuh yang dihadapi adalah Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium), kekuatan militer terbesar dunia saat itu. Ancaman ini menuntut persiapan fisik dan mental yang luar biasa.
Dalam kondisi inilah, banyak yang mencari alasan untuk tinggal di Madinah, terutama kaum munafik dan Arab Badui di sekitar Madinah (yang disebut dalam ayat sebagai *man hawlahum min al-A’rāb*). Ayat 120 diturunkan untuk mengecam keras sikap menghindari kewajiban dan menetapkan bahwa dalam kondisi genting, pengorbanan demi Rasulullah ﷺ adalah prioritas tertinggi.
Cinta Diri Versus Cinta Nabi ﷺ
Poin krusial dalam ayat ini adalah larangan bagi mereka untuk *walā yarghabū bi anfusihim ‘an nafsihi* (tidak mencintai diri mereka lebih dari mencintai diri Rasulullah). Para ulama tafsir, seperti Imam Al-Qurtubi, menjelaskan bahwa ini adalah larangan untuk memikirkan kenyamanan dan keselamatan diri sendiri sementara Rasulullah ﷺ berada dalam bahaya, kepayahan, atau kesulitan. Ini menuntut tingkat kesetiaan yang melampaui naluri dasar bertahan hidup.
Imam Ibnu Katsir menekankan bahwa makna ini berlaku universal: jika pemimpin umat (sebagai penerus risalah) berada dalam kesulitan untuk kepentingan dakwah dan pertahanan agama, maka umatnya tidak boleh santai dan mencari kemewahan. Mereka harus berbagi kesulitan yang sama.
Ilustrasi: Pengorbanan di Jalan Allah akan menghasilkan pahala yang abadi.
Analisis Linguistik Mendalam (Tafsir Lafdzi)
Untuk memahami kedalaman janji Ilahi, kita perlu membedah kata kunci yang digunakan dalam Ayat 120. Setiap kata mengandung makna yang presisi terkait penderitaan yang diganti dengan pahala:
1. ظَمَأٌ (Ẓama'un - Kehausan/Kekeringan)
Kata ini secara spesifik merujuk pada rasa haus yang menyiksa akibat kekurangan air. Dalam konteks Tabuk, haus adalah penderitaan paling umum dan mematikan. Allah menjamin bahwa setiap tetes air yang dirindukan dan setiap rasa kering di tenggorokan, akan dicatat sebagai amal saleh.
2. نَصَبٌ (Naṣabun - Kepayahan/Kelelahan)
Kata *Naṣab* mencakup semua bentuk kelelahan fisik: otot yang sakit, kurang tidur, dan keletihan akibat perjalanan jauh. Ini bukan sekadar lelah biasa, melainkan lelah yang mencapai titik ekstrem karena usaha keras di jalan Allah.
3. مَخْمَصَةٌ (Makhmaṣatun - Kelaparan)
Berasal dari akar kata yang berarti perut kosong. *Makhmaṣah* adalah kelaparan yang menyebabkan perut menjadi cekung. Ini merujuk pada kondisi kekurangan makanan yang parah. Ayat ini menjamin bahwa setiap perut yang kelaparan karena berjuang di jalan-Nya akan mendapatkan pahala yang setara.
Tiga kata ini—haus, lelah, lapar—mencakup penderitaan dasar fisik yang dialami oleh para pejuang di Tabuk. Ayat 120 mengajarkan bahwa penderitaan fisik di dunia ini bisa bertransformasi menjadi kekayaan spiritual abadi di akhirat, asalkan dilandasi keikhlasan.
4. لَا يَطَئُونَ مَوْطِئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ (Tidak Menginjak Tempat yang Membangkitkan Amarah Orang Kafir)
Bagian ini memperluas ruang lingkup pahala dari sekadar penderitaan pribadi menjadi tindakan strategis kolektif. Setiap langkah kaki yang menginjak tanah musuh, atau bahkan setiap lokasi yang dilewati sehingga menimbulkan rasa cemas dan marah di hati musuh Islam, dicatat sebagai amal. Ini menunjukkan betapa Allah mengukur bukan hanya kesengsaraan subjektif, tetapi juga dampak psikologis dan strategis dari kehadiran Muslim.
5. إِلَّا كُتِبَ لَهُم بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ (Melainkan ditulis bagi mereka sebagai suatu amal saleh)
Ini adalah kesimpulan utama janji Ilahi. Setiap kesulitan yang disebutkan (haus, lelah, lapar, langkah kaki yang membuat marah musuh) secara langsung, secara otomatis, dan secara akurat dicatat sebagai *Amal Saleh* (perbuatan baik). Tidak ada yang luput dari perhitungan-Nya. Pahala ini bukan sekadar kompensasi, tetapi peningkatan status amalan secara fundamental.
Para mufassir sepakat bahwa penekanan pada "kecuali dicatat sebagai amal saleh" menunjukkan bahwa amal tersebut dicatat secara independen dan langsung. Seolah-olah kepayahan itu sendiri, yang biasanya dianggap sebagai hal negatif, berubah fungsi menjadi mata uang positif di sisi Allah.
Pelajaran Fiqh dan Hukum dari Ayat 120
Ayat ini memiliki implikasi besar dalam penetapan hukum Islam, khususnya terkait pengorbanan dan jihad. Beberapa poin fiqh yang diambil oleh para ulama adalah:
A. Kewajiban Prioritas dan Keterikatan kepada Kepemimpinan
Larangan untuk *yatakhallafū 'an Rasūlillāh* (tidak turut menyertai Rasulullah) menunjukkan bahwa ketaatan kepada pemimpin yang sah dalam panggilan jihad adalah wajib. Bagi orang-orang di sekitar Madinah, yang secara geografis lebih mudah bergabung, alasan untuk absen haruslah alasan yang sangat kuat (uzur syar’i) dan bukan karena mencari kenyamanan diri.
Dalam konteks modern, ulama menafsirkan bahwa ketaatan ini diteruskan kepada pemimpin yang adil yang menegakkan syariat dan memimpin umat dalam perjuangan yang sah.
B. Hukum 'Raghabah' (Mengutamakan Diri Sendiri)
Ayat ini menetapkan hukum moral yang sangat tinggi: menempatkan keselamatan dan kenyamanan pemimpin risalah di atas keselamatan diri sendiri. Jika Rasulullah ﷺ atau penerus risalah mengalami kesulitan, umat tidak boleh berdiam diri dalam kemudahan. Ini menciptakan konsep solidaritas kepemimpinan dan pengikut yang mendalam. Dalam kondisi peperangan atau musibah, seorang mukmin tidak boleh memiliki keinginan (raghabah) yang bertentangan dengan kebutuhan dakwah.
C. Prinsip Pahala Atas Penderitaan Fisik
Ayat 120 adalah dasar bagi kaidah fiqh bahwa setiap kesulitan atau penderitaan yang menimpa seorang mukmin di jalan ketaatan akan diganti dengan pahala, selama penderitaan itu bukan hasil dari kelalaiannya sendiri. Ini mencakup:
- Kesulitan mencari ilmu (*naṣab* dalam perjalanan menuntut ilmu).
- Keletihan dalam ibadah yang intensif (seperti haji, umrah, qiyamullail).
- Pengeluaran harta dan waktu untuk dakwah.
Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadis yang sesuai dengan makna ini, bahwa setiap musibah yang menimpa seorang Muslim, bahkan duri yang menusuknya, akan menghapuskan dosa.
D. Keutamaan Memberi Sumbangan untuk Jihad
Meskipun ayat ini fokus pada penderitaan fisik, ia juga mencakup makna pengeluaran harta. Kerugian materi yang timbul karena menanggung perjalanan, membeli perbekalan, atau menyediakan kendaraan, semuanya dicatat sebagai amal saleh, sejalan dengan firman Allah di ayat 121 yang menyusul, mengenai infak besar maupun kecil.
Ekspansi Tafsir: Dimensi Spiritual dan Internal
Meskipun konteks awalnya adalah peperangan fisik di Tabuk, para mufassir kontemporer dan klasik sepakat bahwa pelajaran dari Ayat 120 meluas melampaui medan perang. Ayat ini mengajarkan prinsip universal tentang hubungan kausalitas antara kesulitan yang Ikhlas dan ganjaran Ilahi.
Penderitaan Sebagai Katalisator Pahala
Ayat ini mengajarkan umat bahwa dalam pandangan Allah, kesulitan bukanlah halangan, melainkan saluran pahala. Ketika seorang mukmin menghadapi kesulitan hidup (penyakit, kemiskinan, ujian mental) dengan kesabaran dan niat karena Allah, penderitaan tersebut mengambil kualitas pahala seperti *ẓama’* (haus) dan *naṣab* (lelah) di Tabuk.
Ibnu Katsir menjelaskan, makna umum ayat ini menunjukkan bahwa setiap amalan yang dilakukan dengan niat baik (ihsan), betapapun sulitnya, akan mendapatkan ganjaran yang sempurna. Sifat 'keadaan sulit' itu sendiri menjadi bagian integral dari ibadah tersebut.
Peran Keikhlasan (*Ihsan*) dalam Pengorbanan
Ayat 120 ditutup dengan janji: *Innallāha lā yuḍī'u ajra al-muḥsinīn* (Sungguh, Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik). Kata kunci di sini adalah *Al-Muhsinin* (orang-orang yang berbuat kebaikan atau berbuat yang terbaik).
Ihsan adalah tingkat tertinggi dalam agama, yaitu beribadah seolah-olah engkau melihat Allah, atau jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu. Dalam konteks Ayat 120, ini berarti pengorbanan harus dilakukan dengan:
- Sincerity (Ikhlas): Bebas dari riya' atau keinginan duniawi.
- Excellence (Itqan): Dilakukan dengan sebaik mungkin, meski dalam kesulitan.
- Endurance (Istiqamah): Tetap bertahan meskipun cobaan datang bertubi-tubi.
Hanya penderitaan yang dilakukan oleh seorang *muhsin* yang dijamin tidak akan disia-siakan. Ini memberikan motivasi spiritual yang mendalam bahwa kualitas niat sangat menentukan nilai penderitaan.
Memperluas Makna Jihad: Bukan Hanya Pedang
Dalam pemahaman Islam kontemporer, para ulama menekankan bahwa makna pengorbanan yang dijanjikan dalam Ayat 120 tidak terbatas pada perang fisik. Konsep *Jihad Fii Sabilillah* mencakup semua perjuangan besar yang bertujuan meninggikan kalimat Allah.
Jihad Al-Ilmi (Perjuangan Ilmu)
Perjalanan jauh, malam-malam tanpa tidur, dan pengorbanan harta untuk menuntut ilmu agama yang benar dapat disamakan dengan kesulitan di Tabuk. Hausnya dahaga intelektual dan lelahnya pikiran dalam memahami teks-teks suci adalah *ẓama'an* dan *naṣaban* yang modern.
Jihad Ad-Da'wah (Perjuangan Dakwah)
Seorang dai yang berkorban waktu, tenaga, dan terkadang harus menghadapi penolakan, cemoohan, atau bahkan ancaman, sedang mengalami bentuk *naṣaban* dan *yatā'ūna mawṭi'an yaghīẓu al-kuffār* (menginjak tempat yang membuat marah orang kafir) secara metaforis. Kehadiran dakwah yang benar sering kali membuat marah mereka yang menentang kebenaran.
Jihad Al-Nafs (Perjuangan Melawan Hawa Nafsu)
Ini adalah jihad terbesar, di mana seorang Muslim harus berjuang melawan godaan untuk mencari kenyamanan diri, menunda ibadah, atau menyerah pada kemalasan. Rasa lapar (makhmaṣah) yang dialami saat puasa sunnah, atau kelelahan (naṣab) saat menahan diri dari maksiat, dicatat dengan pahala yang dijanjikan dalam ayat ini.
Dengan demikian, Ayat 120 menjadi jaminan universal bagi setiap Muslim yang menempatkan kepentingan agamanya di atas kepentingan pribadinya, menjadikannya salah satu ayat paling memotivasi dalam Al-Qur'an.
Detail Pengorbanan dalam Perspektif Tafsir Klasik
Mufassir klasik sangat mendalam dalam menafsirkan bagaimana Allah menghitung setiap detail penderitaan. Mereka membahas secara rinci bahwa tidak ada sedikit pun usaha yang luput dari catatan amal. Kita akan melihat bagaimana ulama seperti Al-Tabari dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menekankan aspek perhitungan yang detail ini.
Ketepatan Ilahi dalam Pencatatan Amal
Imam Al-Tabari, dalam Jami' al-Bayan, menjelaskan bahwa pengulangan tiga jenis kesulitan (haus, lelah, lapar) bertujuan untuk menekankan bahwa Allah memperhatikan semua jenis penderitaan, baik yang sifatnya jangka pendek (seperti haus yang mendadak) maupun jangka panjang (seperti kelaparan yang berkepanjangan). Ini menjamin keadilan mutlak dalam ganjaran.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menekankan bahwa ganjaran ini tidak hanya untuk para pejuang di Tabuk, tetapi juga mencakup siapapun yang berada dalam situasi yang sama di masa depan. Beliau menyatakan, kesulitan yang ditanggung karena mencari keridhaan Allah adalah nikmat tersembunyi, sebab ia secara otomatis menghasilkan amal saleh yang tidak mungkin didapatkan dalam kondisi nyaman.
Setiap langkah kaki, setiap tetes keringat, setiap tarikan napas dalam kelelahan di jalan Allah, dicatat. Pahala yang didapatkan setara dengan nilai jihad itu sendiri, bukan hanya nilai kesulitan yang dialami. Keadaan sulit itu menjadi ibadah yang terpisah.
Dampak Psikologis (Marahnya Orang Kafir)
Bagian ayat *walā yaṭa’ūna mawṭi’an yaghīẓu al-kuffār* (tidak menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir) memiliki resonansi psikologis yang kuat. Para ulama menjelaskan bahwa kemarahan musuh adalah tolok ukur kesuksesan seorang mukmin. Ketika tindakan umat Islam menyebabkan musuh merasa terancam, terhina, atau marah karena kebenaran, maka tindakan tersebut adalah amal saleh. Ini mendorong umat Islam untuk berani tampil dan bertindak, bahkan jika itu menimbulkan reaksi negatif dari pihak yang menentang kebenaran Islam.
Ini adalah pengajaran yang relevan dalam konteks global: ketika Muslim bersatu, berpegang teguh pada prinsip, dan meraih kemajuan (baik militer, ekonomi, atau ilmu pengetahuan), yang membuat musuh agama merasa terganggu, maka upaya tersebut adalah amal saleh yang dijamin pahalanya oleh Allah.
Perbandingan: Pengorbanan yang Diterima dan yang Ditolak
Ayat 120, ketika dibaca bersamaan dengan ayat-ayat sebelumnya dan sesudahnya dalam At-Taubah, berfungsi sebagai filter untuk membedakan antara pengorbanan yang tulus dan yang palsu. Mereka yang menolak panggilan Tabuk, meskipun mereka mungkin memiliki dalih, dicela karena mereka mengutamakan kenyamanan diri (*raghabah bi anfusihim*).
Ujian Sifat Munafik
Surah At-Taubah secara umum menunjukkan bahwa kaum munafik selalu mencari alasan untuk menghindari kesulitan. Mereka enggan mengorbankan harta (infak) dan jiwa (jihad). Ayat 120 secara implisit menyinggung hal ini: jika Anda adalah seorang muhsin (pelaku kebaikan), Anda akan menyambut kesulitan ini karena Anda tahu kesulitan itu adalah tiket pahala. Sebaliknya, munafik akan lari dari kesulitan, karena mereka tidak percaya pada janji ganjaran akhirat.
Pengorbanan yang diterima adalah pengorbanan yang timbul dari keyakinan penuh akan janji Allah, sehingga rasa lelah atau lapar dianggap remeh jika dibandingkan dengan besarnya ganjaran yang akan diperoleh. Ini adalah mentalitas seorang *muhsin*.
Konsep *I'rāb* (Arab Badui di Sekitar Madinah)
Ayat ini secara khusus menyebut penduduk Madinah dan Arab Badui di sekitarnya. Ini menunjukkan bahwa tanggung jawab pengorbanan tidak hanya dibebankan pada inti masyarakat Muslim, tetapi juga pada komunitas satelit yang seharusnya menjadi penyangga dan pendukung. Kualitas keimanan diuji ketika kesulitan datang, dan justru Arab Badui seringkali memiliki keimanan yang lemah, sebagaimana dijelaskan di ayat-ayat lain dalam surah yang sama.
Oleh karena itu, ayat ini adalah peringatan: kedekatan geografis dengan pusat Islam tidak menjamin kedalaman keimanan. Keimanan sejati dibuktikan dengan kesediaan untuk berkorban saat dibutuhkan, tanpa memedulikan tingkat kesulitan (haus, lelah, lapar).
Relevansi Abadi Ayat 120 dalam Kehidupan Modern
Bagaimana seorang Muslim di abad ini dapat menerapkan semangat Ayat 120 yang terikat pada medan perang Tabuk?
A. Mengelola Sumber Daya dan Kenyamanan Diri
Di era kemudahan dan konsumerisme, ayat ini mengingatkan kita untuk tidak mencintai diri dan kenyamanan kita lebih dari kebutuhan agama. Contohnya:
- Mengorbankan waktu istirahat (naṣab) untuk melaksanakan shalat malam atau mengurus kepentingan umat.
- Mengorbankan keinginan untuk makan enak atau berlibur demi menginfakkan harta pada jalur dakwah (makhmaṣah/infak).
- Mengorbankan popularitas atau kenyamanan sosial demi menyatakan kebenaran Islam (menghasilkan amarah orang yang menentang kebenaran).
B. Budaya Kerja Keras yang Ikhlas
Ayat 120 menanamkan etos kerja yang berorientasi akhirat. Dalam pekerjaan, pendidikan, atau pengasuhan anak, setiap usaha yang disertai niat untuk menggapai ridha Allah akan dihitung. Seorang ibu yang merasa lelah (naṣab) mengasuh anak-anaknya atau seorang pekerja yang berjuang mencari rezeki halal dengan susah payah (ẓama' dan makhmaṣah) harus mengingat janji ini: setiap kesulitan itu secara otomatis menjadi amal saleh.
Ini membalikkan persepsi bahwa ibadah hanya terbatas pada ritual. Justru, kesulitan hidup yang dijalani dengan kesabaran, jika diniatkan karena Allah, bisa menghasilkan pahala yang setara dengan jihad besar.
C. Menghargai Solidaritas dan Kepemimpinan
Semangat untuk tidak mengutamakan diri sendiri di atas Rasulullah ﷺ mengajarkan kita untuk menghargai solidaritas dan ketaatan dalam struktur keumatan. Ketika pemimpin yang jujur dan adil menyerukan pengorbanan untuk kepentingan kolektif—misalnya, upaya bantuan bencana, kampanye melawan kemaksiatan, atau pembangunan institusi Islam—seorang mukmin sejati harus sigap berkorban, menanggalkan kenyamanan pribadinya, mencontoh para Sahabat di Tabuk.
Prinsip Ayat 120 adalah pengingat abadi bahwa kemuliaan seorang mukmin terletak pada kesediaannya menukar kesenangan dunia yang fana dengan pahala akhirat yang abadi, menggunakan kesulitan fisik sebagai alat investasi spiritual.
Penutup: Kesempurnaan Ganjaran bagi Al-Muhsinin
Surat At-Taubah Ayat 120 berdiri sebagai mercusuar motivasi bagi setiap Muslim. Ayat ini merangkum esensi Islam sebagai agama pengorbanan yang terencana, di mana penderitaan, kesulitan, dan kerugian materi diukur secara mikro dan dicatat secara akurat oleh Allah Yang Maha Adil.
Jaminan *Innallāha lā yuḍī'u ajra al-muḥsinīn* (Sungguh, Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik) adalah penutup yang sempurna. Ini menegaskan bahwa sistem ganjaran Ilahi tidak mengenal kerugian. Apa pun yang hilang di dunia ini—kesehatan, harta, kenyamanan—selama ia hilang di jalan ketaatan dan keikhlasan, ia akan diganti dengan catatan amal saleh yang kekal.
Pelajaran dari Tabuk bukan hanya tentang sejarah masa lalu, tetapi tentang panggilan berkelanjutan menuju *ihsan*—berbuat yang terbaik, menanggung yang terberat, demi tujuan yang tertinggi. Kehausan spiritual, kelelahan mental, dan kelaparan dalam memperjuangkan kebenaran, semuanya adalah Tabuk modern kita, dan pahalanya menunggu, dijamin oleh janji Yang Maha Benar.
Oleh karena itu, setiap Muslim didorong untuk mencari kesempatan berkorban, bukan lari darinya, karena di dalam kesulitan yang ikhlas itulah, terletak kekayaan spiritual yang sesungguhnya.
Dalam setiap langkah yang berat, dalam setiap pengeluaran yang menyakitkan, dan dalam setiap sikap yang memicu amarah penentang kebenaran, seorang mukmin sejati tersenyum, sebab ia tahu, itu semua sedang dicatat, ditimbang, dan dikumpulkan untuk hari perhitungan, berkat janji agung dalam Surat At-Taubah Ayat 120.
Prinsip-prinsip yang tertanam dalam ayat ini—solidaritas, ketabahan, dan keikhlasan mutlak—adalah fondasi bagi umat yang kuat dan tak terkalahkan. Mereka yang memegang teguh makna ayat ini adalah mereka yang berhasil memenangkan peperangan terbesar: peperangan melawan hawa nafsu dan cinta dunia yang berlebihan.
Ayat ini adalah undangan untuk merangkul ketidaknyamanan, sebab ketidaknyamanan di jalan Allah adalah kenyamanan yang paling hakiki di akhirat. Setiap hembusan napas dalam kesulitan adalah zikir yang dibayar tunai, setiap langkah kaki yang terasa berat adalah investasi yang tak pernah merugi. Pahala bagi *muhsinin* adalah pahala yang sempurna, melampaui perhitungan akal manusia, karena ia berasal dari janji Zat Yang Maha Kaya lagi Maha Mulia.
Sejauh mana seorang Muslim bersedia menanggalkan kenyamanan dirinya, sejauh itulah ia memahami kedalaman ayat ini. Inilah esensi dari iman: mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi diri sendiri, bahkan ketika hal itu menuntut kita untuk menempuh jalan yang penuh kehausan dan kepayahan, mirip dengan jalan panjang dan panas menuju Tabuk di bawah terik matahari yang membakar.
Semoga kita semua tergolong sebagai *al-muhsinīn* yang pengorbanannya dicatat secara sempurna. Amin.