Surat At-Taubah, yang dikenal sebagai salah satu surah terakhir yang diturunkan, memuat sejumlah besar hukum dan pedoman mengenai hubungan antar-muslim, hubungan dengan non-muslim, serta pengaturan internal masyarakat Islam. Di antara ayat-ayatnya yang paling fundamental dalam mengatur prioritas dan struktur masyarakat adalah ayat ke-122. Ayat ini menawarkan panduan ilahi yang krusial tentang keseimbangan antara dua kewajiban besar umat Islam: *Jihad/Nafar* (pergi untuk menjalankan tugas, seringkali dalam konteks peperangan) dan *Tafaqquh fi al-Din* (memperoleh pemahaman mendalam tentang agama).
Ayat ini secara eksplisit mencegah mobilisasi penuh (semua orang pergi) dan menetapkan perlunya pembagian tugas, di mana sebagian kelompok harus tinggal di pusat untuk mempelajari agama secara mendalam, sehingga mereka dapat berfungsi sebagai sumber peringatan dan pengajaran bagi kelompok yang kembali dari tugas luar.
Terjemahan (Kementerian Agama RI):
Surat At-Taubah diturunkan setelah Perang Tabuk. Pada masa awal Islam, kewajiban berjihad adalah seruan yang sangat kuat, seringkali bersifat mendesak, terutama ketika Madinah diserang atau ketika Nabi Muhammad ﷺ memimpin ekspedisi besar. Setelah penaklukan Mekah, meskipun ancaman eksternal masih ada, struktur masyarakat Islam mulai stabil dan kompleksitas kehidupan semakin menuntut pengaturan yang lebih terperinci.
Para ulama tafsir, seperti Ibnu Abbas dan Mujahid, menjelaskan bahwa ayat ini turun untuk membenahi kesalahpahaman di kalangan sahabat. Ada masa di mana ketika seruan jihad dikumandangkan, banyak sahabat dari suku-suku Badui (yang baru masuk Islam) merasa wajib untuk pergi seluruhnya, meninggalkan pusat Madinah yang merupakan sumber utama ajaran dan fatwa. Kecenderungan mobilisasi total ini, meskipun didorong oleh semangat keimanan yang tinggi, dapat menimbulkan risiko jangka panjang: terabaikannya pendidikan agama dan kekosongan pengetahuan di pusat-pusat komunitas.
Allah SWT melalui ayat ini memberikan koreksi ilahi: Jihad fisik adalah penting, tetapi kelangsungan dan kekuatan peradaban Islam terletak pada pemahaman mendalam terhadap ajarannya. Jika semua pergi, siapa yang akan mengajar generasi berikutnya? Siapa yang akan memberi peringatan (indzar) berdasarkan ilmu yang sahih ketika mereka kembali?
Pemahaman mendalam terhadap ayat ini memerlukan telaah linguistik terhadap istilah-istilah kuncinya, yang menjadi pondasi penetapan hukum Islam (Fiqih):
Ayat 122 Surah At-Taubah berfungsi sebagai piagam pendidikan dan prioritas strategis bagi umat Islam, terutama pada masa mobilisasi umum. Inti ajaran ayat ini adalah pembentukan spesialisasi fungsional dalam masyarakat Islam:
Allah melarang seluruh umat beriman untuk meninggalkan komunitas mereka. Masyarakat memerlukan stabilitas, layanan internal, dan yang paling penting, kontinuitas pendidikan. Jika semua orang pergi berjihad atau berdagang jauh, pusat pengetahuan akan mati, dan ketika mereka kembali, tidak ada yang dapat membimbing mereka dalam hukum-hukum baru atau dalam menghadapi permasalahan agama.
Ayat ini mengangkat pencarian ilmu, khususnya *Tafaqquh fi al-Din*, ke tingkat kewajiban kolektif yang setara dengan jihad fisik. Sama seperti sejumlah orang harus pergi ke medan perang, sejumlah orang lain harus mengabdikan diri sepenuhnya untuk studi agama. Jika tidak ada yang melakukannya, seluruh komunitas berdosa.
Tujuan dari pendidikan mendalam ini bukanlah sekadar akumulasi ilmu pribadi, melainkan untuk fungsi sosial yang vital: memberikan peringatan (*indzar*) kepada kaum yang kembali. Ilmuwan agama bertindak sebagai penjaga batas-batas syariat. Mereka yang telah kembali dari "nafar" (baik jihad, perjalanan dagang, atau misi lain) seringkali rentan terhadap penyimpangan atau kelalaian. Para ulama yang tinggal dan belajar bertugas untuk mengembalikan mereka ke jalan yang benar, memastikan keberlanjutan penerapan hukum Islam.
Para penafsir Al-Qur'an (Mufassirin) telah menganalisis ayat ini dengan konsentrasi tinggi karena implikasinya yang besar terhadap pendidikan Islam:
Ath-Thabari cenderung mendukung interpretasi bahwa "nafar" (berangkat) yang dimaksud adalah perjalanan menuju pusat ilmu (Madinah). Beliau menekankan bahwa perintah ini datang untuk menyeimbangkan semangat jihad yang berlebihan. Menurutnya, kelompok yang pergi belajar adalah utusan dari firqah (golongan) mereka, dan setelah mencapai pemahaman yang mendalam, mereka kembali untuk mengajar dan memberi peringatan.
Ibnu Katsir mengutip beberapa pendapat, namun menyoroti pentingnya *Tafaqquh*. Beliau menjelaskan bahwa sebagian sahabat yang tinggal di Madinah setelah Rasulullah wafat, mereka menjadi mercusuar ilmu. Ketika para mujahidin kembali, mereka dapat merujuk kepada para ulama ini untuk memahami hukum-hukum yang mungkin turun atau berubah selama kepergian mereka. Ayat ini memberikan legalitas bagi spesialisasi dalam ilmu agama.
Al-Qurtubi dalam tafsirnya menekankan bahwa ayat ini merupakan dalil utama atas wajibnya menuntut ilmu agama. Beliau menegaskan bahwa yang dimaksud dengan *Tafaqquh fi al-Din* adalah mempelajari hukum-hukum yang bersifat praktis dan teoretis. Al-Qurtubi juga membahas bahwa *Indzar* (peringatan) harus didasarkan pada ilmu yang kokoh, mengaitkannya langsung dengan kewajiban amar ma'ruf nahi munkar (menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran).
Ar-Razi melihat ayat ini dari sudut pandang maslahat (kemaslahatan) umat. Jika semua pergi berjihad, maka akan terjadi kerusakan (mafsadah) yang lebih besar pada agama, karena tidak ada yang menguasai ilmu. Oleh karena itu, membagi tugas adalah keharusan logis dan syar'i. Ar-Razi juga mendalami perbedaan antara *ilm* (pengetahuan umum) dan *fiqh* (pemahaman mendalam yang menghasilkan kebijaksanaan hukum).
Surat At-Taubah ayat 122 adalah sumber hukum yang sangat penting dalam menetapkan status menuntut ilmu agama dalam kerangka Fard Kifayah dan Fard Ain.
Ayat ini secara jelas menetapkan bahwa pengadaan spesialis agama (mujtahid, faqih) adalah *Fard Kifayah*. Komunitas harus memastikan bahwa selalu ada sekelompok orang yang memiliki pemahaman agama yang mendalam. Jika kebutuhan ini terpenuhi, kewajiban gugur bagi yang lain. Namun, jika tidak ada satu pun yang mempelajarinya, seluruh komunitas berdosa.
Meskipun *Tafaqquh* secara menyeluruh adalah Fard Kifayah, para fuqaha (ahli fiqih) menyimpulkan bahwa ada bagian ilmu yang merupakan Fard Ain (wajib bagi setiap individu). Ini mencakup:
Ayat 122 berbicara tentang *Tafaqquh* tingkat tinggi, yang bertujuan untuk *Indzar* (peringatan), yang merupakan tugas spesialis dan bukan hanya kewajiban dasar individu.
Ayat ini mengaitkan ilmu dengan tanggung jawab sosial. *Indzar* tidak boleh dilakukan berdasarkan dugaan atau emosi, melainkan harus berbasis *Tafaqquh* (pemahaman mendalam). Ini adalah dalil kuat bahwa dakwah dan peringatan hanya sah jika dilakukan oleh orang yang berilmu dan kompeten dalam ajaran agama.
Penting untuk membedah mengapa Al-Qur'an menggunakan kata *Tafaqquh* (pemahaman mendalam) dan bukan sekadar *Ta'allum* (belajar) atau *Qira'ah* (membaca) di dalam ayat yang begitu penting ini.
Tafaqquh menyiratkan proses intelektual yang memerlukan analisis, penalaran, dan kemampuan menghubungkan teks-teks primer (Al-Qur'an dan Sunnah) dengan situasi kontemporer (istinbath hukum). Ini adalah kemampuan untuk memahami ruh (spirit) syariat, bukan sekadar hurufnya. Tanpa tafaqquh, ilmu dapat menjadi kaku dan gagal memberikan solusi atas masalah umat.
Untuk mencapai tingkat *Tafaqquh* yang memadai untuk melakukan *Indzar* yang sahih, seseorang harus memenuhi prasyarat studi yang ekstensif, meliputi:
Ayat 122 melegitimasi pembentukan institusi pendidikan tinggi (sekolah-sekolah fiqih, madrasah ulum) yang berdedikasi untuk melahirkan para ahli yang mampu mengemban tugas berat ini.
Dalam konteks modern, di mana seruan *Nafar* mungkin tidak selalu berbentuk jihad militer, ayat 122 tetap relevan sebagai panduan prioritas bagi sebuah peradaban.
Jika kita memperluas makna *Nafar* dari sekadar perang menjadi "berangkat menjalankan tugas penting demi kemaslahatan umat" (misalnya, menjadi dokter di daerah terpencil, ilmuwan yang mengembangkan teknologi, atau pekerja sosial), ayat ini mengajarkan bahwa:
Ayat ini menolak dikotomi antara ilmu dunia dan ilmu agama; sebaliknya, ia menuntut adanya sinergi dan kolaborasi fungsional.
Ayat ini berfungsi sebagai peringatan:
Oleh karena itu, pembagian tugas yang adil dan seimbang, sebagaimana diperintahkan dalam Surat At-Taubah ayat 122, adalah kunci kelangsungan dan kejayaan umat.
Tugas utama dari kelompok yang melakukan *Tafaqquh* adalah *Indzar* (memberi peringatan). Indzar memiliki beberapa lapisan makna dan aplikasi:
Ini adalah fungsi utama faqih: mengeluarkan fatwa atau menjelaskan hukum syariat dalam isu-isu baru yang dihadapi oleh komunitas yang kembali dari 'nafar'. Misalnya, hukum-hukum yang berkaitan dengan keuangan, teknologi, atau etika baru.
Mereka yang kembali dari perjalanan panjang (nafar) mungkin telah terkikis kepekaan moralnya. Tugas ulama adalah mengingatkan mereka tentang pentingnya ketakwaan (taqwa) dan menjauhi maksiat, sesuai dengan penutup ayat: ﴿لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ﴾ (supaya mereka itu dapat menjaga dirinya).
Indzar juga dapat berarti memberikan pandangan strategis berdasarkan pemahaman agama. Ulama yang mendalam ilmunya mampu menganalisis situasi global dan lokal dari perspektif syariat, memberikan arahan yang bijak tentang langkah-langkah yang harus diambil umat dalam menghadapi tantangan zaman.
Ayat 122 Surat At-Taubah ini bukanlah satu-satunya dalil tentang pentingnya ilmu, namun ia adalah dalil yang menempatkan ilmu dalam konteks struktural sosial-politik. Kewajiban Tafaqquh diperkuat oleh banyak teks lain:
Namun, keunikan ayat 122 terletak pada penegasannya bahwa mencari ilmu bukan hanya keutamaan individu, melainkan kebutuhan struktural umat. Ayat ini mengatur alokasi sumber daya manusia: Sebagian disiapkan untuk pertahanan fisik/ekonomi, sebagian lain untuk pertahanan spiritual/intelektual.
Dalam sejarah Islam, pelaksanaan Surat At-Taubah 122 terwujud dalam pendirian lembaga-lembaga pendidikan yang melayani seluruh dunia Islam. Contoh-contohnya termasuk:
Setelah wafatnya Nabi ﷺ, para sahabat senior (seperti Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, dan Aisyah) yang tetap tinggal di pusat Madinah menjadi rujukan utama ilmu. Mereka adalah ‘Tā'ifah’ yang melakukan *Tafaqquh*, sementara banyak sahabat lain tersebar di berbagai wilayah untuk jihad dan penaklukan. Ketika para sahabat dari luar kembali atau mengirim pertanyaan, jawaban datang dari pusat ilmu ini, menegaskan prinsip *Indzar*.
Berdirinya Madrasah Nizhamiyah (abad ke-11) dan Al-Azhar (abad ke-10) adalah manifestasi langsung dari ayat ini. Institusi-institusi ini secara resmi dan terstruktur mendedikasikan kelompok elit untuk mencapai *Tafaqquh* yang mendalam, melayani sebagai sumber rujukan dan pelatihan bagi qadi (hakim), mufti, dan dai di seluruh kekhalifahan.
Di era globalisasi dan kompleksitas isu-isu kontemporer, kebutuhan akan *Tafaqquh* menjadi semakin mendesak. Isu-isu seperti bioetika, kecerdasan buatan, dan sistem keuangan global memerlukan pemahaman agama yang jauh melampaui tingkat dasar. Ulama masa kini yang mengamalkan ayat 122 harus memiliki kemampuan untuk mengintegrasikan ilmu syariat dengan ilmu kontemporer, sehingga *Indzar* yang mereka berikan relevan dan efektif.
Jika kelompok yang melakukan *Tafaqquh* hanya terpaku pada teks-teks klasik tanpa memahami realitas 'nafar' (tugas duniawi) yang dilakukan oleh umat, maka *Indzar* mereka akan gagal menjangkau atau menyelesaikan masalah nyata. Ayat ini menuntut adanya dialog yang berkelanjutan antara para ahli agama dan para ahli di bidang-bidang kehidupan lainnya.
Prinsip keterwakilan dalam Ayat 122 (sekelompok dari setiap golongan) memastikan bahwa ilmu yang didapatkan di pusat dapat disebarkan secara merata, mencegah konsentrasi ilmu hanya pada satu etnis atau satu wilayah geografis saja.
Istilah ﴿مِن كُلِّ فِرْقَةٍۢ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ﴾ tidak hanya terbatas pada pembagian suku pada masa Nabi. Dalam struktur masyarakat modern, ini dapat diinterpretasikan sebagai:
Kewajiban ini berarti bahwa tanggung jawab pendirian institusi pendidikan yang kuat, yang mampu mencetak ulama multi-disiplin, jatuh kepada seluruh komunitas muslim di manapun mereka berada.
Secara pedagogis, ayat ini mengatur kurikulum dan metodologi pembelajaran Islam:
Sistem pendidikan Islam tidak boleh hanya menghasilkan lulusan yang tahu, tetapi lulusan yang mengerti secara mendalam dan mampu mengaplikasikan (faqih).
Pembelajaran agama tidak bersifat pasif atau akademis murni, tetapi memiliki tujuan akhir yang bersifat aktif dan sosial: memberi peringatan dan membimbing masyarakat. Kurikulum harus mencakup keterampilan dakwah dan komunikasi.
Konsep "Nafar" dan "Raja'u" (kembali) menunjukkan bahwa ilmu harus bergerak. Ilmuwan tidak boleh hanya berdiam di menara gading; mereka harus kembali ke lapangan, bertemu dengan kaum mereka, dan memberikan bimbingan praktis. Ini adalah model pendidikan yang dinamis dan berorientasi pada masyarakat.
Kekuatan umat Islam tidak hanya diukur dari jumlah tentara atau kekayaan materialnya, tetapi dari kualitas pemahaman agamanya. Ayat 122 memastikan bahwa kekuatan intelektual dan spiritual selalu dipelihara. Tanpa *Tafaqquh* yang kuat, umat akan mudah dipecah belah oleh bid'ah, khurafat, atau interpretasi ekstrem yang dangkal.
Para ulama yang lahir dari *Tafaqquh* sejati adalah pewaris para nabi (warathat al-anbiya'). Mereka menjaga warisan kenabian, yang merupakan warisan ilmu, bukan warisan materi. Peran mereka adalah memastikan bahwa standar kebenaran ilahi tetap menjadi tolok ukur tertinggi bagi setiap tindakan 'nafar' (tugas) yang dilakukan oleh umat.
Kewajiban untuk *Tafaqquh* adalah investasi jangka panjang umat. Sementara jihad fisik dapat menyelesaikan konflik segera, *Tafaqquh* menjamin kelangsungan peradaban Islam selama berabad-abad melalui transmisi ilmu yang akurat dan relevan. Ini adalah perbedaan antara kemenangan sementara dan kejayaan abadi.
Surat At-Taubah ayat 122 merupakan salah satu ayat paling fundamental dalam Syariah yang mengatur keseimbangan antara aksi dan refleksi, antara tugas duniawi dan tugas spiritual. Ayat ini menolak ide bahwa setiap orang harus terlibat dalam setiap tugas secara serentak.
Ayat ini menetapkan:
Kepatuhan terhadap ayat ini memastikan umat Islam memiliki fondasi intelektual yang kuat untuk menahan badai zaman, sambil tetap aktif dalam menjalankan peran mereka sebagai khalifah di muka bumi. Kekuatan *Tafaqquh* adalah prasyarat untuk *Indzar* yang efektif, dan *Indzar* yang efektif adalah kunci untuk menjaga *Taqwa* (kehati-hatian) di kalangan umat: ﴿لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ﴾.
Dengan demikian, Surat At-Taubah ayat 122 mengajarkan bahwa pengetahuan yang mendalam dan terspesialisasi adalah garis pertahanan spiritual dan intelektual pertama bagi umat Islam, sebuah tugas yang harus diprioritaskan dan dijaga dengan sungguh-sungguh.
Dalam memahami ayat yang mulia ini, kita harus menyadari bahwa panggilan untuk jihad (nafar) dan panggilan untuk ilmu (tafaqquh) bukanlah dua pilihan yang saling meniadakan, melainkan dua sayap yang harus dikembangkan bersama-sama agar umat dapat terbang tinggi dalam menggapai ridha Allah SWT.
Oleh karena itu, setiap muslim memiliki tanggung jawab—apakah ia berada dalam kelompok yang 'nafar' (berjuang dalam profesinya) atau kelompok yang 'tafaqquh' (mempelajari agama)—untuk memastikan bahwa keseimbangan ini terjaga di komunitasnya, demi mencapai keselamatan dan keberuntungan di dunia maupun di akhirat.
Sistem ini, yang diatur secara ilahi melalui Surat At-Taubah ayat 122, menunjukkan visi Islam yang holistik, di mana peran ulama dan peran pelaksana tugas praktis saling mendukung dan memperkuat, bukan saling melemahkan. Pemeliharaan ilmu adalah pemeliharaan peradaban itu sendiri.
Tidaklah sempurna suatu komunitas kecuali ia memiliki kelompok yang berdedikasi secara penuh untuk menggali hikmah dan hukum Allah, dan memiliki kelompok yang berdedikasi untuk melaksanakan dan menyebarluaskan prinsip-prinsip tersebut di lapangan. Prinsip ini adalah inti dari ayat 122 At-Taubah, sebuah pedoman abadi bagi manajemen sumber daya manusia dalam masyarakat Islam.