Surat At-Taubah, surah kesembilan dalam Al-Qur’an, dikenal sebagai surah yang tidak diawali dengan *Basmalah*. Karakteristik ini mencerminkan kandungan utamanya yang berkaitan dengan ketegasan, pemutusan perjanjian dengan kaum musyrikin, dan penetapan batasan-batasan yang jelas antara keimanan sejati dan kemunafikan. Di antara rangkaian ayat-ayat yang memisahkan antara haq dan bathil, Surat At-Taubah Ayat 18 berdiri sebagai mercusuar yang menetapkan kriteria fundamental bagi mereka yang berhak mengurus, memakmurkan, dan memelihara rumah-rumah Allah, yaitu masjid.
Ayat ini diturunkan pada periode penting dalam sejarah Islam, yakni saat umat Muslim telah meraih kekuatan dan mulai menghadapi tantangan internal serta eksternal terkait legitimasi kepemimpinan dan kesucian tempat ibadah. Sebelumnya, kaum musyrikin Mekah membanggakan diri dengan tugas mereka memberi minum dan memelihara Ka'bah. Ayat 18 ini datang untuk menegaskan bahwa pemeliharaan fisik semata, tanpa fondasi keimanan yang kokoh, tidak memiliki nilai di sisi Allah SWT. Ini adalah penegasan ilahi bahwa otoritas spiritual dan fisik atas masjid hanya layak diemban oleh para mukmin sejati.
Memahami inti ayat ini membutuhkan penghayatan terhadap setiap diksi yang digunakan. Allah SWT berfirman:
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ ۖ فَعَسَىٰ أُولَٰئِكَ أَن يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ
“Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan salat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah. Maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. At-Taubah: 18)
Ayat ini memberikan lima pilar utama yang harus dimiliki oleh penjaga dan pengurus masjid Allah. Kelima pilar ini tidak dapat dipisahkan; mereka membentuk satu kesatuan identitas spiritual dan praktikal yang mendefinisikan seorang mukmin yang memenuhi syarat ilahi untuk memegang amanah Imarah (pemakmuran) masjid.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, kita harus menyelami makna mendalam dari kata-kata kunci yang digunakan dalam struktur bahasa Arab ayat ini, khususnya penggunaan *Innama* dan istilah *Ya'muru*. Kedalaman linguistik ini mengungkapkan urgensi dan eksklusivitas syarat yang ditetapkan oleh Allah SWT.
Penggunaan partikel إِنَّمَا (*Innama*) di awal ayat adalah salah satu aspek linguistik terpenting. Dalam kaidah bahasa Arab, *Innama* berfungsi sebagai *hasr* (pembatasan) atau *qasr* (eksklusivitas). Ini berarti bahwa kalimat setelahnya adalah benar-benar terbatas dan dikhususkan hanya untuk subjek yang disebutkan.
Para ahli tafsir, termasuk Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam *Mafatih al-Ghaib*, menekankan bahwa *Innama* menolak segala anggapan bahwa orang selain yang memiliki lima kriteria ini dapat dianggap sebagai pemakmur sejati masjid. Ini secara langsung menyingkirkan klaim kaum musyrikin (yang dibahas di ayat sebelumnya, At-Taubah: 17) yang bangga dengan jasa mereka dalam memelihara Ka'bah tanpa iman. Allah menegaskan: Pemakmuran yang bernilai hanyalah milik para mukmin, bukan yang lain.
Pembatasan ini bukan hanya penolakan terhadap musuh, tetapi juga penekanan internal bagi umat Islam: tugas kepengurusan masjid adalah tugas keagamaan, bukan politik atau sosial semata, dan ia mensyaratkan integritas spiritual yang tinggi. Tanpa iman yang sejati, pemeliharaan fisik hanyalah pekerjaan konstruksi, bukan *Imarah* (pemakmuran) yang dimaksudkan secara syar'i.
Kata kerja *Ya'muru* (bentuk mudhari' dari *’Amara*) diterjemahkan sebagai 'memakmurkan', 'memelihara', atau 'mengurus'. Namun, makna dalam konteks masjid jauh melampaui pemeliharaan fisik (pembangunan dan kebersihan).
Tafsir klasik membagi makna *Imarah* menjadi dua dimensi yang saling melengkapi:
Ayat 18 mengisyaratkan bahwa pemakmuran sejati adalah gabungan dari keduanya. Seseorang yang membangun masjid tetapi tidak pernah shalat di dalamnya, atau seorang pengurus yang menjaga kebersihan lantai tetapi membiarkan masjid kosong dari kegiatan ilmu, belum memenuhi syarat *Ya'muru* yang dituntut oleh ayat ini. Syarat-syarat keimanan yang disebutkan berikutnya menunjukkan bahwa dimensi spiritual (hati yang beriman) adalah prasyarat mutlak untuk dimensi fisiknya.
Setelah menetapkan eksklusivitas pemakmuran, ayat ini menguraikan lima kriteria fundamental. Ini adalah esensi dari identitas pemakmur masjid yang disyaratkan oleh syariat.
Keimanan adalah fondasi utama. Ayat ini secara eksplisit menyebutkan dua rukun iman yang paling mendasar: iman kepada Allah (Tauhid) dan iman kepada Hari Akhir (Pertanggungjawaban). Kedua rukun ini membentuk motif utama di balik semua perbuatan. Iman kepada Allah memberikan arah dan tujuan ibadah, sementara iman kepada Hari Akhir memberikan dorongan untuk melakukan amal saleh dan menjaga kualitas amal (ikhlas), karena setiap perbuatan akan dipertanggungjawabkan.
Imam Al-Qurtubi menjelaskan bahwa iman yang dimaksud di sini adalah iman yang menyeluruh (*al-iman al-kamil*), bukan sekadar pengakuan lisan. Keimanan ini harus mengakar kuat sehingga mampu menolak segala bentuk syirik dan kemunafikan yang menjadi ciri utama orang-orang yang tidak layak mengurus masjid. Tanpa keimanan ini, segala upaya pemeliharaan fisik hanyalah sebuah pertunjukan atau tradisi belaka, tanpa nilai spiritual yang berkelanjutan.
Salat adalah tiang agama dan koneksi langsung antara hamba dan Rabbnya. Penggunaan diksi *Aqamas Salah* (mendirikan shalat), bukan sekadar *shallaa* (melakukan shalat), menunjukkan tuntutan yang lebih tinggi.
*Iqamat as-Salat* (mendirikan shalat) mencakup beberapa aspek:
Orang yang berhak memakmurkan masjid adalah mereka yang menjadikan masjid sebagai rumah spiritualnya, yang terlihat dari komitmennya terhadap shalat berjamaah. Bagaimana mungkin seseorang mengklaim memelihara rumah Allah, sementara ia sendiri absen dari ritual utamanya di rumah tersebut?
Zakat adalah bukti nyata dari keimanan sosial dan pengakuan atas hak fakir miskin dalam harta kita. Penyebutan zakat setelah shalat menunjukkan keterkaitan erat antara ibadah vertikal (*hablum minallah*) dan ibadah horizontal (*hablum minannas*).
Mengapa zakat menjadi syarat bagi pemakmur masjid? Zakat melambangkan dua hal:
Dalam konteks modern, ini dapat diperluas mencakup keadilan finansial dan transparansi dalam pengelolaan aset masjid. Pengurus harus jujur dan murah hati, mencerminkan nilai-nilai zakat dalam setiap aspek manajemen masjid.
Kriteria ini seringkali diletakkan terakhir karena ia merupakan puncak dari keimanan, yang menyaring keaslian amal. *Khauf* (rasa takut) kepada Allah adalah kunci keberanian dan kejujuran dalam beramal.
Jika seorang pengurus masjid takut kepada manusia (penguasa, donatur, atau tekanan sosial) lebih dari ia takut kepada Allah, ia cenderung berkompromi dengan prinsip-prinsip syariat, membiarkan kemaksiatan terjadi di lingkungan masjid, atau menggunakan masjid untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Ayat ini menuntut keberanian moral dan spiritual. Pemakmur masjid haruslah orang yang teguh dalam kebenaran, siap menghadapi kritik atau bahaya demi menjaga kemurnian dan fungsi masjid sebagai tempat ibadah murni.
Imam Ibnu Katsir mengaitkan poin ini dengan konteks penurunan ayat, di mana banyak orang munafik takut kepada kaum musyrikin atau demi menjaga kedudukan duniawi mereka. Ayat ini menegaskan bahwa penjaga rumah Allah haruslah pahlawan iman yang hatinya hanya terisi oleh *khaufullah*.
Ayat ditutup dengan harapan (فَعَسَىٰ). Meskipun mereka telah memenuhi empat kriteria fundamental, Allah menggunakan diksi harapan, bukan kepastian mutlak. Ini adalah pengingat penting bagi setiap mukmin: tidak ada jaminan mutlak atas hasil (petunjuk/hidayah), namun kriteria-kriteria tersebut adalah jalan yang paling kokoh menuju petunjuk Allah.
Penggunaan kata *‘Asa* (semoga/diharapkan) mengandung makna *tarajji* (harapan), yang dalam konteks firman Allah sering kali diartikan sebagai janji yang pasti. Namun, secara implisit, ia menanamkan sifat kerendahan hati (*tawadhu’*) pada pelaksana. Meskipun telah beramal, seorang mukmin tidak boleh sombong, karena hasil akhir tetap berada di tangan Allah SWT. Kesempurnaan amal terletak pada kontinuitas dan keikhlasan, yang harus dijaga hingga akhir hayat.
Ayat 18 Surah At-Taubah tidak dapat dipisahkan dari ayat sebelumnya (Ayat 17), yang mencela kaum musyrikin yang merasa bangga dengan pemeliharaan Ka'bah mereka, padahal mereka sendiri bersaksi atas kekafiran mereka. Ayat 18 menjadi jawaban definitif dan kontra-narasi ilahi terhadap klaim mereka.
Ibnu Katsir menekankan bahwa amal shalih harus didasarkan pada iman yang benar. Beliau mencatat bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah kalian mengizinkan orang musyrik masuk ke masjid-masjid kami," sebagai penegasan terhadap makna *Innama* (eksklusivitas).
Menurut Ibnu Katsir, pemakmuran yang diakui adalah yang dilakukan dengan niat ikhlas dan dibarengi dengan ibadah ritual yang shahih (shalat dan zakat). Intinya adalah bahwa batu-batu masjid harus dihidupkan oleh hati yang berzikir dan bertauhid. Jika hati pelakunya kosong dari Tauhid, maka bangunan itu hanyalah bangunan kosong di mata syariat, meskipun megah.
Imam Al-Qurtubi, seorang ahli fiqih dan tafsir, membahas implikasi hukum dari ayat ini. Beliau menyimpulkan bahwa ayat ini adalah dalil terkuat untuk menetapkan bahwa non-Muslim (musyrikin) secara tegas dilarang menjadi pengurus, pengelola, atau wali atas masjid-masjid kaum Muslimin.
Lebih jauh, Al-Qurtubi berpendapat bahwa kriteria yang disebutkan (iman, shalat, zakat, tidak takut selain Allah) juga menjadi tolok ukur ideal untuk kepemimpinan umat secara umum. Jika syarat untuk mengurus masjid saja demikian ketatnya, maka syarat untuk memimpin negara atau komunitas pasti harus lebih ketat lagi. Beliau juga mencatat perbedaan antara *Imarah* (memakmurkan, menghidupkan) dan *Bina'* (membangun). Seorang mukmin yang miskin mungkin tidak mampu membangun, tetapi ia mampu memakmurkan secara spiritual melalui kehadirannya dalam shalat berjamaah.
Imam At-Tabari, dalam tafsirnya *Jami' al-Bayan*, sangat fokus pada kontras antara Ayat 17 dan 18. Ayat 17 menjelaskan bahwa amalan kaum musyrikin itu sia-sia karena kekafiran mereka. Kemudian, Ayat 18 hadir untuk mendefinisikan kriteria yang amalnya diterima.
At-Tabari menjelaskan bahwa pemakmuran fisik masjid hanyalah sarana, sedangkan tujuan utamanya adalah pemakmuran dengan ketaatan. Ia mencatat bahwa *khauf* (rasa takut) ditekankan karena ia adalah pengontrol utama dari *riya'* (pamer) dan *sum’ah* (mencari popularitas). Hanya orang yang takut kepada Allah yang akan mengurus masjid dengan niat murni, jauh dari kepentingan politik atau pribadi.
Ayat 18 memberikan landasan hukum yang kuat dalam menetapkan siapa yang berhak mengurus urusan masjid, mulai dari imam, muazin, hingga pengelola harta wakaf masjid. Kriteria-kriteria ini berfungsi sebagai filter spiritual dan moral bagi panitia DKM (Dewan Kemakmuran Masjid) di seluruh dunia.
Pemakmuran spiritual adalah prioritas. Pengurus DKM memiliki kewajiban untuk memastikan masjid berfungsi sebagai pusat spiritualitas. Hal ini mencakup:
Kriteria keimanan, shalat, dan zakat, jika diterapkan pada pengurus, menuntut mereka memiliki rekam jejak yang baik dalam ketaatan pribadinya. Pengurus yang jarang shalat atau meremehkan zakat secara otomatis kehilangan legitimasi moral untuk memimpin rumah ibadah.
Kewajiban menunaikan zakat (Pilar Ketiga) secara tidak langsung menuntut integritas finansial dalam pengelolaan masjid. Masjid seringkali menerima sumbangan, wakaf, dan infak yang besar. Pengurus harus memiliki sifat *amanah* yang tinggi, yang teruji melalui kepatuhan mereka terhadap zakat pribadi.
Dalam manajemen masjid, implikasi dari pilar zakat adalah tuntutan atas:
Pilar keempat, tidak takut kecuali kepada Allah, adalah penentu independensi masjid. Dalam masyarakat modern, masjid sering menghadapi tekanan dari berbagai pihak: politik, bisnis, atau kelompok kepentingan tertentu. Pengurus yang tidak memiliki *khaufullah* sejati akan mudah disuap atau diintervensi, mengubah fungsi masjid dari pusat ibadah menjadi markas kepentingan duniawi.
Pemakmur masjid harus berani:
Keberanian ini berakar pada keyakinan bahwa rezeki dan perlindungan hanya datang dari Allah, dan bukan dari manusia yang berpotensi menyokong atau mengancam kedudukan mereka.
Surat At-Taubah secara keseluruhan merupakan seruan untuk membersihkan barisan umat dari kemunafikan dan ketidaktegasan. Ayat 18 menempatkan kriteria pemakmuran masjid sebagai ujian keaslian keimanan. Masjid adalah barometer kesehatan spiritual suatu komunitas. Jika masjid dikelola oleh orang-orang yang memenuhi lima kriteria ini, komunitas tersebut cenderung makmur secara rohani.
Ayat ini mengajarkan sinkronisasi sempurna antara keyakinan batiniah (Iman kepada Allah dan Akhirat) dan manifestasi lahiriah (Shalat dan Zakat). Iman yang tidak membuahkan amal nyata dianggap cacat. Demikian pula, amal tanpa iman yang tulus hanya menjadi gerakan fisik tanpa ruh.
Hubungan antara Shalat dan Zakat di sini sangat instruktif. Shalat adalah ibadah yang menghadirkan hati kepada Allah, membersihkan jiwa dari dosa-dosa kecil, dan melatih disiplin. Zakat adalah ibadah yang membersihkan hati dari kecintaan berlebihan terhadap dunia dan membersihkan harta. Keduanya, ketika dipenuhi, menghasilkan pribadi yang utuh, siap mengemban amanah suci mengurus rumah-rumah Allah.
Di era modern, konsep *Ya'muru Masajidallah* meluas. Pemakmuran tidak lagi terbatas pada dinding fisik masjid.
Namun, semua inovasi modern ini tidak akan bernilai jika pilar-pilar internal yang disebutkan dalam Ayat 18 (Iman, Shalat, Zakat, Khaufullah) diabaikan. Teknologi hanyalah alat; jiwanya tetap harus bersumber dari keikhlasan dan ketundukan total kepada Allah.
Surat At-Taubah Ayat 18 bukan sekadar deskripsi pekerjaan bagi pengurus DKM. Ayat ini adalah cerminan bagi setiap Muslim tentang apa arti sebenarnya dari kehidupan yang berpusat pada ketaatan. Ia mengajarkan bahwa ketaatan ritual harus selaras dengan kepatuhan sosial dan keberanian moral.
Ayat ini mengukuhkan bahwa kemuliaan suatu tempat (masjid) ditentukan oleh kemuliaan hati orang-orang yang mengisinya. Hanya hati yang diterangi iman kepada Allah dan Hari Akhir, yang tunduk dalam shalat, yang murah hati dalam zakat, dan yang hanya takut kepada Penciptanya, yang berhak disebut sebagai pemakmur sejati. Merekalah golongan yang dijanjikan, atau lebih tepatnya, yang sangat diharapkan, untuk berada di antara orang-orang yang mendapat petunjuk (*al-Muhtadin*).
Maka, tugas kita sebagai umat Islam adalah selalu menguji kualitas iman kita melalui lima kriteria ini, baik dalam lingkup pribadi maupun saat memikul amanah publik, khususnya dalam mengurus rumah-rumah Allah. Sebab, pemakmuran masjid adalah simbol dari pemakmuran jiwa dan masyarakat secara keseluruhan.