Surat At-Taubah, yang dikenal juga sebagai Al-Bara’ah (Pemutusan Hubungan), merupakan salah satu surat terpenting dalam Al-Qur’an yang memuat ketetapan-ketetapan hukum dan deklarasi hubungan antara umat Islam dan kaum musyrikin di jazirah Arab. Ayat-ayat dalam surat ini diturunkan pada periode penting setelah penaklukan Makkah, menetapkan batas-batas yang jelas mengenai wilayah suci dan hakikat keimanan.
Di antara ayat-ayat krusial yang membentuk fondasi hukum Islam terkait kesucian tempat ibadah adalah Surat At-Taubah Ayat 28. Ayat ini bukan hanya sebuah larangan ritual, tetapi juga sebuah pernyataan politik, sosial, dan ekonomi yang mengubah tatanan masyarakat Makkah secara fundamental. Pemahaman mendalam terhadap ayat ini memerlukan telaah dari berbagai sudut pandang: sejarah penurunan, implikasi hukum (fiqh), tafsir, dan dimensi ekonomi spiritual.
Pembahasan ini akan mengupas tuntas setiap frasa dalam Surat At-Taubah ayat 28 untuk memahami makna sejati dari larangan tersebut, alasan di balik penetapannya, dan bagaimana Allah SWT menjamin kesejahteraan umat Islam meskipun terjadi pergeseran ekonomi yang signifikan akibat pelaksanaan hukum ilahi ini.
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis (kotor jiwa), maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin (karena terputusnya hubungan dagang), maka Allah nanti akan memberimu kekayaan dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 28)
Ayat 28 ini diturunkan pada tahun kesembilan hijriah, yang dikenal sebagai tahun delegasi (Amul Wufud), setelah kemenangan besar umat Islam dalam Fathu Makkah (Penaklukan Makkah) dan sebelum Perang Tabuk. Ini adalah masa di mana otoritas Islam telah mapan di seluruh Jazirah Arab.
Surat At-Taubah secara keseluruhan berfungsi sebagai deklarasi akhir. Setelah Makkah ditaklukkan, masih ada sisa-sisa perjanjian yang berlaku dengan beberapa suku musyrik, namun banyak dari mereka yang terus melanggar perjanjian atau menunjukkan permusuhan tersembunyi. Deklarasi yang disampaikan oleh Ali bin Abi Thalib pada musim haji tahun ke-9 H secara efektif membatalkan semua perjanjian dengan kaum musyrikin dan memberikan tenggat waktu empat bulan bagi mereka untuk memilih: masuk Islam atau meninggalkan kawasan suci.
Ayat 28 ini adalah puncak dari deklarasi tersebut, secara spesifik menyasar akses ke Masjidil Haram. Sebelum penetapan ini, kaum musyrikin secara rutin berpartisipasi dalam haji dan umrah (walaupun dengan ritual yang telah mereka ubah) dan menggunakan momen tersebut untuk berdagang. Adanya berhala-berhala di sekitar Ka’bah dan praktek-praktek syirik mereka dianggap menodai kesucian rumah ibadah yang didirikan oleh Nabi Ibrahim AS untuk mengesakan Allah.
Dua kata kunci utama yang memerlukan penelaahan mendalam dalam ayat ini adalah Al-Mushrikūn (kaum musyrikin) dan Najāsun (najis).
Istilah Mushrikūn merujuk pada mereka yang menyekutukan Allah SWT, baik melalui penyembahan berhala, bintang, maupun praktik-praktik syirik lainnya. Dalam konteks ayat ini, musyrikin dibedakan dari Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani), meskipun secara teologis Ahli Kitab juga memiliki unsur kesyirikan (seperti keyakinan trinitas), namun status hukum dan perjanjian mereka ditangani secara berbeda dalam ayat-ayat lain Surat At-Taubah (khususnya ayat 29).
Frasa إِنَّمَا ٱلْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ (Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis) adalah jantung dari larangan ini. Para ulama tafsir sepakat bahwa kata ‘najis’ di sini tidak merujuk pada najis fisik atau material sebagaimana air liur anjing atau kotoran. Sebagian besar mufasir, seperti Imam Qurtubi dan Ibn Katsir, menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah ‘najis rohani’ atau ‘najis akidah’.
Penetapan status najāsun ini adalah kunci untuk memahami alasan pelarangan: menjaga kemurnian spiritual dan ritual dari tempat ibadah sentral umat Islam.
Penerapan hukum dari firman فَلَا يَقْرَبُوا۟ ٱلْمَسْجِدَ ٱلْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَٰذَا menimbulkan diskusi panjang di kalangan fuqaha mengenai sejauh mana jangkauan larangan ini.
Apakah larangan hanya berlaku untuk Masjidil Haram (bangunan Ka’bah dan pelatarannya) atau mencakup seluruh Tanah Haram (Haram Makkah)?
Jumhur ulama, termasuk Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali, sepakat bahwa larangan ini mencakup seluruh kawasan Tanah Haram Makkah, bukan hanya bangunan Masjidil Haram itu sendiri. Tanah Haram memiliki batas-batas tertentu yang telah ditetapkan sejak masa Nabi Ibrahim AS dan diperkuat oleh Nabi Muhammad SAW. Larangan ini bertujuan melindungi kesucian seluruh area yang mencakup Makkah dan sekitarnya dari polusi spiritual kesyirikan. Setelah masa tenggang berakhir, kaum musyrikin dilarang memasuki area tersebut.
Timbul pertanyaan: apakah larangan ini berlaku juga untuk Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani)?
Ayat ini secara spesifik menyebut Masjidil Haram. Bagaimana dengan Masjid Nabawi di Madinah, atau masjid-masjid lain di luar Jazirah Arab?
Mengenai Madinah: Konsensus ulama menyatakan bahwa kawasan Madinah (secara khusus Masjid Nabawi dan Tanah Haram Madinah) juga memiliki larangan serupa bagi kaum non-muslim, berdasarkan perintah Nabi Muhammad SAW di akhir hayatnya agar tidak ada dua agama yang bertahan di Jazirah Arab. Madinah dianggap sebagai kawasan suci kedua setelah Makkah.
Mengenai Masjid di Luar Jazirah Arab: Di luar dua kota suci ini, terjadi perbedaan pendapat yang luas (khilafiyah):
Intinya, hukum pelarangan yang ditegaskan At-Taubah 28 ini adalah hukum yang sangat spesifik dan ketat yang berlaku hanya di wilayah Tanah Haram Makkah dan Tanah Haram Madinah, sebagai upaya penegasan monoteisme di pusat agama Islam.
Bagian kedua dari ayat 28 membahas kekhawatiran yang muncul di hati para sahabat saat hukum pelarangan ini diumumkan:
وَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ ٱللَّهُ مِن فَضْلِهِۦٓ إِن شَآءَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberimu kekayaan dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.)
Makkah secara historis adalah pusat perdagangan regional. Sebelum Islam, musim haji adalah puncak transaksi komersial. Ketika kaum musyrikin—yang seringkali adalah para pedagang besar dari berbagai suku—dilarang memasuki Makkah, kekhawatiran langsung muncul di kalangan Muslim Makkah yang bisnisnya sangat bergantung pada arus pengunjung dan peziarah tersebut. Mereka takut bahwa ketiadaan kaum musyrikin akan menyebabkan ‘aylah (kemiskinan atau kesulitan finansial).
Kekhawatiran ini adalah naluri manusiawi yang wajar. Mereka melihat bahwa pelaksanaan syariat secara penuh mungkin bertabrakan dengan kepentingan ekonomi jangka pendek mereka. Ayat ini turun sebagai penawar bagi kekhawatiran tersebut, menegaskan bahwa ketaatan kepada perintah Allah tidak akan pernah menghasilkan kerugian abadi.
Allah SWT memberikan jaminan yang pasti: “fasawfa yughnīkumullāhu min faḍlihi” (maka Allah nanti akan memberimu kekayaan dari karunia-Nya).
Para mufasir menjelaskan bahwa janji kekayaan ini terwujud dalam beberapa cara, yang semuanya terjadi tak lama setelah ayat ini diturunkan:
Jaminan ini mengajarkan sebuah prinsip fundamental dalam Islam: ketika syariat Allah diterapkan secara total, kekayaan dan rezeki akan datang bukan melalui cara-cara yang dilarang, tetapi melalui pintu-pintu karunia yang dibuka langsung oleh-Nya. Ini adalah pelajaran tentang tawakal yang disertai dengan upaya yang benar.
Ayat ini ditutup dengan frasa “in shā’a” (jika Dia menghendaki). Meskipun Allah telah berjanji, penyertaan frasa ini menegaskan bahwa rezeki tetap bergantung pada kehendak mutlak Allah, sekaligus mengingatkan bahwa kekayaan bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana yang diberikan berdasarkan hikmah-Nya.
Ini membedakan janji rezeki Ilahi dari sekadar prediksi ekonomi. Rezeki yang dimaksud mungkin tidak selalu berbentuk harta benda yang melimpah (ghina'), tetapi bisa juga berupa kepuasan jiwa (istiqna'), keamanan, dan kemakmuran komunitas secara keseluruhan. Janji ini datang dari Zat yang ٱللَّهَ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana), yang mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-Nya dan kapan waktu yang tepat untuk memberikannya.
Untuk benar-benar memahami kedalaman ayat 28, penting untuk membedah lebih lanjut konsep najis spiritual yang menjadi dasar pelarangan. Kenapa kesyirikan dianggap najis sedemikian rupa sehingga memerlukan pemisahan fisik di tempat yang paling suci?
Dalam Islam, kesucian fisik (taharah) selalu bergandengan dengan kesucian spiritual. Masjidil Haram adalah tempat di mana manusia harus sepenuhnya menyerahkan diri kepada Allah tanpa perantara (Tauhid). Kehadiran musyrikin, yang menyekutukan Allah, secara simbolis dianggap merusak atmosfer Tauhid tersebut. Najisnya mereka bukan pada kulit atau pakaian mereka, melainkan pada inti keyakinan (qalb) yang mereka bawa. Ayat ini menekankan bahwa kesucian tempat ibadah tidak hanya diukur dari kebersihan lantai, tetapi juga dari kemurnian akidah para penghuninya.
Beberapa ulama kontemporer menekankan bahwa larangan ini berfungsi sebagai 'pendidikan' bagi umat Islam. Ia mengajarkan umat untuk memprioritaskan kesucian akidah di atas segala pertimbangan duniawi, termasuk keuntungan dagang. Jika umat Islam mengizinkan kesyirikan bercampur dengan Tauhid demi keuntungan sesaat, maka mereka telah gagal dalam mengemban misi inti agama ini.
Pelarangan ini diberlakukan setelah 'tahun ini' (yaitu, tahun 9 Hijriah). Penetapan jangka waktu ini menunjukkan Hikmah (kebijaksanaan) Ilahi. Allah memberikan waktu transisi yang cukup bagi kaum musyrikin untuk menyelesaikan urusan mereka, termasuk perjanjian dagang dan perumahan, sebelum larangan total berlaku. Ini menunjukkan keadilan Islam bahkan dalam penerapan hukuman atau batasan yang ketat. Setelah tahun tersebut, tidak ada alasan lagi bagi mereka untuk berada di Tanah Haram.
Di era modern, di mana mobilitas global sangat tinggi, penerapan hukum At-Taubah 28 sering menjadi topik diskusi, terutama terkait dengan tenaga kerja non-Muslim di Arab Saudi dan kebijakan visa.
Meskipun ayat 28 secara spesifik hanya melarang memasuki Masjidil Haram (dan secara hukum diperluas ke Tanah Haram), praktik pemerintahan di Arab Saudi didasarkan pada Hadis Nabi SAW yang memerintahkan agar kaum non-muslim dikeluarkan dari Jazirah Arab (yang merupakan konteks yang lebih luas dari Tanah Haram Makkah dan Madinah). Namun, hal ini sering diinterpretasikan dalam konteks kontemporer sebagai larangan permanen atau kependudukan bagi non-Muslim, namun memperbolehkan mereka tinggal sebagai pekerja temporer (ekspatriat) di luar zona suci (Haramain). Mereka dilarang keras memasuki Makkah dan Madinah.
Hukum fiqih yang berlaku saat ini tetap sangat ketat: non-Muslim dilarang memasuki Makkah dan Madinah. Hal ini berlaku untuk semua tujuan, baik wisata, ibadah, maupun perdagangan. Pelaksanaan larangan ini memerlukan pos pemeriksaan ketat di perbatasan kedua kota suci tersebut.
Interpretasi modern menguatkan bahwa meskipun konteks aslinya adalah pengusiran musyrikin yang menyembah berhala, larangan tersebut diperluas kepada semua non-Muslim karena alasan perlindungan kesucian Tanah Haram, yang tidak boleh dinodai oleh praktik atau kehadiran yang bertentangan dengan prinsip Tauhid murni.
Kisah tentang kekhawatiran kemiskinan dan janji rezeki dalam ayat 28 tetap relevan. Ini menjadi pelajaran bagi umat Islam di mana pun bahwa menjalankan perintah Allah, seperti menghindari riba, menunaikan zakat, atau berpegang pada prinsip halal dalam bisnis, mungkin tampak merugikan secara ekonomi dalam jangka pendek. Namun, ayat ini menjamin bahwa ketaatan adalah sumber keberkahan dan kekayaan hakiki, yang sering kali datang dari arah yang tidak disangka-sangka.
Janji Allah dalam ayat ini telah terbukti secara historis, di mana Makkah dan Madinah bukan hanya bertahan setelah larangan itu, tetapi justru menjadi pusat spiritual dan ekonomi yang lebih kuat berkat keutamaan yang Allah berikan kepada tempat suci tersebut, melalui karunia dari Fadhilah-Nya.
Surat At-Taubah Ayat 28 adalah fondasi yang mengajarkan beberapa prinsip fundamental dalam syariat dan kehidupan Muslim:
Ayat ini mengajarkan prioritas tertinggi umat Islam: menjaga kemurnian akidah dan kesucian tempat ibadah. Ketika terjadi konflik antara keuntungan materi (perdagangan) dan kemurnian spiritual (Tauhid), yang harus didahulukan adalah Tauhid. Tidak ada kompromi dalam masalah akidah, bahkan jika itu harus dibayar dengan potensi kerugian ekonomi sementara.
Ayat ini menuntut tawakal (penyerahan diri kepada Allah), tetapi tawakal yang proaktif. Sahabat diperintahkan untuk menjalankan larangan (tugas yang berat), dan sebagai imbalannya, Allah berjanji akan memberikan rezeki. Tawakal bukan berarti berdiam diri, tetapi melaksanakan perintah Allah dengan keyakinan penuh bahwa Dialah yang menjamin hasilnya.
Ayat ini menunjukkan kekuasaan legislasi (Tasyri’) Allah. Hanya Allah yang berhak menetapkan batas-batas, mengumumkan larangan, dan memberikan jaminan. Hal ini mengokohkan peran Rasulullah SAW sebagai pembawa risalah dan meniadakan keraguan bahwa hukum-hukum tersebut ditetapkan berdasarkan kepentingan pribadi, melainkan berdasarkan Hikmah Ilahi yang tak terbatas.
Secara keseluruhan, Surat At-Taubah ayat 28 adalah manifestasi dari keadilan, ketaatan, dan keyakinan spiritual. Ia menetapkan batas fisik di Makkah, sekaligus batas spiritual dalam hati setiap Muslim. Ayat ini memastikan bahwa setiap langkah ketaatan, betapapun sulitnya di awal, akan selalu dibalas dengan karunia yang lebih besar dari Allah SWT, Raja segala rezeki dan kebijaksanaan.
Pemahaman ini mendorong setiap Muslim untuk tidak pernah takut akan hilangnya rezeki ketika berpegang teguh pada prinsip-prinsip syariat, sebab sumber rezeki sejati bukanlah manusia atau perdagangan, melainkan karunia (fadhilah) dari Allah yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.
Kedalaman tafsir dan analisis hukum yang terkandung dalam ayat ini memastikan relevansinya terus berlanjut sepanjang zaman. Ia menjadi penanda permanen akan batasan yang harus dijaga dalam pusat peribadatan umat Islam dan pengingat abadi akan jaminan rezeki bagi mereka yang memprioritaskan ketaatan kepada Sang Pencipta.
Penetapan hukum ini pada hakikatnya merupakan rahmat bagi umat Islam. Dengan menjaga kesucian Makkah dari segala bentuk kesyirikan, Allah memastikan bahwa pusat spiritual umat tetap murni dan dapat berfungsi sebagai mercusuar tauhid bagi seluruh dunia. Perlindungan geografis ini paralel dengan perlindungan akidah dari segala bentuk kekotoran spiritual. Konsekuensi ekonomi yang sempat dikhawatirkan hanyalah ujian sesaat yang digantikan oleh kemakmuran dan keberkahan yang jauh lebih besar dan berkelanjutan.
Dalam sejarah, janji ini terbukti secara nyata. Kekuatan ekonomi dan politik umat Islam meluas drastis setelah larangan ini ditegakkan, membuktikan bahwa sumber daya yang dibawa oleh musyrikin adalah sumber daya yang rapuh, sementara sumber daya yang dijamin oleh Allah adalah sumber yang tak terbatas dan kekal. Sejak saat itu, Makkah menjadi kota yang tidak hanya mandiri tetapi juga pusat daya tarik bagi umat dari seluruh penjuru dunia, membawa masuk kekayaan dan rezeki yang jauh melampaui masa pra-Islam.
Seluruh ayat ini menekankan pada kekuatan iman yang menembus batas-batas kekhawatiran materi. Orang-orang yang beriman diperintahkan untuk bersikap tegas dalam prinsip, dan Allah yang Maha Adil akan mengurus detail-detail praktis dan ekonomi sebagai hasilnya. Frasa penutup "Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana" berfungsi sebagai penutup yang sempurna, mengingatkan bahwa semua ketetapan hukum didasarkan pada pengetahuan mutlak tentang akibat jangka panjang dan hikmah yang mungkin tidak terlihat oleh manusia pada pandangan pertama.
Diskusi mengenai definisi 'najis' juga membawa kita pada pemahaman lebih dalam tentang esensi hubungan dengan non-Muslim. Meskipun Islam mengajarkan keadilan dan perlakuan baik kepada non-Muslim dalam urusan muamalah (sosial dan dagang), namun pada tingkat ibadah tertinggi dan dalam menjaga simbol Tauhid (Masjidil Haram), batas-batas harus ditarik dengan jelas. Status najis rohani ini adalah penegasan kualitatif tentang perbedaan fundamental antara keimanan (Tauhid) dan kesyirikan.
Ayat 28 At-Taubah ini, dengan segala kompleksitas tafsir dan fiqihnya, merupakan salah satu ayat hukum terpenting yang menetapkan identitas unik dan wilayah eksklusif bagi umat Islam di pusat spiritual mereka, sambil menanamkan keyakinan mutlak pada jaminan rezeki dari Allah SWT.
Uraian panjang ini, yang mencakup aspek sejarah, leksikal, fiqih mazhab klasik, hingga relevansi kontemporer, menunjukkan betapa kaya dan berlapisnya makna yang terkandung dalam satu ayat Al-Qur'an. Ia bukan sekadar larangan, tetapi sebuah program komprehensif untuk pembersihan spiritual dan kemandirian ekonomi umat yang beriman.
Dengan demikian, bagi setiap Muslim yang mempelajari ayat ini, ada panggilan ganda: pertama, untuk menjaga kesucian akidahnya sendiri agar terhindar dari 'najis' syirik, dan kedua, untuk memiliki kepercayaan penuh bahwa rezeki sejati datang dari karunia Allah, yang tidak akan pernah menelantarkan hamba-Nya yang taat.
Ayat ini juga menjadi bukti nyata bagaimana hukum syariah, meskipun terkadang terasa membatasi di awal, pada akhirnya membawa kepada kemaslahatan (kebaikan) yang jauh lebih besar bagi individu dan komunitas.
Penafsiran ini diperkaya dengan pemikiran dari berbagai madzhab fiqih yang semuanya bersepakat pada inti larangan di Tanah Haram, namun memiliki variasi pandangan terkait penerapannya di luar dua kota suci, yang mana menunjukkan kekayaan intelektual Islam dalam menanggapi hukum-hukum Illahi dalam konteks yang berbeda. Namun, ketetapan di Makkah tetap absolut dan tidak dapat diganggu gugat, sebagai pilar keesaan Allah di bumi.
Pengkajian mendalam terhadap setiap kata dan frasa dalam Surat At-Taubah ayat 28, mulai dari panggilan kepada orang beriman (Ya ayyuhalladzina amanu) hingga penegasan sifat Allah (Aliimun Hakim), membuka cakrawala pemahaman bahwa syariat adalah sistem yang terintegrasi, yang menyelaraskan urusan ibadah, ekonomi, dan politik di bawah payung Tauhid.
Larangan memasuki Masjidil Haram setelah tahun tersebut adalah batas yang mutlak. Batasan ini bukan hanya simbolis, melainkan merupakan penegasan praktis dari prinsip Al-Wala' wal Barā' (loyalitas dan pembebasan/antipati), di mana loyalitas sepenuhnya diberikan kepada keimanan dan pembebasan dari segala bentuk kesyirikan harus dijaga di pusat spiritual umat.
Mengenai kekhawatiran kemiskinan, respons Allah dalam ayat ini sangatlah menghibur dan memberi harapan. Ia menenangkan jiwa yang takut kehilangan sumber pendapatan yang biasa, dengan menjanjikan sumber rezeki yang lebih mulia dan berkelanjutan. Janji ini adalah penegasan terhadap ayat-ayat lain yang menyatakan bahwa Allah adalah Ar-Razaq (Pemberi Rezeki) dan bahwa ketakwaan adalah kunci pembuka pintu rezeki yang tak terduga (sebagaimana disebutkan dalam Surat At-Talaq).
Setiap Muslim diajarkan melalui ayat 28 ini untuk memandang segala keputusan syariat, terutama yang melibatkan pengorbanan duniawi, sebagai investasi spiritual jangka panjang yang hasilnya dijamin oleh Dzat yang tidak pernah mengingkari janji-Nya. Keberanian para sahabat dalam menerapkan larangan ini meskipun menghadapi potensi kerugian finansial adalah model keberanian iman yang harus dicontoh.
Ayat ini tetap menjadi rujukan utama dalam menentukan batasan geografis dan spiritual dalam Islam, menggarisbawahi pentingnya pemisahan yang jelas antara hak dan wilayah bagi kaum Muslim dan non-Muslim dalam konteks ibadah dan Tanah Suci. Pemurnian Makkah dari praktik kesyirikan adalah langkah penting menuju kesempurnaan agama yang dianut oleh seluruh umat Islam di dunia.
Dan pada akhirnya, janji Allah untuk mencukupi melalui karunia-Nya (min fadhlihi) melampaui sekadar transaksi dagang. Fadhilah Allah meliputi kemenangan, kedamaian, kemakmuran, dan kebahagiaan sejati yang tidak dapat dibeli dengan kekayaan duniawi semata. Inilah hikmah terbesar dari Surat At-Taubah Ayat 28.
Pemahaman yang mendalam terhadap setiap aspek ayat ini, dari larangan hingga janji rezeki, akan memperkuat keimanan dan membimbing umat menuju ketaatan yang menyeluruh, baik dalam urusan ritual maupun urusan duniawi.
Kajian yang begitu luas dan mendalam terhadap Surat At-Taubah Ayat 28 ini memastikan bahwa pesan utamanya—yaitu penegasan Tauhid di atas segala-galanya dan jaminan Rezeki bagi yang taat—akan terus menjadi cahaya bagi umat Islam.