Telaah Komprehensif Teori Keadilan Aristoteles: Fundasi Etika dan Politik

Keadilan, dalam khazanah pemikiran Barat, seringkali diidentifikasi sebagai kebajikan tertinggi dan fondasi utama bagi tata kelola negara yang ideal. Jauh sebelum era modern, filsuf Yunani terkemuka, Aristoteles (384–322 SM), telah menyajikan sebuah kerangka filosofis yang luar biasa rinci dan mendalam mengenai konsep ini, terutama dalam karya magnum opusnya, Ethika Nikomakheia (Etika Nicomachean), khususnya pada Buku V, dan juga dalam Politika. Teori keadilan Aristoteles (dikenal sebagai Dikaiosyne) tidak hanya berfokus pada distribusi sumber daya, tetapi juga mencakup moralitas pribadi dan sistem hukum, membedah keadilan menjadi beberapa kategori spesifik yang hingga kini masih menjadi referensi utama dalam filsafat politik dan hukum.

Aristoteles memulai analisisnya dengan memposisikan keadilan sebagai kebajikan yang sempurna, bukan hanya dalam kaitannya dengan diri sendiri—seperti kebajikan keberanian atau kesederhanaan—tetapi terutama dalam hubungannya dengan orang lain. Keadilan adalah kebajikan sosial (social virtue) yang menentukan bagaimana individu harus berinteraksi di dalam polis (negara-kota). Pemahaman ini membagi keadilan menjadi dua bidang utama: Keadilan Umum (General Justice) dan Keadilan Khusus (Particular Justice). Pemisahan inilah yang memungkinkan Aristoteles membangun sistem yang koheren, membedakan keadilan sebagai moralitas total dengan keadilan sebagai prinsip koreksi dan alokasi yang spesifik.

I. Keadilan Sebagai Kebajikan Universal (Dikaiosyne)

Bagi Aristoteles, Keadilan Umum atau Universal adalah sinonim dengan kebajikan moral secara keseluruhan, namun diterapkan dalam konteks hubungan sosial. Seseorang yang adil, dalam pengertian ini, adalah seseorang yang mempraktikkan semua kebajikan moral—seperti kejujuran, kesetiaan, dan kemurahan hati—dalam interaksinya dengan orang lain. Dengan kata lain, keadilan adalah kebajikan yang paling lengkap (perfect virtue) karena ia merupakan manifestasi dari kebaikan yang diarahkankan kepada sesama.

Penjelasan Aristoteles mengenai keadilan universal ini sangat erat kaitannya dengan konsep eudaimonia (hidup yang baik atau kebahagiaan). Karena manusia adalah makhluk politik (zoon politikon), pencapaian eudaimonia hanya mungkin terjadi dalam komunitas. Keadilan universal memastikan bahwa tatanan sosial yang diperlukan untuk mencapai hidup yang baik terpelihara. Jika semua warga negara bertindak secara adil dalam pengertian ini, maka polis akan berfungsi dengan harmonis, memungkinkan setiap individu untuk mencapai potensi tertingginya. Keadilan dalam makna luas ini adalah kepatuhan penuh terhadap hukum (nomos). Aristoteles berpendapat bahwa hukum yang dibuat dengan baik adalah cerminan dari nalar praktis (phronesis) yang bertujuan untuk menghasilkan dan memelihara kebahagiaan bagi komunitas politik. Oleh karena itu, mematuhi hukum berarti bertindak adil.

Namun, Aristoteles menyadari bahwa meskipun keadilan universal mencakup kepatuhan hukum, konsep tersebut terlalu luas untuk dijadikan pedoman praktis dalam kasus sengketa atau alokasi sumber daya. Inilah yang mendorongnya untuk beralih ke analisis yang lebih spesifik, yaitu Keadilan Khusus.

II. Keadilan Khusus: Inti Teori Aristoteles

Keadilan Khusus (Particular Justice) adalah fokus utama dalam analisis Aristoteles yang relevan hingga saat ini. Ini berurusan dengan distribusi kehormatan, kekayaan, dan segala sesuatu yang dapat dialokasikan di antara anggota komunitas, serta dengan koreksi terhadap ketidakseimbangan yang terjadi dalam transaksi atau kejahatan. Aristoteles membagi Keadilan Khusus menjadi dua kategori utama yang memiliki prinsip matematika dan logis yang berbeda:

  1. Keadilan Distributif (Dianemētikē Dikaiosynē).
  2. Keadilan Korektif atau Restoratif (Diorthōtikē Dikaiosynē).

III. A. Keadilan Distributif (Dianemētikē Dikaiosynē)

Keadilan Distributif berkaitan dengan pembagian barang atau kehormatan di dalam polis. Prinsip fundamentalnya adalah bahwa sumber daya publik harus dibagikan sesuai dengan kriteria yang relevan, yang oleh Aristoteles disebut sebagai 'merit' atau 'nilai' (axia). Ini adalah inti dari pemahaman keadilan sebagai kesetaraan proporsional.

Proporsi Geometris: Kesetaraan yang Tidak Sama

Berbeda dengan anggapan umum bahwa keadilan berarti semua orang menerima jumlah yang sama, Aristoteles berpendapat bahwa kesetaraan distributif harus didasarkan pada proporsi geometris. Ini berarti perlakuan yang setara harus diberikan kepada orang yang setara, dan perlakuan yang tidak setara harus diberikan kepada orang yang tidak setara, sebanding dengan merit mereka.

Diagram Keadilan Distributif Proporsional Diagram yang menunjukkan alokasi sumber daya A dan B kepada Individu 1 dan Individu 2 berdasarkan merit M1 dan M2. Individu 1 (Merit Tinggi) Alokasi A (Besar) Individu 2 (Merit Rendah) Alokasi B (Kecil) M1 / M2 = A / B
Ilustrasi Keadilan Distributif Aristoteles. Distribusi (A dan B) harus proporsional terhadap merit (M1 dan M2) dari individu yang menerima.

Rumus keadilan distributif dapat disajikan sebagai: Orang A : Barang A = Orang B : Barang B. Jika Orang A memiliki merit dua kali lipat dari Orang B, maka Barang A yang diterimanya harus dua kali lipat dari Barang B. Keadilan tercapai ketika rasio merit identik dengan rasio porsi. Ini adalah bentuk kesetaraan relasional, bukan kesetaraan absolut.

Permasalahan Kriteria Merit

Aristoteles sangat menyadari bahwa apa yang dianggap 'merit' adalah titik pertikaian utama dalam politik. Kriteria merit tidaklah baku, tetapi tergantung pada jenis rezim politik (politeia) yang berlaku:

Dalam pandangan Aristoteles, rezim yang paling adil adalah aristokrasi (atau politeia yang berorientasi pada kebajikan), karena ia mendistribusikan kekuasaan dan sumber daya berdasarkan kualitas moral yang paling berkontribusi pada kebaikan bersama polis. Oleh karena itu, keadilan distributif tidak hanya merupakan prinsip matematika, tetapi juga cerminan langsung dari nilai-nilai inti yang dianut oleh suatu komunitas politik. Jika suatu komunitas menghargai kekayaan di atas segalanya, maka keadilan distributif mereka akan mencerminkan hal tersebut, meskipun Aristoteles akan menganggapnya sebagai bentuk keadilan yang cacat.

Ekspansi mendalam keadilan distributif memerlukan pemahaman mengenai bagaimana distribusi ini diaplikasikan pada kekuasaan politik itu sendiri. Kekuasaan, kehormatan, dan jabatan publik adalah bentuk barang yang paling berharga untuk dialokasikan. Kesalahan dalam distribusi ini—memberikan kekuasaan kepada yang tidak layak atau memberikan porsi yang terlalu besar kepada yang layak hanya sedikit—adalah penyebab utama ketidakstabilan dan revolusi (stasis). Aristoteles mengamati bahwa setiap faksi dalam polis selalu menuntut keadilan bagi dirinya, seringkali keliru menyamakan keadilan parsial dengan keadilan absolut. Kaum demokrat menuntut keadilan karena mereka setara dalam kebebasan; kaum oligarkis menuntut keadilan karena mereka lebih unggul dalam kekayaan. Keadilan sejati, bagi Aristoteles, menuntut agar distribusi dilakukan hanya berdasarkan kebajikan politik dan kontribusi nyata terhadap tujuan polis, yaitu hidup yang baik.

Implikasi filosofis dari proporsi geometris ini sangat besar. Ia menolak egalitarianisme buta yang mengabaikan perbedaan kualitatif antar individu. Keadilan harus bersifat relasional. Jika dua petani menghasilkan dua ton gandum dan satu petani hanya menghasilkan satu ton, maka proporsi pembagian keuntungan yang adil adalah 2:1. Memberikan bagian yang sama (1.5:1.5) justru akan menciptakan ketidakadilan, karena itu akan merugikan merit dan kerja keras individu pertama. Prinsip ini adalah fundamental: ketidakadilan distributif terjadi ketika yang setara diperlakukan tidak setara, atau ketika yang tidak setara diperlakukan setara.

III. B. Keadilan Korektif (Diorthōtikē Dikaiosynē)

Keadilan Korektif, yang juga sering disebut Keadilan Restoratif atau Transaksional, beroperasi pada domain yang sama sekali berbeda dari keadilan distributif. Fokusnya bukan pada alokasi proporsional berdasarkan merit, melainkan pada pemulihan keseimbangan (equilibrium) setelah terjadi kerugian atau kerusakan.

Proporsi Aritmetika: Mengabaikan Status

Dalam Keadilan Korektif, status sosial, kekayaan, atau merit moral individu diabaikan sepenuhnya. Hukum korektif hanya memandang kerugian yang diderita dan keuntungan yang diperoleh dari transaksi atau tindakan yang merugikan. Prinsip yang digunakan adalah proporsi aritmetika (kesetaraan absolut).

Jika Individu A mencuri 100 keping perak dari Individu B, maka hukum korektif bertujuan untuk menghilangkan keuntungan (+100) dari A dan menghilangkan kerugian (-100) dari B, mengembalikan kedua belah pihak ke titik tengah (meson) yang setara. Tidak peduli apakah A adalah warga negara yang terhormat dan B adalah budak, atau sebaliknya. Hukum harus memperlakukan keduanya seolah-olah mereka adalah garis lurus yang sama panjangnya. Ini adalah prinsip kesetaraan di hadapan hukum.

Transaksi Sukarela dan Tidak Sukarela

Keadilan Korektif mencakup dua jenis interaksi yang membutuhkan koreksi:

  1. Transaksi Sukarela (Voluntary): Meliputi kontrak yang sah seperti jual beli, sewa menyewa, pinjaman, dan jaminan. Jika salah satu pihak gagal memenuhi kewajiban kontrak, keadilan korektif dipanggil untuk mengembalikan keseimbangan kontrak awal.
  2. Transaksi Tidak Sukarela (Involuntary): Ini adalah tindakan yang merugikan dan terjadi tanpa persetujuan korban, yang dibagi lagi menjadi:
    • Rahasia: Penipuan, pencurian, pembunuhan tersembunyi.
    • Kekerasan: Perampokan, penyerangan fisik, pemenjaraan.
Diagram Keadilan Korektif dan Peran Hakim Diagram yang menunjukkan ketidakseimbangan yang dikoreksi oleh hakim (mediator) untuk mencapai titik tengah (meson). Pelaku (Keuntungan) Korban (Kerugian) Meson (Titik Tengah) Koreksi (Hakim)
Model Keadilan Korektif. Hakim berfungsi sebagai mediator yang menghilangkan keuntungan ilegal dari satu pihak dan mengisi kerugian pada pihak lain, mengembalikan keadaan ke titik tengah aritmetika.

Peran Hakim Sebagai 'Pusat' (Meson)

Dalam keadilan korektif, hakim bertindak sebagai perwujudan keadilan. Tugas hakim adalah mencari titik tengah aritmetika. Jika kerugian B adalah X dan keuntungan A adalah X, hakim harus mengambil X/2 dari A dan memberikannya kepada B, sehingga keduanya kembali ke posisi nol (tidak untung, tidak rugi). Hakim adalah 'penengah' yang menciptakan kesetaraan dengan menghilangkan ketidaksetaraan yang terjadi karena transaksi yang tidak adil. Tujuan sanksi (hukuman atau ganti rugi) dalam sistem ini bukanlah pembalasan, melainkan restorasi.

IV. Analisis Komparatif: Distributif vs. Korektif

Penting untuk menggarisbawahi perbedaan filosofis mendasar antara kedua jenis keadilan khusus ini. Keadilan Distributif mengakui dan bahkan mensyaratkan ketidaksetaraan antar individu—ia beroperasi di ruang publik dan politik, membagi kekayaan dan kekuasaan berdasarkan nilai sosial. Sebaliknya, Keadilan Korektif beroperasi di ruang privat dan transaksi, menuntut kesetaraan absolut di mata hukum, mengabaikan siapa individu tersebut. Jika diterapkan pada sengketa perdata, prinsip distributif akan berujung pada kekacauan; jika diterapkan pada pembagian kekuasaan, prinsip korektif akan menghasilkan tirani karena semua orang, tanpa memandang kemampuan, akan menuntut bagian yang sama.

Keadilan korektif sangat penting dalam menegakkan hukum positif (hukum tertulis), karena hukum ini harus berlaku sama untuk semua orang. Prinsip ini adalah akar dari konsep modern mengenai negara hukum (rule of law), di mana semua warga negara, termasuk para penguasa, tunduk pada mekanisme korektif yang netral dan non-proporsional.

Keadilan Timbal Balik (Anti-peponthos) dalam Pertukaran

Aristoteles juga memperkenalkan konsep Keadilan Timbal Balik, yang sering dibahas sebagai sub-kategori yang berbeda, khususnya dalam konteks ekonomi dan pertukaran dalam masyarakat. Keadilan timbal balik (reciprocity) diperlukan untuk menjaga keutuhan masyarakat dengan mengatur perdagangan. Prinsipnya adalah 'kesetaraan dalam pertukaran', tetapi bukan kesetaraan yang sederhana (mata ganti mata), melainkan kesetaraan yang proporsional.

Dalam pertukaran barang atau jasa, misalnya antara seorang tukang sepatu dan seorang petani, nilai barang yang mereka tukarkan harus proporsional agar pertukaran itu adil dan berkelanjutan. Aristoteles mencatat bahwa uang berfungsi sebagai alat ukur (medium) yang memungkinkan berbagai jenis kebutuhan dan pekerjaan yang tidak setara secara kualitatif untuk disamakan secara kuantitatif. Tanpa nilai tukar yang stabil dan adil, masyarakat tidak dapat dipertahankan. Oleh karena itu, keadilan timbal balik ini adalah mekanisme yang menjaga kohesi ekonomi polis, memastikan bahwa pekerjaan yang berbeda dihargai secara relatif terhadap kebutuhan sosial.

V. Keadilan Politik dan Hukum (Dikaion Politikon)

Setelah membedah jenis-jenis keadilan yang berlaku antar individu, Aristoteles mengarahkan perhatiannya pada struktur keadilan dalam konteks politik formal, atau Dikaion Politikon. Keadilan politik hanya dapat ada di antara orang-orang yang berbagi kehidupan untuk mencapai kecukupan diri (autarky) dan yang bebas serta setara, di mana hukum berlaku sebagai penengah yang mengikat.

Keadilan Alamiah vs. Keadilan Legal (Physis vs. Nomos)

Dalam lingkup hukum, Aristoteles membedakan antara Keadilan Alamiah (Physikon Dikaion) dan Keadilan Legal atau Konvensional (Nomikon Dikaion).

Keadilan Alamiah (Physis)

Keadilan Alamiah adalah prinsip-prinsip keadilan yang memiliki kekuatan yang sama di mana pun, tanpa memandang apakah prinsip-prinsip tersebut diakui atau diubah oleh pendapat publik atau dekrit hukum. Misalnya, bahwa membunuh orang yang tidak bersalah adalah salah, adalah keadilan alamiah. Prinsip-prinsip ini berakar pada akal sehat universal dan sifat manusia sebagai makhluk sosial.

Keadilan Legal (Nomos)

Keadilan Legal adalah aturan yang ditetapkan oleh otoritas politik dan berlaku hanya dalam komunitas politik tertentu. Contohnya adalah undang-undang yang menetapkan denda untuk pelanggaran tertentu atau menentukan prosedur pengadilan. Aturan ini, meskipun awalnya mungkin bersifat arbitrer (seperti menentukan sisi jalan mana yang harus digunakan), menjadi adil setelah ditetapkan oleh hukum yang sah. Perbedaan ini krusial: Keadilan Alamiah memberikan standar moral yang harus dicapai oleh hukum Legal. Hukum Legal yang baik harus berusaha mewujudkan prinsip-prinsip Alamiah sejauh mungkin.

VI. Keadilan yang Lebih Baik: Epikeia (Equity atau Kewajaran)

Salah satu kontribusi Aristoteles yang paling canggih terhadap filsafat hukum adalah konsep Epikeia atau Kewajaran/Kepatutan. Aristoteles memahami bahwa semua hukum tertulis (hukum legal) harus diformulasikan secara universal, menggunakan bahasa umum yang tidak dapat mengantisipasi setiap kasus unik yang mungkin muncul. Karena sifat universalnya, hukum terkadang bisa menjadi kaku dan menghasilkan ketidakadilan dalam kasus-kasus khusus.

Epikeia adalah perbaikan terhadap hukum di mana hukum itu gagal karena sifatnya yang universal. Ini adalah keadilan yang lebih tinggi daripada keadilan hukum biasa. Ketika hakim atau pembuat kebijakan menerapkan Epikeia, mereka tidak melanggar hukum, tetapi mereka memperbaiki hukum seolah-olah sang legislator hadir dan dapat membuat pengecualian untuk kasus tertentu tersebut. Ini adalah kebijaksanaan praktis (phronesis) yang digunakan untuk mencapai niat sejati sang legislator: yaitu, untuk mencapai keadilan. Dalam praktiknya, Epikeia adalah tindakan kebaikan yang menyeimbangkan tuntutan kaku dari aturan tertulis dengan kebutuhan kasus spesifik, memastikan bahwa semangat hukum (yaitu, keadilan) dipatuhi, meskipun teks hukumnya sendiri mungkin mengarahkan pada hasil yang tidak adil.

Fungsi Epikeia adalah mengakui batasan bahasa dan kodifikasi. Aristoteles menegaskan bahwa, dalam banyak hal, manusia tidak dapat membuat pernyataan universal yang benar tanpa kecuali mengenai tindakan manusiawi. Oleh karena itu, setiap sistem hukum yang sehat memerlukan mekanisme fleksibilitas ini untuk mencegah tirani aturan yang tidak fleksibel. Epikeia adalah mekanisme yang memanusiakan hukum, menjaga agar hukum tidak kehilangan pandangan terhadap tujuan akhirnya: kebaikan manusia.

VII. Keadilan dan Kebajikan Lainnya: Hubungan dengan Phronesis

Keadilan, dalam teori Aristoteles, tidak dapat dipisahkan dari kebajikan intelektual tertinggi, yaitu phronesis (akal budi praktis atau kebijaksanaan praktis). Phronesis adalah kemampuan untuk menimbang dan memutuskan tindakan yang tepat dalam situasi tertentu untuk mencapai tujuan yang baik (eudaimonia). Karena keadilan selalu melibatkan hubungan dengan orang lain dan membutuhkan penilaian terhadap situasi yang kompleks—baik itu menentukan merit yang relevan dalam distribusi atau mengidentifikasi titik tengah yang tepat dalam koreksi—praktik keadilan adalah manifestasi langsung dari phronesis.

Seorang hakim yang menerapkan keadilan korektif harus menggunakan phronesis untuk memastikan bahwa ganti rugi atau hukuman yang ditetapkan benar-benar mengembalikan keseimbangan aritmetika. Seorang legislator yang merancang keadilan distributif harus menggunakan phronesis untuk menentukan kriteria merit yang paling sesuai untuk memajukan tujuan polis. Tanpa kebijaksanaan praktis, keadilan akan merosot menjadi penerapan aturan yang mekanis dan buta, jauh dari cita-cita kebajikan yang sempurna.

Keadilan, bagi Aristoteles, adalah kebajikan yang terletak pada ‘titik tengah’ (meson) antara melakukan ketidakadilan dan menderita ketidakadilan. Melakukan ketidakadilan berarti mengambil lebih dari yang seharusnya, dan menderita ketidakadilan berarti menerima kurang dari yang seharusnya. Orang yang adil adalah orang yang secara sukarela memilih dan mengimplementasikan tindakan yang berada di antara kedua ekstrem tersebut, memastikan keseimbangan yang tepat dalam setiap interaksi.

VIII. Relevansi dan Warisan Teori Keadilan Aristoteles

Meskipun Teori Keadilan Aristoteles dirumuskan dalam konteks polis Yunani Kuno yang melibatkan perbudakan dan tidak memberikan status penuh kepada semua penduduk, warisannya tetap monumental dan relevan hingga filsafat politik modern.

Kontribusi Abadi

  1. Pemodelan Hukum Positif: Pembagian yang jelas antara keadilan distributif dan korektif merupakan cetak biru bagi sistem hukum modern. Keadilan Korektif adalah dasar dari hukum perdata (transaksi) dan hukum pidana (kejahatan), sementara Keadilan Distributif menjadi fondasi bagi teori perpajakan, kebijakan sosial, dan sistem pemilihan umum.
  2. Kesetaraan Proporsional: Pengakuan bahwa kesetaraan tidak selalu berarti perlakuan yang sama (yaitu, kesetaraan aritmetika) adalah kontribusi filosofis yang kritis. Konsep proporsi geometris (distribusi berdasarkan merit/kebutuhan) digunakan secara luas dalam perdebatan tentang keadilan sosial modern, terutama dalam konteks affirmative action atau alokasi anggaran publik.
  3. Equity dan Fleksibilitas Hukum: Konsep Epikeia telah diinternalisasi ke dalam sistem hukum di seluruh dunia sebagai 'Equity' atau 'Kewajaran', yang memungkinkan hakim untuk menafsirkan hukum secara kontekstual, mencegah aturan menjadi tirani terhadap kasus-kasus unik yang tidak dipertimbangkan oleh legislator.

Perbandingan dengan Teori Modern

Dalam filsafat modern, teori Aristoteles sering kali dikontraskan dengan teori keadilan Rawlsian (Keadilan sebagai Kewajaran). Sementara Rawls berfokus pada keadilan prosedural dan prinsip-prinsip yang dipilih di balik 'tabir ketidaktahuan' untuk memastikan distribusi yang adil bagi yang paling tidak beruntung, Aristoteles lebih berfokus pada hasil (teleologi) dan kebajikan. Bagi Aristoteles, distribusi yang adil harus berkontribusi pada pencapaian tujuan tertinggi polis—kehidupan yang baik—dan harus menghargai kebajikan. Kritikus Rawls sering kembali ke kerangka Aristoteles untuk menantang pandangan bahwa prinsip keadilan dapat sepenuhnya dipisahkan dari konsep 'kebaikan' atau 'merit'.

Michael Sandel, seorang komunitarian modern, sering merujuk pada Aristoteles ketika ia berargumen bahwa keadilan tidak dapat dipisahkan dari nilai moral yang melekat pada barang yang didistribusikan. Misalnya, mendistribusikan kursi di perguruan tinggi elit—barang yang memiliki nilai kehormatan—harus didasarkan pada merit yang relevan dengan tujuan pendidikan, bukan hanya kebutuhan atau kesetaraan ekonomi. Argumentasi ini adalah gema langsung dari prinsip keadilan distributif Aristoteles.

IX. Penajaman Konsep Keadilan Timbal Balik dan Ekonomi Moral

Pemahaman mendalam tentang Keadilan Timbal Balik Aristoteles memerlukan eksplorasi peran uang. Dalam pandangan Aristoteles, setiap individu di dalam polis memiliki peran yang saling melengkapi. Ketergantungan ini membutuhkan mekanisme pertukaran yang stabil. Tanpa pertukaran yang adil, komunitas akan runtuh. Uang (nomisma) bukanlah kekayaan itu sendiri, melainkan sebuah konvensi atau alat ukur yang dibuat oleh hukum. Fungsinya adalah untuk membuat semua barang yang heterogen menjadi komensurabel (dapat diukur satu sama lain).

Jika seorang pembangun membutuhkan sepatu dan seorang tukang sepatu membutuhkan rumah, pertukaran langsung mustahil karena nilai pekerjaan mereka sangat berbeda. Uang berfungsi untuk menyamakan pekerjaan ini. Keadilan timbal balik, dalam hal ini, memastikan bahwa rasio pertukaran dipertahankan, sehingga pekerjaan pembangun bernilai setara dengan volume pekerjaan sepatu yang sesuai. Proporsi di sini adalah waktu kerja atau biaya input yang setara secara kualitatif, yang merupakan prasyarat bagi kohesi ekonomi. Aristoteles menekankan bahwa yang terjadi haruslah 'pembalasan proporsional', yang berbeda dengan pembalasan sederhana (seperti dalam kasus pidana). Dalam ekonomi, jika pembalasan tidak proporsional, salah satu pihak akan merasa dirugikan dan pasar akan gagal berfungsi.

X. Integrasi Keadilan: Kebajikan, Hukum, dan Kebiasaan

Dalam akhirnya, teori keadilan Aristoteles adalah teori kebajikan yang ditempatkan dalam kerangka politik. Keadilan bukan sekadar serangkaian aturan yang harus dipatuhi, tetapi juga disposisi karakter (hexis) yang harus dikembangkan melalui kebiasaan. Seseorang yang adil adalah orang yang, secara konsisten dan sukarela, memilih tindakan yang adil.

Aristoteles menekankan bahwa hukum (Keadilan Legal) adalah pendidikan bagi warga negara menuju kebajikan universal. Hukum memaksa kita untuk bertindak adil, dan melalui tindakan yang berulang inilah kita mengembangkan karakter yang adil. Hukum yang baik menargetkan kebaikan bersama, dan kepatuhan terhadapnya menciptakan keadilan universal. Namun, karena hukum diciptakan oleh manusia yang bisa salah atau karena hukum tidak dapat mencakup semua detail (yang diatasi oleh Epikeia), keadilan politik yang sejati harus selalu berorientasi pada tujuan tertinggi kehidupan manusia.

Fokus Aristoteles pada *polis* menunjukkan bahwa keadilan hanya bermakna di dalam komunitas politik yang terstruktur. Ia adalah kebajikan yang memelihara kehidupan masyarakat. Tanpa struktur politik, tidak ada hak yang dapat didistribusikan, dan tidak ada sistem untuk koreksi yang adil. Oleh karena itu, bagi Aristoteles, studi tentang keadilan selalu merupakan studi tentang etika dan politik secara serentak.

Teori keadilan Aristoteles, dengan kerangka yang terdiri dari keadilan umum (hukum dan kebajikan total), keadilan distributif (proporsi geometris berdasarkan merit), keadilan korektif (proporsi aritmetika dalam transaksi), dan peran Epikeia (kewajaran), telah memberikan landasan yang kuat bagi diskursus tentang keadilan yang melintasi abad. Ia mengajarkan kita bahwa keadilan adalah kompleks, membutuhkan penyesuaian yang cermat terhadap konteks (apakah kita sedang mendistribusikan kehormatan atau mengoreksi kerugian), dan pada akhirnya, menuntut kearifan praktis dari mereka yang bertugas menegakkannya.

Struktur keadilan ini terus relevan dalam menghadapi tantangan kontemporer, dari perdebatan mengenai kesenjangan pendapatan (distributif) hingga reformasi sistem peradilan pidana (korektif). Intinya tetap sama: keadilan adalah mencari titik tengah yang tepat, memberikan setiap orang apa yang menjadi haknya, yang ditentukan bukan oleh keinginan murni tetapi oleh prinsip-prinsip rasional yang berorientasi pada kebaikan tertinggi komunitas politik.

XI. Aplikasi Mendalam Prinsip Meson (Titik Tengah) dalam Keadilan

Konsep meson atau titik tengah adalah jantung dari seluruh etika kebajikan Aristoteles, dan ia memainkan peran ganda yang berbeda dalam Keadilan Distributif dan Keadilan Korektif. Memahami aplikasi meson ini adalah kunci untuk membedakan sifat dualistik dari keadilan khusus.

Dalam konteks **Keadilan Distributif**, meson bukanlah titik tengah aritmetika antara dua ekstrem, melainkan proporsi geometris antara empat elemen: dua orang dan dua porsi. Meson di sini dicapai ketika rasio merit individu sama dengan rasio barang yang mereka terima. Kegagalan mencapai meson ini berarti terjadinya ketidakadilan distributif, yaitu ketidaksetaraan dalam pembagian yang seharusnya proporsional. Misalnya, jika empat unit kekayaan didistribusikan kepada dua orang dengan merit 3:1, pembagian yang adil adalah 3:1. Jika dibagikan 2:2, ini adalah ketidakadilan karena melanggar proporsi geometris yang merupakan meson dalam konteks ini.

Sebaliknya, dalam konteks **Keadilan Korektif**, meson adalah titik tengah aritmetika. Ini adalah status quo awal sebelum kerugian terjadi. Jika A mengambil 5 dari B (yang awalnya memiliki 10), A sekarang memiliki 15 dan B memiliki 5. Titik tengah aritmetika adalah 10. Hakim harus mengambil 5 dari A (sehingga A kembali ke 10) dan memberikannya kepada B (sehingga B kembali ke 10). Meson dalam korektif adalah murni restoratif, menghilangkan keuntungan ilegal dan kerugian paksa. Aplikasi meson yang berbeda ini menunjukkan betapa cermatnya Aristoteles dalam membangun dua sistem keadilan yang berdampingan—satu untuk alokasi kehormatan, yang lain untuk pemeliharaan ketertiban sipil.

XII. Keadilan dan Persahabatan (Philia)

Meskipun sering diabaikan dalam pembahasan murni hukum, Aristoteles menghubungkan keadilan dengan konsep philia atau persahabatan/kasih sayang sipil. Dalam komunitas yang sempurna, di mana terdapat philia yang kuat antar warganya, kebutuhan akan hukum dan keadilan formal akan berkurang. Jika orang-orang saling menyayangi, mereka tidak akan saling merugikan, dan mereka akan lebih mudah menyetujui distribusi yang adil.

Aristoteles berpendapat bahwa philia dan keadilan memiliki ruang lingkup yang sama, tetapi philia melangkah lebih jauh. Keadilan adalah fondasi minimum yang diperlukan untuk hidup bersama; philia adalah tujuan maksimum yang membuat hidup bersama itu berharga. Hubungan keadilan yang paling longgar terdapat antara orang asing, sementara hubungan keadilan yang paling kuat (dan paling mirip dengan philia) terdapat dalam keluarga. Dalam keluarga, distribusi seringkali tidak diatur oleh aturan formal, melainkan oleh kasih sayang proporsional terhadap kebutuhan. Oleh karena itu, negara yang kuat tidak hanya membutuhkan undang-undang yang adil, tetapi juga ikatan komunal yang kuat (philia politik) yang memfasilitasi pelaksanaan keadilan. Persahabatan adalah apa yang membuat warga negara menginginkan kebaikan satu sama lain, yang merupakan tujuan akhir dari hukum yang adil.

XIII. Keadilan sebagai Disposisi (Hexis)

Keadilan, sebagai kebajikan moral, adalah disposisi atau keadaan karakter (hexis) yang diperoleh melalui latihan. Keadilan bukan hanya tentang mengetahui apa yang benar, tetapi tentang memiliki kecenderungan bawaan untuk melakukan apa yang benar. Individu yang adil adalah individu yang tindakannya secara alami adil, bukan karena takut hukuman, tetapi karena dia telah mengembangkan kebiasaan moral yang benar.

Proses pembentukan hexis keadilan dimulai sejak masa kanak-kanak melalui pendidikan dan paparan terhadap hukum yang baik. Hukum berfungsi sebagai alat pedagogis. Hukum memaksa warga negara untuk membayar utang (keadilan korektif) dan berbagi beban publik (keadilan distributif). Dengan melakukan tindakan-tindakan ini secara konsisten, warga negara lambat laun mengembangkan sifat yang menginternalisasi prinsip-prinsip tersebut. Dalam pandangan teleologis Aristoteles, kebajikan—termasuk keadilan—adalah kondisi prasyarat mutlak untuk mencapai eudaimonia. Negara yang adil adalah negara yang memungkinkan warga negaranya untuk menjadi adil, dan warga negara yang adil adalah agen yang membangun negara yang adil.

🏠 Homepage