Simbol keesaan dan cahaya petunjuk
Surah Ali Imran, sebagai surah ketiga dalam mushaf Al-Qur'an, memegang posisi yang sangat strategis dan kaya makna. Pembukaannya, yang dimulai dengan ayat 1 dan 2, adalah sebuah prolog yang sarat dengan penegasan keesaan Allah dan sifat Al-Qur'an itu sendiri. Ayat-ayat ini bukan sekadar rangkaian huruf, melainkan fondasi keimanan yang mendalam bagi setiap Muslim.
Ayat pembuka surah ini, seperti beberapa surah lainnya dalam Al-Qur'an, diawali dengan huruf-huruf hijaiyah yang dikenal sebagai 'huruf muqatta'ah' atau huruf terputus. Keberadaan Alif Lam Mim di awal surah Ali Imran ini telah menjadi subjek kajian mendalam di kalangan ulama tafsir. Ada berbagai pandangan mengenai makna dan tujuan di baliknya. Sebagian berpendapat bahwa huruf-huruf ini adalah salah satu dari mukjizat Al-Qur'an yang hanya diketahui hakikatnya oleh Allah SWT. Tujuannya bisa jadi untuk menarik perhatian pendengar, menunjukkan bahwa Al-Qur'an tersusun dari huruf-huruf yang dikenal manusia, namun jika dirangkai sedemikian rupa menjadi sebuah kitab yang luar biasa.
Pandangan lain mengaitkannya dengan penegasan bahwa Al-Qur'an, yang merupakan sumber petunjuk dan mukjizat terbesar bagi umat Islam, disusun dari elemen-elemen dasar bahasa Arab yang sama. Dengan huruf-huruf yang sama yang digunakan dalam percakapan sehari-hari, Allah mampu menurunkan sebuah kitab yang tak tertandingi dalam keindahan, makna, dan kebenarannya. Ini menjadi tantangan sekaligus penegasan keilahian Al-Qur'an.
Setelah pembukaan yang misterius namun penuh makna, ayat kedua langsung menegaskan inti dari seluruh ajaran agama samawi: Tauhid. Allah SWT memperkenalkan diri-Nya sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak disembah. Penegasan ini sangat fundamental dan menjadi pilar utama keimanan seorang Muslim. Frasa "laa ilaaha illaa huwa" (tidak ada Tuhan selain Dia) adalah syahadat tauhid yang paling murni.
Kemudian, Allah menyandang dua asmaul husna yang sangat penting: Al-Hayyu (Yang Maha Hidup) dan Al-Qayyum (Yang Maha Berdiri Sendiri). Sifat Al-Hayyu menunjukkan bahwa Allah adalah Dzat yang hidup abadi, tidak pernah mati, tidak pernah tidur, dan tidak membutuhkan apa pun. Kehidupan-Nya adalah esensi yang mutlak dan tidak bergantung pada apa pun.
Sementara itu, Al-Qayyum memiliki makna bahwa Allah adalah Dzat yang menegakkan dan memelihara segala sesuatu. Segala sesuatu yang ada di alam semesta ini bergantung pada-Nya, sedangkan Allah tidak bergantung pada siapa pun. Dia adalah sumber segala urusan, pengatur segala makhluk, dan penopang kehidupan. Kedua sifat ini saling melengkapi untuk menggambarkan kesempurnaan Allah sebagai Sang Pencipta dan Penguasa tunggal.
Kombinasi ayat pertama dan kedua ini memberikan fondasi yang kokoh. Huruf muqatta'ah di awal menarik perhatian, lalu ayat kedua datang dengan penegasan paling krusial: Allah adalah satu-satunya Tuhan yang hakiki, yang senantiasa hidup dan mengurus segala ciptaan-Nya. Ini adalah pernyataan keesaan Allah yang paling mendasar dan menjadi titik tolak bagi seluruh ajaran yang akan dibahas dalam surah Ali Imran, yang salah satunya adalah tentang ajaran agama yang lurus dan benar.
Memahami dan merenungkan kedua ayat pembuka ini bukan hanya sekadar membaca lafaznya, tetapi merupakan proses penguatan keyakinan akan keagungan dan kekuasaan Allah SWT. Ini adalah panggilan untuk kembali kepada kesadaran bahwa hanya kepada-Nya kita menyembah, memohon pertolongan, dan berserah diri.