"Maka bertanyalah kepada orang-orang yang berpengetahuan jika kamu tidak mengetahui."
Ayat ke-43 dari Surah An-Nahl, sebuah surah yang kaya akan pelajaran tentang kebesaran Allah melalui ciptaan-Nya (nikmat-nikmat) dan juga petunjuk kehidupan, menyajikan satu pilar fundamental dalam agama Islam: pentingnya ilmu pengetahuan dan kehati-hatian dalam menerima informasi. Kalimat yang ringkas namun memiliki dampak universal ini, "Maka bertanyalah kepada orang-orang yang berpengetahuan jika kamu tidak mengetahui," adalah sebuah mandat ilahi.
Dalam konteks turunnya ayat ini, Allah SWT sedang menguatkan posisi Rasulullah Muhammad SAW sebagai utusan pembawa wahyu. Namun, hikmah ayat ini melampaui zaman kenabian. Ia menetapkan sebuah kaidah metodologis bagi setiap individu Muslim dalam menghadapi hal-hal yang asing, kompleks, atau di luar ranah pengalaman pribadi mereka. Ketika kita tidak memiliki pengetahuan dasar mengenai suatu perkara, jalan yang paling benar dan aman adalah merujuk kepada Ahli Zikir, atau dalam konteks modern, para ulama, cendekiawan, atau mereka yang memiliki otoritas keilmuan yang diakui.
Terdapat beberapa alasan mendasar mengapa penekanan ini begitu kuat dalam ajaran Islam. Pertama, ini adalah mekanisme perlindungan diri dari kesesatan. Dunia ini penuh dengan informasi yang saling bertentangan, bahkan di era modern yang serba cepat ini. Tanpa pedoman yang jelas, seseorang mudah terjerumus pada interpretasi yang salah atau mengikuti tren tanpa dasar yang kokoh. Orang yang berpengetahuan (ahlul 'ilmi) adalah mereka yang telah melalui proses panjang dalam mempelajari dasar-dasar, konteks, dan metodologi pengambilan hukum atau pemahaman.
Kedua, pengakuan terhadap keterbatasan diri adalah bagian dari kesadaran spiritual. Islam mengajarkan kerendahan hati intelektual. Mengakui "saya tidak tahu" adalah langkah pertama menuju pengetahuan. Ayat ini secara eksplisit memerintahkan kerendahan hati ini, mengubah keraguan atau kebingungan menjadi inisiatif untuk mencari sumber yang valid. Ini bukan hanya tentang masalah agama semata; ini berlaku untuk urusan kesehatan, hukum, ekonomi, dan semua aspek kehidupan yang membutuhkan keahlian spesifik.
Relevansi An-Nahl 16:43 menjadi semakin tajam di era informasi saat ini. Kita dibanjiri oleh 'keahlian' instan dari media sosial. Setiap orang, terlepas dari latar belakang pendidikannya, dapat menyebarkan opini sebagai fakta. Dalam situasi seperti ini, prinsip bertanya kepada yang berpengetahuan menjadi filter esensial. Siapakah "orang yang berpengetahuan" hari ini? Mereka adalah mereka yang memegang otoritas keilmuan yang diakui, yang metodologinya teruji, dan yang integritasnya teruji oleh komunitas keilmuan yang lebih luas.
Proses bertanya ini juga menunjukkan sifat dinamis ajaran Islam. Islam tidak membekukan pemikiran; ia mendorong pemikiran kritis yang terarah. Mencari pengetahuan tidak berhenti setelah kita mendapatkan satu jawaban; ia harus terus berlanjut untuk memperdalam pemahaman, memastikan bahwa apa yang kita yakini dan praktikkan berakar kuat pada sumber yang sahih. Ayat ini mendorong kita untuk aktif mencari, bukan pasif menerima.
Inti dari An-Nahl ayat 16:43 adalah anjuran untuk selalu bersikap waspada dan bertanggung jawab terhadap apa yang kita pegang sebagai kebenaran. Jika kita dihadapkan pada persoalan yang membutuhkan pemahaman mendalam—baik itu tafsir Al-Qur'an, hadis, fatwa, atau bahkan saran profesional—maka kewajiban kita adalah mencari validasi dari mereka yang telah diakui keilmuannya. Ini adalah jembatan antara ketidaktahuan individu menuju pemahaman kolektif yang terarah dan benar, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW yang merupakan sosok yang paling berpengetahuan, namun tetap diperintahkan untuk berkonsultasi dengan Allah melalui wahyu.