Memahami Seruan Ilahi untuk Menangkap Peringatan dalam Setiap Fitnah
Surah At-Taubah, surah ke-9 dalam Al-Qur'an, memiliki kekhususan yang unik. Ia adalah satu-satunya surah yang dibuka tanpa basmalah, menandakan seruan yang tegas dan langsung, terutama ditujukan kepada orang-orang munafik dan mereka yang berhati keras. Di tengah ketegasan ini, tersemat ayat-ayat yang berfungsi sebagai teguran dan kasih sayang, mengajak manusia kembali kepada fitrahnya yang suci. Salah satu ayat sentral yang menawarkan refleksi kritis terhadap kondisi spiritual manusia adalah Ayat 126.
Ayat ini tidak sekadar memberikan deskripsi situasional; ia menyajikan pertanyaan retoris yang menusuk kalbu, menyingkap kelemahan fundamental dalam respons spiritualitas manusia terhadap realitas kehidupan yang penuh cobaan. Ayat 126 berdiri sebagai mercusuar spiritual, mengingatkan bahwa hidup ini adalah sekolah ujian yang berlangsung secara periodik, dan respons yang tepat seharusnya adalah taubat dan pengambilan pelajaran, bukan pengabaian yang berkelanjutan.
أَفَلَا يَرَوْنَ أَنَّهُمْ يُفْتَنُونَ فِي كُلِّ عَامٍ مَّرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ لَا يَتُوبُونَ وَلَا يَذَّكَّرُونَ
"Tidakkah mereka (orang-orang munafik) memperhatikan bahwa mereka diuji sekali atau dua kali setiap tahun, namun mereka tidak (juga) bertobat dan tidak (juga) mengambil pelajaran?" (QS. At-Taubah: 126)
Pertanyaan 'Afalā yarawna' (Tidakkah mereka melihat/memperhatikan?) adalah kunci utama. Ini bukan pertanyaan mencari jawaban, melainkan pertanyaan yang menuntut kesadaran batin. Allah SWT menanyakan mengapa, meskipun bukti-bukti dan peringatan datang berulang kali, hati manusia bisa menjadi begitu beku sehingga gagal memenuhi dua fungsi utama spiritualitas: bertaubat (mengubah arah) dan mengambil pelajaran (menggunakan akal dan hati untuk mengingat kebenaran).
Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita harus mengurai tiga kata kerja utama yang menjadi inti pesan Ilahi: *yuftawna* (diuji), *yatūbūna* (bertaubat), dan *yadhakkarūn* (mengambil pelajaran/mengingat).
Kata *yuftawna* berasal dari kata dasar *fitnah* (فتنة). Dalam bahasa Arab, *fitnah* secara harfiah berarti membakar emas atau perak untuk memisahkan unsur murni dari kotorannya. Oleh karena itu, *fitnah* bukanlah sekadar cobaan atau musibah biasa, melainkan proses pemurnian yang dimaksudkan untuk menguji kualitas iman dan kesabaran seseorang. Ketika Al-Qur'an mengatakan 'mereka diuji', ini berarti mereka dimasukkan ke dalam proses yang menekan dan memisahkan kebenaran dari kepalsuan dalam diri mereka.
Ujian ini bisa berupa: penyakit yang datang dan pergi; kesulitan finansial yang berulang; kekalahan militer; skandal sosial; atau bahkan teguran yang datang melalui peristiwa alam. Frekuensi "sekali atau dua kali setiap tahun" menunjukkan bahwa ujian bukanlah peristiwa langka, melainkan bagian intrinsik dari siklus kehidupan yang teratur. Ini menepis anggapan bahwa ujian adalah anomali; sebaliknya, ujian adalah norma kehidupan yang diulang untuk memastikan manusia selalu waspada.
Fungsi ujian (*fitnah*) dalam konteks At-Taubah 126 sangat jelas: Ia adalah alat peringatan. Ujian tersebut seharusnya berfungsi sebagai alarm yang membunyikan kesadaran bahwa ada yang salah dalam perjalanan spiritual seseorang, atau ada bagian dari iman yang perlu diperbaiki. Kegagalan untuk mengambil pelajaran dari ujian berarti kegagalan memahami tujuan utama eksistensi.
Taubat, berasal dari kata *tāba* (تاب), yang berarti kembali atau berbalik arah. Taubat bukanlah sekadar penyesalan verbal atas dosa yang telah dilakukan, melainkan perubahan radikal dalam arah hidup. Taubat sejati melibatkan tiga pilar utama: penyesalan yang mendalam atas perbuatan buruk, meninggalkan perbuatan buruk tersebut seketika, dan bertekad untuk tidak mengulanginya di masa depan.
Konteks ayat ini menunjuk pada orang munafik. Taubat yang dituntut dari mereka adalah taubat dari kemunafikan, yaitu kembali dari keraguan dan kesetiaan ganda menuju keikhlasan penuh kepada Allah. Ayat ini menyiratkan bahwa setiap ujian yang dialami oleh orang munafik adalah kesempatan emas untuk membuang kedok dan kembali kepada keimanan yang tulus. Namun, penolakan mereka untuk bertaubat menunjukkan bahwa hati mereka telah mengeras, dan ujian-ujian tersebut tidak mampu menembus tembok kesombongan dan keengganan spiritual mereka.
Kata *yadhakkarūn* berasal dari kata dasar *dhikr* (ذكر) yang berarti mengingat atau memperingatkan. *Tadhakkur* memiliki makna yang lebih aktif, yaitu mengambil pelajaran, merenungkan, dan menjadikan ingatan tersebut sebagai pedoman tindakan di masa depan. Ini adalah proses kognitif dan spiritual yang mengubah pengalaman menjadi kebijaksanaan.
Jika taubat adalah tindakan berbalik arah, maka *tadhakkur* adalah landasan filosofis dan intelektual mengapa arah tersebut harus diubah. Orang yang gagal mengambil pelajaran dari ujian akan mengulang kesalahan yang sama, karena mereka tidak menyadari pola dan hukum Ilahi yang bekerja di balik peristiwa. Kegagalan untuk *tadhakkur* berarti hati dan pikiran telah mengalami anestesi spiritual, sehingga tidak lagi merasakan sakitnya dosa atau pentingnya peringatan.
Ilustrasi neraca keadilan sebagai simbol ujian hidup.
Frasa kunci dalam ayat ini adalah penentuan frekuensi ujian: 'fī kulli ‘āmin marratan aw marratayni' (di setiap tahun sekali atau dua kali). Penetapan frekuensi ini memiliki implikasi teologis, sosiologis, dan individual yang sangat dalam. Ini bukan batasan matematis, melainkan penekanan pada keteraturan dan kepastian. Ujian adalah program tahunan yang tidak terhindarkan.
Para mufasir klasik menafsirkan 'sekali atau dua kali' dalam berbagai konteks, terutama bagi orang munafik pada masa Nabi. Ujian tersebut bisa berupa:
Dalam konteks modern, ujian societal ini dapat berupa krisis global, konflik politik yang berlarut-larut, atau bencana alam skala besar. Peristiwa-peristiwa ini, yang terjadi berulang kali dalam interval waktu tertentu, seharusnya memicu taubat kolektif dan kesadaran bahwa manusia tidak memiliki kontrol absolut atas alam semesta.
Bagi individu, ujian ‘sekali atau dua kali setahun’ mencakup segala bentuk kesulitan pribadi. Ini adalah masa-masa di mana kita dipaksa menghadapi keterbatasan, kelemahan, dan kefanaan kita. Ujian ini mungkin berupa:
Keteraturan ujian ini berfungsi untuk mencegah stagnasi spiritual. Tanpa guncangan periodik, hati cenderung menjadi keras dan mudah lupa. Setiap ujian adalah kesempatan kalibrasi ulang spiritual, memastikan bahwa komitmen kita kepada Tuhan tidak hanya bersifat musiman, tetapi berkelanjutan. Ketika kita gagal bertaubat setelah ujian pertama, ujian kedua akan datang, mungkin dengan intensitas yang lebih besar, sebagai bentuk rahmat peringatan yang terus-menerus.
Ironi yang disoroti oleh At-Taubah 126 adalah: Orang-orang munafik menyaksikan pola ini. Mereka melihat bahwa kesulitan datang, berlalu, dan kembali lagi. Namun, alih-alih mengambil kesimpulan logis—bahwa mereka harus mengubah cara hidup mereka—mereka kembali ke pola lama mereka. Siklus pengulangan ini seharusnya menjadi bukti empiris yang paling kuat akan adanya hukum sebab-akibat spiritual, namun mereka tetap memilih untuk menutup mata terhadap realitas tersebut.
Puncak kegelisahan dalam ayat ini terletak pada konsekuensi dari ujian: ‘thumma lā yatūbūna wa lā yadhakkarūn’ (namun mereka tidak juga bertaubat dan tidak juga mengambil pelajaran). Mengapa manusia, khususnya yang dijelaskan sebagai munafik, gagal merespons peringatan yang begitu nyata dan berulang?
Kemunafikan adalah penyakit yang mengeraskan hati. Ketika seseorang terus-menerus hidup dalam kontradiksi antara apa yang mereka yakini (atau berpura-pura yakini) dan apa yang mereka lakukan, hati mereka menjadi seperti batu. Ujian, yang dimaksudkan untuk melunakkan dan menyucikan, hanya memperkuat penolakan mereka. Mereka menafsirkan ujian bukan sebagai peringatan dari Tuhan, tetapi sebagai kebetulan atau ketidakberuntungan belaka, sehingga tidak ada ruang untuk introspeksi spiritual.
Bagi orang munafik, mengakui bahwa ujian adalah akibat dari kesalahan pribadi atau kegagalan iman berarti mengakui kelemahan mereka sendiri. Ini bertentangan dengan ego mereka. Oleh karena itu, mereka memilih mekanisme pertahanan psikologis: penyangkalan. Mereka menyalahkan faktor eksternal (orang lain, pemerintah, nasib buruk) daripada melihat ke dalam diri. Tanpa mengakui sumber masalah, taubat mustahil terjadi.
Tujuan utama dari semua ujian dunia adalah mengalihkan fokus dari kehidupan sementara menuju kehidupan abadi. Orang-orang yang gagal bertaubat dan mengambil pelajaran adalah mereka yang telah memprioritaskan kenikmatan duniawi di atas segalanya. Mereka hanya melihat kerugian material yang disebabkan oleh ujian, bukan peluang spiritual yang ditawarkannya. Bagi mereka, ketidaknyamanan adalah musuh utama, bukan dosa yang menjadi penyebab ketidaknyamanan tersebut.
Ilustrasi hati yang bertaubat dan kembali kepada fitrah.
Jika Allah menetapkan bahwa kita akan diuji 'sekali atau dua kali setiap tahun', maka secara logis, kewajiban taubat dan refleksi spiritual haruslah bersifat periodik dan berkelanjutan. Ayat ini mengajarkan bahwa taubat bukanlah tindakan sekali seumur hidup, melainkan gaya hidup yang diperbarui setiap kali peringatan Ilahi datang.
Anggaplah taubat sebagai pemeliharaan berkala (maintenance) pada kendaraan. Sebuah mobil membutuhkan servis rutin untuk memastikan semua komponen berfungsi optimal. Jiwa juga demikian. Ujian yang datang setiap tahun adalah alarm servis. Jika kita mengabaikannya, kerusakan pada jiwa akan terakumulasi. Taubat adalah proses membersihkan karat dosa dan mengisi ulang bahan bakar spiritualitas.
Proses ini harus dilakukan secara sadar, tidak hanya ketika musibah besar melanda, tetapi juga setelah melewati ujian kecil. Misalnya, jika kita melalui periode di mana shalat kita menjadi lalai, dan kemudian Allah memberikan sedikit kesulitan dalam pekerjaan, ini adalah ujian. Respon yang benar adalah taubat dari kelalaian shalat (*yatūbūna*) dan menyadari bahwa kesulitan kerja adalah sinyal spiritual (*yadhakkarūn*).
Kegagalan untuk *tadhakkur* (mengambil pelajaran) adalah yang paling berbahaya karena ini memastikan pengulangan kegagalan. Orang yang gagal mengingat masa lalu ditakdirkan untuk mengulanginya. Dalam konteks spiritual, ini berarti seseorang akan mengulangi dosa yang sama, merespons kesulitan dengan keluh kesah yang sama, dan akhirnya, menghadapi jenis ujian yang sama hingga ia tersadar.
Oleh karena itu, setiap kali ujian datang, kita harus mengajukan pertanyaan reflektif: Apa yang sedang diuji oleh Tuhan dalam diriku? Dosa apa yang belum kutinggalkan? Komitmen apa yang telah aku langgar? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan memicu taubat yang autentik. Tanpa proses refleksi ini, ujian hanyalah penderitaan tanpa makna, dan taubat hanyalah kata-kata hampa.
Kedalaman pesan dalam At-Taubah 126 melampaui teguran terhadap orang munafik pada masa itu. Ini adalah prinsip universal. Ayat ini berbicara kepada setiap mukmin tentang pentingnya kewaspadaan spiritual. Dunia ini, dengan segala godaan dan kesulitannya, dirancang untuk menggoyahkan kita. Jika kita tidak menyambut setiap guncangan dengan taubat dan kesadaran, kita berisiko tergelincir ke dalam jurang kemunafikan, di mana hati menolak kebenaran meskipun ia terhampar di depan mata secara berulang-ulang.
Bagaimana kita menafsirkan 'sekali atau dua kali setiap tahun' di abad modern? Ujian modern mungkin tidak selalu berupa bencana alam besar, tetapi seringkali berbentuk krisis mental, informasi, dan moral yang datang silih berganti.
Di era digital, kita diuji dengan banjir informasi, godaan materialisme yang konstan, dan perbandingan sosial yang tak berujung. Krisis identitas, kecemasan, dan rasa tidak puas yang melanda masyarakat modern adalah bentuk *fitnah* yang bersifat psikologis dan spiritual. Ini adalah ujian yang datang secara harian, bahkan mingguan, memaksa kita memilih antara mengikuti tren atau mempertahankan prinsip. Kegagalan untuk bertaubat dari keterikatan digital yang berlebihan dan kegagalan untuk mengambil pelajaran dari dampak negatifnya hanya akan memperdalam kekosongan batin.
Seringkali kita hanya menganggap ujian sebagai kesulitan (*dharra'*). Namun, kemudahan dan kesejahteraan (*sarra'*) juga merupakan ujian yang berulang. Ketika kekayaan datang, apakah kita menjadi pelit atau dermawan? Ketika kesehatan stabil, apakah kita semakin taat atau lalai? Ujian kemudahan datang berulang kali setiap tahun, menguji rasa syukur dan kerendahan hati kita. Jika seseorang kaya setiap tahun, dan setiap tahun ia gagal menunaikan zakat atau bersedekah, ia telah gagal merespons ujian kesejahteraan dengan taubat dan *tadhakkur*.
Islam sendiri menetapkan ujian periodik tahunan: Ramadhan. Ramadhan adalah ujian besar yang berulang setiap tahun. Ia menguji kesabaran, disiplin, dan keikhlasan. Setelah Ramadhan berlalu, apakah kita kembali kepada kebiasaan buruk yang sama? Kegagalan untuk mempertahankan momentum spiritual setelah bulan puasa adalah kegagalan bertaubat dan mengambil pelajaran dari proses pelatihan yang keras itu. Jika kita tidak mengingat janji-janji yang kita buat kepada Allah di bulan suci, kita telah mengabaikan peringatan yang paling jelas.
Diagram lingkaran yang menunjukkan siklus waktu dan pengulangan ujian.
Surah At-Taubah 126 secara implisit menyerukan kepada kita untuk tidak hanya mencari taubat dari dosa yang kita sadari, tetapi juga dari kemunafikan yang tersembunyi. Kemunafikan terbesar adalah ketika kita menjalankan ritual agama tanpa substansi batin, atau ketika kita mengharapkan surga sementara kita menolak untuk mengubah perilaku buruk meskipun peringatan datang bertubi-tubi.
Jawaban praktis terhadap seruan At-Taubah 126 adalah penerapan *Muhasabah* yang ketat. Jika ujian datang sekali atau dua kali setahun, maka introspeksi kita harus lebih sering lagi. Muhasabah adalah kebiasaan mengevaluasi tindakan kita setiap hari, mingguan, dan khususnya, setiap kali kita menghadapi kesulitan. Ini adalah cara proaktif untuk bertaubat sebelum ujian memaksa kita untuk melakukannya.
Muhasabah mingguan, misalnya, harus mencakup pemeriksaan: Apakah aku telah lalai terhadap kewajiban? Apakah aku telah menzalimi seseorang? Jika hasil muhasabah menunjukkan adanya penyimpangan, maka taubat dan koreksi harus segera dilakukan. Dengan demikian, kita merespons peringatan Ilahi bahkan sebelum ia termanifestasi dalam bentuk musibah besar. Inilah esensi dari mengambil pelajaran (*tadhakkur*)—menggunakan ingatan dan refleksi untuk mencegah bahaya spiritual di masa depan.
Salah satu ancaman terbesar yang terkandung dalam ayat ini adalah kemungkinan bahwa jika seseorang terus-menerus menolak taubat dan peringatan setelah ujian berulang, maka Allah akan membiarkan hati mereka semakin keras. Ujian yang seharusnya menjadi rahmat peringatan justru berubah menjadi laknat pengabaian. Allah membiarkan mereka dalam kesesatan mereka, seolah-olah mengatakan, 'Jika setelah peringatan yang begitu jelas dan berulang ini engkau masih menolak, biarlah engkau tenggelam dalam keenggananmu.'
Inilah yang harus kita takutkan: bukan kesulitan hidup itu sendiri, melainkan kegagalan spiritual untuk merespons kesulitan tersebut dengan kerendahan hati. Taubat sejati menuntut pengakuan yang jujur atas kekurangan diri, yang merupakan kebalikan dari sikap sombong dan penyangkalan yang dipegang teguh oleh orang munafik.
Penempatan Ayat 126 di akhir Surah At-Taubah adalah strategis. Surah ini dimulai dengan pengumuman pemutusan hubungan dengan kaum musyrikin dan kaum munafik yang ingkar janji. Meskipun nadanya keras, surah ini juga menyisipkan janji pengampunan yang besar bagi mereka yang benar-benar kembali (bertaubat). Ayat 126 berfungsi sebagai konklusi tematik: Peringatan telah diberikan, kebenaran telah diungkap, dan sekarang bola ada di tangan manusia.
Ayat ini menegaskan bahwa rahmat Allah senantiasa terbuka, bahkan bagi mereka yang telah lama berada dalam kemunafikan. Namun, taubat ini harus dimotivasi oleh kesadaran yang tajam dan refleksi mendalam atas siklus ujian kehidupan. Jika ujian yang berulang (sekali atau dua kali setahun) tidak cukup untuk menyadarkan, maka apa lagi yang dapat menyadarkan manusia?
Ujian yang datang secara periodik berfungsi sebagai pengingat akan keterbatasan kita sebagai makhluk. Kita tidak kuat; kita tidak abadi; kita tidak independen. Setiap sakit, setiap kerugian, setiap kegagalan, adalah pengiriman ulang paket dari Yang Maha Kuasa, berisi pesan: 'Kembalilah kepada-Ku.' Bagi seorang mukmin sejati, ujian bukanlah hukuman, melainkan pendidikan yang dirancang oleh Sang Pendidik terbaik.
Ketika kita berhasil melewati ujian dengan taubat dan *tadhakkur*, iman kita menguat, dan hubungan kita dengan Allah menjadi lebih dalam. Kita belajar bahwa kekuasaan sejati hanya milik-Nya. Kegagalan spiritual yang disorot oleh ayat ini adalah ketika manusia merespons ujian seolah-olah itu adalah masalah yang harus diselesaikan oleh dirinya sendiri, tanpa mengakui dimensi spiritual di baliknya.
Oleh karena itu, setiap pergantian tahun, setiap awal musim, setiap krisis pribadi, harus kita sambut dengan pertanyaan: Apakah aku telah mengambil pelajaran dari ujian yang lalu? Apakah taubatku telah tulus? Jika kita gagal menjawab 'ya' dengan jujur, maka kita berisiko jatuh ke dalam kategori orang-orang yang disindir oleh Ayat 126: mereka yang berulang kali diberi kesempatan untuk kembali, namun memilih untuk mengabaikan seruan yang paling mulia itu. Inilah prinsip abadi dari At-Taubah 126: Hidup adalah siklus ujian dan pengingat, dan hanya mereka yang proaktif bertaubat yang akan benar-benar mengambil manfaat dari perjalanan ini.
Pesan penutup dari ayat ini adalah panggilan yang mendesak untuk kewaspadaan abadi. Setiap hari adalah ujian, setiap kesulitan adalah peluang, dan setiap taubat adalah langkah menuju pemurnian jiwa. Mereka yang melihat pola—bahwa kesulitan akan datang dan pergi—tetapi memilih untuk tidak mengubah jalan hidup mereka, sedang berjalan menuju kehancuran spiritual dengan mata terbuka. Marilah kita jadikan setiap guncangan dalam hidup sebagai suara yang lembut namun tegas, menyeru kita untuk kembali, sebelum kesempatan untuk bertaubat diambil kembali.
*****
Kegagalan untuk mengambil pelajaran (*lā yadhakkarūn*) bukan hanya kelalaian sederhana; ia adalah proses aktif dalam membangun tembok antara diri manusia dan kebenaran. Dalam konteks ilmu jiwa Islam, proses ini disebut sebagai penumpukan noda pada hati (*raan*), di mana kegagalan untuk merespons ujian dengan taubat menyebabkan lapisan-lapisan kekerasan hati semakin tebal. Ayat 126 memberikan diagnosis yang sangat akurat tentang kondisi spiritual ini: mereka melihat pola, tetapi tidak memahaminya.
Pola kegagalan *tadhakkur* ini biasanya terwujud dalam beberapa bentuk:
Konsekuensi dari pengabaian *tadhakkur* adalah bahwa ujian berikutnya akan terasa lebih asing dan tidak adil. Semakin sering seseorang gagal merespons dengan kesadaran, semakin ia terputus dari kearifan Ilahi yang terkandung dalam setiap peristiwa. Akhirnya, orang tersebut menjadi buta terhadap tanda-tanda (ayat) di sekitarnya, padahal seluruh alam semesta, termasuk kesulitan pribadi, berfungsi sebagai koleksi tanda-tanda yang menunjuk kepada Tuhan.
Kekerasan hati yang diakibatkan oleh penolakan *tadhakkur* membuat seseorang tidak mampu lagi membedakan antara nikmat dan hukuman. Mereka mungkin mengira bahwa kemudahan yang mereka nikmati setelah melewati suatu kesulitan adalah bukti pengampunan, padahal itu bisa jadi adalah *istidraj* (penangguhan hukuman yang perlahan menarik mereka ke dalam kehancuran). Hanya melalui *tadhakkur* yang jujur dan taubat yang sungguh-sungguh, seseorang dapat memecahkan siklus spiritual yang merusak ini.
Ayat 126 menuntut dua respons yang saling terkait: *yatūbūna* (perubahan internal) dan *yadhakkarūn* (refleksi eksternal yang mengarah pada *ishlah*, atau perbaikan nyata). Taubat tanpa perbaikan konkret hanyalah penyesalan sesaat. Refleksi tanpa perubahan hati hanyalah filsafat kosong.
Setiap ujian yang datang sekali atau dua kali setahun adalah pengingat akan kebergantungan total manusia kepada Allah. Taubat sejati adalah penyerahan diri total, mengakui bahwa kita telah melanggar perjanjian kita dengan Yang Maha Berdaulat. Taubat dari kemunafikan berarti melepaskan klaim kontrol atas hidup dan menyerahkannya kepada kehendak Ilahi.
Ketika ujian datang, reaksi pertama orang yang bertaubat adalah introspeksi diri: 'Dosa apa yang telah kubuat?' Sementara reaksi orang yang gagal bertaubat adalah proyektif: 'Siapa yang harus disalahkan?' Ayat 126 adalah panggilan untuk mengambil tanggung jawab penuh atas kondisi spiritual dan material diri sendiri, menolak mentalitas korban yang menghalangi taubat dan perbaikan.
Setelah bertaubat, *tadhakkur* menuntut tindakan perbaikan. Jika ujian yang berulang menunjukkan adanya kelemahan dalam menepati janji, maka perbaikannya adalah memperkuat komitmen. Jika ujian menunjukkan kelemahan finansial, maka perbaikannya adalah mengatur keuangan sesuai syariat dan membersihkan aset dari unsur haram. Perbaikan ini harus bersifat sistemik, bukan sekadar kosmetik.
Dalam konteks munafik, perbaikan (ishlah) yang dituntut adalah mengakhiri kesetiaan ganda dan bersatu dengan barisan mukminin secara tulus. Bagi mukmin, perbaikan berarti memperbaiki kualitas shalat yang sering lalai, memperbaiki hubungan dengan tetangga yang terputus, atau memperbaiki etika kerja yang selama ini diabaikan. Ujian periodik memastikan bahwa proses perbaikan ini memiliki tenggat waktu yang jelas, setidaknya "sekali atau dua kali setahun" kita diberi kesempatan untuk memulai kembali perbaikan besar.
Frasa 'sekali atau dua kali setiap tahun' menyoroti hukum pengulangan (Law of Repetition) yang sangat penting dalam pendidikan spiritual. Mengapa Allah tidak menguji sekali saja dan selesai? Karena proses pembentukan karakter membutuhkan pengulangan dan penekanan. Sifat manusia mudah lupa dan cenderung kembali ke zona nyaman.
Pengulangan ujian ini berfungsi untuk:
Kegagalan orang munafik terletak pada kegagalan mereka memahami pengulangan ini sebagai mekanisme pedagogi Ilahi. Mereka melihatnya sebagai kemalangan acak yang harus dihindari, bukan sebagai kurikulum wajib yang harus mereka kuasai. Mereka berharap untuk lulus dari sekolah kehidupan tanpa perlu mengikuti pelajaran yang diulang-ulang. Inilah esensi kebodohan spiritual yang disoroti oleh At-Taubah 126.
Jika seseorang terus menerus mengabaikan peringatan yang datang "sekali atau dua kali setiap tahun," implikasi eskatologisnya sangat serius. Penolakan terhadap *tadhakkur* adalah penolakan terhadap pembersihan jiwa. Jika jiwa tidak dibersihkan di dunia melalui api ujian dan air taubat, pembersihan tersebut akan terjadi di akhirat, di mana prosesnya jauh lebih menyakitkan dan permanen.
Ayat ini adalah peringatan keras bahwa batas waktu taubat tidaklah tak terbatas. Meskipun ujian datang secara periodik, kemampuan kita untuk bertaubat bisa menghilang. Ada batas toleransi spiritual. Ketika hati telah mencapai titik kekerasan tertentu, ia tidak lagi mampu menerima cahaya, dan pada saat itulah *tadhakkur* (kemampuan untuk mengingat dan mengambil pelajaran) hilang sepenuhnya.
Oleh karena itu, setiap ujian yang kita hadapi dalam siklus tahunan ini harus dilihat sebagai kesempatan terakhir yang diberikan secara berulang. Ini adalah panggilan untuk bertindak sekarang, untuk memecahkan siklus penolakan, dan untuk menyambut taubat sebagai karunia terbesar di tengah badai kehidupan. Taubat, dalam konteks At-Taubah 126, adalah satu-satunya pelindung kita dari pengulangan kegagalan yang tak berujung.
Siklus ujian tahunan ini harus dihormati sebagai janji suci dari Tuhan untuk tidak pernah meninggalkan hamba-Nya tanpa peringatan. Kasih sayang Allah begitu luas sehingga Dia menjadwalkan guncangan rutin untuk menarik kita kembali. Sungguh kerugian besar bagi mereka yang melihat guncangan tersebut sebagai gangguan belaka dan bukan sebagai jembatan menuju keselamatan abadi. Taubat dan pengambilan pelajaran adalah respons minimum yang dituntut, dan kegagalan dalam minimum ini adalah kegagalan total dalam mengelola kehidupan spiritual.
Ketika kita merenungkan ulang At-Taubah 126, kita menyadari bahwa ia adalah peta jalan menuju hati yang hidup. Ujian adalah palu yang memecahkan bekuan hati, taubat adalah langkah kembali ke jalan yang benar, dan *tadhakkur* adalah kebijaksanaan yang memastikan kita tidak tersesat lagi. Marilah kita renungkan setiap kesulitan yang kita alami tahun ini, tanyakan pada diri kita, 'Apa pelajarannya? Dan bagaimana aku harus bertaubat dari cara hidupku yang lama?' Hanya dengan demikian kita dapat melarikan diri dari sindiran keras yang ditujukan kepada mereka yang 'tidak juga bertaubat dan tidak juga mengambil pelajaran' meskipun telah berulang kali diperingatkan.
***
Istilah *fitnah* yang digunakan dalam ayat 126 merupakan kata yang memiliki bobot semantik yang luar biasa dalam Al-Qur'an. Ini jauh melampaui makna modernnya sebagai "tuduhan palsu" atau "hasutan." Dalam literatur tafsir, *fitnah* sering dikaitkan dengan pemisahan, pengujian kualitas, atau hukuman duniawi yang ringan (sebelum hukuman akhirat yang lebih besar). Keterulangan ujian ("sekali atau dua kali setiap tahun") menunjukkan bahwa *fitnah* adalah program pelatihan yang konstan, bukan insiden yang terisolasi.
Para ulama tafsir mengidentifikasi beberapa jenis *fitnah* yang mungkin merujuk pada periode kenabian, namun tetap relevan secara universal. Misalnya, *fitnah* dapat berupa pengungkapan kebohongan orang munafik melalui wahyu. Setiap kali ayat Al-Qur'an diturunkan yang membongkar niat tersembunyi mereka, itu adalah ujian: akankah mereka menerima teguran dan bertaubat, ataukah mereka akan semakin keras kepala? Di era kontemporer, "wahyu" ini bisa digantikan oleh "kebenaran yang tak terhindarkan." Krisis moral dalam masyarakat adalah *fitnah*. Krisis lingkungan adalah *fitnah*. Jika kita menyaksikan kerusakan, namun kita gagal bertaubat dari keserakahan dan perusakan kita, kita telah gagal dalam ujian tersebut.
Keteraturan ujian, "sekali atau dua kali setiap tahun," menyiratkan adanya irama kosmik dalam kehidupan spiritual. Ini menentang pandangan materialistis yang melihat alam semesta sebagai rangkaian peristiwa acak. Justru, kesulitan datang dengan pola yang terstruktur, seolah-olah alam semesta itu sendiri adalah sebuah jam besar yang secara berkala mengirimkan sinyal peringatan. Kegagalan *yatūbūna* dan *yadhakkarūn* berarti manusia telah memutuskan sinkronisasi mereka dengan irama kosmik ini, hidup dalam disonansi spiritual.
Lebih lanjut, *fitnah* juga merujuk pada kesulitan hidup yang memaksa individu membuat pilihan moral yang sulit. Misalnya, dihadapkan pada pilihan antara keuntungan haram yang cepat atau pendapatan halal yang lambat. Ujian ini, yang bisa terjadi berkali-kali sepanjang tahun, menguji integritas. Orang munafik, karena kurangnya komitmen batin, selalu gagal dalam ujian-ujian integritas kecil ini. Dan ketika mereka gagal, mereka tidak bertaubat; mereka malah membenarkan kegagalan tersebut, semakin memperkuat sifat kemunafikan mereka.
Jika kita merenungkan siklus tahunan, kita akan menemukan bahwa setiap tahun membawa ujian khasnya sendiri: pergantian musim sering membawa penyakit (ujian kesehatan); akhir tahun fiskal membawa stres finansial (ujian rezeki); periode liburan atau pertemuan keluarga membawa ujian kesabaran dan pengendalian diri. Semua ini adalah manifestasi dari 'sekali atau dua kali setiap tahun' yang dimaksudkan untuk memaksa kita melihat ke dalam diri dan memohon ampunan. Ayat ini mengundang kita untuk menjadi ahli dalam mengenali pola ujian kita sendiri, sehingga kita dapat mengantisipasi seruan taubat sebelum krisis memuncak.
Penting untuk menegaskan kembali bahwa taubat dan pengambilan pelajaran bukanlah aktivitas spiritual yang terpisah. Keduanya harus terintegrasi dalam kesadaran sehari-hari. *Tadhakkur* adalah mata yang melihat, dan *taubat* adalah kaki yang melangkah. Tanpa mata, langkah menjadi buta; tanpa langkah, penglihatan tidak menghasilkan gerakan.
Untuk menghindari sindiran At-Taubah 126, seorang mukmin harus mengembangkan rutinitas spiritual yang proaktif:
Kegagalan orang munafik adalah mereka memandang ujian sebagai gangguan yang harus dilupakan secepat mungkin, sementara mukmin sejati memandang ujian sebagai guru yang harus diingat pelajarannya seumur hidup. Ayat 126 adalah panggilan untuk menjadi pembelajar sejati dalam sekolah kehidupan ini. Keselamatan kita, baik di dunia maupun di akhirat, sangat bergantung pada seberapa baik kita mengikuti kurikulum ini, di mana setiap tahun, kita pasti akan menghadapi tes, sekali atau dua kali.
Tidak ada dalih bagi kelalaian. Kesadaran akan pola berulang dari kasih sayang dan peringatan Ilahi ini harusnya memicu rasa takut dan harapan secara bersamaan. Takut akan kerasnya hati yang menolak, dan harapan akan luasnya pintu taubat yang selalu terbuka. Inilah inti dari pesan abadi Surah At-Taubah Ayat 126, sebuah seruan yang bergema melintasi zaman, menuntut refleksi dan perubahan radikal pada setiap individu yang mengaku beriman.
***