Kajian Tafsir Mendalam At-Taubah (9): Ayat 33

Muqaddimah: Fondasi Tujuan Ilahi

Surah At-Taubah, ayat 33, adalah salah satu ayat sentral dalam Al-Qur'an yang menjelaskan secara eksplisit dan tegas mengenai tujuan universal pengutusan Rasulullah Muhammad (shallallahu 'alaihi wa sallam). Ayat ini bukan sekadar narasi historis tentang masa lalu, melainkan sebuah proklamasi abadi yang menjanjikan masa depan, menetapkan kerangka kerja bagi umat Islam di setiap zaman dan tempat. Pesan yang terkandung di dalamnya bersifat fundamental, menghubungkan antara misi kenabian dengan kepastian dominasi ideologis dan praktis agama yang dibawanya.

Ayat ini berfungsi sebagai janji ketuhanan yang tak terbatalkan, sebuah kepastian yang harus dipegang teguh oleh setiap mukmin: bahwa Dinul Haq (Agama Kebenaran) akan memenangkan pertarungan ideologis, spiritual, dan bahkan, pada akhirnya, pertarungan geopolitik melawan semua sistem dan keyakinan lain, betapapun kuatnya penolakan dan kebencian dari pihak-pihak yang ingkar. Janji ini adalah sumber kekuatan tak terbatas bagi mereka yang berjuang di jalan kebenaran dan merupakan ancaman serius bagi mereka yang menentangnya. Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita perlu membedah setiap frasa yang terkandung di dalamnya, menyelaraskan maknanya dengan konteks wahyu dan realitas kehidupan modern.

هُوَ ٱلَّذِىٓ أَرْسَلَ رَسُولَهُۥ بِٱلْهُدَىٰ وَدِينِ ٱلْحَقِّ لِيُظْهِرَهُۥ عَلَى ٱلدِّينِ كُلِّهِۦ وَلَوْ كَرِهَ ٱلْمُشْرِكُونَ
"Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, untuk dimenangkan-Nya atas semua agama, meskipun orang-orang musyrik tidak menyukai." (QS. At-Taubah: 33)

I. Analisis Linguistik dan Teologis Frasa Kunci

Setiap kata dalam ayat ini dipenuhi makna yang dalam. Kajian teologis yang utuh memerlukan pemahaman atas empat komponen utama yang membentuk pilar janji ilahi ini: Risalah, Hidayah, Dinul Haq, dan Izharahu.

1. "هُوَ ٱلَّذِىٓ أَرْسَلَ رَسُولَهُۥ" (Dialah yang mengutus Rasul-Nya)

Pernyataan dimulai dengan penekanan pada subjek: Allah (Dialah). Ini menegaskan bahwa misi ini bukan inisiatif manusia, bukan sekadar gerakan reformasi sosial atau politik yang muncul dari kondisi masyarakat. Ia adalah takdir ilahi, sebuah kehendak mutlak yang dijalankan oleh Sang Pencipta alam semesta. Penggunaan nama 'Rasul-Nya' menunjukkan hubungan khusus antara utusan dan sumber wahyu, menekankan bahwa Muhammad (shallallahu 'alaihi wa sallam) adalah pembawa pesan yang autentik, bukan pencipta ajaran. Utusan ini dipersiapkan secara sempurna untuk mengemban tugas yang maha berat, yaitu mengubah arus sejarah dan peradaban manusia.

Fungsi pengutusan ini melampaui batas geografis atau waktu tertentu. Ia adalah manifestasi dari rahmat Allah kepada seluruh alam. Tanpa utusan, manusia akan tersesat dalam kegelapan hawa nafsu dan kesesatan akal. Oleh karena itu, frasa ini memposisikan misi kenabian sebagai inti dari rencana kosmik Allah untuk menuntun makhluk kembali kepada fitrah yang murni dan benar. Proses pengutusan ini adalah jaminan bahwa sumber ajaran yang disampaikan adalah murni dan tidak tercemar oleh interpretasi atau kepentingan pribadi, melainkan wahyu murni dari Dzat Yang Maha Tahu.

2. "بِٱلْهُدَىٰ" (Dengan membawa Petunjuk/Hidayah)

Lampu Petunjuk

Simbol Petunjuk Ilahi (Hidayah)

Hidayah (Al-Huda) merujuk pada bimbingan dan penerangan. Dalam konteks Al-Qur'an, Hidayah yang dibawa Rasulullah adalah cahaya yang menghilangkan kegelapan jahiliyah, baik kegelapan spiritual, moral, maupun intelektual. Hidayah ini memiliki dua dimensi utama:

Pertama, Hidayah Al-Irsyad wa Ad-Dalalah (Petunjuk berupa Arahan). Ini adalah Hidayah yang terkandung dalam teks Al-Qur'an dan Sunnah, berupa informasi tentang kebenaran, hukum, dan jalan hidup yang lurus. Ia adalah pengetahuan tentang cara beribadah yang benar, cara bermuamalah yang adil, dan pemahaman yang sahih tentang eksistensi Allah dan hari akhir. Hidayah jenis ini disampaikan secara gamblang dan universal, tersedia bagi semua umat manusia.

Kedua, Hidayah At-Taufiq (Petunjuk berupa Taufik/Kemampuan Menerima). Ini adalah kemampuan internal yang diberikan Allah kepada seseorang untuk benar-benar menerima dan mengamalkan Hidayah Irsyad. Rasulullah membawa sumber Hidayah, tetapi kemampuan untuk membuka hati dan pikiran untuk menerimanya sepenuhnya adalah anugerah murni dari Allah. Kehadiran Hidayah adalah dasar dari agama yang benar; ia memastikan bahwa ajaran Islam selalu relevan, logis, dan menjawab kebutuhan terdalam jiwa manusia.

Kuantitas dan kualitas Hidayah yang dibawa oleh Rasulullah sangatlah unik. Ia adalah Hidayah yang paripurna, mencakup setiap aspek kehidupan, dari urusan terkecil pribadi hingga struktur terbesar sebuah negara. Tidak ada sistem lain yang menawarkan petunjuk komprehensif, tidak berubah, dan dijamin kebenarannya secara ilahi seperti yang dibawa oleh Al-Huda ini. Kedudukan Hidayah ini memastikan bahwa Islam tidak hanya unggul secara spiritual tetapi juga superior secara konseptual dan praktis dalam mengatur masyarakat adil.

3. "وَدِينِ ٱلْحَقِّ" (Dan Agama Kebenaran/Dinul Haq)

Jika Hidayah adalah bimbingan, maka Dinul Haq adalah kerangka struktural yang menampung bimbingan tersebut—yakni sistem atau agama itu sendiri. Dinul Haq (Agama Kebenaran) adalah sebutan untuk Islam yang membedakannya dari semua 'agama' atau sistem hidup lainnya yang didasarkan pada spekulasi, tradisi yang tercemar, atau kepentingan sempit manusia.

Kebenaran (Al-Haqq) adalah nama dari Allah sendiri, menunjukkan bahwa agama ini berakar pada realitas yang tak terbantahkan. Dinul Haq memiliki ciri-ciri esensial:

Penting untuk dipahami bahwa istilah Din dalam bahasa Arab lebih luas daripada sekadar 'agama' dalam pengertian barat yang seringkali terbatas pada ritual gereja atau kuil. Din mencakup seluruh gaya hidup, sistem politik, ekonomi, dan sosial. Oleh karena itu, Dinul Haq adalah sistem peradaban yang benar, yang dijamin Allah untuk membawa kesejahteraan hakiki. Keberadaan Dinul Haq adalah prasyarat untuk kemenangan; kemenangan yang dijanjikan adalah kemenangan sistem kebenaran atas sistem kesesatan.

Umat Islam diperintahkan untuk tidak hanya mengamalkan ritual, tetapi juga menegakkan Din ini secara komprehensif. Upaya untuk memisahkan ajaran spiritual dari urusan publik adalah bentuk pengkhianatan terhadap tujuan Ilahi yang ditetapkan dalam ayat ini. Dinul Haq harus tampil sebagai solusi total bagi kemelut manusia, baik di tingkat individu maupun kolektif, sehingga superioritasnya dapat diakui oleh pihak manapun yang memiliki akal sehat dan hati yang terbuka.

II. Interpretasi Kemenangan Universal (Liyuzhirahu)

Inti dari ayat At-Taubah 33 terletak pada frasa لِيُظْهِرَهُۥ عَلَى ٱلدِّينِ كُلِّهِۦ (untuk dimenangkan-Nya atas semua agama). Kata kerja Yuzhirahu (dimenangkan/dinyatakan unggul/diperlihatkan keunggulannya) mengandung arti dominasi yang jelas dan nyata. Para mufassir (ahli tafsir) telah mengelaborasi makna kemenangan ini menjadi tiga tingkatan yang saling melengkapi dan bersifat progresif.

1. Kemenangan Hujjah (Argumentatif dan Intelektual)

Tingkat kemenangan yang pertama dan paling fundamental adalah kemenangan akal dan bukti. Dinul Haq harus unggul dalam ranah intelektual. Artinya, argumen dan bukti yang dibawa oleh Islam (baik itu bukti keberadaan Tuhan, kebenaran wahyu, maupun keadilan sistem hukumnya) harus lebih kuat, lebih koheren, dan lebih memuaskan daripada ideologi, filosofi, atau keyakinan lain. Kemenangan ini adalah tentang penghapusan keraguan.

Dinul Haq tidak membutuhkan paksaan untuk diterima oleh jiwa yang jernih. Begitu kebenaran Islam dipaparkan secara adil, ia akan berdiri kokoh di hadapan kritik dan perdebatan. Dalam sejarah Islam awal, kemenangan ini terwujud dalam debat-debat yang dilakukan oleh para ulama dengan tokoh-tokoh agama lain. Keunggulan Hidayah memastikan bahwa secara logis dan moral, Islam adalah satu-satunya jalan yang konsisten dengan akal dan fitrah manusia. Kemenangan hujjah ini bersifat permanen; ia tidak dapat digulingkan oleh revolusi politik atau perubahan rezim, karena ia bersemayam dalam hati nurani dan kesadaran.

Dalam konteks modern, kemenangan hujjah berarti Islam mampu memberikan jawaban yang paling relevan dan memuaskan terhadap krisis eksistensial, moral, dan sosial yang dihadapi peradaban global, mengungguli ateisme, materialisme, dan relativisme moral yang merusak. Keunggulan ilmiah dan filosofis Islam harus menjadi titik tolak bagi dominasi yang lebih luas.

2. Kemenangan Dominasi (Politik dan Peradaban)

Timbangan Keadilan

Simbol Keadilan dan Supremasi

Tingkat kedua adalah kemenangan nyata, yang dilihat dan dirasakan di dunia. Ini adalah dominasi sistem Dinul Haq di atas sistem-sistem lain dalam tatanan sosial, ekonomi, dan politik. Para mufassir terdahulu, seperti Imam Ibnu Katsir dan Imam Al-Qurtubi, menafsirkan ini sebagai kemenangan militer dan politik yang memuluskan jalan bagi penegakan syariat di wilayah yang luas.

Dalam konteks historis, janji ini dipenuhi melalui ekspansi Kekhalifahan Islam, yang menjadikan Dinul Haq sebagai agama yang mengatur kerajaan-kerajaan besar, dari Spanyol hingga India. Kekuatan Islam tidak hanya menguasai wilayah, tetapi juga menegakkan sistem hukum yang terbukti lebih adil dan stabil daripada sistem-sistem yang digantikannya. Dominasi ini bukan sekadar penaklukan, melainkan penegakan tatanan yang menjamin kebebasan beragama bagi kaum minoritas (melalui konsep Ahlul Kitab) dan memastikan keadilan ekonomi (melalui zakat dan larangan riba).

Kemenangan dominasi ini bersifat siklus dan membutuhkan usaha keras (jihad) dari umat. Ia mengajarkan bahwa umat Islam tidak boleh puas dengan eksistensi marginal, tetapi harus berjuang untuk menjadikan sistem mereka sebagai model peradaban unggulan. Ketika umat meninggalkan kewajiban ini, dominasi akan merosot, namun janji ilahi tetap berlaku, menunggu generasi yang akan bangkit kembali dan menegakkannya.

3. Kemenangan Eschatologis (Akhir Zaman)

Beberapa mufassir melihat puncak dari janji Izharahu ini akan terwujud sepenuhnya menjelang Hari Kiamat. Mereka mengaitkan ayat ini dengan hadis-hadis yang berbicara tentang turunnya Isa (alaihis salam) dan masa keemasan di bawah kepemimpinan Imam Mahdi. Pada masa itu, tidak akan ada lagi sistem yang menentang secara terbuka Dinul Haq. Seluruh bumi akan tunduk pada syariat Allah, baik secara sukarela maupun terpaksa.

Syaikh As-Sa'di menjelaskan bahwa kemenangan ini mencakup penaklukan wilayah yang belum pernah tercapai sebelumnya dan kepatuhan universal terhadap hukum Islam. Isa (alaihis salam), ketika kembali, akan memerintah berdasarkan syariat Muhammad (shallallahu 'alaihi wa sallam). Ini adalah penegasan bahwa tidak ada agama lain yang akan tersisa dengan pengaruh yang signifikan, dan semua perselisihan agama akan diselesaikan oleh kebenaran mutlak yang dibawa oleh Islam.

Ketiga tingkatan kemenangan ini (hujjah, dominasi, dan eschatologis) menunjukkan bahwa janji Allah bersifat multi-lapisan. Ia menuntut tindakan di masa kini (perjuangan intelektual dan penegakan hukum) sambil memberikan harapan pasti untuk masa depan yang sempurna.

III. Sifat Universal 'Atas Semua Agama' (Ala Ad-Dinni Kullihi)

Frasa عَلَى ٱلدِّينِ كُلِّهِۦ (atas semua agama) adalah deklarasi universalitas yang menolak batasan apapun. Ini mencakup segala bentuk kepercayaan, ideologi, sistem politik, atau filosofi yang dianut manusia selain Islam. Ini bukan hanya mengenai agama-agama monoteistik lain, tetapi juga mencakup paganisme, ideologi sekuler, komunisme, kapitalisme, dan sistem-sistem materialisme modern.

1. Penolakan Pluralisme Agama dalam Arti Kesamaan

Ayat ini secara jelas menolak konsep pluralisme agama dalam artian bahwa semua agama adalah sama-sama benar dan sama-sama diridhai Allah. Tujuan utama pengutusan Rasulullah adalah untuk menetapkan satu standar Kebenaran—Dinul Haq—yang akan memimpin dan mendominasi. Jika semua agama setara, maka tidak akan ada tujuan bagi pengutusan Rasulullah dengan petunjuk yang spesifik untuk 'mengungguli' yang lain. Islam datang untuk melengkapi, mengoreksi, dan akhirnya menggantikan semua sistem yang sebelumnya ada atau yang diciptakan manusia. Oleh karena itu, tugas umat adalah menyeru kepada kesatuan din, bukan kepada pluralitas yang setara.

Ini tidak berarti bahwa umat Islam wajib menghilangkan semua agama lain secara fisik; ini berarti bahwa superioritas argumen, moral, dan sistem Dinul Haq harus sedemikian rupa sehingga sistem lain akan terdesak dan terbukti tidak memadai, baik melalui konversi massal atau melalui tunduknya sistem lain pada supremasi hukum dan keadilan Islam.

2. Cakupan Mutlak 'Kullihi'

Penggunaan kata Kullihi (semuanya/keseluruhannya) adalah penegasan mutlak. Tidak ada pengecualian. Hal ini menggarisbawahi keunikan misi Islam. Sementara nabi-nabi sebelumnya diutus kepada kaum tertentu, Muhammad (shallallahu 'alaihi wa sallam) diutus untuk seluruh manusia, dan ajarannya dirancang untuk menjadi hukum tertinggi di seluruh bumi. Ketika Dinul Haq mendominasi, semua agama lain akan berada dalam posisi subordinasi, baik secara hukum publik (di bawah syariat) maupun secara moral dan spiritual (karena bukti kebenaran Islam yang tak terbantahkan).

Klaim universalitas ini adalah alasan mengapa umat Islam selalu memiliki dorongan untuk berdakwah dan memperbaiki dunia (amar ma’ruf nahi munkar). Mereka membawa solusi yang ditujukan untuk seluruh manusia, tidak hanya untuk komunitas mereka sendiri. Kepercayaan pada universalitas ini memicu semangat peradaban yang besar dalam sejarah Islam, yang menghasilkan sintesis ilmu pengetahuan dan budaya yang menaungi berbagai etnis dan keyakinan di bawah satu payung keadilan Dinul Haq.

IV. Reaksi Penentangan: 'Walau Karihal Musyrikun'

Bagian terakhir dari ayat ini adalah penegasan yang realistis tentang oposisi yang pasti muncul: وَلَوْ كَرِهَ ٱلْمُشْرِكُونَ (meskipun orang-orang musyrik tidak menyukai). Klausa ini berfungsi sebagai penenang bagi kaum mukmin dan peringatan bagi para penentang. Kebencian mereka tidak akan pernah bisa menghalangi terlaksananya kehendak Ilahi.

1. Hakikat Kebencian Musyrikin

Siapakah Al-Musyrikun (orang-orang musyrik/yang menyekutukan Allah)? Secara harfiah, mereka adalah orang-orang yang menyembah selain Allah, atau menyekutukan Allah dengan makhluk. Namun, dalam konteks yang lebih luas, musyrik dapat diartikan sebagai siapa pun yang menolak keesaan Allah dalam ketaatan dan legislasi-Nya. Kebencian mereka berakar pada beberapa hal:

Kebencian ini bersifat abadi selama Dinul Haq ditegakkan. Allah menyebutkan kebencian ini bukan untuk menakut-nakuti umat, melainkan untuk menegaskan bahwa oposisi adalah sunnatullah. Kemenangan Dinul Haq akan terwujud bukan karena absennya penentangan, tetapi walaupun ada penentangan yang paling keras sekalipun. Ini mengajarkan umat bahwa mereka harus tetap berjuang dan berdakwah tanpa menghiraukan seberapa besar kebencian atau konspirasi yang ditujukan kepada mereka.

2. Janji Kekalahan Kebencian

Ayat ini memberikan jaminan psikologis bagi umat mukmin: meskipun musuh merancang makar dan mengeluarkan biaya besar untuk memadamkan cahaya Allah (seperti yang dijelaskan dalam ayat-ayat sebelumnya, seperti At-Taubah 32), semua usaha itu akan sia-sia. Kebencian adalah reaksi emosional yang tidak akan mampu melawan kehendak ilahi yang bersifat absolut.

Klausul ini juga berfungsi sebagai ujian keimanan. Apakah seorang mukmin akan gentar dan menyerah ketika menghadapi kebencian global, ataukah ia akan semakin teguh karena mengetahui bahwa penentangan itu sendiri adalah bagian yang telah diprediksi oleh Allah, dan kemenangan pada akhirnya adalah mutlak? Kepercayaan pada janji Izharahu adalah penawar bagi rasa frustrasi dan keputusasaan di tengah tantangan kontemporer.

V. Implikasi Praktis dan Kewajiban Umat

Janji kemenangan ini bukan sekadar ramalan pasif yang hanya menunggu takdir terjadi. Ia adalah janji bersyarat yang menuntut kerja keras, pengorbanan, dan penegakan prinsip-prinsip Hidayah dan Dinul Haq oleh umat Islam. Ayat ini membebankan tanggung jawab besar kepada setiap individu dan komunitas mukmin.

1. Kewajiban Menyebarkan Hidayah (Dakwah)

Untuk mencapai kemenangan hujjah, umat harus aktif menyebarkan Hidayah. Ini berarti bahwa umat Islam harus menjadi yang terdepan dalam ilmu pengetahuan, etika, dan keadilan sosial, sehingga Hidayah yang mereka bawa terbukti superior dalam setiap domain. Dakwah harus dilakukan dengan hikmah, didasarkan pada pengetahuan yang mendalam tentang Dinul Haq, dan disajikan dengan cara yang dapat dipahami oleh konteks modern. Kemenangan intelektual tidak akan datang jika umat Islam bersikap pasif atau tertinggal dalam perdebatan global.

Penyebaran Hidayah memerlukan pembinaan internal yang kuat. Komunitas muslim yang tidak mengamalkan Hidayah secara konsisten akan gagal menjadi bukti hidup bagi Dinul Haq. Oleh karena itu, reformasi diri dan masyarakat adalah langkah awal yang mutlak diperlukan untuk mewujudkan kemenangan yang dijanjikan.

2. Kewajiban Penegakan Dinul Haq (Jihad Peradaban)

Untuk mencapai kemenangan dominasi, umat harus berjuang (jihad) untuk menegakkan Dinul Haq dalam kehidupan publik. Jihad di sini mencakup perjuangan dalam setiap aspek kehidupan, mulai dari upaya menegakkan keadilan di pasar, hingga menuntut tata kelola negara yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah.

Perjuangan ini menuntut:

Tanpa adanya perwujudan Dinul Haq dalam institusi dan sistem, janji kemenangan politik akan sulit tercapai. Kemenangan adalah hasil dari amal shalih yang konsisten dan kolektif, bukan keajaiban tanpa usaha. Allah menjanjikan bantuan-Nya hanya kepada mereka yang menolong (menegakkan) Din-Nya.

VI. At-Taubah 33 dalam Konteks Sejarah dan Masa Depan

Ayat 33 dari Surah At-Taubah memiliki resonansi yang kuat sepanjang sejarah Islam. Ayat ini menjadi motivasi bagi generasi awal untuk melawan tirani kekaisaran Persia dan Romawi, serta menjadi pendorong untuk menyebarkan keadilan Islam ke berbagai penjuru dunia.

1. Realisasi Historis Kemenangan

Dalam kurun waktu beberapa abad setelah pewahyuan ayat ini, janji tersebut telah terbukti benar. Islam tidak hanya bertahan, tetapi juga mendominasi peradaban manusia. Ilmuwan Muslim memimpin dalam bidang astronomi, kedokteran, dan matematika. Sistem hukum Islam menjadi tolok ukur keadilan di banyak wilayah. Ini adalah bukti nyata bahwa ketika umat memegang teguh Hidayah dan Dinul Haq, janji kemenangan Allah akan terwujud.

Namun, kemenangan bukanlah garis lurus. Ketika umat mulai mengabaikan Hidayah (menjauhi ilmu dan etika) dan melonggarkan penegakan Dinul Haq (membiarkan ketidakadilan dan korupsi), dominasi mereka surut. Sejarah membuktikan bahwa kemunduran Islam di era modern bukan disebabkan oleh kegagalan janji Allah, tetapi oleh kegagalan umat dalam memenuhi prasyarat janji tersebut.

2. Relevansi Kontemporer

Di masa kini, umat Islam sering kali berada dalam posisi defensif, menghadapi tantangan dari ideologi sekuler, Islamofobia, dan internalisasi pemikiran yang bertentangan dengan Dinul Haq. Ayat At-Taubah 33 kembali berfungsi sebagai kompas. Ia mengingatkan bahwa kondisi sementara (kekalahan, marginalisasi) tidak boleh membuat umat kehilangan pandangan tentang tujuan akhir: kemenangan universal Dinul Haq.

Pertarungan kontemporer kini banyak berfokus pada kemenangan hujjah. Dalam era informasi, Dinul Haq harus tampil sebagai solusi superior. Ini menuntut:

Ayat ini adalah penyemangat bahwa sebesar apapun kekuatan global yang menentang, jika umat kembali kepada fondasi yang ditetapkan Allah—Hidayah dan Dinul Haq—mereka adalah pewaris sah dari janji kemenangan abadi. Keyakinan ini menghilangkan rasa inferioritas dan memicu semangat untuk bekerja menuju penegakan supremasi Dinul Haq di setiap bidang kehidupan.

VII. Penegasan Ulang Makna dan Kepastian Janji

Sebagai penutup, penting untuk merenungkan kembali kedalaman janji Ilahi ini. At-Taubah 33 adalah lebih dari sekadar nubuat; ia adalah pernyataan aksioma teologis tentang sifat Dinul Haq.

Mahkota Kemenangan

Simbol Dominasi (Izharahu)

Allah tidak berjanji bahwa Islam akan menjadi salah satu agama, atau dihargai di antara agama-agama lain. Janji-Nya adalah li yuzhirahu ala ad-dinni kullihi—untuk dimenangkan-Nya atas semua agama. Supremasi ini adalah karakteristik inheren dari kebenaran itu sendiri. Kebenaran, pada dasarnya, tidak bisa setara dengan kebatilan.

Konsep Dinul Haq adalah kepastian yang tak tergoyahkan. Keunggulan Dinul Haq tidak hanya terletak pada keindahan teologinya, tetapi juga pada kemampuan praktisnya untuk menciptakan peradaban yang makmur, adil, dan berorientasi pada ketuhanan. Ketika Dinul Haq diterapkan secara total, ia akan menghasilkan stabilitas, kemajuan ilmu pengetahuan, dan kebahagiaan yang sejati, hal-hal yang tidak dapat dihasilkan oleh sistem buatan manusia yang cacat oleh hawa nafsu dan keterbatasan pandangan.

Setiap muslim yang merenungkan ayat At-Taubah 33 harus menyadari bahwa ia adalah bagian dari sebuah proyek universal yang dijamin kesuksesannya oleh Allah. Tugas umat bukanlah menciptakan kemenangan, tetapi mempersiapkan diri menjadi wadah yang layak bagi kemenangan itu. Kemenangan datang sebagai hasil dari kesetiaan yang tak tergoyahkan terhadap Hidayah yang dibawa oleh Rasul-Nya dan komitmen total untuk menegakkan Dinul Haq, meskipun kebencian dan penolakan dari pihak musyrikin terus membara.

Keyakinan ini harus mendorong umat Islam untuk terus berjuang dalam medan intelektual, moral, sosial, dan politik. Pada akhirnya, pertarungan antara kebenaran dan kebatilan adalah pertarungan yang hasilnya telah ditetapkan oleh Dzat Yang Maha Kuasa. Kemenangan Dinul Haq adalah kepastian ilahi, dan tugas kita adalah menjadi saksi yang hidup bagi kebenaran tersebut.

Refleksi Mendalam tentang Kepastian Kemenangan

Kepastian yang diungkapkan dalam At-Taubah 33 adalah landasan utama bagi izzah (kemuliaan) umat Islam. Kemuliaan ini bukan berasal dari kekuatan militer semata, melainkan dari keterikatan tak terputus dengan Dzat Yang Maha Mulia, yang menjamin bahwa risalah-Nya akan menang. Ketika umat kehilangan rasa percaya diri pada janji ini, atau mencoba mencari solusi di luar kerangka Hidayah dan Dinul Haq, mereka kehilangan fondasi kemuliaan mereka.

Ayat ini adalah panggilan untuk kembali kepada sumber kekuatan sejati. Jika sistem dunia tampak kacau, tidak adil, dan menuju kehancuran, itu hanya menegaskan kembali bahwa sistem-sistem tersebut tidak didasarkan pada Dinul Haq. Dan di tengah kekacauan itu, janji kemenangan Islam bersinar terang sebagai satu-satunya harapan yang rasional dan spiritual bagi kemanusiaan.

Penyempurnaan kemenangan adalah proses yang berkelanjutan. Ia dimulai di hati individu, ditegakkan dalam keluarga, diwujudkan dalam masyarakat, dan mencapai puncaknya dalam tatanan global. Setiap langkah kecil yang diambil oleh seorang mukmin dalam memperjuangkan keadilan, menegakkan kejujuran, dan menyebarkan ilmu yang bermanfaat adalah kontribusi langsung terhadap pemenuhan janji li yuzhirahu.

Dalam sejarah, penafsiran mengenai bagaimana "kemenangan" ini akan tercapai memang beragam, tetapi substansinya selalu sama: Islam harus menjadi sistem yang dominan. Dominasi ini diukur dari seberapa jauh Dinul Haq mampu menetapkan standar moral, keadilan sosial, dan arah peradaban global. Jika standar ini masih diatur oleh ideologi yang bertentangan dengan Tauhid, maka umat masih memiliki pekerjaan rumah yang sangat besar untuk mencapai janji Allah.

Oleh karena itu, At-Taubah 33 adalah ayat perjuangan, ayat optimisme, dan ayat keyakinan. Ia menempatkan misi umat Islam sebagai misi paling mulia dan paling penting di dunia. Kemenangan ini bukanlah harapan kosong; ia adalah kepastian yang dijamin oleh Yang Mengutus Rasul-Nya dengan Hidayah dan Dinul Haq. Dan tidak ada kekuatan di alam semesta yang dapat membatalkan kehendak Ilahi ini, walau karihal musyrikun.

Penegasan berulang-ulang tentang tujuan pengutusan (Hidayah dan Dinul Haq) dan hasilnya (kemenangan total) harus menjadi sumber inspirasi tak terbatas. Kemenangan ini bukan semata-mata akhir dari sejarah, tetapi adalah jaminan kesinambungan kebenaran. Bahkan ketika Dinul Haq menghadapi ujian terberat, janji ini menjamin bahwa ia tidak akan pernah punah; ia mungkin mundur, tetapi ia akan selalu kembali untuk mendominasi. Kekuatan ini datang dari fakta bahwa ia adalah sistem yang berbasis pada Al-Haqq, sementara segala yang lain berbasis pada Al-Batil (kebatilan), dan kebatilan pasti akan sirna.

Membawa Hidayah berarti membawa solusi. Dunia saat ini haus akan solusi atas masalah yang tidak dapat dipecahkan oleh humanisme sekuler atau sistem ekonomi yang eksploitatif. Dinul Haq menawarkan solusi yang komprehensif, berbasis pada keadilan spiritual dan material. Inilah yang membuat keunggulannya tak terhindarkan. Ketika umat Islam mampu mempraktikkan keunggulan sistem ini dalam kehidupan sehari-hari mereka—melalui kejujuran yang menonjol, kepemimpinan yang berintegritas, dan inovasi ilmiah yang etis—maka janji kemenangan akan semakin terwujud secara nyata. Mereka akan melihat bahwa Al-Musyrikun, dengan segala sumber daya mereka, tidak akan mampu menahan laju kebenaran yang bergerak sesuai kehendak ilahi.

Tanggung jawab kolektif umat Islam adalah memastikan bahwa Dinul Haq tidak hanya ada di masjid-masjid dan kitab-kitab, tetapi juga dalam setiap forum intelektual, setiap lembaga ekonomi, dan setiap pusat kekuasaan. Kegagalan untuk menampilkan Dinul Haq dalam semua dimensi ini sama dengan menunda realisasi janji yang mulia ini. Namun, optimisme tetap harus mendominasi, karena janji Allah adalah kebenaran sejati. Sebagaimana cahaya matahari tidak bisa dipadamkan oleh tiupan mulut, begitu pula cahaya Dinul Haq tidak bisa dimusnahkan oleh konspirasi atau kebencian manusia.

Penting untuk diingat bahwa kemenangan yang dijanjikan dalam ayat ini melampaui konsep nasionalisme atau kesukuan. Ini adalah kemenangan ideologi dan kebenaran universal. Islam menang bukan karena orang Arab atau orang Asia yang berkuasa, melainkan karena Dinul Haq yang berkuasa. Dinul Haq adalah mercusuar yang menarik setiap jiwa yang mencari keadilan dan kedamaian sejati, melintasi batas-batas buatan manusia. Penegasan bahwa Allah telah mengutus Rasul-Nya dengan tujuan ini adalah penegasan tertinggi tentang supremasi dan finalitas Islam sebagai satu-satunya sistem hidup yang diridhai.

Jika kita merenungkan frasa li yuzhirahu, kita menemukan sebuah tantangan. Kemenangan itu harus diperlihatkan. Kebenaran tidak boleh disembunyikan. Ia harus tampil di muka umum sebagai alternatif yang unggul. Dalam dunia yang dilanda kebingungan moral dan politik, penampilan Dinul Haq yang murni dan kuat adalah bentuk dakwah terbesar. Inilah mengapa perbaikan kualitas diri umat, pemurnian tauhid, dan penegakan hukum Ilahi adalah langkah-langkah esensial yang harus diprioritaskan. Hanya dengan fondasi yang kokoh inilah, Dinul Haq dapat mengungguli kullihi (semua) sistem lainnya.

Ayat ini mengajarkan kita tentang kesabaran aktif. Kesabaran bukan berarti menunggu tanpa berbuat apa-apa, melainkan bekerja keras dengan keyakinan penuh bahwa hasil akhir sudah pasti. Kita harus bersabar menghadapi kebencian musyrikin, bersabar dalam menghadapi ujian penegakan Din, dan bersabar dalam proses panjang pembinaan generasi yang akan melanjutkan misi ini. Kesabaran ini didasarkan pada pengetahuan absolut: Allah tidak akan mengingkari janji-Nya, dan kemenangan adalah milik Hidayah dan Dinul Haq, cepat atau lambat, di dunia maupun di akhirat.

Pemahaman yang utuh terhadap At-Taubah 33 menghilangkan pesimisme yang sering melanda umat di masa kemunduran. Setiap kesulitan, setiap penolakan, setiap makar yang dilakukan oleh penentang Dinul Haq hanyalah konfirmasi atas klausa walau karihal musyrikun. Semakin besar kebencian, semakin jelas bahwa kita berada di jalur yang benar menuju Izharahu. Ini adalah penegasan bahwa setiap usaha untuk menyebarkan cahaya tauhid tidak akan pernah sia-sia, karena ia didukung oleh kehendak Dzat Yang Maha Perkasa, yang mengatur alam semesta ini menuju tujuan kemenangan Kebenaran-Nya.

Oleh karena itu, marilah kita teguhkan niat untuk menjadi bagian aktif dari pemenuhan janji ini, dengan menjadi duta Hidayah yang sejati dan pejuang penegakan Dinul Haq yang tak kenal lelah, hingga terwujudlah dominasi mutlak Islam atas semua sistem dan agama, sebagaimana yang telah dijanjikan dalam firman Allah yang abadi ini. Misi Rasulullah berlanjut melalui umatnya, dan tujuan Ilahi harus tetap menjadi fokus utama dari seluruh aktivitas kolektif umat Islam hingga hari akhir.

🏠 Homepage