Ancaman Keras At-Taubah 35: Ketika Harta Menjadi Api Neraka
Pendahuluan: Definisi Harta dalam Perspektif Ilahi
Dalam pandangan Islam, harta benda bukanlah tujuan akhir kehidupan, melainkan sekadar sarana atau amanah yang diberikan oleh Allah SWT. Konsep kepemilikan dalam Islam bersifat dualistik: kepemilikan pribadi diakui, namun kepemilikan mutlak hanyalah milik Sang Pencipta. Konsekuensi dari konsep amanah ini adalah adanya tanggung jawab moral dan sosial yang harus dipenuhi oleh setiap Muslim yang dianugerahi kekayaan. Ketika amanah ini disalahgunakan, atau yang lebih parah, ditimbun tanpa menunaikan hak-haknya, maka harta tersebut berubah wujud dari kenikmatan menjadi ancaman yang sangat menakutkan di hari perhitungan.
Surah At-Taubah, yang dikenal sebagai surah yang banyak memuat hukum dan peringatan keras, menyampaikan sebuah ayat yang mengguncang kesadaran para pemilik kekayaan. Ayat tersebut adalah Surah At-Taubah ayat 35. Ayat ini secara spesifik menargetkan mereka yang menyimpan emas dan perak (yang pada masa itu merupakan representasi utama dari kekayaan dan mata uang) tanpa membersihkannya melalui kewajiban zakat, menjanjikan balasan yang setimpal dan mengerikan: harta yang mereka cintai akan menjadi alat penyiksa mereka.
Kajian mendalam terhadap ayat ini menuntut pemahaman bukan hanya dari segi terjemahan literal, tetapi juga konteks historis, tafsir ulama, dan relevansi penerapannya di era kontemporer. Ayat ini bukan sekadar peringatan; ia adalah fondasi etika ekonomi Islam yang menekankan sirkulasi kekayaan dan keadilan sosial. Kekayaan yang statis, yang dibekukan dari pergerakan ekonomi dan kewajiban sosial, dipandang sebagai penyakit yang merusak individu dan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, memahami ancaman At-Taubah 35 adalah memahami inti dari tanggung jawab seorang Muslim terhadap hartanya.
Bunyi dan Terjemahan Surah At-Taubah Ayat 35
Ayat 35 dari Surah At-Taubah adalah titik fokus dari pembahasan ini, menyajikan gambaran visual yang jelas dan menakutkan tentang hukuman di akhirat. Ayat ini datang setelah ayat 34 yang memberikan peringatan umum kepada orang-orang yang menyimpan harta tanpa mengeluarkan kewajiban zakat dan infaq.
يَوْمَ يُحْمَىٰ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَىٰ بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ ۖ هَٰذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنتُمْ تَكْنِزُونَ
Artinya: "Pada hari dipanaskan emas dan perak itu di dalam neraka Jahanam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung mereka dan punggung mereka (seraya dikatakan kepada mereka): 'Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.'" (QS. At-Taubah: 35)
Peringatan ini sangat spesifik. Ia menyebutkan dua jenis harta (emas dan perak, simbol kekayaan) dan tiga bagian tubuh yang akan disiksa (dahi, lambung, dan punggung). Spesifikasi ini menunjukkan betapa seriusnya dosa menimbun harta atau yang dikenal dengan istilah al-kanz, sebuah praktik yang sangat dicela dalam syariat Islam. Al-kanz, dalam konteks ayat ini dan mayoritas tafsir, merujuk pada harta yang mencapai batas minimum (nisab) namun kewajiban zakatnya tidak ditunaikan.
Analisis Linguistik Kata Kunci: Al-Kanz (Penimbunan)
Kata kunci sentral dalam ayat ini adalah Al-Kanz (الْكَنز). Secara harfiah, kanz berarti menimbun atau menyimpan sesuatu. Namun, para ulama berbeda pendapat mengenai definisi operasional kanz yang diancam hukuman neraka:
- Pendapat Mayoritas (Jumhur Ulama): Mayoritas ulama, termasuk di antaranya Imam Malik, Syafi'i, dan Ahmad, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-kanz yang terlarang adalah harta yang wajib dizakati tetapi tidak ditunaikan zakatnya, meskipun harta tersebut ditampakkan. Jika harta telah dikeluarkan zakatnya, maka ia tidak lagi disebut kanz yang terlarang, meskipun jumlahnya sangat besar dan disimpan. Pendapat ini didasarkan pada hadis Nabi Muhammad ﷺ yang menyatakan, "Setiap harta yang telah ditunaikan zakatnya bukanlah kanz (timbunan)."
- Pendapat Minoritas (Awal dan Klasik): Beberapa ulama pada masa awal, termasuk Ibnu Umar dan Abu Dzar Al-Ghifari, memiliki pandangan yang lebih luas, menyatakan bahwa semua harta yang melebihi kebutuhan pokok sehari-hari adalah kanz yang terlarang, meskipun zakatnya telah ditunaikan, kecuali jika diinfakkan di jalan Allah. Namun, pandangan ini kemudian disepakati oleh jumhur ulama telah disempurnakan oleh nash-nash hadis yang membatasi kanz hanya pada harta yang belum dizakati.
Intinya, ayat At-Taubah 35 adalah peringatan tegas bagi mereka yang menahan hak Allah, menolak zakat, dan memilih menyimpan harta tersebut agar statis dan tidak bergerak bagi kemaslahatan umat. Konsekuensi dari penahanan ini adalah transmutasi hakiki di akhirat: benda mati yang dicintai di dunia akan menjadi sumber siksaan yang pedih.
Tafsir Mendalam Siksaan dan Tiga Bagian Tubuh
Ayat ini tidak hanya mengancam siksaan secara umum, tetapi merinci cara dan tempat siksaan itu mengenai tubuh. Perincian ini memiliki makna simbolis dan teologis yang mendalam, menunjukkan korelasi antara perbuatan di dunia dan balasan di akhirat. Harta yang disimpan akan dipanaskan di api Jahanam hingga mencapai titik didih yang tertinggi, dan dengan benda inilah tubuh penimbun akan dicap atau dibakar.
1. Pembakaran Dahi (Jibāhuhum)
Dahi adalah bagian tubuh yang paling terlihat, dan secara spiritual, merupakan tempat sujud dan simbol kemuliaan, serta tempat bertemunya pandangan mata. Pembakaran dahi melambangkan penghinaan dan pengungkapan keburukan. Ketika seseorang menimbun harta, ia sering kali melakukannya dengan wajah yang sombong, menolak permintaan fakir miskin, dan menyembunyikan kekayaannya. Di hari kiamat, wajah yang seringkali berhias kesombongan itu akan dicap, menjadi tanda bahwa ia adalah seorang penimbun. Ini adalah siksaan psikologis sekaligus fisik, karena wajah adalah cerminan identitas seseorang. Pembakaran dahi juga dapat ditafsirkan sebagai siksaan bagi orang yang memalingkan wajahnya dari kewajiban zakat dan berpura-pura tidak melihat kesulitan orang lain.
2. Pembakaran Lambung (Junūbuhum)
Lambung atau sisi tubuh adalah tempat di mana perut berada, yang melambangkan kekenyangan, istirahat, dan kenyamanan. Para penimbun harta di dunia sering menikmati tidur nyenyak di atas kasur yang empuk, sedangkan perut orang-orang miskin melilit kelaparan. Lambung juga merupakan bagian yang sering digunakan untuk berbaring dan bersantai saat orang-orang saleh sedang berdiri malam (qiyamul lail) untuk beribadah. Siksaan pada lambung adalah balasan setimpal karena mereka menggunakan harta tersebut sepenuhnya untuk kenyamanan diri sendiri tanpa memikirkan kebutuhan umat. Ini adalah hukuman bagi ketamakan dan egoisme dalam menikmati kekayaan. Lambung yang dulunya nyaman akan menjadi tempat api membara, menandai tempat peristirahatan yang dilalaikan haknya.
3. Pembakaran Punggung (Zuhūruhum)
Punggung adalah bagian tubuh yang digunakan untuk membelakangi atau berbalik dari sesuatu. Pembakaran punggung melambangkan penolakan atau pengabaian. Ketika orang miskin datang meminta bantuan atau ketika kewajiban zakat diserukan, para penimbun seringkali membelakangi seruan tersebut. Punggung juga merupakan tempat penyimpanan (ransel atau kantong), secara simbolis, ini adalah bagian tubuh yang menanggung beban harta di dunia. Di akhirat, beban harta itu akan membakar punggung yang menanggungnya, mengingatkan bahwa harta yang seharusnya menjadi sarana pertolongan justru diabaikan fungsinya. Selain itu, punggung adalah simbol ketahanan, dan pembakarannya menunjukkan kehancuran total atas kekuatan yang mereka banggakan di dunia.
Penyebutan tiga bagian tubuh ini mencakup seluruh sisi tubuh manusia: depan (dahi), samping (lambung), dan belakang (punggung). Ini mengisyaratkan bahwa siksaan akan meliputi seluruh diri penimbun, tidak ada tempat bagi mereka untuk melarikan diri atau bersembunyi dari api yang berasal dari harta mereka sendiri.
Etika Ekonomi Islam: Kontras Antara KanZ dan Zakat
Ayat At-Taubah 35 berfungsi sebagai pembeda tajam antara dua konsep kekayaan dalam Islam: harta yang diberkahi dan harta yang dilaknat. Inti dari perbedaan ini terletak pada konsep pemurnian, yaitu Zakat.
Zakat: Pemurni Harta dan Jiwa
Zakat secara harfiah berarti membersihkan atau menumbuhkan. Ia adalah salah satu rukun Islam dan merupakan kewajiban finansial yang bertujuan membersihkan harta dari hak orang lain. Ketika seseorang menunaikan zakat 2.5% dari harta simpanannya (emas, perak, uang) yang telah mencapai nisab dan haul, maka 97.5% sisanya dianggap suci, halal, dan bebas dari ancaman al-kanz.
Para fuqaha sepakat bahwa kewajiban zakat adalah instrumen utama untuk menghindari ancaman At-Taubah 35. Rasulullah ﷺ bersabda, "Barang siapa yang Allah karuniai harta, lalu ia tidak menunaikan zakatnya, maka pada hari kiamat harta tersebut akan diwujudkan seperti ular jantan yang sangat berbisa..." (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini dan ayat 35 saling menguatkan, menegaskan bahwa konsekuensi menahan zakat adalah transmutasi harta menjadi makhluk atau alat siksaan yang mengerikan.
Infaq dan Sadaqah: Melebihi Kewajiban Minimal
Meskipun mengeluarkan zakat secara hukum sudah menghindarkan seseorang dari kategori penimbun (kanz), etika kekayaan dalam Islam mendorong lebih jauh dari sekadar minimal. Infaq (pengeluaran sukarela) dan sedekah (pemberian sukarela) adalah bentuk distribusi kekayaan yang ideal. Seseorang yang kaya namun hanya mengeluarkan zakat minimum, meskipun secara hukum selamat dari api neraka kanz, mungkin kehilangan berkah dan pahala besar yang didapatkan dari kemurahan hati yang tulus. Ayat 35 mengajarkan bahwa harta yang disimpan 'untuk dirimu sendiri' (لِأَنفُسِكُمْ) adalah masalahnya. Harta yang diinfakkan berarti diinvestasikan untuk akhirat, bukan disimpan untuk kenikmatan fana.
Prinsip ini sangat mendasar. Islam menentang harta yang hanya berputar di kalangan orang kaya saja (sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an, QS. Al-Hasyr: 7), dan Zakat serta Infaq adalah mekanisme utama untuk memastikan distribusi yang adil. Jika emas dan perak hanya disimpan di brankas tanpa berkontribusi pada ekonomi umat, maka secara esensi, ia telah melanggar prinsip sirkulasi dan keadilan ilahi.
Peran Harta dalam Keseimbangan Masyarakat
Ketidakseimbangan harta menimbulkan bahaya besar bagi stabilitas sosial dan spiritual. Ketika sekelompok kecil masyarakat menimbun kekayaan sementara sebagian besar hidup dalam kemiskinan, hal ini menumbuhkan iri hati, kejahatan, dan ketidakpuasan. Ayat 35 adalah tameng teologis yang memaksa pemilik modal untuk berpartisipasi dalam solusi sosial. Dengan memaksa harta untuk dikeluarkan (Zakat), Islam memastikan bahwa setiap Muslim kaya memiliki peran wajib dalam pengentasan kemiskinan dan pembiayaan kesejahteraan umum.
Harta yang tidak dizakati adalah harta mati, tidak produktif, dan membawa kutukan. Sebaliknya, harta yang dizakati adalah harta yang produktif, yang diberkahi oleh Allah, dan memberikan manfaat ganda: keberkahan di dunia dan keselamatan di akhirat. Perbedaan antara kedua jenis harta ini adalah garis tipis namun krusial yang digariskan oleh At-Taubah 35.
Penerapan Kontemporer Ancaman At-Taubah 35
Meskipun ayat ini secara spesifik menyebut 'emas dan perak', yang merupakan mata uang di masa kenabian, para ulama kontemporer sepakat bahwa ancaman ini berlaku universal terhadap segala bentuk kekayaan yang memenuhi nisab dan haul namun tidak dikeluarkan zakatnya.
1. Uang Tunai dan Aset Digital
Di era modern, emas dan perak telah digantikan oleh mata uang fiat, saham, obligasi, dan aset digital. Ancaman al-kanz kini meluas ke tabungan dalam bentuk uang tunai di bank, deposito, dan bahkan investasi yang ditahan (seperti saham yang tidak produktif atau kripto) jika aset tersebut dikategorikan sebagai simpanan (amwal mustafadah) dan tidak dikeluarkan zakatnya. Menahan uang miliaran di rekening tanpa memfungsikannya melalui zakat sama saja menimbun emas dan perak di masa lalu.
2. Investasi dan Properti Tidak Produktif
Ayat ini juga memberikan pelajaran tentang etika investasi. Menyimpan properti atau tanah dalam jumlah besar tanpa mengembangkannya atau membayar zakat yang relevan (seperti zakat perdagangan jika diniatkan untuk dijual) dapat menyerupai praktik kanz. Kekayaan harus dialirkan; ia harus menjadi darah kehidupan bagi ekonomi, bukan tumor statis yang hanya memperkaya pemiliknya tanpa ada kontribusi sosial. Properti mewah yang dibiarkan kosong bertahun-tahun sambil menanti kenaikan harga, jika tidak memenuhi ketentuan zakat yang benar, berpotensi masuk dalam kategori yang dicela oleh ayat ini.
3. Peringatan Bagi Korporasi
Di tingkat korporasi, ancaman At-Taubah 35 menjadi peringatan bagi praktik menimbun laba (retained earnings) yang sangat besar tanpa mendistribusikannya kembali secara adil kepada pekerja, berinvestasi, atau berkontribusi pada masyarakat melalui kewajiban filantropi. Walaupun zakat korporasi memiliki mekanisme fikih yang kompleks, semangat ayat ini jelas: kekayaan yang dibekukan demi keuntungan segelintir orang adalah haram secara etika.
Implikasi Spiritual Hoarding
Hoarding (penimbunan) bukan hanya masalah finansial, tetapi juga penyakit spiritual. Ia menunjukkan kebergantungan yang berlebihan kepada materi, ketakutan yang mendalam akan masa depan (kurangnya tawakal kepada Allah), dan pelit (bakhil). Ayat 35 menghancurkan ilusi bahwa kekayaan yang disimpan akan memberikan keamanan. Sebaliknya, harta yang ditimbun adalah bom waktu yang akan meledak menjadi api penyucian di akhirat. Kepastian ini seharusnya menjadi motivasi tertinggi bagi setiap Muslim untuk secara proaktif menyucikan hartanya setiap tahun.
Strategi Praktis Melawan Penyakit Al-Kanz
Untuk memastikan seorang Muslim terhindar dari ancaman pedih At-Taubah 35, diperlukan disiplin finansial dan spiritual yang ketat. Kunci utamanya adalah menjadikan pembayaran Zakat sebagai prioritas mutlak yang melampaui segala kewajiban finansial lainnya.
1. Audit Harta Tahunan (Haul)
Setiap Muslim yang memiliki harta wajib zakat harus melakukan audit tahunan yang ketat pada tanggal yang sama (haul). Harta yang wajib diperhitungkan mencakup emas, perak, tabungan, aset lancar perdagangan, dan investasi yang bersifat simpanan. Tanpa perhitungan yang teliti, sangat mudah bagi harta untuk mencapai nisab tanpa disadari, dan jika zakatnya terlewat, maka ia secara otomatis masuk dalam kategori al-kanz yang diancam.
2. Mentalitas Sirkulasi Kekayaan
Filosofi yang harus ditanamkan adalah bahwa kekayaan harus bergerak. Harta yang disimpan tidak akan membawa pertumbuhan riil, baik di dunia maupun di akhirat. Mengembangkan mentalitas sirkulasi berarti selalu mencari cara untuk menginvestasikan kembali (secara syariah) atau menyumbangkan kelebihan harta. Nabi ﷺ menganjurkan umatnya untuk menafkahkan harta tanpa takut miskin, karena Allah lah yang menjamin rezeki. Ini adalah antitesis spiritual terhadap ketakutan (yang mendorong kanz).
3. Memahami Risiko Akumulatif
Seseorang mungkin berpikir bahwa menahan zakat selama satu tahun adalah hal kecil. Namun, ancaman At-Taubah 35 bersifat akumulatif. Emas dan perak yang dipanaskan adalah total dari seluruh akumulasi harta yang tidak dizakati selama bertahun-tahun. Jika seseorang menahan zakat selama sepuluh tahun, maka seluruh simpanan sepuluh tahun itu, pada hari kiamat, akan menjadi satu bongkahan api yang membakar. Kesadaran akan risiko akumulatif ini sangat penting untuk mendorong pembayaran zakat yang tepat waktu.
4. Berinfaq Secara Rutin dan Terencana
Selain zakat wajib, infaq secara rutin (sadaqah) membantu melembutkan hati dan memutus rantai keterikatan material. Ketika seorang Muslim terbiasa memberi, ia secara psikologis dan spiritual menjauhkan diri dari sifat pelit dan penimbun. Infaq adalah benteng tambahan yang melindungi jiwa dari penyakit kanz.
Ekstensi Teologis dan Filosofis At-Taubah 35
Ayat 35 Surah At-Taubah tidak hanya berbicara tentang hukuman fisik, tetapi juga merupakan landasan filosofis tentang hubungan manusia dengan ciptaan-Nya, khususnya kekayaan. Kekayaan diukur bukan dari kuantitasnya, tetapi dari kualitas keberkahannya dan bagaimana ia mengalir.
Harta sebagai Ujian (Fitnah)
Dalam banyak ayat Al-Qur'an, harta dan anak-anak disebut sebagai fitnah (ujian). Ayat 35 memperjelas bagaimana ujian harta bisa berujung pada kehancuran total. Jika harta membuat seseorang lupa akan kewajiban kepada Pencipta dan sesama, maka ia telah gagal dalam ujian tersebut. Kekayaan menjadi jebakan, sebuah ilusi keselamatan yang justru mengantarkan pada api neraka. Siksaan yang digambarkan – dipanaskannya emas dan perak itu – adalah gambaran nyata kegagalan dalam ujian ini. Harta yang dicintai di dunia akan menjadi saksi yang memberatkan dan alat siksaan yang mematikan.
Transmutasi Material dan Spiritual
Konsep transmutasi material adalah inti dari ancaman ini. Emas dan perak, yang merupakan simbol stabilitas, kekuasaan, dan keindahan di dunia, diubah secara esensial menjadi cairan panas yang membakar. Ini adalah peringatan bahwa nilai-nilai duniawi tidak memiliki nilai intrinsik di hadapan kebenaran ilahi. Nilai sejati harta terletak pada fungsi sirkulasinya, bukan pada keberadaannya yang statis. Metafora api sangat kuat karena api adalah agen pembersih dan penghancur; dalam hal ini, api menghancurkan keegoisan yang melekat pada harta yang disimpan.
Mengapa Emas dan Perak?
Penekanan pada emas (dzahab) dan perak (fiddhah) adalah penting karena keduanya adalah dasar dari kekayaan moneter yang paling sulit disembunyikan dan paling mudah ditimbun. Berbeda dengan hasil pertanian yang mudah rusak atau hewan ternak yang bergerak, emas dan perak dapat disimpan tanpa batas waktu dan mudah disembunyikan dari pandangan mata umum dan petugas zakat. Oleh karena itu, ancaman keras ini secara spesifik ditujukan pada inti dari kekayaan yang seringkali menjadi sasaran keserakahan manusia. Mereka yang menimbun benda-benda ini merasa aman, namun Qur’an mengingatkan bahwa keamanan itu adalah ilusi yang akan terbakar.
Peran Akhlak dalam Ekonomi
Ayat ini menggarisbawahi bahwa ekonomi Islam tidak dapat dipisahkan dari akhlak. Sistem ekonomi yang sah menurut Islam (seperti perdagangan, investasi, dan kepemilikan) harus diikat oleh akhlak mulia (seperti kedermawanan, empati, dan keadilan). Ketika akhlak ini hilang, dan digantikan oleh keserakahan dan penimbunan (kanz), maka sistem ekonomi menjadi batal secara spiritual, dan pelakunya diancam dengan hukuman yang setara dengan dosa besar.
Melawan Sikap Sombong Harta
Ancaman pembakaran pada dahi, lambung, dan punggung adalah hukuman bagi kesombongan yang dihasilkan dari kekayaan. Kekayaan seringkali menimbulkan rasa superioritas, yang membuat seseorang enggan berbaur dengan kaum papa atau menundukkan kepala untuk menunaikan hak Allah. Hukuman ini bertujuan untuk menghancurkan keangkuhan tersebut, menjadikannya pelajaran abadi bagi seluruh umat manusia bahwa kekayaan haruslah menjadi sarana untuk tawadhu’ (kerendahan hati) dan kedermawanan, bukan kesombongan.
Refleksi Historis Para Sahabat Nabi
Kekuatan dari Surah At-Taubah 35 berdampak sangat mendalam pada generasi Sahabat Nabi. Mereka memahami peringatan ini secara harfiah dan menjadikannya motivasi untuk menghindari penimbunan harta.
Kisah Abu Dzar Al-Ghifari
Salah satu sahabat yang paling keras dalam memahami dan menerapkan ayat ini adalah Abu Dzar Al-Ghifari. Saking takutnya terhadap ancaman al-kanz, beliau berpendapat bahwa setiap harta yang melebihi kebutuhan pokok, meskipun telah dizakati, harus diinfakkan agar tidak masuk kategori kanz. Meskipun pandangan beliau dianggap sangat ketat oleh mayoritas ulama kemudian, semangat beliau mencerminkan betapa takutnya generasi awal Islam terhadap ancaman yang digariskan dalam At-Taubah 35. Beliau dikenal sebagai simbol kezuhudan yang radikal dan keberanian untuk mengingatkan para penguasa tentang bahaya penimbunan kekayaan. Beliau mengingatkan bahwa bahkan kekayaan yang sah pun bisa menjadi fitnah jika disimpan berlebihan dan mematikan jiwa.
Pengelolaan Harta Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf
Di sisi lain, sahabat seperti Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf adalah contoh Muslim kaya raya yang menghindari kanz melalui manajemen harta yang luar biasa. Mereka tidak menahan kekayaan, melainkan terus mengembangkannya dan secara konsisten menunaikan zakat serta infaq dalam jumlah yang sangat besar. Kekayaan mereka aktif dan produktif, menjadi sumber pembiayaan bagi pasukan Muslim, pembelian sumur, dan pembangunan infrastruktur masyarakat. Mereka membuktikan bahwa menjadi kaya raya tidak otomatis menjerumuskan ke dalam kanz, asalkan hak Allah dan masyarakat terpenuhi sepenuhnya. Mereka menunjukkan bahwa harta yang diberkahi adalah harta yang mengalir, bukan harta yang dibekukan.
Perbedaan antara menimbun (kanz) dan berinvestasi adalah niat dan kewajiban. Penimbunan dilakukan dengan niat menahan hak Allah dan menyimpan untuk diri sendiri, sementara investasi dilakukan untuk menumbuhkan kekayaan dan pada akhirnya mengeluarkan hak zakat yang lebih besar. Para sahabat ini menjadi teladan bahwa kesuksesan finansial harus sejalan dengan komitmen spiritual.
Warisan Umar bin Khattab dalam Administrasi Zakat
Pada masa Khilafah Umar bin Khattab, sistem administrasi zakat diperketat untuk memastikan tidak ada celah bagi penimbunan. Umar memastikan bahwa tidak ada satupun harta yang wajib zakat yang luput dari pengawasan negara, demi melindungi individu dari siksaan yang dijanjikan dalam At-Taubah 35. Hal ini menunjukkan bahwa kewajiban untuk menghindari kanz bukan hanya tanggung jawab individu, tetapi juga tanggung jawab negara untuk memfasilitasi sirkulasi kekayaan.
Kesimpulan Tegas: Panggilan untuk Pembersihan Harta
Surah At-Taubah ayat 35 berdiri sebagai mercusuar peringatan yang tak terbantahkan dalam etika ekonomi Islam. Ayat ini merupakan deklarasi ilahi bahwa penimbunan harta (emas, perak, dan segala bentuk kekayaan modern) yang enggan dizakati adalah dosa besar yang konsekuensinya bukan hanya kerugian di dunia, tetapi juga siksaan fisik yang spesifik dan kekal di akhirat. Harta yang disimpan akan mengalami metamorfosis mengerikan, berubah dari simbol kekuasaan menjadi alat penyiksaan yang membakar dahi, lambung, dan punggung pemiliknya.
Pesan utama yang dibawa oleh ayat ini melampaui sekadar kewajiban finansial; ia adalah panggilan untuk pembersihan hati dari sifat pelit, keserakahan, dan keterikatan yang berlebihan kepada dunia. Menunaikan zakat adalah tindakan pembebasan—membebaskan harta dari status kanz yang terlarang, dan membebaskan jiwa dari ancaman api neraka. Zakat menjamin bahwa kekayaan berfungsi sebagaimana mestinya: sebagai sarana ibadah, instrumen keadilan sosial, dan investasi abadi di Jannah.
Umat Muslim dihadapkan pada tantangan besar di era materialisme ini. Ketika godaan untuk menimbun kekayaan semakin kuat, maka ingatan akan Surah At-Taubah 35 harus semakin tajam. Setiap keping uang yang ditabung tanpa dizakati adalah potensi bara api di hari perhitungan. Oleh karena itu, disiplin dalam perhitungan haul, ketepatan dalam pembayaran zakat, dan kemurahan hati dalam berinfaq adalah kunci mutlak untuk mengubah harta duniawi menjadi bekal keselamatan abadi. Mari kita pastikan bahwa emas dan perak kita menjadi saksi kedermawanan kita, bukan saksi atas penolakan kita terhadap hak Allah dan sesama.
Penutup dan Pengulangan Prinsip Utama
Untuk menegaskan kembali, pemahaman mendalam tentang At-Taubah 35 memerlukan internalisasi bahwa harta adalah ujian. Setiap individu yang Allah berikan kelapangan rezeki harus menyadari bahwa kelapangan tersebut datang dengan tanggung jawab yang setimpal. Kegagalan dalam mengelola amanah ini tidak hanya berimplikasi pada aspek spiritual individu, tetapi juga merusak tatanan ekonomi makro umat. Harta yang membeku di tangan orang-orang tertentu menghambat pertumbuhan, menciptakan disparitas yang ekstrem, dan pada akhirnya, mendatangkan murka Ilahi.
Dalam konteks fikih, para ulama menekankan bahwa bahkan jika pemerintah suatu negara belum memiliki sistem zakat yang efektif, kewajiban zakat individu tetap tidak gugur. Zakat adalah hak Allah (haqqullah) yang harus ditunaikan oleh individu Muslim secara mandiri, meskipun harus mencari lembaga atau cara yang kredibel untuk menyalurkannya kepada delapan golongan penerima (asnaf). Kelalaian dalam hal ini adalah jalan langsung menuju ancaman yang disebutkan dalam ayat yang mulia ini. Kesadaran ini harus menjadi motivasi paling kuat bagi setiap Muslim yang memiliki simpanan melebihi nisab.
Kita harus senantiasa mengevaluasi diri: Apakah harta yang kita miliki saat ini adalah harta yang diberkahi atau harta yang berpotensi menjadi kanz? Jawabannya terletak pada apakah kita telah menunaikan hak-hak yang melekat padanya. Pembakaran dahi, lambung, dan punggung adalah konsekuensi final dari cinta dunia yang membutakan. Marilah kita jadikan sisa hidup kita sebagai masa untuk pembersihan harta dan penanaman benih kebaikan agar harta kita menjadi tiket menuju Jannah, dan bukan sebaliknya.
Mengulang kembali inti dari peringatan ini: Ayat ini adalah deklarasi bahwa harta yang ditahan (tanpa zakat) akan dipanaskan di neraka Jahanam. Pemanasan ini bukan sekadar panas biasa, melainkan panas yang mengubah substansi material menjadi alat siksaan yang menyakitkan. Transmutasi harta menjadi alat penyiksa ini adalah bentuk keadilan ilahi yang menunjukkan bahwa segala sesuatu akan kembali kepada hakikatnya. Emas dan perak, yang dulunya menjadi sumber kebanggaan, akan menjadi sumber kehinaan yang abadi. Dahi yang sombong, lambung yang menikmati kenyamanan egois, dan punggung yang membelakangi kewajiban akan menerima cap abadi dari harta yang mereka timbun.
Oleh karena itu, setiap pemilik aset perlu meninjau kembali inventaris kekayaan mereka. Apakah aset digital, investasi saham, tabungan di rekening, atau perhiasan emas yang dimiliki sudah bebas dari hak fakir miskin? Apakah kita telah mengambil langkah proaktif untuk menyucikan seluruh kekayaan kita? Jika jawabannya adalah tidak, maka ancaman At-Taubah 35 berlaku secara langsung dan harus segera ditanggapi dengan taubat dan pembayaran zakat yang tertunggak (zakat mal). Penangguhan pembayaran zakat bukanlah sikap bijaksana, melainkan penundaan bencana spiritual yang paling besar.
Pengajaran dari para ulama salaf mengajarkan kita bahwa kekayaan bukan masalah; penimbunan adalah masalahnya. Semangat At-Taubah 35 adalah semangat kedermawanan, keadilan, dan kepedulian sosial. Ia adalah panggilan untuk melepaskan diri dari rantai materialisme yang menyesatkan dan mengikatkan diri pada janji akhirat yang kekal. Semoga Allah SWT melindungi kita dari dosa penimbunan dan menjadikan harta kita sebagai sumber keberkahan di dunia dan syafaat di akhirat kelak.
Kajian yang mendalam tentang At-Taubah 35 juga harus menjadi pengingat bagi para Da'i dan penceramah untuk senantiasa menekankan urgensi zakat dan infaq. Pendidikan tentang pengelolaan harta syariah harus menjadi bagian integral dari kurikulum keagamaan. Kekayaan umat Islam yang sangat besar harus diaktivasi melalui zakat agar tidak menjadi kanz yang membahayakan. Jika setiap Muslim menunaikan zakatnya dengan benar dan jujur, kemiskinan akan terkikis secara signifikan, dan kita akan melihat realisasi keadilan sosial yang dicita-citakan oleh Al-Qur'an dan Sunnah. Penimbunan (kanz) adalah penghalang terbesar menuju keadilan sosial ini.
Kita perlu mengulangi sekali lagi, bahwa esensi dari Surah At-Taubah 35 adalah hubungan timbal balik antara dunia dan akhirat. Tindakan kita di dunia membentuk realitas kita di akhirat. Emas yang dingin dan statis hari ini akan menjadi panas yang membakar besok, jika ia membawa serta hak orang lain yang tidak tertunaikan. Pilihlah untuk membersihkan, mengeluarkan, dan mengalirkan. Pilihlah jalan keselamatan dari ancaman yang begitu mengerikan, yang disebutkan dengan rinci dalam firman-Nya, "Rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu." Tidak ada keraguan sedikitpun dalam ancaman ini, dan tidak ada alasan untuk lalai dalam menghadapinya.
Maka, bagi setiap jiwa yang memiliki kelebihan, lakukanlah introspeksi total. Hitunglah nisab Anda, tunaikan zakat Anda, dan biasakanlah berinfaq. Jadikan At-Taubah 35 sebagai alarm tahunan yang mengingatkan kita untuk selalu memprioritaskan hak Allah atas harta benda yang sifatnya hanya sementara. Kekayaan sejati bukanlah yang disimpan di brankas dunia, melainkan yang telah dikirimkan terlebih dahulu sebagai investasi abadi di sisi Allah SWT. Ini adalah hikmah dan pelajaran paling mendasar yang harus dipetik dari peringatan keras dalam Surah At-Taubah ayat 35. Keselamatan dari api neraka adalah taruhannya, dan pembersihan harta melalui zakat adalah solusinya.
Ancaman api Jahannam yang digambarkan dalam At-Taubah 35 juga membawa implikasi bagi cara pandang kita terhadap nilai. Nilai tertinggi bukanlah akumulasi materi, melainkan kepatuhan dan keikhlasan. Ketika seseorang berhasil mengalahkan sifat pelit (bakhil) yang merupakan akar dari kanz, ia telah mencapai derajat spiritual yang tinggi. Allah SWT berfirman bahwa orang-orang yang dipelihara dari kekikiran dirinya adalah orang-orang yang beruntung. Oleh karena itu, melawan kanz adalah sebuah jihad melawan diri sendiri, sebuah perjuangan untuk membebaskan jiwa dari belenggu materialisme yang menyesatkan.
Mari kita jadikan setiap keping emas dan perak, setiap lembar uang kertas, setiap aset investasi yang kita miliki, sebagai bukti ketaatan kita, bukan sebagai pemberat yang menyeret kita ke dalam jurang kehancuran. Pembakaran dahi adalah simbol penghinaan abadi, lambung adalah simbol penyesalan atas kenikmatan yang egois, dan punggung adalah simbol penolakan atas amanah. Semua ini adalah harga yang harus dibayar oleh seorang penimbun yang keras kepala. Maka, ambillah pelajaran ini dengan serius, dan bergegaslah menunaikan kewajiban sebelum datang hari yang tidak ada gunanya penyesalan dan harta yang dicintai telah berubah wujud menjadi siksaan yang abadi.
Penting untuk diingat bahwa peringatan ini bersifat kekal dan abadi, tidak terikat oleh waktu atau geografi. Selama ada manusia yang menimbun kekayaan dan menolak hak Allah yang termaktub dalam zakat, selama itu pula ancaman dalam Surah At-Taubah 35 relevan dan menakutkan. Umat Islam harus terus-menerus diingatkan akan urgensi ini, terutama di tengah arus konsumerisme dan materialisme global yang mendorong setiap orang untuk menimbun tanpa batas. Hanya dengan kepatuhan total pada perintah zakat, kita dapat memastikan bahwa harta kita menjadi berkat dan bukan kutukan.
Dengan segala kerendahan hati dan ketakutan akan azab Allah, kita memohon agar diberikan kekuatan untuk menjauhi segala bentuk penimbunan yang dilarang. Kita memohon agar harta kita menjadi suci dan diberkahi, sehingga di hari kiamat kelak, harta tersebut menjadi penerang jalan kita menuju Jannah, dan bukan bahan bakar bagi api Jahannam. Pemahaman yang komprehensif terhadap At-Taubah 35 adalah benteng pertahanan spiritual dan ekonomi yang harus kita pegang teguh.
Mengakhiri pembahasan yang panjang ini, penegasan kembali bahwa kewajiban untuk tidak menimbun adalah sebuah janji keadilan. Allah tidak menzalimi hamba-Nya. Jika seseorang disiksa dengan hartanya sendiri, itu karena ia menzalimi dirinya sendiri dengan menahan hak yang seharusnya dikeluarkan. Kejelasan ancaman ini harus menggerakkan kita semua untuk bertindak, bukan hanya merenung. Waktu untuk membersihkan harta adalah sekarang, sebelum masa audit tahunan kita berakhir di hadapan Sang Penguasa Hari Pembalasan.
Keseluruhan pesan dari At-Taubah 35 adalah seruan untuk hidup secara otentik sebagai seorang hamba, mengakui bahwa kekayaan hanyalah pinjaman. Ketika kita memahami harta sebagai pinjaman yang harus dikembalikan sebagiannya dalam bentuk zakat, kita terbebas dari sifat penimbun. Sebaliknya, jika kita memperlakukannya sebagai milik mutlak, kita telah memasuki wilayah kanz. Ketakutan akan dibakarnya dahi, lambung, dan punggung adalah insentif yang paling kuat untuk menjalankan kewajiban zakat tanpa penundaan dan tanpa keraguan sedikit pun. Marilah kita jadikan diri kita bagian dari mereka yang selamat dari ancaman pedih ini.
Sebagai penutup mutlak, marilah kita senantiasa memohon perlindungan dari sifat pelit yang berujung pada penimbunan harta. Harta yang disimpan akan menjadi azab, dan harta yang dikeluarkan akan menjadi rahmat. Pilihan ada di tangan kita, dan konsekuensi telah dijelaskan dengan rinci dan tanpa basa-basi dalam Surah At-Taubah ayat 35. Semoga kita termasuk golongan yang sukses dalam mengelola amanah harta benda.