Ancaman Keras QS At-Taubah Ayat 34

Peringatan terhadap Penyalahgunaan Wewenang Agama dan Harta Bathil

Pendahuluan: Ketajaman Peringatan Ilahi

Surat At-Taubah, yang dikenal sebagai surat pembebasan, mengandung serangkaian peringatan keras dan prinsip-prinsip fundamental dalam membangun masyarakat yang adil dan bertauhid murni. Di antara ayat-ayatnya yang paling tajam dan relevan sepanjang masa adalah ayat ke-34. Ayat ini secara spesifik menyoroti bahaya besar yang mengintai umat manusia ketika pemegang otoritas spiritual atau keagamaan menyimpang dari tujuan suci mereka.

Fokus utama dari ayat ini bukanlah sekadar mengecam individu, melainkan menegakkan standar moral dan etika tertinggi bagi mereka yang memimpin umat dalam aspek spiritual dan pengetahuan. Ketika para cendekiawan (ulama) dan para ahli ibadah (rahib/pendeta) menjadikan ilmu dan ibadah sebagai sarana untuk mengumpulkan kekayaan secara tidak sah, mereka tidak hanya merusak diri sendiri tetapi juga menghalangi orang lain dari Jalan Allah (Sabīlullāh). Ayat ini adalah cerminan abadi tentang korupsi spiritual dan ekonomi yang dapat merusak fondasi setiap peradaban.

(QS. At-Taubah [9]: 34)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِّنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ ۗ

“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya banyak di antara orang-orang alim mereka (Ahbar) dan rahib-rahib mereka (Ruhban) benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil, dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah...”

Analisis Mendalam Lafadz Kunci (Tafsir Ijmali)

Untuk memahami kedalaman peringatan ini, kita perlu membedah lafadz-lafadz kunci yang digunakan dalam konteks ayat ke-34 Surat At-Taubah:

1. Al-Ahbar (الْأَحْبَارِ): Simbol Otoritas Ilmu

Lafadz *Al-Ahbar* merujuk pada para ulama, cendekiawan agama, atau ahli kitab. Dalam konteks Yahudi (yang menjadi konteks sejarah utama pada saat penurunan ayat ini), mereka adalah rabi atau ahli hukum agama. Peran mereka adalah mengajarkan kitab suci, memberikan fatwa, dan memimpin dalam hal pengetahuan. Ketika Al-Qur'an menggunakan istilah ini, ia memberikan peringatan universal kepada semua pihak yang memegang otoritas ilmu agama. Penyimpangan Ahbar terjadi ketika mereka: 1) Menjual ayat-ayat Allah dengan harga murah, 2) Memutarbalikkan makna kitab suci demi keuntungan pribadi atau politik, 3) Mencari kemewahan duniawi melalui posisi keilmuan mereka.

Tragedi para Ahbar yang menyimpang terletak pada rusaknya sumber kebenaran. Mereka yang seharusnya menjadi mercusuar petunjuk malah menjadi sumber kekeliruan. Kekuatan ilmu yang mereka miliki disalahgunakan untuk melegitimasi perbuatan yang zalim atau untuk memeras harta umat. Ilmu menjadi komoditas, dan fatwa menjadi alat tawar-menawar. Kepercayaan publik yang diletakkan pada pundak mereka dikhianati demi keuntungan material yang fana. Analisis ini menunjukkan bahwa bahaya penyimpangan keilmuan jauh lebih merusak daripada penyimpangan ibadah semata, karena ia meracuni akidah dan syariat itu sendiri.

2. Ar-Ruhban (وَالرُّهْبَانِ): Simbol Otoritas Ibadah

*Ar-Ruhban* merujuk pada para rahib, pendeta, atau ahli ibadah yang menjauhkan diri dari urusan dunia untuk berfokus pada spiritualitas (asketisme). Dalam konteks Nasrani, mereka adalah para biarawan. Meskipun secara lahiriah mereka tampak zuhud (menjauhi dunia), penyimpangan ruhban terjadi ketika mereka: 1) Menjadikan ibadah sebagai sarana popularitas yang mendatangkan sumbangan berlebihan, 2) Membuat aturan ibadah tambahan yang memberatkan umat (ghuluw) demi memperkuat posisi spiritual mereka, 3) Membangun kekuasaan finansial dari donasi publik tanpa transparansi, seringkali menimbun kekayaan di balik klaim kesederhanaan.

Penyimpangan Ruhban seringkali lebih halus. Mereka mungkin tidak secara langsung memutarbalikkan hukum seperti Ahbar, tetapi mereka menggunakan citra kesucian, kesederhanaan, dan pengabdian total untuk menarik kekaguman dan kedermawanan orang awam. Kemudian, kekaguman ini dikonversi menjadi keuntungan pribadi atau institusional yang berlebihan, yang pada dasarnya merupakan "memakan harta manusia dengan cara yang batil" karena memanfaatkan sentimen keagamaan yang tulus dari umat. Kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat yang mencari kedamaian spiritual mereka eksploitasi demi kenyamanan material. Dampak negatifnya adalah lahirnya skeptisisme terhadap praktik ibadah murni dan menjauhnya hati manusia dari esensi agama yang sejati.

3. Akalu Amwāla An-Nāsi Bil-Bāṭil (لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ)

Secara harfiah berarti 'mereka memakan harta manusia dengan cara yang batil (tidak benar/haram)'. Ini adalah inti tuduhan. Kata 'memakan' (akalū) di sini adalah metafora klasik dalam bahasa Arab yang berarti mengambil atau menguasai harta. Jalan yang batil mencakup segala bentuk perolehan harta yang tidak sah menurut syariat dan etika, seperti suap, riba, pemerasan, penipuan, memalsukan ajaran agama untuk membenarkan pengumpulan donasi paksa, atau menerima hadiah besar karena memutarbalikkan hukum agama demi kepentingan pemberi hadiah. Ini mencakup segala bentuk eksploitasi kepercayaan religius untuk keuntungan finansial. Tindakan ini merusak keadilan ekonomi dan menimbulkan ketidakpercayaan sosial yang meluas.

Jalan yang batil ini sangat luas. Ia tidak terbatas pada mencuri secara langsung, melainkan mencakup metode yang lebih terselubung dan manipulatif. Sebagai contoh, seorang Ahbar mungkin mengeluarkan fatwa yang sangat menguntungkan penguasa yang korup, dan sebagai imbalannya, ia menerima jabatan atau kekayaan yang besar. Atau, seorang Ruhban mungkin menyebarkan kisah-kisah fantastis tentang kesaktiannya, membuat pengikutnya memberikan semua harta mereka dalam bentuk persembahan wajib yang sebenarnya tidak ada dasar agamanya. Pada dasarnya, setiap perolehan harta yang didasarkan pada penipuan spiritual, penyalahgunaan wewenang, atau pemalsuan kebenaran adalah termasuk dalam kategori "bil-bāṭil" yang diancam dalam At-Taubah 34 ini. Ini merupakan penyalahgunaan kepercayaan publik yang paling serius, menjadikannya dosa ganda: dosa finansial dan dosa merusak citra agama.

Ilustrasi Kekayaan Bathil Tangan serakah menggenggam koin emas di atas kitab suci. KITAB SUCI $ Korupsi Spiritual

Ilustrasi Harta yang Diperoleh Secara Batil

4. Yaṣuddūna ‘An Sabīli Allāh (وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ)

Ini adalah dampak kedua dan paling serius dari penyimpangan Ahbar dan Ruhban: menghalangi manusia dari Jalan Allah. Jalan Allah (Sabīlullāh) di sini tidak hanya berarti menghalangi dari jihad militer, tetapi juga menghalangi dari kebenaran, keadilan, amal saleh, dan keimanan yang murni.

Bagaimana mereka menghalangi? Dengan cara-cara berikut:

  1. Merusak Model Peran: Ketika masyarakat melihat pemimpin agama mereka hidup dalam kemewahan hasil eksploitasi, mereka menjadi muak terhadap agama itu sendiri, sehingga menjauhkan diri dari ajaran yang seharusnya lurus.
  2. Memutarbalikkan Hukum: Mereka menghalangi jalan Allah dengan mengeluarkan fatwa yang menyesatkan, membenarkan tirani, atau mempersulit syariat demi mempertahankan status quo mereka.
  3. Menyebarkan Keraguan: Dengan perilaku yang kontradiktif antara ajaran dan tindakan, mereka menanamkan keraguan di hati umat mengenai kesungguhan dan keabsahan ajaran agama.

Penyimpangan ini merupakan bencana spiritual kolektif. Menghalangi manusia dari Jalan Allah adalah kejahatan yang melampaui dosa individu, karena ia mempengaruhi nasib spiritual seluruh komunitas. Para Ahbar dan Ruhban ini menggunakan kredibilitas agama untuk menciptakan barikade psikologis dan doktrinal yang membuat orang sulit menemukan kebenaran yang murni. Ini adalah bentuk terorisme spiritual, di mana kepercayaan dasar umat dihancurkan dari dalam oleh para penjaganya sendiri.

Akar Korupsi Spiritual dan Godaan Materi

Mengapa orang-orang yang berilmu dan beribadah, yang seharusnya menjadi garda terdepan kebenaran, justru terjerumus dalam korupsi yang diancam dalam At-Taubah 34? Jawabannya terletak pada godaan materi yang merusak niat (ikhlas).

Fenomena Menjual Agama

Korupsi Ahbar dan Ruhban seringkali bermula dari hilangnya keikhlasan. Mereka mulai mengukur keberhasilan dakwah atau ibadah mereka dengan metrik duniawi: jumlah pengikut, besaran donasi, kemewahan fasilitas, dan kedekatan dengan kekuasaan. Ini memunculkan fenomena 'menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang murah' (*istibdāl*). Mereka menukar pahala abadi dan kehormatan di sisi Allah dengan kenikmatan sementara yang remeh.

Dalam sejarah, kasus ini terlihat jelas ketika para Ahbar menerima suap untuk menyembunyikan kebenaran tentang nabi yang akan datang, atau ketika para Ruhban menciptakan dogma yang menguntungkan penguasa feodal dan membebaskan mereka dari kewajiban sosial. Pada era modern, ini terwujud dalam bentuk 'teologi kemakmuran' yang ekstrem, di mana fokus agama bergeser dari ketaqwaan dan keadilan sosial menjadi justifikasi untuk kekayaan pribadi, seringkali melalui skema finansial yang meragukan yang diklaim 'halal' berdasarkan fatwa yang dipesan.

Ekonomi Kepercayaan (The Trust Economy)

Ahbar dan Ruhban beroperasi dalam apa yang bisa disebut "Ekonomi Kepercayaan". Aset terbesar mereka adalah kredibilitas spiritual yang diberikan oleh umat. Ketika mereka menyalahgunakan kepercayaan ini untuk mendapatkan harta bathil, mereka pada dasarnya memalsukan mata uang spiritual. Umat memberikan donasi atau zakat bukan karena paksaan fisik, tetapi karena keyakinan bahwa dana tersebut akan digunakan untuk kepentingan agama atau kebaikan sosial murni.

Apabila donasi ini dialihkan ke rekening pribadi, investasi mewah, atau gaya hidup hedonis, seluruh sistem kepercayaan runtuh. Ini adalah jenis pencurian yang jauh lebih kejam daripada pencurian biasa, karena ia merenggut harapan spiritual dan keyakinan akan keadilan ilahi di mata para korban. Umat yang tertipu mungkin tidak hanya kehilangan harta, tetapi yang lebih parah, mereka kehilangan iman dan penghormatan terhadap institusi agama secara keseluruhan.

Sifat ekonomi kepercayaan ini menuntut tingkat transparansi dan asketisme yang sangat tinggi dari pemimpin agama. Ketidakmampuan untuk menjaga jarak dari godaan materi, dan bahkan membenarkan penimbunan harta atas nama 'kepentingan dakwah', adalah cikal bakal kehancuran spiritual yang diwanti-wanti oleh Surat At-Taubah [9]: 34.

Ilustrasi Penghalang Jalan Allah Sebuah jalan lurus terhalang oleh tembok tinggi yang terbuat dari uang dan kemewahan. JALAN LURUS BRIBERY LUXURY POWER HALANGAN

Kekayaan sebagai Penghalang Kebenaran

Penyalahgunaan harta yang dilakukan oleh Ahbar dan Ruhban memiliki dampak ganda. Pertama, ia merugikan orang-orang yang hartanya diambil secara batil. Kedua, dan ini yang lebih merusak dalam jangka panjang, ia menghancurkan kredibilitas syariat dan menimbulkan fitnah di kalangan umat. Orang awam mungkin berpikir, "Jika pemimpin agama saja serakah dan korup, lantas apa gunanya agama ini?" Ini adalah penghambatan jalan Allah yang paling efektif—menghambat melalui contoh yang buruk dan memuakkan.

Perluasan Tafsir: Ahbar dan Ruhban Kontemporer

Meskipun ayat ini secara historis merujuk pada ahli kitab Yahudi dan Nasrani, kaidah tafsir menunjukkan bahwa peringatan Al-Qur'an bersifat universal (‘ibrah bi ‘umūmil lafẓi lā bi khuṣūṣis sabab). Oleh karena itu, Ahbar dan Ruhban kontemporer merujuk pada:

Peringatan At-Taubah 34 berfungsi sebagai pengujian keimanan dan moralitas bagi setiap pemimpin agama di setiap zaman. Ia menuntut kejujuran finansial, transparansi institusional, dan komitmen total pada kebenaran, bahkan jika kebenaran itu pahit dan tidak menguntungkan secara material. Tidak ada kemewahan atau harta yang diperoleh secara batil yang dapat dibenarkan oleh status keilmuan atau kesalehan seseorang. Keseimbangan antara kebutuhan pribadi yang wajar dan ambisi material yang rakus harus selalu diawasi dengan ketat, terutama oleh mereka yang memegang amanah ilahi.

Konsekuensi Akhirat: Azab Harta yang Ditimbun

Ayat 34 Surat At-Taubah diakhiri dengan peringatan yang sangat spesifik dan mengerikan mengenai nasib harta yang ditimbun secara batil. Meskipun dalam terjemahan yang sering dikutip fokusnya pada Ahbar dan Ruhban, ayat berikutnya (At-Taubah 35) secara langsung melanjutkan konsekuensi penimbunan ini:

“...Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahanam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (seraya dikatakan) kepada mereka: 'Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang akibat dari apa yang kamu simpan itu.'" (QS. At-Taubah [9]: 34-35)

Siksa yang Dipersonalisasi

Konsekuensi yang dijanjikan di sini adalah siksa yang dipersonalisasi. Harta yang dikumpulkan secara haram, yang seharusnya menjadi alat untuk beribadah dan membantu sesama, akan menjadi sumber azab itu sendiri. Emas dan perak (simbol kekayaan) akan dipanaskan hingga membara dan digunakan untuk mencap (membakar) tubuh mereka—dahi, lambung, dan punggung.

Pembakaran pada dahi adalah penghinaan yang luar biasa, sebab dahi adalah simbol kehormatan dan tempat sujud. Pembakaran pada lambung dan punggung melambangkan bahwa harta itu disimpan dengan erat, menolak untuk dikeluarkan sebagai zakat atau sedekah, dan kini ia membakar bagian tubuh yang menyembunyikannya. Ini adalah keadilan ilahi di mana alat dosa menjadi instrumen hukuman. Ketentuan ini berlaku bagi siapa pun yang menimbun harta, tetapi memiliki resonansi yang sangat kuat ketika diterapkan pada Ahbar dan Ruhban yang seharusnya memahami etika kepemilikan harta dalam Islam.

Perintah untuk Infaq dan Zakat

Ancaman ini secara implisit merupakan perintah keras untuk menunaikan zakat dan berinfak di jalan Allah. Penimbunan (Kanz) dilarang bukan hanya karena keserakahan, tetapi karena ia menghambat peredaran harta yang merupakan urat nadi kehidupan ekonomi umat. Bagi para pemimpin agama, penimbunan menjadi indikator jelas bahwa fokus mereka telah bergeser dari pelayanan spiritual menuju akumulasi kekayaan, mengalihkan mereka dari Sabīlullāh.

Ilustrasi Api Neraka dan Harta Panas Koin-koin emas yang terbakar oleh api yang membara, simbol hukuman bagi penimbun harta. AZAB Harta Yang Membakar

Konsekuensi Harta Yang Ditimbun (Kanz)

Dimensi Korupsi: Mengapa Penyimpangan Ahbar Lebih Berbahaya?

Meskipun Al-Qur'an menyandingkan Ahbar dan Ruhban, penyimpangan Ahbar (ulama/cendekiawan) sering dianggap memiliki dampak yang lebih destruktif terhadap agama. Korupsi Ahbar adalah korupsi doktrinal dan hukum, sementara korupsi Ruhban cenderung bersifat eksploitasi spiritual dan finansial.

Kerusakan Epistemologis

Ahbar menyalahgunakan alat utama agama: teks suci, tafsir, dan fatwa. Ketika seorang ulama menggunakan ilmunya untuk membenarkan yang haram atau mengharamkan yang halal demi keuntungan materi, ia menciptakan kerusakan epistemologis. Umat kehilangan kemampuan untuk membedakan kebenaran dari kepalsuan karena sumber kebenaran itu sendiri telah terkontaminasi. Mereka melegitimasi kebatilan dengan jubah agama, menjadikan kemaksiatan terlihat suci. Ini adalah bahaya terbesar, karena ia menyerang fondasi keyakinan dan hukum yang mengatur masyarakat.

Sebagai contoh, membenarkan bunga (riba) dengan nama skema investasi syariah yang rumit, atau mengeluarkan fatwa yang membolehkan pemimpin zalim untuk terus menindas rakyat, adalah manifestasi modern dari memakan harta bathil sekaligus menghalangi Jalan Allah. Dengan memanipulasi hukum, mereka mengikat kebenaran pada kepentingan pribadi dan politik, menjadikan agama terlihat fleksibel terhadap moralitas, padahal agama seharusnya menjadi standar moralitas yang kokoh.

Korupsi Institusional yang Meluas

Penyimpangan Ahbar seringkali bersifat institusional. Mereka membangun sistem di mana fatwa dibeli, jabatan agama diperdagangkan, dan lembaga pendidikan agama menjadi alat politik. Korupsi ini tidak hanya merugikan satu individu, tetapi merusak seluruh rantai otoritas keagamaan, menciptakan lingkaran setan di mana generasi ulama berikutnya juga terpaksa berkompromi agar bisa bertahan dalam sistem tersebut. Hal ini menciptakan kerusakan yang sulit diperbaiki karena melibatkan struktur kekuasaan dan keuangan yang mapan di bawah bendera agama.

Korupsi Ruhban, meskipun berbahaya, cenderung lebih terlokalisasi pada komunitas spiritual tertentu. Sebaliknya, korupsi Ahbar dapat mempengaruhi kebijakan negara, hukum perdata dan pidana, serta interpretasi massal terhadap ajaran dasar Islam. Inilah sebabnya mengapa Nabi Muhammad ﷺ sangat mewanti-wanti umatnya terhadap "ulama su’" (ulama yang jahat) yang menggunakan ilmu mereka sebagai senjata duniawi.

Sikap kritis terhadap otoritas keagamaan, yang diajarkan secara implisit oleh At-Taubah 34, menjadi kewajiban bagi setiap Muslim. Umat diwajibkan untuk menguji ajaran dan perilaku pemimpin agama mereka berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah yang otentik, bukan berdasarkan gelar, popularitas, atau kemewahan hidup mereka. Keimanan harus didasarkan pada hujjah (bukti), bukan pada taklid buta terhadap figur yang perilakunya bertentangan dengan esensi ajaran yang mereka sampaikan.

Tanggung Jawab Umat

Ayat ini ditujukan kepada "Wahai orang-orang yang beriman" (Yā ayyuhal-lażīna āmanū). Ini menunjukkan bahwa tanggung jawab untuk melawan penyimpangan Ahbar dan Ruhban berada di pundak seluruh komunitas. Umat tidak boleh pasif. Mereka harus berhenti memberikan dukungan finansial dan moral kepada mereka yang jelas-jelas menggunakan agama untuk memperkaya diri atau menghalangi kebenaran. Menghindari memberi donasi kepada pemimpin agama yang korup adalah bentuk penolakan terhadap 'memakan harta bathil' yang sangat efektif.

Kewajiban umat mencakup:

  1. Verifikasi: Menyelidiki sumber dana dan gaya hidup pemimpin agama.
  2. Akuntabilitas: Menuntut transparansi finansial dari lembaga-lembaga keagamaan.
  3. Penolakan: Menolak fatwa atau ajaran yang jelas-jelas bertentangan dengan keadilan demi keuntungan materi.

Jika umat gagal menjalankan tanggung jawab ini, mereka secara tidak langsung berkontribusi pada fenomena yang dikutuk dalam At-Taubah 34, membiarkan orang lain memakan harta mereka dengan batil dan membiarkan Jalan Allah terhalang tanpa perlawanan yang berarti.

Elaborasi Penghambatan Jalan Allah (Sadd ‘an Sabīlillāh)

Penghambatan Jalan Allah adalah kejahatan paling serius dalam ayat ini, karena dampaknya bersifat permanen dan meluas. Ia adalah hasil logis dari konsumsi harta batil. Seseorang yang telah terjerat dalam kesenangan duniawi dan keuntungan haram pasti akan berusaha melindungi sumber kekayaan tersebut, bahkan jika itu berarti harus mengorbankan kebenaran.

Menciptakan Kultus Kepribadian

Salah satu metode penghambatan Jalan Allah yang sering digunakan oleh Ruhban modern adalah menciptakan kultus kepribadian. Mereka memposisikan diri sebagai satu-satunya perantara keilahian, menuntut kesetiaan absolut dari pengikut mereka, dan menolak kritik. Dalam konteks ini, 'Jalan Allah' disamakan dengan 'Jalan Sang Guru'. Siapa pun yang menentang atau meragukan kebijakan finansial atau ajaran mereka dianggap menentang Allah sendiri. Ini adalah bentuk penghambatan yang sangat halus, di mana pemujaan figur menggantikan pemujaan terhadap Allah semata (tauhid).

Kultus ini memungkinkan mereka untuk terus memakan harta umat secara batil tanpa pengawasan. Pengikut yang fanatik akan dengan sukarela memberikan harta mereka, bahkan melindungi pemimpin mereka dari investigasi atau kritik, meyakini bahwa mereka sedang membela agama. Padahal, mereka hanya membela kepentingan material sang pemimpin.

Mematikan Semangat Ijtihad dan Kritis

Ahbar yang korup menghambat Jalan Allah dengan mematikan semangat ijtihad (usaha berpikir) dan kritis di kalangan umat. Mereka menuntut umat hanya menerima tanpa bertanya, dan mencap siapa pun yang berusaha memahami teks suci secara independen sebagai sesat atau tidak kompeten. Mereka ingin memonopoli kebenaran agar mereka dapat mengontrol narasi dan, pada akhirnya, mengontrol aliran harta. Ketika umat berhenti berpikir dan hanya menjadi robot pengikut, mereka akan mudah diarahkan untuk menyalurkan kekayaan mereka ke kantong-kantong yang salah.

Jalan Allah adalah jalan yang terang, yang menuntut penggunaan akal (tafakkur), penelitian, dan keberanian untuk menegakkan keadilan. Ketika Ahbar menjual ilmunya, mereka sekaligus menjual akal sehat umat. Mereka menciptakan kabut tebal berupa kerumitan ritual dan fatwa yang kontradiktif, sehingga umat merasa bahwa satu-satunya cara untuk memahami agama adalah melalui perantara—perantara yang harganya harus dibayar mahal.

Peran Kekuatan Politik

Dalam banyak kasus, penghambatan Jalan Allah tidak dapat terlepas dari kolaborasi dengan kekuasaan politik yang tiran. Penguasa membutuhkan legitimasi agama untuk menindas rakyat dan mengumpulkan kekayaan secara paksa, sementara Ahbar membutuhkan perlindungan dan kekayaan dari penguasa. Mereka membentuk aliansi yang saling menguntungkan: Ahbar mengeluarkan fatwa yang mendukung penguasa (misalnya, menenangkan protes sosial, membenarkan pajak yang zalim), dan sebagai imbalannya, penguasa memastikan kekayaan dan dominasi institusi agama yang dikelola oleh Ahbar tersebut terus mengalir deras.

Aliansi ini adalah wujud puncak dari konsumsi harta batil dan penghambatan Jalan Allah. Mereka bersama-sama menciptakan penghalang yang hampir tidak dapat ditembus oleh keadilan dan kebenaran. Umat yang mencoba mencari keadilan sosial akan menemukan diri mereka melawan dua kekuatan besar sekaligus: kekuasaan negara yang represif dan otoritas agama yang mengklaim mewakili Tuhan.

Surat At-Taubah [9]: 34 memberikan kita peta jalan yang jelas tentang bagaimana korupsi spiritual dan politik saling menguatkan dan bagaimana umat harus berhati-hati terhadap manifestasi ganda kezaliman ini. Ayat ini adalah seruan abadi untuk menjaga kemurnian ilmu, ibadah, dan integritas finansial dalam dakwah.

Kedalaman analisis terhadap ayat ini menunjukkan bahwa krisis spiritual yang disebabkan oleh Ahbar dan Ruhban yang menyimpang bukanlah sekadar masalah etika pribadi mereka, melainkan masalah struktural yang mengancam keberlangsungan keadilan sosial dan keimanan murni. Jika pemimpin yang seharusnya menjadi teladan justru menjadi perampok spiritual, maka masyarakat akan kehilangan arah dan jatuh ke dalam kekacauan moral dan material. Inilah alasan mengapa peringatan dalam At-Taubah 34 disampaikan dengan intonasi yang begitu keras dan konsekuensi yang begitu mengerikan.

Kontinuitas Ancaman dan Relevansi Abadi

Peringatan dalam QS At-Taubah 34 bukanlah artefak sejarah yang hanya berlaku untuk komunitas tertentu di masa lalu. Ia adalah prinsip yang berlaku secara universal dan abadi (mutlak). Setiap kali sebuah komunitas, tanpa memandang label agama, memberikan otoritas spiritual atau keilmuan yang besar kepada individu tanpa mekanisme akuntabilitas yang ketat, risiko penyimpangan Ahbar dan Ruhban akan selalu muncul.

Mekanisme Korupsi yang Berulang

Sejarah agama-agama, termasuk Islam, telah berulang kali menyaksikan mekanisme korupsi yang sama: Ilmu dan kesalehan digunakan sebagai modal sosial, modal sosial dikonversi menjadi modal finansial, dan modal finansial digunakan untuk memblokade kritik dan mempertahankan kekuasaan. Ini adalah lingkaran setan yang hanya bisa diputus oleh keimanan yang kokoh dan keberanian umat untuk menuntut transparansi dan integritas. Tanpa integritas finansial, integritas spiritual akan luntur dan hilang tak berbekas.

Peristiwa-peristiwa kontemporer di seluruh dunia menunjukkan betapa relevannya ayat ini. Kita melihat yayasan-yayasan agama yang mengumpulkan dana triliunan rupiah namun pengelolaannya tertutup dan digunakan untuk gaya hidup mewah. Kita melihat dai-dai karismatik yang kekayaannya berlipat ganda secara misterius setelah mengeluarkan pernyataan-pernyataan kontroversial. Semua ini adalah manifestasi modern dari 'memakan harta bathil' dan 'menghalangi dari Jalan Allah' dengan kedok pelayanan agama.

Ancaman keras ini mendorong setiap Muslim untuk tidak hanya meneliti sumber harta mereka sendiri, tetapi juga sumber harta orang-orang yang mereka jadikan panutan spiritual. Kesalehan sejati harus tercermin dalam kejujuran finansial, kerendahan hati dalam kepemilikan, dan komitmen yang tak tergoyahkan untuk menggunakan kekayaan (jika ada) demi kebaikan umat, bukan akumulasi pribadi.

Pentingnya Pengawasan Internal

Satu-satunya cara untuk mengatasi ancaman yang dijelaskan dalam At-Taubah 34 adalah melalui pengawasan internal yang kuat di kalangan umat Muslim. Pengawasan ini harus mencakup tiga aspek:

  1. Pengawasan Doktrinal: Menjaga kemurnian ajaran dari pemalsuan oleh Ahbar yang mencari keuntungan.
  2. Pengawasan Etika: Menjaga perilaku pemimpin agar sesuai dengan klaim kesalehan yang mereka sampaikan.
  3. Pengawasan Finansial: Menuntut transparansi dan akuntabilitas total atas dana publik, infaq, dan zakat.

Kegagalan dalam pengawasan ini akan secara langsung membuka pintu bagi Ahbar dan Ruhban untuk terus menjalankan praktik yang dilarang, yang pada akhirnya akan merusak keimanan dan keadilan dalam masyarakat. Ayat ini adalah fondasi bagi etika kepemimpinan spiritual yang melarang penggunaan kedudukan agama sebagai mesin pencetak uang atau perisai untuk melindungi kezaliman.

Jalan Allah (Sabīlullāh) adalah jalan kebenaran yang tidak dapat dibeli dan tidak dapat dihalangi oleh tumpukan emas atau fatwa palsu. Kekayaan yang diperoleh secara batil adalah penghalang terbesar menuju kebenaran itu. Oleh karena itu, bagi setiap orang yang mengaku beriman, memahami dan mengamalkan pesan At-Taubah 34 adalah ujian fundamental terhadap komitmen mereka terhadap keadilan ilahi dan kemurnian agama.

Reiterasi dan Penegasan Pesan Moral At-Taubah 34

Pesan moral yang terkandung dalam Surat At-Taubah ayat 34 ini begitu mendesak sehingga memerlukan penegasan berulang dalam setiap generasi. Ancaman terhadap Ahbar dan Ruhban yang menyimpang adalah pengingat bahwa tidak ada status sosial atau spiritual yang dapat membebaskan seseorang dari hukum moral dan pertanggungjawaban di hadapan Allah.

Ketidakberdayaan Gelar Agama

Gelar ‘alim, syekh, ustadz, atau kyai tidaklah berarti apa-apa jika integritas finansial dan moral telah hilang. Bahkan dengan pengetahuan yang luas (seperti Ahbar) atau tingkat ibadah yang tinggi (seperti Ruhban), penyalahgunaan wewenang untuk mengambil harta orang lain secara batil akan membatalkan semua amal kebaikan. Ilmu dan ibadah seharusnya meningkatkan ketakwaan dan kejujuran, bukan menjadi alat penipuan yang lebih canggih.

Ayat ini mengajarkan bahwa bobot amal di sisi Allah diukur dari keikhlasan dan kejujuran, bukan dari penampilan luar. Seorang Ahbar yang hidup sederhana dan jujur, meskipun ilmunya sedikit, jauh lebih mulia daripada seorang Ahbar yang bergelar tinggi, berpenampilan megah, tetapi memakan harta umat dengan dalih-dalih agama. Konsep ini adalah pukulan telak terhadap hierarki spiritual yang didasarkan pada kekayaan atau kekuasaan, dan menekankan kembali pada prinsip Tauhid murni dan ketaqwaan individu.

Mewaspadai Dinding Kemewahan

Kekayaan berlebihan yang dimiliki oleh pemimpin agama yang seharusnya sederhana seringkali menjadi 'dinding' yang menghalangi mereka dari Sabīlullāh. Dinding ini tidak hanya memisahkan mereka dari kehidupan nyata umat, tetapi juga melindungi mereka dari kebenaran yang datang dari orang miskin atau orang-orang yang tertindas.

Seorang pemimpin agama yang terbiasa dengan kemewahan pribadi akan sulit untuk berempati dengan kemiskinan dan penderitaan umat. Akibatnya, fatwa dan ajaran yang mereka sampaikan cenderung lebih memihak kepada kelas atas atau elit penguasa yang memberikan dana besar kepada mereka. Dengan demikian, mereka secara halus menghalangi Jalan Allah yang seharusnya berorientasi pada keadilan sosial dan pembelaan terhadap kaum mustadh'afīn (yang dilemahkan).

Oleh karena itu, kewajiban untuk menjaga kesederhanaan, transparansi, dan akuntabilitas finansial bagi Ahbar dan Ruhban bukan hanya etika, melainkan syarat fundamental untuk menjaga keabsahan otoritas agama mereka. Jika fondasi ini rusak, seluruh bangunan keimanan umat berpotensi runtuh, menjadikan mereka sasaran empuk bagi azab yang dijelaskan dalam ayat-ayat selanjutnya—azab berupa api yang berasal dari harta yang mereka kumpulkan di dunia.

Penutup Peringatan

Surat At-Taubah ayat 34 berdiri sebagai pilar peringatan moral yang tak tergoyahkan. Ia menyerukan kepada seluruh umat Islam untuk mewaspadai musuh internal yang menggunakan jubah agama untuk menjarah harta dan menyesatkan jiwa. Ayat ini adalah pengingat bahwa keimanan sejati menuntut integritas yang tidak bisa dinegosiasikan, terutama dalam hal harta dan kekuasaan. Bagi yang melanggar, meski mereka berada di puncak hierarki keagamaan, konsekuensinya adalah siksa yang pedih dan abadi, di mana harta yang mereka cintai di dunia akan menjadi sumber penderitaan mereka di akhirat. Umat harus selalu sadar dan waspada agar tidak menjadi korban, dan tidak membiarkan penyimpangan ini merajalela.

Kontemplasi Akhir: Aplikasi dan Implementasi Ajaran

Implementasi ajaran At-Taubah 34 menuntut revolusi mental dan struktural dalam cara umat berinteraksi dengan otoritas keagamaan. Hal ini memerlukan kontemplasi mendalam mengenai makna kekuasaan, harta, dan ilmu dalam kerangka Islam.

Reformasi Lembaga Keagamaan

Untuk menghindari jebakan Ahbar dan Ruhban, lembaga-lembaga keagamaan harus mengadopsi standar akuntabilitas yang setara atau bahkan lebih tinggi daripada lembaga sekuler. Ini termasuk audit finansial independen, publikasi sumber pendapatan dan pengeluaran, serta batasan jelas mengenai gaji dan fasilitas pemimpin. Tanpa reformasi struktural ini, godaan harta batil akan selalu mengancam integritas spiritual mereka yang memimpin. Kejelasan mengenai batas antara donasi untuk pribadi dan sumbangan untuk misi dakwah adalah krusial.

Penting untuk membedakan antara kebutuhan yang wajar dan kemewahan yang berlebihan. Pemimpin agama berhak atas penghidupan yang layak agar mereka dapat fokus pada misi spiritual mereka, namun tidak berhak menimbun kekayaan atau hidup dalam kemegahan yang mencolok. Kemewahan tersebut hanya akan memisahkan mereka dari realitas umat dan merusak citra kesalehan yang harus mereka representasikan.

Pendidikan Kritis Umat

Pencegahan terbaik terhadap penyimpangan adalah pendidikan umat yang kritis. Umat harus diajarkan untuk memegang teguh tali Al-Qur'an dan Sunnah, sehingga mereka tidak mudah terombang-ambing oleh fatwa yang aneh atau klaim spiritual yang meragukan. Ketika umat memiliki dasar ilmu yang kuat, mereka akan mampu mendeteksi Ahbar yang memutarbalikkan ajaran dan Ruhban yang memeras harta.

Pendidikan ini juga harus menekankan etika Islam tentang kepemilikan harta. Kesadaran bahwa harta yang ditimbun tanpa menunaikan haknya akan menjadi azab di hari akhir (sebagaimana ditegaskan dalam ayat 35) harus tertanam kuat. Ini akan mendorong umat untuk menuntut para pemimpin agama mereka untuk menjadi teladan dalam pengeluaran harta, bukan dalam penimbunan.

Komitmen pada Keikhlasan

Pada akhirnya, solusi terhadap masalah yang diangkat dalam At-Taubah 34 terletak pada pembaruan komitmen terhadap keikhlasan, baik oleh pemimpin maupun pengikut. Niat yang tulus untuk mencari wajah Allah harus menjadi satu-satunya motivasi di balik setiap amal keilmuan, ibadah, dan pengumpulan harta. Jika niat bergeser sedikit saja menuju keuntungan pribadi, kekuasaan, atau popularitas, maka ia telah membuka pintu bagi iblis untuk memasukkan unsur batil ke dalam kehidupan beragama.

Ayat ini adalah cermin yang memantulkan kelemahan abadi manusia di hadapan harta, bahkan ketika manusia itu telah dianugerahi ilmu dan kesalehan. Ia adalah undangan untuk introspeksi massal, memastikan bahwa Jalan Allah tidak terhalang oleh tumpukan emas dan perak yang dikumpulkan dengan cara yang batil.

Keselamatan umat terletak pada keberanian untuk menjauhi dan mengkritik Ahbar dan Ruhban yang menyimpang, serta komitmen yang teguh untuk hanya mengikuti ajaran agama yang murni, adil, dan transparan. Hanya dengan demikian, ancaman yang diserukan dalam Surat At-Taubah 34 dapat dihindari, dan umat dapat berjalan lurus di atas Sabīlullāh yang sesungguhnya, bebas dari eksploitasi spiritual dan finansial.

🏠 Homepage