Surah At-Taubah, khususnya ayat ke-36, merupakan salah satu landasan fundamental dalam memahami konsep waktu, kalender, dan hukum perang dalam Islam. Ayat ini bukan sekadar penetapan tanggal, melainkan manifestasi dari sistem kosmik dan spiritual yang ditetapkan oleh Allah sejak penciptaan langit dan bumi. Fokus utama ayat ini adalah penetapan dua belas bulan dalam setahun, di mana empat di antaranya memiliki status khusus yang sangat dihormati, dikenal sebagai Asyhurul Hurum (Bulan-bulan Suci).
Ayat ini dibuka dengan penegasan yang sangat kuat: "Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan." Ini adalah deklarasi kosmik bahwa sistem penanggalan yang sah dan diterima di sisi-Nya adalah kalender lunar yang terdiri dari dua belas bulan. Penegasan ini memiliki implikasi mendalam yang melampaui sekadar masalah administrasi waktu.
Frasa "fi Kitabillah" menunjukkan bahwa penetapan jumlah dua belas bulan bukanlah hasil kesepakatan manusia, melainkan keputusan abadi yang dicatat dalam Lauhul Mahfuzh atau catatan Ilahi sejak permulaan. Ini berarti sistem kalender Hijriah yang berbasis peredaran bulan adalah sistem yang paling sesuai dengan fitrah penciptaan, bahkan sebelum diwahyukan kepada Nabi Muhammad ﷺ. Hal ini menekankan universalitas dan keabadian hukum Ilahi terkait waktu.
Penetapan ini berlaku "yawma khalaqas samawati wal ardh" (pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi). Ini menggarisbawahi bahwa sistem dua belas bulan adalah bagian integral dari tatanan semesta. Gerakan bulan dan matahari, yang menentukan bulan dan tahun, adalah tanda-tanda kebesaran Allah. Ketika manusia mengikuti sistem ini, mereka menyelaraskan ibadah dan kehidupan mereka dengan irama kosmos yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta.
Ayat ini diturunkan dalam konteks penolakan keras terhadap praktik jahiliah yang dikenal sebagai An-Nasi’. Sebelum Islam, suku-suku Arab sering memanipulasi kalender, khususnya terkait bulan-bulan suci, demi kepentingan perang atau ekonomi. Mereka bisa menunda atau memajukan bulan suci agar bisa berperang pada saat yang seharusnya dilarang, atau sebaliknya, untuk menghindari perang pada waktu yang tidak menguntungkan.
Ayat 37, yang menyambung Ayat 36, secara eksplisit mengutuk Nasi’ sebagai kekafiran yang menambah kesesatan. Ayat 36 sendiri menegakkan batas: karena jumlah bulan itu sudah pasti dan ditetapkan oleh Allah, maka tidak ada ruang bagi manusia untuk mengubah urutan atau statusnya. Keabsahan kalender lunar adalah bagian dari "Ad-Dinu Al-Qayyim" (agama yang lurus/teguh), yang tidak boleh dicemari oleh kepentingan duniawi.
Sistem lunar memastikan bahwa ibadah besar seperti Ramadan (puasa) dan Haji (Dzulhijjah) berputar melalui semua musim. Keadilan ilahi terwujud dalam perputaran ini, sehingga beban ibadah tidak terus menerus jatuh pada musim panas atau musim dingin saja, memberikan kesempatan yang sama kepada semua generasi di berbagai belahan dunia untuk merasakan ibadah dalam kondisi iklim yang berbeda-beda.
Representasi sistem kalender ilahiah: Dua belas bulan dengan empat bulan suci.
Dari dua belas bulan tersebut, Allah mengkhususkan empat di antaranya dengan status haram (suci): "di antaranya ada empat bulan haram." Status haram berarti bulan-bulan ini memiliki kekudusan yang ditinggikan, di mana segala bentuk kezaliman, permusuhan, dan perbuatan dosa menjadi lebih berat sanksinya, dan sebaliknya, amal saleh dilipatgandakan pahalanya.
Berdasarkan hadis sahih dari Nabi Muhammad ﷺ yang menafsirkan ayat ini, keempat bulan suci tersebut adalah:
Penempatan bulan-bulan ini tidak acak. Tiga bulan berurutan (Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram) mengelilingi waktu pelaksanaan Haji. Dzulqa'dah memberikan waktu yang aman bagi para peziarah untuk melakukan perjalanan menuju Makkah. Dzulhijjah adalah waktu puncak ibadah. Muharram memberikan keamanan bagi mereka yang kembali dari Haji. Rajab yang terpisah memberikan jeda waktu di tengah tahun untuk persiapan spiritual lainnya.
Penetapan ini menunjukkan hikmah yang luar biasa dalam pengaturan Ilahi. Ini memastikan bahwa meskipun konflik dan perselisihan mungkin terjadi di bulan-bulan lain, ada jeda waktu yang terjamin, memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk berdagang, berhaji, dan menyembah Tuhan dalam kedamaian total.
Sebelum Islam, suku-suku Arab secara umum telah menghormati bulan-bulan haram ini, meskipun sering melanggarnya melalui praktik Nasi’. Ketika Islam datang, ia menguatkan dan menyempurnakan kehormatan tersebut. Kezaliman di bulan-bulan ini dilarang keras, dan larangan perang defensif (kecuali diserang terlebih dahulu) adalah hukum asasi selama periode tersebut.
Kehormatan bulan-bulan suci ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang menjunjung tinggi kedamaian dan menuntut adanya periode rekonsiliasi dan refleksi, bahkan di tengah-tengah konflik yang paling sengit sekalipun. Ini adalah mekanisme pengendalian diri yang ditetapkan oleh Allah untuk membatasi eskalasi kekerasan yang tiada akhir.
Inti spiritual dan etis dari Ayat 36 terletak pada perintah: "maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu." Frasa ini adalah perintah yang sangat penting yang membawa beban spiritual yang jauh lebih berat selama bulan-bulan suci.
Kezaliman (Zulm) dalam konteks Al-Qur'an memiliki arti yang luas, yaitu menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya. Secara umum, Zulm dibagi menjadi tiga tingkatan:
Ayat ini secara khusus memerintahkan untuk tidak menzalimi diri sendiri. Ini mencakup segala bentuk dosa, namun penekanannya adalah bahwa dosa-dosa ini, ketika dilakukan di Bulan Haram, memiliki dampak yang berlipat ganda. Para ulama tafsir menjelaskan bahwa sebagaimana amal kebaikan dilipatgandakan pahalanya di bulan-bulan ini, demikian pula sanksi atau beratnya dosa juga dilipatgandakan.
Perintah ini berfungsi sebagai peringatan: waktu suci menuntut kesucian perilaku. Jika seseorang melakukan dosa besar di bulan biasa, itu sudah buruk. Tetapi jika ia melakukannya di bulan yang telah Allah muliakan, ia menunjukkan penghinaan terhadap ketetapan dan waktu Ilahi, sehingga kezalimannya menjadi ganda.
Keagungan waktu ini menuntut introspeksi yang mendalam. Selama Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab, seorang Muslim didorong untuk meningkatkan kewaspadaan spiritual (taqwa) secara maksimal. Hal ini berarti:
Kezaliman yang dilakukan di luar bulan haram saja sudah merupakan bahaya bagi pelakunya. Kezaliman yang dilakukan di dalam bulan haram merupakan pengabaian terhadap kehormatan waktu yang Allah tetapkan, dan ini adalah sebuah kezaliman atas diri sendiri yang sangat parah karena merusak kesempatan emas untuk meraih pengampunan dan pahala yang berlimpah.
Ayat 36 tidak hanya berbicara tentang kalender dan spiritualitas; ayat ini juga memuat ketentuan penting mengenai jihad dan interaksi dengan kaum musyrikin, khususnya setelah dihapuskannya praktik Nasi’.
Kelanjutan dari ayat ini berbunyi: "dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya." Bagian ini menunjukkan bahwa penetapan bulan haram tidak menghilangkan kewajiban mempertahankan diri atau menegakkan kebenaran jika umat Islam berada dalam bahaya.
Para ulama tafsir telah membahas hubungan antara larangan zalim di bulan haram dan perintah untuk memerangi musyrikin. Terdapat dua pandangan utama:
Poin pentingnya adalah penekanan pada keadilan: "sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya." Ini menegaskan prinsip timbal balik dan pertahanan diri proporsional. Umat Islam tidak boleh menjadi pihak yang memulai kezaliman atau agresi. Kehormatan bulan suci adalah pengingat untuk selalu mengutamakan kedamaian, dan perang hanya dilakukan sebagai respon yang adil dan seimbang.
Ayat ini ditutup dengan motivasi yang luar biasa: "Dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa." Penutup ini mengikat semua bagian ayat: penetapan waktu, larangan kezaliman, dan perintah berperang.
Kehadiran (kebersamaan) Allah bukanlah sekadar fisik, melainkan kebersamaan dalam dukungan, pertolongan, dan keberhasilan. Allah akan menolong mereka yang bertakwa. Ketaqwaan di sini didefinisikan oleh ketaatan pada semua ketentuan yang baru saja disebutkan:
Ini menunjukkan bahwa kekuatan umat Islam tidak terletak pada jumlah atau persenjataan, melainkan pada tingkat ketaqwaan mereka dan kepatuhan mereka terhadap hukum Ilahi, bahkan hukum yang berkaitan dengan pengelolaan waktu suci.
Keagungan empat bulan haram ini merupakan penanda waktu yang menuntut peningkatan kualitas ibadah. Kita perlu memahami lebih dalam mengapa Allah memberikan status khusus kepada waktu-waktu tertentu. Waktu bukanlah entitas homogen; ada waktu-waktu yang diciptakan lebih utama dari waktu lainnya, seperti bulan Ramadan, sepuluh hari pertama Dzulhijjah, dan tentu saja, empat bulan suci ini.
Dzulqa'dah sering dianggap sebagai bulan persiapan. Secara historis, bulan ini adalah waktu ketika perjalanan haji dimulai. Umat Islam diperintahkan untuk duduk (qa'ada) dari peperangan, memfokuskan energi pada persiapan fisik dan spiritual untuk ibadah besar di bulan berikutnya. Peningkatan istighfar, membaca Al-Qur'an, dan merenungkan niat (ikhlas) adalah praktik yang sangat dianjurkan di bulan ini, sebagai benteng spiritual sebelum menghadapi puncak ibadah haji.
Ketenangan yang ditawarkan Dzulqa'dah adalah kesempatan untuk menambal kezaliman-kezaliman kecil yang mungkin dilakukan sepanjang tahun. Tanpa ketenangan yang dijamin oleh status haram, masyarakat akan terus berada dalam siklus konflik, menghilangkan kesempatan untuk berkumpul dalam ibadah global.
Dzulhijjah adalah pusat dari sistem Bulan Haram, karena di dalamnya terdapat ibadah Haji dan perayaan Idul Adha. Sepuluh hari pertama Dzulhijjah adalah hari-hari terbaik sepanjang tahun, melebihi sepuluh hari terakhir Ramadan dalam hal keutamaan amal saleh. Ibadah haji sendiri adalah puncak dari penghambaan, di mana manusia dari segala penjuru berkumpul untuk mematuhi ritual yang ditetapkan oleh Allah.
Larangan kezaliman di Dzulhijjah memiliki makna yang sangat praktis. Jutaan peziarah harus dijamin keamanannya saat berada di tanah suci. Kezaliman di bulan ini, terutama yang terkait dengan Hajj, dianggap sebagai penghinaan ganda: terhadap waktu suci dan terhadap tempat suci (Haram).
Kesucian Dzulhijjah mengajarkan bahwa penghormatan terhadap hak-hak orang lain, terutama hak para tamu Allah (Duyufur Rahman), adalah bagian tak terpisahkan dari ketaqwaan. Tanpa ketenangan yang dijamin Dzulhijjah, seluruh ritual global ini akan mustahil untuk dilaksanakan dengan aman dan damai.
Muharram, secara harfiah berarti 'yang diharamkan' atau 'yang suci'. Ia menandai awal tahun Hijriah dan merupakan bulan terbaik setelah Ramadan untuk melaksanakan puasa sunnah, terutama puasa Asyura (tanggal 10 Muharram). Status haramnya berfungsi sebagai penutup masa transisi dari Haji dan sebagai pembuka tahun dengan suasana yang dihiasi ketenangan dan kepatuhan.
Penghormatan terhadap Muharram adalah pengingat bahwa tahun baru harus dimulai dengan komitmen untuk menghindari kezaliman. Jika seseorang memulai tahun dengan kezaliman atau permusuhan, ia telah mencemari seluruh perjalanan spiritualnya ke depan. Muharram adalah panggilan untuk memulai lembaran baru dengan taubat yang tulus dan tekad yang kuat untuk hidup lurus sesuai Ad-Dinu Al-Qayyim.
Ilustrasi Ka'bah dan timbangan keadilan, menyoroti pentingnya keadilan dan menghindari kezaliman di waktu suci.
Rajab, bulan yang berada sendirian di luar tiga bulan Haji, sering disebut Rajab Al-Fard (Rajab yang tunggal). Kehormatan Rajab telah diakui sejak masa Jahiliyah, di mana praktik berburu dan peperangan juga dilarang secara ketat. Bagi umat Islam, Rajab adalah penanda dimulainya musim ibadah yang mengarah ke Ramadan (Rajab, Sya'ban, Ramadan).
Di masa kini, kehormatan Rajab sering dihubungkan dengan Isra' Mi'raj, namun nilai utamanya tetaplah terletak pada statusnya sebagai Bulan Haram, menuntut peningkatan ibadah sunnah, menjaga lisan, dan menjauhi kezaliman, sebagai persiapan bagi ketibaan bulan puasa.
Meskipun konteks penurunan ayat ini terkait dengan masalah kalender dan perang pada abad ke-7, prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya memiliki relevansi abadi bagi Muslim di seluruh dunia.
Di era modern, peperangan fisik mungkin tidak terjadi setiap hari, tetapi peperangan batin terhadap kezaliman diri sendiri adalah hal yang konstan. Ayat 36 mengajarkan bahwa kita harus menggunakan empat bulan suci ini sebagai periode pelatihan intensif untuk mengendalikan hawa nafsu.
Kezaliman modern sering berupa:
Penghormatan terhadap Bulan Haram menuntut pembersihan diri dari semua bentuk kezaliman tersembunyi ini. Ini adalah panggilan untuk mencapai standar moral yang lebih tinggi dan meningkatkan integritas spiritual.
Ayat ini menyebutkan sistem kalender dan larangan zalim sebagai bagian dari Ad-Dinu Al-Qayyim (agama yang lurus). Ini berarti ketaatan pada ketetapan waktu Allah adalah bagian dari kesempurnaan agama. Dalam masyarakat yang didominasi oleh kalender Masehi, seorang Muslim harus tetap menjaga kesadaran dan penghormatan terhadap kalender Hijriah. Mengetahui kapan empat bulan haram itu tiba dan menghormati kekudusannya adalah tanda kepatuhan terhadap agama yang lurus dan teguh ini.
Menghormati kalender lunar juga berarti memahami bahwa Islam mengatur seluruh aspek kehidupan, bahkan bagaimana kita menghitung hari. Ini membedakan Muslim dari manipulasi waktu yang dilakukan oleh peradaban lain demi kepentingan duniawi semata.
Ayat 36 mengajak kita merenungkan filsafat waktu (az-zaman) dalam Islam. Waktu adalah ciptaan Allah, dan Dialah yang berhak memberikan keutamaan pada sebagian waktu atas waktu yang lain. Keutamaan ini bukan hanya bersifat simbolis, melainkan menghasilkan konsekuensi hukum dan spiritual yang nyata.
Jika perbuatan baik dan buruk dilipatgandakan sanksi atau pahalanya di Bulan Haram, ini menunjukkan adanya interaksi dinamis antara dimensi waktu dan dimensi perbuatan. Seseorang yang melakukan kebaikan di Bulan Haram tidak hanya melakukan perbuatan baik, tetapi juga menghormati waktu yang dimuliakan Allah.
Sebaliknya, seseorang yang melakukan kezaliman di Bulan Haram tidak hanya melakukan dosa, tetapi juga merendahkan atau mengabaikan kehormatan yang telah Allah berikan kepada waktu tersebut. Penghinaan terhadap waktu ini menambah bobot kezaliman yang dilakukan atas dirinya sendiri.
Kezaliman di Bulan Haram menjadi tiga kali lipat sanksinya karena ia melanggar tiga prinsip sekaligus:
Muslim diajarkan untuk menjaga kehormatan ini secara simultan. Jika seseorang berada di Makkah (tempat suci) selama Dzulhijjah (bulan suci), kehati-hatian dalam menghindari kezaliman harus mencapai puncaknya. Kesadaran ini menumbuhkan al-Khauf (rasa takut) yang benar, yang mendorong ketaatan dan menjauhkan diri dari segala hal yang merusak.
Meskipun para ulama sepakat tentang empat bulan suci, terdapat diskusi yang mendalam mengenai sejauh mana hukum perang di dalamnya telah diubah atau dipertahankan setelah penetapan hukum jihad yang lebih luas.
Sebagian kecil ulama berpendapat bahwa larangan perang mutlak di Bulan Haram telah di-nasakh (dihapus) oleh ayat-ayat yang memerintahkan peperangan secara umum, seperti "perangilah kaum musyrikin itu semuanya." Mereka berargumen bahwa Islam pada akhirnya bertujuan menghapus kekuatan musyrik yang menindas, dan menunggu empat bulan setahun dapat menghambat penyebaran dakwah.
Namun, pandangan yang paling dominan dan lebih hati-hati adalah bahwa hukum asal (larangan memulai agresi di Bulan Haram) tetap berlaku. Perintah memerangi musyrikin secara kaffah dimaknai sebagai kesiapan total menghadapi ancaman, tetapi prinsip keadilan dan penghormatan terhadap waktu suci tetap menjadi batasan moral yang harus dijunjung tinggi.
Hikmah dari pemeliharaan kehormatan ini adalah bahwa Islam, bahkan dalam kondisi perang, tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan spiritual. Islam tidak pernah mengajarkan perang tanpa etika atau tanpa batas waktu. Batasan yang ditetapkan oleh Bulan Haram adalah manifestasi dari belas kasihan Allah, memberikan kesempatan bagi musuh untuk berhenti, bagi hati untuk melembut, dan bagi peziarah untuk beribadah.
Keberadaan empat bulan suci berfungsi sebagai "rem moral" tahunan. Masyarakat manusia cenderung terjerumus dalam siklus dendam dan konflik yang tiada akhir. Dengan adanya mandat ilahi untuk berhenti selama seperempat tahun, siklus kekerasan tersebut terpaksa terputus. Ini memaksa masyarakat untuk memikirkan kembali permusuhan mereka, berfokus pada sumber daya spiritual, dan memungkinkan perdagangan serta interaksi damai untuk berlanjut.
Bagi Muslim, ini adalah latihan spiritual yang wajib. Jika kita bisa mengendalikan nafsu dan amarah selama empat bulan yang ditetapkan, kita diharapkan dapat membawa kedisiplinan itu ke sebelas bulan lainnya. Pengendalian diri dari kezaliman, baik fisik maupun verbal, di masa yang paling mulia, adalah barometer tertinggi dari ketaqwaan seseorang.
Surah At-Taubah ayat 36 adalah landasan teologis yang kaya. Ayat ini menetapkan bahwa tatanan waktu adalah milik Allah, di mana sistem dua belas bulan adalah kehendak-Nya yang abadi. Dari dua belas, empat di antaranya (Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, Rajab) adalah Bulan Haram, menuntut penghormatan luar biasa.
Pesan utama "Fa La Tazhlimu Fiihinna Anfusakum" (janganlah kamu menzalimi dirimu dalam bulan yang empat itu) adalah panggilan universal menuju keadilan. Kezaliman di waktu yang suci merupakan kezaliman ganda, yang merusak jiwa dan meremehkan ketetapan Ilahi.
Dengan mematuhi perintah ini, umat Islam menunjukkan bahwa mereka adalah bagian dari Ad-Dinu Al-Qayyim, agama yang lurus yang mengatur hidup tidak hanya dalam ibadah ritual, tetapi juga dalam etika perang, pengelolaan waktu, dan integritas pribadi. Allah menegaskan bahwa Dia bersama orang-orang yang bertakwa, dan ketaqwaan sejati diukur dari seberapa baik kita menjaga batas-batas suci yang telah Dia tetapkan, termasuk kehormatan empat bulan yang dimuliakan ini.
Oleh karena itu, setiap kedatangan Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab harus disambut dengan kesadaran yang diperbaharui, dengan tekad untuk membersihkan diri dari segala bentuk kezaliman, dan dengan semangat yang ditingkatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, Sang Pemilik Waktu dan Semesta.
Penerapan ajaran At-Taubah 36 secara utuh memastikan bahwa kehidupan seorang Muslim terstruktur dalam irama kosmik Ilahi, menjamin bahwa perjalanan waktu selalu dihiasi dengan upaya maksimal menuju kebaikan, keadilan, dan ketaatan. Ini adalah peta jalan menuju keselamatan, ditandai oleh empat pos pemeriksaan spiritual tahunan yang tidak boleh diabaikan. Kesadaran terhadap kehormatan waktu ini merupakan salah satu pilar fundamental dalam mencapai derajat takwa yang sesungguhnya di hadapan Allah Yang Maha Agung.
Ayat ini adalah bukti nyata bahwa Allah memberikan penghargaan khusus terhadap disiplin spiritual dan moral yang diterapkan pada waktu-waktu yang telah dikhususkan. Ia bukan sekadar pengumuman administratif tentang kalender, melainkan peringatan keras bahwa peluang kebaikan di waktu suci berlimpah ruah, dan risiko kezaliman juga berlipat ganda. Ini adalah rahmat dari Allah, memberikan umat manusia kesempatan untuk menghentikan kebiasaan buruk secara periodik dan memulai kembali dengan hati yang lebih bersih dan niat yang lebih murni.
Memahami dan mengamalkan At-Taubah 36 berarti mengintegrasikan kesadaran akan waktu suci ke dalam setiap interaksi dan keputusan. Ini berarti setiap perbuatan kecil—sebuah senyum, ucapan yang baik, sedekah, bahkan menahan amarah—memperoleh bobot spiritual yang jauh lebih besar. Di sisi lain, setiap bentuk pelanggaran, dari gosip ringan hingga pelanggaran janji, harus dipandang dengan kewaspadaan maksimal, karena ia mencemari waktu yang sangat dimuliakan oleh Allah sendiri.
Keteguhan dalam memegang prinsip ini adalah ciri khas Ad-Dinu Al-Qayyim. Agama yang lurus menuntut konsistensi, dan konsistensi dimulai dengan menghormati struktur waktu yang ditetapkan secara Ilahi. Apabila umat Islam secara kolektif menghormati keempat bulan ini—menghentikan semua bentuk konflik internal dan eksternal, fokus pada pembangunan spiritual dan sosial—maka kedamaian sejati, yang diidam-idamkan oleh ajaran Islam, dapat terwujud, setidaknya selama seperempat tahun, yang kemudian diharapkan merembes ke periode waktu lainnya.
Kezaliman terhadap diri sendiri di sini juga harus dipahami sebagai kezaliman yang meluas ke generasi mendatang. Ketika kita mencemarkan waktu suci, kita gagal memberikan contoh ketaqwaan yang benar kepada anak-anak kita. Kita kehilangan kesempatan untuk mengisi periode waktu tersebut dengan sejarah kebaikan yang akan mereka warisi. Dengan menjaga kesucian Bulan Haram, kita mewariskan tradisi ketaatan dan penghormatan terhadap batasan-batasan Tuhan, sebuah warisan yang jauh lebih berharga daripada harta benda duniawi.
Penghormatan terhadap Bulan Haram juga memperkuat ikatan global antar Muslim. Meskipun berasal dari latar belakang budaya dan geografis yang berbeda, setiap Muslim menyadari bahwa Dzulhijjah adalah waktu Haji dan Muharram adalah waktu puasa sunnah, menyatukan ritme ibadah dan kehidupan mereka di bawah satu kalender Ilahi yang tidak dapat diubah oleh kesepakatan manusia mana pun. Persatuan waktu ini adalah persatuan spiritual yang fundamental.
Oleh karena itu, At-Taubah 36 adalah pengingat yang konstan tentang tanggung jawab kita sebagai hamba Allah. Tanggung jawab untuk mengelola waktu dengan bijak, untuk menjauhi kezaliman yang merusak jiwa, dan untuk selalu berjuang menuju keadilan dan ketaqwaan, terutama ketika berada dalam waktu-waktu yang telah diistimewakan oleh Sang Pencipta. Waktu adalah anugerah, dan kita dihakimi berdasarkan bagaimana kita menggunakan setiap detiknya, terutama di saat-saat yang paling mulia.