Surah At-Taubah, yang dikenal juga sebagai Al-Bara'ah (Pernyataan Pemutusan Hubungan), merupakan surah yang diturunkan pada periode Madinah, khususnya pada masa-masa menjelang dan setelah peristiwa Fathu Makkah. Surah ini secara fundamental membahas isu perjanjian, pengkhianatan, dan pembersihan Jazirah Arab dari praktik syirik. Di tengah-tengah pembahasan yang tegas mengenai hubungan antara kaum Muslimin dengan pihak-pihak yang melanggar janji, terdapat Ayat 10 yang memberikan deskripsi karakteristik fundamental kaum musyrikin yang telah melanggar kesepakatan damai.
Ayat ini tidak hanya berfungsi sebagai narasi historis tetapi juga menetapkan prinsip-prinsip etika kenegaraan dan hubungan internasional dalam Islam, terutama terkait dengan nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi: amanah, janji, dan persaudaraan. Untuk memahami kedalaman makna dan implikasi hukum dari ayat ini, diperlukan telaah yang komprehensif, mulai dari analisis leksikal hingga tafsir para ulama klasik.
Ayat 10 dari Surah At-Taubah menegaskan karakteristik musuh yang tidak layak diberikan kepercayaan, terutama setelah mereka berulang kali menunjukkan pengkhianatan. Ayat ini datang setelah serangkaian ayat yang membahas status perjanjian yang telah dilanggar.
Terjemah ini menyoroti dua aspek penting dari pengkhianatan kaum musyrikin: pelanggaran terhadap ikatan sosial atau kekerabatan (*illan*) dan pelanggaran terhadap perjanjian formal (*dhimmah*). Penutup ayat, *wa ulā'ika humul mu’tadūn*, memberikan justifikasi teologis atas pemutusan hubungan, yaitu karena mereka adalah pihak yang melampaui batas (agresor).
Pemahaman mendalam terhadap At-Taubah 10 sangat bergantung pada analisis teliti terhadap tiga kata kunci utama dalam ayat ini: *Yarqubūn*, *Illan*, dan *Dhimmah*. Masing-masing kata membawa beban makna historis, sosial, dan hukum yang sangat signifikan.
Kata kerja ini berasal dari akar kata رَقَبَ (R-Q-B), yang berarti mengawasi, menjaga, atau memperhatikan. Dalam konteks negasi (*Lā Yarqūbūn*), maknanya adalah: "Mereka tidak menjaga," "Mereka tidak memelihara," atau "Mereka tidak peduli."
Penggunaan kata ini menyiratkan bahwa kewajiban menjaga janji atau hubungan adalah sesuatu yang harus dilakukan dengan perhatian dan pengawasan. Kegagalan mereka bukan sekadar lupa, melainkan tindakan sengaja untuk mengabaikan atau tidak menghormati. Dalam konteks yang lebih luas, *yarqubūn* mencakup perhatian penuh terhadap konsekuensi dari pelanggaran janji, yang sama sekali tidak mereka miliki.
Para ahli bahasa Arab klasik menekankan bahwa kata ini menunjukkan tindakan memelihara sesuatu yang berharga. Ketika perhatian ini hilang, maka nilai perjanjian tersebut juga lenyap di mata mereka, sehingga mereka dengan mudah melanggarnya.
Makna *Illan* adalah salah satu yang paling sering diperdebatkan oleh para mufassir dan leksikografer. Terdapat setidaknya tiga penafsiran utama:
Penafsiran yang paling kuat dan banyak diikuti adalah kombinasi antara ikatan kekerabatan dan perjanjian. Ini menunjukkan bahwa kaum musyrikin yang dimaksud melanggar ikatan kemanusiaan yang mendasar (kekerabatan) dan ikatan formal (perjanjian).
Kata *Dhimmah* adalah istilah hukum dan teologis yang sangat penting. Secara harfiah berarti tanggung jawab, jaminan, atau perlindungan. Dalam konteks ayat ini, *dhimmah* merujuk pada:
Kontras antara *Illan* (ikatan sosial/kekeluargaan) dan *Dhimmah* (ikatan hukum/politik) menunjukkan bahwa musuh-musuh ini gagal di setiap level etika kemanusiaan dan politik. Mereka adalah pelanggar total yang tidak mengenal batas.
Ini adalah kata sifat yang berasal dari akar kata *’Adā* (عَدَا), yang berarti melampaui batas atau berbuat sewenang-wenang. *Al-Mu’tadūn* adalah "orang-orang yang melampaui batas," "agresor," atau "pelanggar hukum." Penutup ini bukan sekadar deskripsi, tetapi justifikasi Ilahi bahwa pemutusan perjanjian dengan mereka adalah benar karena mereka sendirilah yang memulai agresi dan pelanggaran.
Ayat 10 harus dipahami dalam konteks historis Surah At-Taubah secara keseluruhan. Ayat-ayat sebelumnya (khususnya Ayat 1-9) menjelaskan pemutusan perjanjian dengan kaum musyrikin yang telah melanggar perjanjian Hudaibiyah atau perjanjian lain yang dibuat setelah Fathu Makkah.
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini berfungsi untuk membedakan antara kaum musyrikin yang memelihara janji dan yang tidak. Mereka yang disifati dalam Ayat 10 adalah kaum musyrikin yang dikenal karena kejahatan mereka. Ibnu Katsir menekankan bahwa sifat melampaui batas (*i’tidae*) adalah akar dari semua masalah. Pelanggaran janji adalah manifestasi dari sifat melampaui batas yang melekat pada diri mereka.
"Mereka tidak memelihara terhadap seorang mukmin pun yang berhubungan dengan kekerabatan maupun perjanjian. Mereka telah bersepakat dalam kekufuran dan permusuhan terhadap kaum mukminin. Inilah sifat buruk yang mengharuskan mereka diperangi." (Tafsir Ibnu Katsir, ringkasan makna).
At-Tabari memberikan perhatian khusus pada keragaman makna *Illan*. Ia menyimpulkan bahwa penafsiran yang paling komprehensif adalah yang mencakup ikatan kekerabatan sekaligus perjanjian. At-Tabari menjelaskan bahwa kebiasaan kaum musyrikin yang dimaksud adalah, ketika mereka memiliki kekuatan atau superioritas, mereka tidak menghormati hak-hak seorang mukmin sama sekali, meskipun ada perjanjian yang mengikat atau ikatan kekerabatan yang seharusnya dipelihara.
Fokus At-Tabari adalah pada ketidakpercayaan total yang dipertontonkan oleh kaum tersebut, menjadikan hubungan dengan mereka tidak stabil dan berbahaya. Ketidakadilan dan kezaliman mereka menjustifikasi tindakan tegas yang dijelaskan pada ayat-ayat awal surah ini.
Penting untuk dicatat bahwa meskipun Islam telah mengganti ikatan darah dengan ikatan akidah (*ukhuwwah Islāmiyyah*), nilai kekerabatan tetap diakui. Namun, Ayat 10 menunjukkan bahwa kaum musyrikin tertentu bahkan tidak menghormati ikatan kekerabatan tradisional mereka, apalagi perjanjian formal, jika pihak lain telah memeluk Islam. Ini adalah tingkat pengkhianatan yang paling ekstrem.
Ayat 10, meskipun bersifat deskriptif, memiliki implikasi hukum yang sangat besar dalam menentukan kebijakan negara Islam terkait perjanjian dan keamanan. Ayat ini berfungsi sebagai barometer untuk mengukur keandalan mitra perjanjian.
Ayat ini menegaskan bahwa dalam Islam, perjanjian harus didasarkan pada prinsip kepercayaan (*amanah*). Jika suatu pihak secara terang-terangan dan berulang kali menunjukkan tidak adanya niat untuk memelihara perjanjian (*dhimmah*), maka kepercayaan tersebut hilang. Hilangnya kepercayaan ini adalah dasar yang dibenarkan oleh syariat untuk membatalkan atau menangguhkan perjanjian, sebab keberlangsungan perjanjian bergantung pada penghormatan timbal balik terhadap hak-hak yang dijamin dalam perjanjian tersebut.
Dalam ilmu Fiqh Siyar (Hukum Perang dan Internasional), perjanjian (mu’ahadah) hanya dapat diputus jika ada bukti kuat bahwa pihak lawan telah melanggarnya (*naqdhul ‘ahd*). Ayat 10 memberikan kriteria yang jelas tentang bukti pelanggaran tersebut: pengabaian terhadap ikatan sosial dan ikatan hukum formal.
Para fuqaha (ahli hukum Islam) menggunakan ayat ini untuk membedakan jenis-jenis non-Muslim dalam hubungan dengan negara Islam:
Hal ini menunjukkan bahwa tindakan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat bukan didasarkan pada permusuhan umum, melainkan pada respons spesifik terhadap tingkat pengkhianatan yang ditunjukkan oleh kelompok tertentu.
Penegasan bahwa mereka adalah *Al-Mu’tadūn* (orang-orang yang melampaui batas) adalah justifikasi hukum final. Secara syariat, inisiatif agresi atau pelanggaran janji adalah alasan utama mengapa mereka kehilangan hak perlindungan dan perjanjian. Mereka tidak hanya melanggar kontrak, tetapi juga secara aktif bertindak zalim dan melampaui batas-batas kemanusiaan dan hukum yang diakui bersama.
Lebih dari sekadar hukum perang, Ayat 10 adalah pelajaran mendalam mengenai akidah (keyakinan) dan akhlak (moralitas) dalam Islam. Ayat ini mengajarkan bahwa akhlak dan akidah tidak dapat dipisahkan; ketidakmampuan memelihara janji adalah cerminan dari hati yang tidak memiliki keimanan sejati.
Nabi Muhammad SAW bersabda, "Tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki amanah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak memelihara janji." Ayat 10 memberikan ilustrasi Al-Qur'an tentang kebalikan dari sifat ini. Kegagalan mereka dalam memelihara *dhimmah* dan *illan* adalah bukti nyata dari kekosongan akidah mereka.
Bagi seorang Mukmin, amanah adalah bagian integral dari keimanan. Apabila seseorang mengklaim beriman tetapi melanggar janji atau ikatan kekerabatan, keimanannya dipertanyakan. Sebaliknya, kaum musyrikin yang disifati dalam ayat ini melakukan pelanggaran tersebut sebagai konsekuensi logis dari penolakan mereka terhadap kebenaran Ilahi.
Ayat ini berfungsi sebagai kontras yang tajam dengan akhlak Nabi Muhammad SAW. Meskipun Nabi berada dalam posisi konflik, beliau selalu dikenal sebagai *Al-Amin* (Yang Terpercaya). Bahkan ketika perjanjian Hudaibiyah terasa tidak adil bagi sebagian sahabat, Nabi tetap memegang teguh komitmen tersebut. Pelajaran moralnya adalah bahwa keimanan menuntut pemenuhan janji, bahkan kepada musuh.
Ketika pihak lawan adalah kaum yang secara sistematis dan berulang kali menunjukkan tidak adanya niat untuk berpegang pada janji, seperti yang disifati dalam Ayat 10, maka mereka telah menanggalkan hak-hak moral dan hukum yang seharusnya mereka dapatkan dari perjanjian damai.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, penting untuk menganalisis struktur kalimat dalam Ayat 10, yang menggunakan penekanan dan negasi ganda untuk menciptakan dampak retoris yang kuat.
Kalimat dimulai dengan negasi *Lā yarqūbūn* (Mereka tidak menjaga), diikuti oleh dua objek yang dinegasikan secara konjungtif: *Illan* **wa lā** *Dhimmah*. Struktur ini (tidak A dan tidak B) dalam bahasa Arab berfungsi sebagai penekanan total. Ini berarti mereka tidak menjaga jenis ikatan sosial apa pun, *dan* mereka juga tidak menjaga jenis ikatan hukum apa pun.
Penempatan negasi ganda ini memastikan bahwa tidak ada celah untuk memaafkan perilaku mereka. Kegagalan mereka adalah menyeluruh, mencakup spektrum penuh dari etika personal hingga etika politik.
Kata *Fī* (terhadap/mengenai) menunjukkan konteks permusuhan. Mereka gagal memelihara janji ketika berurusan dengan seorang Mukmin. Ini menegaskan bahwa motivasi pengkhianatan mereka adalah ideologis. Permusuhan mereka bukan hanya masalah politik, melainkan didorong oleh kebencian terhadap akidah tauhid yang dianut oleh Mukminin.
Apabila mereka berinteraksi dengan sesama musyrikin, mungkin saja mereka memelihara *illan* atau *dhimmah*, tetapi ketika berhadapan dengan individu yang telah memilih Islam, semua batasan moral dan sosial mereka runtuh. Ini menjadikan permusuhan mereka bersifat fundamental dan tidak dapat dinegosiasikan melalui perjanjian semata.
Penutup ayat, *Wa ulā'ika humul mu’tadūn* (Dan mereka itulah orang-orang yang melampaui batas), menggunakan kata ganti penegas (*dhamir al-fasl*) هُمْ (mereka). Dalam retorika Al-Qur'an, penggunaan kata ganti penegas sering kali berfungsi untuk memberikan batasan dan penekanan. Artinya, merekalah, dan hanya merekalah, yang sepenuhnya pantas mendapat gelar 'orang-orang yang melampaui batas' karena perilaku mereka.
Pernyataan ini mengubah deskripsi menjadi vonis. Itu bukan sekadar hasil dari konflik, melainkan sifat hakiki yang melekat pada karakter mereka yang melanggar janji. Sifat *i'tidae* (melampaui batas) inilah yang membatalkan segala dasar untuk melanjutkan hubungan damai.
Meskipun Ayat 10 secara langsung merujuk pada musyrikin spesifik pada masa Nabi, prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya memiliki relevansi abadi dalam etika bernegara dan interaksi sosial.
Ayat ini mengajarkan kepada pemimpin Muslim, di masa mana pun, pentingnya integritas. Seorang pemimpin harus memastikan bahwa perjanjian dan komitmen (baik internal maupun eksternal) selalu dihormati, dan pada saat yang sama, ia harus waspada terhadap pihak-pihak yang secara konsisten menunjukkan kurangnya etika perjanjian (*dhimmah*).
Prinsip yang diambil adalah: Kepercayaan adalah dua arah. Apabila mitra perjanjian secara berulang kali menunjukkan pengkhianatan ideologis atau hukum, tindakan yang diperlukan untuk melindungi komunitas (umat) menjadi sah dan wajib.
Ayat 10 membantu umat Muslim modern memahami bahwa permusuhan yang timbul dari perbedaan akidah kadang kala bersifat fundamental, sampai pada titik di mana lawan mengabaikan norma-norma kemanusiaan dasar (*illan*). Hal ini bukan berarti membenarkan permusuhan sewenang-wenang, melainkan menyadarkan umat akan realitas ancaman dari pihak yang motifnya didasarkan pada penolakan total terhadap kebenaran Islam.
Pelanggaran janji bukan lagi masalah negosiasi politik, melainkan gejala dari penyakit hati yang lebih dalam, yaitu sikap melampaui batas (*i’tidae*) yang disebabkan oleh kekufuran.
Penekanan pada *Illan* mengajarkan bahwa bahkan dalam konflik, Islam menghargai ikatan kemanusiaan dan kekerabatan. Kritik Al-Qur'an terhadap musuh adalah karena mereka gagal memelihara *illan* tersebut, khususnya ketika pihak lain adalah seorang Mukmin. Ini menegaskan superioritas moral Islam, di mana bahkan perjanjian dengan non-Muslim yang setia harus dihormati, sementara musuh dihukum karena kegagalan mereka memelihara norma kemanusiaan.
Untuk memenuhi kedalaman pembahasan, kita perlu membedah lebih jauh makna dari kata *Al-Mu’tadūn*. Dalam konteks hukum Islam, *i’tidae* memiliki cakupan yang luas, jauh melampaui agresi militer semata.
*I’tidae* adalah pelanggaran terhadap batas-batas (hudud) yang ditetapkan oleh Allah. Ini mencakup pelanggaran dalam interaksi sosial, ekonomi, dan politik. Dalam konteks Ayat 10, *i’tidae* mereka diwujudkan dalam beberapa bentuk:
Karena mereka adalah *Al-Mu’tadūn*, mereka secara intrinsik tidak dapat dipercaya. Sifat mereka yang melampaui batas berarti mereka akan selalu berusaha mencari keuntungan di luar koridor etika dan hukum yang telah disepakati.
Konteks Surah At-Taubah menunjukkan bahwa sifat *i’tidae* yang disebutkan dalam Ayat 10 bukan hanya tindakan tunggal, melainkan pola perilaku berulang. Mereka telah diberikan perjanjian damai, tetapi setiap kali kesempatan muncul, mereka melanggarnya. Al-Qur’an menggarisbawahi sifat ini untuk menjelaskan bahwa pemutusan hubungan tersebut adalah langkah defensif, bukan ofensif, terhadap sebuah entitas yang secara fundamental tidak mau hidup damai dalam batas-batas yang disepakati.
Tindakan *i’tidae* yang berulang ini menempatkan mereka di luar kategori musuh yang mungkin suatu hari dapat diikat dalam perjanjian yang stabil, dan oleh karena itu, tindakan pemutusan total menjadi krusial untuk keamanan komunitas Mukminin.
Meskipun sering diterjemahkan berdekatan, para mufassir abad pertengahan memberikan nuansa yang mendalam mengenai perbedaan antara *Illan* dan *Dhimmah*, yang menunjukkan cakupan pengkhianatan yang sangat luas.
*Illan* lebih terkait dengan ikatan moral dan sifat manusiawi. Ia mencakup rasa hormat dasar yang harus diberikan kepada orang lain karena mereka adalah manusia, atau lebih spesifik, karena mereka memiliki hubungan kekerabatan. Dalam tafsir bahasa (lughah), *illan* terkadang diartikan sebagai "kewajiban yang harus ditaati" atau "sesuatu yang harus dijaga karena alasan sosial." Kegagalan mereka memelihara *illan* menunjukkan kegagalan etika internal.
*Dhimmah* adalah murni terminologi hukum, yang mencakup kontrak, jaminan, dan perlindungan. Ini adalah komitmen yang dapat ditegakkan secara eksternal. Kegagalan memelihara *dhimmah* adalah kejahatan politik dan pelanggaran kontrak yang memerlukan sanksi.
Penggunaan kedua kata ini secara bersamaan—bahwa mereka tidak menjaga ikatan moral maupun ikatan formal—menekankan bahwa pengkhianatan mereka terjadi di semua lini: secara internal (moralitas yang rendah) dan eksternal (pelanggaran hukum yang nyata).
Surah At-Taubah Ayat 10 menyajikan sebuah paradigma penting dalam teologi dan fiqh Islam mengenai bagaimana komunitas Mukmin harus berinteraksi dengan pihak-pihak yang tidak dapat dipercaya. Prinsip-prinsip yang dapat ditarik adalah:
Kajian mendalam terhadap At-Taubah Ayat 10 menegaskan bahwa Islam adalah agama yang menjunjung tinggi komitmen dan amanah. Pelanggaran terhadap komitmen ini, apalagi yang dilakukan secara sistematis dan meluas, adalah tindakan melampaui batas yang berkonsekuensi pada hilangnya jaminan dan perlindungan, sehingga menjustifikasi pemutusan hubungan oleh pihak Mukmin demi menegakkan keadilan dan melindungi keamanan umat.
Keseluruhan pesan ayat ini bukan tentang permusuhan tanpa sebab, melainkan respons yang proporsional dan adil terhadap pengkhianatan yang sudah mencapai titik kejenuhan. Inilah hikmah dan ketegasan hukum dalam ajaran Islam, yang selalu meletakkan keadilan, meskipun harus mengambil keputusan yang sulit, di atas segala pertimbangan lainnya.