Tafsir Mendalam Surah At-Taubah Ayat 36
Surah At-Taubah, ayat ke-36, merupakan salah satu landasan teologis dan hukum terpenting dalam Islam yang menjelaskan struktur waktu dalam kalender Ilahi. Ayat ini menegaskan kedaulatan Allah SWT atas penetapan waktu, menggarisbawahi kebenaran sistem lunar, dan secara spesifik menunjuk pada empat bulan yang dimuliakan (Al-Asyhur Al-Hurum). Pemahaman mendalam terhadap ayat ini membuka tabir kebijaksanaan agung di balik siklus tahunan yang ditetapkan sejak penciptaan langit dan bumi.
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ ۚ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa."
Ayat ini memuat tiga inti utama: (1) Penegasan jumlah bulan (dua belas), (2) Identifikasi empat bulan suci (*Al-Arba’ah Al-Hurum*), dan (3) Peringatan keras untuk menjauhi kezaliman (*zulm*) selama periode mulia tersebut. Penetapan ini, ditegaskan oleh Al-Qur'an, bukanlah hasil konvensi manusia atau tradisi yang berubah-ubah, melainkan sebuah kodifikasi yang telah tertulis dalam *Kitabullah* (Lauh Mahfuzh) sejak awal mula eksistensi kosmik.
Penggunaan kata *‘Iddata Asy-Syuhūr* merujuk pada penetapan numerik yang mutlak. Dengan tegas Allah menyatakan bahwa kalender yang sah, yang telah ditetapkan secara Ilahi, terdiri dari dua belas bulan. Hal ini secara langsung menolak sistem kalender yang disisipi (interkalasi) atau dimodifikasi oleh manusia, seperti praktik *An-Nasi’* yang dilakukan kaum Jahiliyyah.
Dua belas bulan ini identik dengan siklus lunar (Qamariyyah), yaitu Muharram, Safar, Rabi’ul Awwal, Rabi’ul Akhir, Jumadil Awwal, Jumadil Akhir, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawwal, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah. Sistem kalender ini memastikan bahwa musim ibadah, seperti Ramadhan dan Haji, berotasi secara adil melalui semua musim di muka bumi, menegaskan universalitas risalah Islam.
Empat bulan yang disucikan adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram (tiga bulan berturut-turut), dan Rajab (bulan tunggal yang terpisah). Kualitas *Hurum* (haram atau suci) merujuk pada status kehormatan yang tinggi. Dalam konteks syariat, status ini memiliki dua dimensi:
Pentingnya Rajab: Rajab adalah bulan yang unik karena ia berdiri sendiri di antara dua waktu suci (Dzulhijjah dan Ramadhan). Rajab sering disebut sebagai bulan persiapan spiritual sebelum Ramadhan, menjadikannya bulan yang memiliki nilai strategis dalam kalender spiritual seorang Muslim.
Visualisasi Empat Bulan Haram (Arba’atun Hurum).
Frasa *Dīn al-Qayyim* menandaskan bahwa ketetapan Ilahi mengenai waktu, terutama penetapan bulan suci, merupakan bagian integral dari agama yang sempurna dan lurus. Artinya, penataan waktu ini bukan sekadar pengaturan administratif, melainkan sebuah prinsip ketuhanan yang harus dipatuhi. Menyimpang dari kalender lunar dan mengabaikan kekhususan bulan-bulan haram sama dengan menyimpang dari *Dīn al-Qayyim* itu sendiri. Prinsip ini memastikan stabilitas ibadah dan menghindari kekacauan sosial dan spiritual.
Ayat ini secara eksplisit melarang, *“fala tazhlimū fīhinna anfusakum”* (maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu). Larangan ini memiliki spektrum makna yang sangat luas, meliputi kezaliman terhadap Allah, terhadap orang lain, dan terhadap diri sendiri.
Para ulama tafsir, seperti Imam Qurtubi dan Ibnu Katsir, menjelaskan bahwa larangan kezaliman di sini ditingkatkan penekanannya karena bulan-bulan ini memiliki kemuliaan yang berlipat ganda. Melakukan dosa di bulan-bulan suci dianggap lebih besar dosanya daripada di bulan biasa, sebagaimana berbuat kebaikan di dalamnya juga berlipat ganda pahalanya. Kezaliman spiritual mencakup:
Aspek sosial dari larangan ini sangat relevan dengan tujuan awal penetapan bulan haram, yaitu menciptakan perdamaian. Kezaliman sosial meliputi menzalimi orang lain, mengambil harta mereka secara tidak sah, melanggar perjanjian, atau melakukan kejahatan fisik. Kezaliman di bulan suci ini mengancam stabilitas sosial yang seharusnya terwujud dalam suasana damai dan aman.
Ayat 36 ini diturunkan untuk membatalkan praktik jahiliyah yang disebut *An-Nasi’* (interkalasi atau penundaan). Kaum Jahiliyyah, demi keuntungan politik, ekonomi, atau perang, sering kali menunda atau memindahkan status haram suatu bulan. Misalnya, jika mereka ingin berperang pada Muharram (bulan haram), mereka akan menunda status haram itu ke bulan Safar. Hal ini menciptakan kekacauan dalam kalender dan merusak esensi ibadah haji.
Allah SWT mengecam keras praktik *An-Nasi’* dalam ayat berikutnya (At-Taubah 9:37), menyatakan bahwa praktik tersebut menambah kekafiran, menyesatkan orang-orang yang kafir. Ketika Nabi Muhammad SAW melaksanakan Haji Wada’ (Haji Perpisahan), beliau secara resmi mengumumkan bahwa waktu telah kembali kepada ketetapan aslinya yang ditetapkan Allah saat menciptakan langit dan bumi. Ini mengukuhkan kalender lunar yang murni, bebas dari manipulasi manusia.
Untuk memahami kedalaman spiritual At-Taubah 36, kita harus merenungkan keistimewaan yang melekat pada masing-masing dari empat bulan yang dimuliakan ini. Penetapan mereka secara Ilahi memberikan fokus tersendiri bagi umat Islam dalam mengelola ketaatan dan menjauhi penyimpangan.
Dzulqa’dah adalah bulan suci pertama dalam rangkaian tiga bulan berturut-turut (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram). Nama *Dzulqa’dah* secara harfiah berarti 'pemilik duduk' atau 'masa berdiam'. Secara tradisi, ini adalah bulan di mana masyarakat berhenti dari perjalanan panjang dan persiapan perang, menyiapkan diri untuk ibadah haji yang akan datang. Keistimewaannya terletak pada peran sebagai gerbang menuju puncak spiritual tahunan, yaitu Arafah dan Idul Adha.
Dalam Dzulqa’dah, umat Islam diajarkan untuk meningkatkan kesabaran dan menahan diri, mempraktikkan perdamaian di tingkat individu sebelum perdamaian komunal. Sikap menahan diri dari konflik dan fokus pada kedamaian adalah inti dari menjaga kesucian bulan ini. Kesucian Dzulqa’dah memastikan bahwa para jamaah haji dari berbagai penjuru bumi dapat melakukan perjalanan dengan aman menuju Makkah tanpa perlu mengkhawatirkan serangan atau permusuhan di sepanjang jalan.
Inilah penerapan praktis dari *Dīn al-Qayyim*. Sistem yang lurus menjamin bahwa dimensi sosial dan spiritual saling mendukung. Tanpa keamanan di Dzulqa’dah, ibadah wajib Haji di Dzulhijjah akan sulit terlaksana. Oleh karena itu, pelanggaran terhadap larangan di Dzulqa’dah tidak hanya dosa individu tetapi juga ancaman terhadap infrastruktur ibadah seluruh umat.
Dzulhijjah, bulan kedua suci, adalah bulan Haji dan Idul Adha. Ia adalah bulan di mana jutaan umat Islam berkumpul untuk memenuhi Rukun Islam kelima. Sepuluh hari pertama Dzulhijjah secara khusus dianggap sebagai hari-hari terbaik dalam setahun. Keutamaan amal di hari-hari ini, sebagaimana disebutkan dalam hadis, melebihi jihad di medan perang, kecuali jihad yang berujung pada syahid.
Kezaliman di Dzulhijjah memiliki bobot yang sangat besar. Contoh kezaliman terberat adalah menolak atau meremehkan ritual haji yang ditetapkan. Namun, larangan *zulm* juga meluas pada aspek kemanusiaan; Dzulhijjah adalah masa pengorbanan (Qurban), yang seharusnya menjadi wujud solidaritas sosial. Zalim di bulan ini berarti gagal memahami esensi pengorbanan dan keadilan yang diwariskan oleh Nabi Ibrahim AS.
Penting untuk dicatat bahwa kesucian Dzulhijjah memastikan seluruh proses ibadah haji, mulai dari thawaf, sa’i, wukuf di Arafah, hingga lempar jumrah, berjalan dalam suasana kehormatan dan ketaatan penuh. Kezaliman, baik berupa konflik maupun dosa pribadi, merusak kesucian pengalaman spiritual yang seharusnya menjadi pemurnian jiwa total.
Muharram, bulan ketiga suci yang berurutan, adalah bulan pembuka tahun Hijriah. Kehormatan bulan ini sangat tinggi, bahkan Nabi Muhammad SAW menyebutnya sebagai *Syahrullah* (Bulan Allah). Puasa sunnah di Muharram, terutama puasa *‘Asyura* (hari ke-10) dan sehari sebelumnya (Tasu’a), memiliki keutamaan yang luar biasa, dikaitkan dengan penghapusan dosa setahun yang telah lalu.
Status Muharram sebagai bulan haram melanjutkan atmosfer perdamaian dan menahan diri dari pertikaian. Karena Muharram berada tepat setelah Dzulhijjah, ia memberikan waktu bagi jamaah haji untuk kembali ke kampung halaman mereka dengan aman. Kezaliman di Muharram sering diartikan sebagai awal yang buruk dalam memulai tahun baru. Jika seseorang memulai tahun dengan kezaliman, maka dapat dikhawatirkan sisa tahunnya akan dipenuhi dengan penyimpangan.
Oleh karena itu, penekanan pada peningkatan amal dan penghindaran dosa di Muharram adalah dorongan untuk membersihkan diri setelah puncak ibadah haji, serta menetapkan resolusi spiritual yang kuat untuk sisa dua belas bulan yang ditetapkan dalam *Kitabullah*.
Rajab adalah bulan keempat yang suci, namun terpisah dari rangkaian tiga bulan lainnya. Ia terletak di antara Jumadil Akhir dan Sya’ban. Rajab sering disebut *Rajab al-Fard* (Rajab yang tunggal). Secara historis, Rajab sangat dimuliakan bahkan sejak masa Jahiliyah, di mana mereka menghentikan perang dan menghormati bulan ini—walaupun mereka kemudian memanipulasi bulan lain melalui *Nasi’*.
Bagi umat Islam, Rajab memiliki keutamaan karena ia adalah gerbang menuju musim agung: Sya’ban dan Ramadhan. Peningkatan ibadah sunnah, khususnya puasa dan istighfar, di bulan Rajab dipandang sebagai penanaman benih spiritual yang akan dituai di bulan Ramadhan. Kezaliman di Rajab dianggap sangat berbahaya karena dapat menghalangi seseorang dari mendapatkan berkah di bulan Ramadhan yang mendekat.
Peristiwa penting seperti Isra’ dan Mi’raj secara umum diyakini terjadi pada bulan Rajab (meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai tanggalnya). Peristiwa ini semakin menegaskan keagungan Rajab sebagai bulan yang penuh mukjizat dan koneksi vertikal antara hamba dan Rabb. Melakukan kezaliman di bulan yang dimuliakan dengan perjalanan spiritual Nabi adalah bentuk pengingkaran terhadap kemuliaan Ilahi.
Setelah memberikan peringatan keras tentang kezaliman di bulan suci, ayat 36 menutup dengan dua perintah yang tampaknya kontradiktif namun sesungguhnya saling melengkapi dalam konteks Syariah: *“wa qātilū al-musyrikīna kāffatan kamā yuqātilūnakum kāffatan”* (dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya), dan *“wa’lamū anna Allāha ma‘a al-muttaqīn”* (dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa).
Perintah berperang di akhir ayat ini sering memunculkan pertanyaan: Bagaimana mungkin Allah melarang kezaliman di bulan suci, namun memerintahkan perang? Ulama tafsir menjelaskan konteksnya:
Ayat ini menegaskan bahwa Allah membersamai orang-orang yang bertakwa. Takwa adalah inti dari kepatuhan terhadap *Dīn al-Qayyim*. Takwa diwujudkan dengan menghormati bulan-bulan suci, menjauhi kezaliman, dan pada saat yang sama, mempertahankan eksistensi agama yang lurus ini dari ancaman.
Visualisasi Keseimbangan (Dīn al-Qayyim) antara Ketaatan dan Penghindaran Kezaliman.
Berdasarkan ayat *“fala tazhlimū fīhinna anfusakum”*, para fuqaha (ahli fikih) menetapkan prinsip bahwa kezaliman tidak hanya diukur dari jenis perbuatan, tetapi juga dari tempat (*makān*) dan waktu (*zamān*) perbuatan itu dilakukan. Kezaliman yang dilakukan di tempat suci (seperti Masjidil Haram) atau di waktu suci (seperti bulan haram) memiliki hukuman yang ditingkatkan secara substansial. Ini adalah pandangan mayoritas mazhab fikih.
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal berpegangan pada tafsir bahwa peningkatan dosa di bulan-bulan haram adalah sebuah realitas syar’i yang harus diwaspadai. Peningkatan ini berfungsi sebagai pencegah yang kuat, mendorong umat untuk memanfaatkan kemuliaan waktu tersebut semata-mata untuk ibadah dan perdamaian.
Jika dosa berlipat ganda, maka ketaatan juga demikian. Ayat ini merupakan undangan terbuka untuk memaksimalkan potensi spiritual tahunan. Setiap amalan sunnah, seperti puasa, shalat malam, sedekah, dan zikir, memiliki potensi pahala yang melampaui bulan-bulan lainnya. Ini menciptakan sebuah dinamika spiritual di mana Muslim didorong untuk berhati-hati penuh (wara’) dalam setiap tindakan mereka selama seperempat tahun ini.
Ketaatan di bulan-bulan haram bukan hanya tentang ritual, tetapi juga tentang penguatan karakter. Ketaatan mencakup kejujuran dalam perdagangan di Dzulqa’dah, solidaritas di Dzulhijjah, kebersihan jiwa di Muharram, dan persiapan diri di Rajab. Integrasi moralitas dan ritual ini adalah hakikat dari *Dīn al-Qayyim*.
Penetapan *‘Iddata Asy-Syuhūr* sebagai dua belas bulan, yang secara implisit adalah bulan lunar, memiliki makna filosofis yang mendalam bagi umat Islam. Kalender solar (Masehi) terkait erat dengan musim, yang bervariasi tergantung lokasi geografis. Sebaliknya, kalender lunar tidak terikat pada musim tertentu, menyebabkan semua hari raya dan ibadah penting bergeser secara progresif melalui seluruh siklus tahun. Hal ini memastikan bahwa seluruh komunitas Muslim, baik yang berada di kutub utara yang dingin maupun di khatulistiwa yang panas, mengalami Ramadhan, Haji, dan Idul Adha di semua kondisi cuaca.
Inilah keadilan yang sempurna dari *Dīn al-Qayyim*. Kalender lunar menjadi simbol universalitas Islam. Ia membebaskan ibadah dari keterikatan geografis dan budaya tertentu. Kepatuhan pada kalender ini adalah bentuk ketaatan terhadap sistem waktu yang ditetapkan oleh Allah, bukan sistem yang diatur oleh pergerakan bumi mengelilingi matahari, melainkan pergerakan bulan yang lebih sederhana dan mudah diobservasi secara kasat mata, mencerminkan fitrah alami manusia.
Siklus dua belas bulan, dengan empat bulan haramnya, memberikan struktur yang teratur pada kehidupan spiritual seorang Muslim. Ini bukan sekadar jeda tahunan, melainkan siklus pembaruan iman yang berkelanjutan. Tiga bulan suci berturut-turut (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram) berfungsi sebagai "Musim Ibadah Besar," yang diikuti oleh periode netral, dan kemudian persiapan awal di Rajab, menuju puncak kedua di Ramadhan (walaupun Ramadhan bukan bulan haram, ia adalah bulan termulia).
Setiap Muslim diundang untuk merenungkan ayat 36 At-Taubah ini sebagai peta jalan spiritual. Peta jalan yang mengajarkan bahwa waktu adalah amanah, dan kemuliaan waktu tertentu menuntut tanggung jawab moral dan etika yang lebih tinggi. Pelanggaran terhadap larangan kezaliman di bulan-bulan ini adalah pengkhianatan terhadap amanah waktu yang mulia.
Surah At-Taubah Ayat 36 adalah panggilan untuk memelihara keseimbangan Ilahi. Keseimbangan ini mencakup penghormatan terhadap waktu yang ditetapkan Allah, menjauhi segala bentuk kezaliman (terutama di waktu-waktu yang dimuliakan), dan mempersiapkan diri untuk membela kebenaran (takwa). Ketika umat mematuhi struktur waktu ini, mereka menegakkan *Dīn al-Qayyim*—agama yang lurus dan sempurna.
Ayat ini mengajarkan bahwa tatanan kosmik yang ditetapkan oleh Allah sejak penciptaan langit dan bumi harus direfleksikan dalam tatanan sosial dan spiritual manusia. Keamanan, kedamaian, dan ketaatan harus menjadi ciri utama dari kehidupan Muslim, khususnya selama Empat Bulan Haram. Melalui penghormatan terhadap Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab, umat Islam secara kolektif menegaskan kembali janji mereka untuk hidup sesuai dengan hukum dan waktu Ilahi.
Tafsir mendalam ini menegaskan bahwa setiap momen dalam dua belas bulan adalah kesempatan, tetapi empat bulan haram adalah permata yang membutuhkan kehati-hatian ganda. Kezaliman di dalamnya merusak keindahan Islam, sementara ketaatan di dalamnya meninggikan martabat seorang hamba di sisi-Nya.
Ketaatan pada kalender lunar dan pemuliaan bulan-bulan haram menunjukkan kepatuhan total pada kehendak Allah, membedakan umat Islam dari peradaban lain yang mencoba mengatur waktu sesuai hawa nafsu dan kepentingan duniawi. Inilah fondasi kokoh yang memastikan umat Islam akan selalu berada di jalan yang lurus, jalan *Dīn al-Qayyim*.
Penetapan bulan-bulan ini adalah sebuah rahmat, sebuah jeda yang wajib dipenuhi dengan kedamaian, refleksi, dan peningkatan hubungan dengan Sang Pencipta. Kewajiban untuk tidak menzalimi diri sendiri di bulan-bulan ini menjadi pengingat abadi bahwa waktu, dalam Islam, memiliki nilai moral yang tidak terhingga.
Sebagai penutup dari perenungan mendalam terhadap At-Taubah ayat 36, hendaknya kita senantiasa memohon kepada Allah agar diberikan kemampuan untuk memanfaatkan waktu suci ini dengan sebaik-baiknya, menjauhkan diri dari segala bentuk kezaliman, dan menjadikan setiap bulan haram sebagai pijakan untuk mencapai derajat ketakwaan yang tertinggi, sebagaimana janji Allah: *wa’lamū anna Allāha ma‘a al-muttaqīn* (dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa).
Pelajaran yang paling mendasar adalah kesadaran akan hakikat waktu itu sendiri. Waktu bukanlah entitas netral; ia dipenuhi dengan nilai spiritual yang berbeda-beda, dan empat bulan haram adalah bukti nyata dari hirarki nilai tersebut. Kehormatan waktu ini menuntut penghormatan kita sepenuhnya, baik dalam tindakan individu maupun interaksi sosial. Menjaga batas-batas ini adalah manifestasi paling murni dari iman.
Jika kita menelaah lebih jauh implikasi jurisprudensi dari ayat ini, kita menemukan bahwa beberapa ulama membahas tentang kewajiban membayar diyat (denda) yang diperberat jika kejahatan pembunuhan atau penyerangan terjadi di bulan haram. Meskipun ada perbedaan pendapat, konsensus umum menekankan peningkatan beratnya dosa. Hal ini menunjukkan betapa seriusnya Islam memandang pelanggaran terhadap kesucian waktu. Perbuatan yang dianggap maksiat besar di bulan biasa, dapat menjadi kezaliman yang melipatgandakan hukuman di sisi Allah ketika dilakukan di bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, atau Rajab.
Fenomena ini bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk mendidik. Ini adalah mekanisme pencegahan yang bertujuan membentuk masyarakat yang secara intrinsik menghargai kedamaian, menahan diri, dan mengutamakan ketaatan. Tujuan utama penetapan empat bulan ini, sejak zaman Nabi Ibrahim AS hingga Nabi Muhammad SAW, adalah untuk memfasilitasi perjalanan ibadah dan menciptakan zona aman spiritual dan fisik.
Kezaliman yang dilarang mencakup pula *zulm* dalam bidang ekonomi, seperti penipuan atau riba. Mengingat Dzulqa’dah dan Dzulhijjah adalah bulan-bulan perdagangan besar terkait haji, larangan ini berfungsi sebagai pengatur etika bisnis tertinggi. Seorang Muslim yang menzalimi orang lain dalam transaksi jual beli saat bulan suci berarti menggabungkan dosa pelanggaran hukum ekonomi dengan dosa pelanggaran kehormatan waktu Ilahi, menjadikannya dosa ganda.
Inti dari *Dīn al-Qayyim* adalah keadilan. Keadilan harus merasuk dalam segala aspek kehidupan, termasuk cara kita menghormati kalender. Jika kita mencoba memanipulasi waktu ibadah untuk kepentingan pribadi atau suku, seperti yang dilakukan kaum Jahiliyah dengan *An-Nasi’*, kita merusak keadilan kosmik yang ditetapkan oleh Allah. Ayat 36 adalah deklarasi kemerdekaan kalender Islam dari intervensi manusia.
Rajab, sebagai bulan terpisah, memberikan kesempatan refleksi yang lebih tenang, jauh dari hiruk pikuk haji dan Ramadhan. Ini adalah bulan untuk meninjau kembali komitmen spiritual yang mungkin mengendur. Dengan demikian, keempat bulan ini tidak hanya sekadar jadwal, tetapi adalah arsitektur ketaatan yang komprehensif, mencakup periode persiapan, puncak ritual, transisi spiritual, dan pembaruan awal tahun.
Kesucian Dzulhijjah, dengan sepuluh hari pertamanya yang luar biasa, mengajarkan kita tentang pengorbanan material dan spiritual. Peningkatan amal di masa ini adalah respons langsung terhadap penetapan Allah. Kita memanfaatkan waktu yang telah dimuliakan-Nya. Ini adalah pelajaran tentang bagaimana memanfaatkan ‘modal’ waktu yang telah diinvestasikan kemuliaan oleh Sang Pencipta.
Pada akhirnya, pemahaman mendalam terhadap At-Taubah 36 membawa kita kembali pada hakikat takwa. Takwa adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, di mana pun dan kapan pun. Namun, Takwa sejati teruji ketika kita mampu menahan diri dari kezaliman justru ketika peluang dan dorongan untuk melakukannya meningkat, khususnya di hadapan kemuliaan waktu yang telah Allah tetapkan. Ketahuilah, Allah selalu beserta orang-orang yang senantiasa menjaga Takwa mereka, di bulan suci maupun di bulan biasa.