Antasida merupakan salah satu kelas obat bebas (over-the-counter/OTC) yang paling umum digunakan di seluruh dunia. Fungsi utamanya sangat spesifik dan esensial dalam mengatasi gangguan pencernaan, yaitu menetralkan kelebihan asam klorida (HCl) yang diproduksi oleh lambung. Penggunaan antasida sangat luas, mencakup kondisi ringan hingga moderat seperti mulas (heartburn), dispepsia (gangguan pencernaan), dan sebagai terapi adjuvan dalam pengobatan ulkus peptikum (tukak lambung).
Gambar 1: Mekanisme kerja dasar antasida dalam menetralkan asam lambung.
Berbeda dengan obat penurun asam lainnya seperti penghambat pompa proton (PPIs) atau antagonis reseptor H2 (H2RAs) yang bekerja dengan mengurangi produksi asam, antasida bekerja secara langsung dan cepat di tempat masalah, yaitu di lumen lambung. Karena kecepatan aksinya inilah, antasida sering menjadi pilihan pertama untuk meredakan gejala akut yang muncul tiba-tiba.
Secara kimiawi, antasida adalah basa lemah. Ketika basa lemah ini masuk ke lambung, ia bereaksi dengan asam klorida (HCl) yang sangat kuat, mengubahnya menjadi garam dan air, sehingga menaikkan pH lambung. Reaksi penetralan ini adalah reaksi asam-basa sederhana:
$$\text{Antasida} (\text{Basa}) + \text{HCl} (\text{Asam}) \rightarrow \text{Garam} + \text{H}_2\text{O}$$
Namun, durasi kerjanya umumnya pendek, karena lambung secara alami terus memproduksi asam, dan antasida yang ternetralkan akan dikosongkan ke usus halus.
Kinetika antasida sangat penting dalam menentukan kapan obat harus diminum. Antasida yang diminum saat lambung kosong akan memiliki efek yang sangat cepat (sekitar 30-60 menit) tetapi durasinya sangat singkat. Sebaliknya, jika antasida diminum 1-3 jam setelah makan, atau saat gejala muncul, kehadirannya akan dibantu oleh makanan yang berfungsi sebagai buffer alami, memperpanjang durasi kerjanya hingga 3-4 jam.
Efektivitas antasida diukur menggunakan parameter yang dikenal sebagai Kapasitas Penetralan Asam (ANC). ANC didefinisikan sebagai jumlah mili-ekuivalen (mEq) asam klorida yang dapat dinetralkan oleh dosis tunggal antasida hingga mencapai pH 3.5 dalam waktu 15 menit. Badan pengawas obat mensyaratkan bahwa antasida harus memiliki ANC minimal 5 mEq per dosis.
Contoh obat antasida tersedia dalam dua bentuk utama yang mempengaruhi kecepatan onset:
Antasida diklasifikasikan berdasarkan kation logam yang terkandung di dalamnya. Setiap kation memberikan karakteristik unik, baik dari segi kecepatan aksi, potensi ANC, maupun efek samping sistemik dan gastrointestinal.
Gambar 2: Klasifikasi antasida berdasarkan kation utamanya dan efek samping khas.
Aluminium hidroksida adalah antasida yang bekerja lambat, tetapi memberikan durasi netralisasi yang relatif lama. Senyawa ini sering digunakan dalam kombinasi karena kelemahannya yang spesifik.
Reaksi penetralannya adalah:
$$\text{Al}(\text{OH})_3 + 3\text{HCl} \rightarrow \text{AlCl}_3 + 3\text{H}_2\text{O}$$Setelah bereaksi, sebagian kecil aluminium klorida (AlCl₃) yang dihasilkan akan diabsorpsi, tetapi sebagian besar tetap berada di saluran pencernaan. Absorpsi sistemik aluminium dapat menyebabkan toksisitas pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal kronis (gagal ginjal), karena ginjal tidak mampu mengekskresikan aluminium yang terakumulasi. Akumulasi ini dapat menyebabkan ensefalopati dan osteomalasia (penyakit tulang).
Efek samping yang paling khas dari aluminium hidroksida adalah konstipasi (sembelit). Mekanismenya melibatkan pengikatan fosfat di usus, membentuk aluminium fosfat yang tidak larut, dan juga menghambat motilitas (gerakan) usus. Karena efek konstipasi yang kuat ini, aluminium hidroksida hampir selalu diformulasikan bersama dengan antasida yang bersifat laksatif, yaitu magnesium hidroksida.
Karena kemampuannya mengikat fosfat, Aluminium Hidroksida juga digunakan sebagai pengikat fosfat (phosphate binder) pada pasien dialisis untuk mengontrol hiperfosfatemia (kelebihan fosfat dalam darah).
Magnesium hidroksida, sering disebut Milk of Magnesia, adalah antasida yang bekerja lebih cepat daripada aluminium, namun potensi efek sampingnya berbeda total.
Reaksi penetralannya:
$$\text{Mg}(\text{OH})_2 + 2\text{HCl} \rightarrow \text{MgCl}_2 + 2\text{H}_2\text{O}$$Magnesium klorida (MgCl₂) yang terbentuk di lambung adalah garam yang larut. Garam ini memasuki usus halus dan bertindak sebagai agen osmotik. Sebagian kecil magnesium diabsorpsi, namun mayoritas tetap di lumen usus.
Efek samping utama magnesium adalah diare. Sifat osmotiknya menarik air ke dalam usus, yang merangsang motilitas dan menyebabkan efek laksatif. Inilah mengapa kombinasi Aluminium dan Magnesium sangat populer: efek konstipasi aluminium diseimbangkan oleh efek laksatif magnesium, menghasilkan profil efek samping gastrointestinal yang lebih netral.
Sama seperti aluminium, magnesium juga diekskresikan oleh ginjal. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal yang parah berisiko mengalami hipermagnesemia (kelebihan magnesium dalam darah), yang dapat menyebabkan hipotensi, depresi pernapasan, dan toksisitas neuromuskuler. Oleh karena itu, penggunaan antasida berbasis magnesium harus dihindari atau dibatasi pada pasien gagal ginjal.
Kalsium karbonat adalah antasida yang sangat poten dan bekerja cepat. Senyawa ini sangat populer, dan selain digunakan sebagai antasida, juga merupakan suplemen kalsium yang umum.
Reaksi penetralan:
$$\text{CaCO}_3 + 2\text{HCl} \rightarrow \text{CaCl}_2 + \text{CO}_2 + \text{H}_2\text{O}$$Perhatikan bahwa reaksi ini menghasilkan gas karbon dioksida (CO₂). Produksi gas ini seringkali menyebabkan kembung, bersendawa, dan ketidaknyamanan abdomen setelah konsumsi.
Kelemahan klinis terbesar dari kalsium karbonat adalah fenomena yang disebut “acid rebound” (lonjakan asam kembali). Kalsium merangsang pelepasan gastrin. Gastrin, hormon yang diproduksi lambung, kemudian merangsang sel parietal untuk memproduksi lebih banyak asam HCl, menyebabkan gejala mulas kembali setelah efek penetralan awal hilang. Ini membuat kalsium karbonat kurang ideal untuk penggunaan jangka panjang pada ulkus peptikum.
Jika digunakan dalam dosis tinggi dan jangka waktu lama, terutama jika dikombinasikan dengan produk susu (yang mengandung kalsium dan vitamin D), kalsium karbonat dapat menyebabkan Sindrom Alkali Susu. Kondisi ini ditandai dengan hiperkalsemia, alkalosis metabolik, dan gagal ginjal. Meskipun jarang terjadi, ini merupakan komplikasi serius dari penggunaan berlebihan.
Natrium bikarbonat adalah antasida yang paling cepat bertindak, sering memberikan kelegaan instan. Namun, durasi kerjanya paling pendek dan memiliki risiko sistemik yang tinggi.
Reaksi penetralan:
$$\text{NaHCO}_3 + \text{HCl} \rightarrow \text{NaCl} + \text{H}_2\text{O} + \text{CO}_2$$Seperti kalsium karbonat, natrium bikarbonat menghasilkan CO₂, menyebabkan kembung. Kelemahan utamanya adalah natrium klorida (NaCl) yang dihasilkan akan diabsorpsi secara sistemik.
Absorpsi natrium dalam jumlah besar dapat membebani tubuh, menyebabkan retensi cairan dan memperburuk kondisi pada pasien dengan hipertensi, gagal jantung kongestif (CHF), atau gangguan ginjal. Selain itu, bikarbonat yang tidak bereaksi di lambung dan terabsorpsi dapat menyebabkan alkalosis metabolik, suatu kondisi yang berpotensi fatal.
Saat ini, sebagian besar contoh obat antasida komersial menggunakan kombinasi Al(OH)₃ dan Mg(OH)₂ untuk menyeimbangkan efek samping. Selain itu, banyak formulasi menambahkan zat lain:
Walaupun nama dagang (brand) bervariasi tergantung negara, formulasi inti obat antasida cenderung mengikuti pola kombinasi Al(OH)₃ dan Mg(OH)₂. Berikut adalah contoh tipikal berdasarkan kombinasi senyawanya:
| Tipe Formulasi | Senyawa Utama | Karakteristik Kunci | Indikasi Utama |
|---|---|---|---|
| Tipe A: Kombinasi Seimbang | Aluminium Hidroksida + Magnesium Hidroksida | Menawarkan keseimbangan antara kecepatan aksi (Mg) dan durasi (Al). Efek samping GI (Konstipasi vs Diare) saling menetralkan. | Dispepsia, Mulas, Ulkus Peptikum (Terapi Adjuvan). |
| Tipe B: Kombinasi Plus Simetikon | Aluminium Hidroksida + Magnesium Hidroksida + Simetikon | Sama seperti Tipe A, namun ditujukan untuk pasien yang mengalami kembung signifikan atau perut bergas akibat asam lambung. | Dispepsia disertai gejala perut kembung. |
| Tipe C: Antasida Kalsium Murni | Kalsium Karbonat | Aksi sangat cepat dan poten. Juga berfungsi sebagai suplemen kalsium. Risiko acid rebound. | Mulas akut (penggunaan sporadis). |
| Tipe D: Bikarbonat Murni | Natrium Bikarbonat | Aksi tercepat, onset instan. Hanya untuk gejala akut dan sporadis. | Mulas darurat. Risiko alkalosis dan beban natrium. |
Beberapa formulasi antasida yang dirancang untuk kerja yang sangat cepat mungkin menggunakan rasio magnesium yang lebih tinggi. Contohnya, formulasi yang didominasi oleh magnesium akan menawarkan bantuan yang lebih cepat, tetapi pengguna harus lebih mewaspadai efek laksatif.
Penggunaan antasida sebagai bagian dari terapi ulkus peptikum seringkali memerlukan dosis yang lebih tinggi dan frekuensi yang lebih sering (hingga 7 kali sehari), terutama dalam kombinasi dengan H2 blocker atau PPIs. Namun, antasida kini jarang menjadi terapi lini pertama tunggal untuk ulkus, melainkan hanya sebagai pereda gejala.
Pemahaman mengenai kapan waktu terbaik mengonsumsi antasida adalah kunci efektivitasnya. Karena makanan berfungsi sebagai buffer yang memperlambat pengosongan lambung, antasida paling efektif jika diminum saat lambung sedang memproses makanan atau sesaat setelah makan.
Dosis standar biasanya berkisar antara 10-20 mL (untuk suspensi) atau 2-4 tablet kunyah. Sangat penting bagi pasien yang menggunakan tablet kunyah untuk mengunyahnya hingga benar-benar halus. Jika tablet hanya ditelan, partikel besar tidak akan larut dengan cepat, mengurangi ANC, dan obat mungkin akan melewati lambung sebelum sempat menetralkan asam secara maksimal.
Penggunaan antasida yang tidak tepat dapat mengurangi efektivitasnya atau meningkatkan risiko efek samping:
Salah satu aspek paling kritis dari penggunaan antasida adalah potensinya untuk berinteraksi dengan banyak obat lain. Antasida dapat mengubah absorpsi obat lain melalui dua mekanisme utama:
Khelasi adalah interaksi yang paling sering menimbulkan masalah klinis. Antasida harus dipisahkan dari obat-obatan berikut setidaknya 2-4 jam:
Obat yang absorpsinya bergantung pada pH asam (seperti ketoconazole dan itraconazole, beberapa jenis obat HIV/AIDS) akan mengalami penurunan absorpsi ketika antasida menaikkan pH lambung.
Aturan praktisnya, antasida harus diberikan setidaknya 2 jam sebelum atau 4 jam setelah pemberian obat-obatan lain yang memiliki potensi interaksi absorpsi tinggi, terutama antibiotik, untuk memastikan obat kedua bekerja secara maksimal.
Meskipun antasida sering dianggap aman karena aksinya yang lokal, penggunaan dosis tinggi atau jangka panjang dapat menyebabkan efek sistemik, terutama pada populasi rentan.
Simetikon (agen antifoaming) secara farmakologis inert, tidak diabsorpsi ke dalam aliran darah, dan umumnya sangat aman. Efek samping yang terkait dengan kombinasi antasida + simetikon biasanya berasal dari komponen logam (Al, Mg, Ca) itu sendiri, bukan dari simetikon.
Mulas (heartburn) sangat umum terjadi selama kehamilan akibat tekanan rahim pada lambung dan relaksasi sfingter esofagus bawah karena hormon progesteron. Antasida adalah terapi lini pertama yang disukai.
Populasi lansia sering memiliki fungsi ginjal yang menurun (bahkan tanpa diagnosis gagal ginjal formal). Oleh karena itu, lansia sangat rentan terhadap toksisitas Aluminium dan Magnesium, terutama pada penggunaan kronis. Skrining fungsi ginjal (kreatinin serum) sebelum meresepkan antasida adalah tindakan pencegahan yang penting.
Penggunaan antasida pada anak-anak harus dilakukan dengan hati-hati dan umumnya di bawah pengawasan dokter. Dosis harus disesuaikan dengan berat badan. Risiko utama pada anak adalah toksisitas aluminium dan ketidakseimbangan elektrolit akibat diare (Magnesium) atau alkalosis (Bikarbonat).
Pasien CHF harus menghindari antasida berbasis natrium bikarbonat karena tambahan natrium dapat memperburuk retensi cairan, edema, dan gagal jantung. Antasida dengan kandungan natrium rendah (seperti Al(OH)₃ dan Mg(OH)₂) adalah pilihan yang lebih aman.
Penting untuk membedakan antasida dari dua kelas obat populer lainnya: H2 Blockers dan PPIs. Walaupun ketiganya digunakan untuk mengobati masalah asam lambung, mekanisme, onset, dan durasi kerjanya sangat berbeda.
Contoh: Ranitidine, Famotidine, Cimetidine.
Contoh: Omeprazole, Lansoprazole, Esomeprazole.
Antasida tetap memegang peran penting karena tidak ada obat lain yang menawarkan bantuan secepat antasida untuk gejala mulas akut. Mereka adalah 'penyelamat cepat' (rescue medicine) sementara H2 Blockers dan PPIs adalah terapi pemeliharaan jangka panjang.
Memilih contoh obat antasida yang tepat bergantung pada gejala, kondisi kesehatan pasien (terutama fungsi ginjal), dan obat-obatan lain yang sedang dikonsumsi. Penggunaan antasida harus selalu didasarkan pada prinsip penggunaan yang bijak:
Meskipun antasida adalah obat OTC, ini bukan solusi untuk semua masalah pencernaan. Anda harus berkonsultasi dengan dokter jika:
Secara keseluruhan, antasida adalah pilar penting dalam penanganan simptomatik masalah kelebihan asam lambung. Memahami komposisi kimianya—apakah itu Aluminium, Magnesium, Kalsium, atau Natrium—memungkinkan pengguna untuk memaksimalkan manfaat terapeutik sambil meminimalkan risiko efek samping dan interaksi obat yang tidak diinginkan.
***
Untuk memahami mengapa fungsi ginjal sangat krusial, kita perlu meninjau kembali tingkat absorpsi sistemik dari ion antasida. Sebagian besar antasida memang bekerja secara lokal, tetapi sejumlah kecil ion logam tetap diserap:
Sekitar 15-30% magnesium klorida yang terbentuk di lambung diabsorpsi di usus halus. Pada individu sehat, kelebihan magnesium ini cepat diekskresikan oleh ginjal. Jika laju filtrasi glomerulus (GFR) turun di bawah 30 mL/menit, mekanisme ekskresi ini terganggu, dan hipermagnesemia dapat terjadi cepat.
Absorpsi aluminium sangat minim (sekitar 0.001%), tetapi pada pasien CKD, bahkan jumlah sekecil ini akan terakumulasi seiring waktu. Toksisitas aluminium adalah masalah kumulatif, yang memengaruhi tulang (osteomalasia) dan otak (ensefalopati). Oleh karena itu, penggunaan jangka panjang antasida aluminium, bahkan dalam dosis rendah, harus dihindari total pada pasien dialisis.
Absorpsi kalsium bervariasi tergantung kebutuhan tubuh, tetapi bisa mencapai 20-40%. Tingginya absorpsi ini, dikombinasikan dengan potensi alkalosis dari bikarbonat yang terbentuk, menjelaskan mengapa kalsium karbonat memiliki risiko tertinggi untuk Sindrom Alkali Susu jika digunakan secara kronis dalam dosis tinggi.