Surat An-Nisa ayat 59 adalah salah satu ayat Al-Qur'an yang memiliki kedudukan fundamental dalam tatanan kehidupan seorang Muslim. Ayat ini secara ringkas namun padat memuat prinsip-prinsip penting mengenai ketaatan dan kepemimpinan, yang jika dipahami dan diamalkan dengan benar, akan membentuk masyarakat yang harmonis dan beradab. Ayat tersebut berbunyi, "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul (Muhammad), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."
Inti dari ayat ini terletak pada tiga tingkatan ketaatan yang diwajibkan bagi seorang Mukmin. Tingkatan pertama dan tertinggi adalah ketaatan kepada Allah SWT. Ini merupakan fondasi utama dari seluruh ajaran Islam. Ketaatan kepada Allah berarti menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, sebagaimana yang telah diwahyukan dalam Al-Qur'an. Ini mencakup keyakinan, ibadah, akhlak, muamalah, dan segala aspek kehidupan. Tanpa ketaatan kepada Allah, ketaatan pada tingkatan berikutnya menjadi tidak bermakna atau bahkan keliru.
Tingkatan kedua adalah ketaatan kepada Rasulullah Muhammad SAW. Ketaatan ini tidak dapat dipisahkan dari ketaatan kepada Allah, karena Rasulullah adalah utusan Allah yang membawa risalah-Nya. Ketaatan kepada Rasul berarti mengikuti sunnahnya, meneladani perilakunya, dan menerima segala ajaran yang dibawanya. Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah menjadi sumber hukum dan panduan hidup bagi umat Islam. Mengikuti Rasul adalah bentuk nyata dari mencintai Allah dan menjalankan perintah-Nya untuk taat kepada utusan-Nya.
Tingkatan ketiga adalah ketaatan kepada ulil amri. Ulil amri secara umum diartikan sebagai pemimpin, penguasa, atau pihak yang memiliki otoritas dalam suatu urusan, baik itu pemimpin negara, ulama yang berilmu, atau kepala keluarga dalam lingkup rumah tangga. Ketaatan kepada ulil amri ini memiliki syarat. Syaratnya adalah selama mereka memerintahkan sesuatu yang tidak bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Jika ulil amri memerintahkan sesuatu yang maksiat kepada Allah, maka tidak ada ketaatan kepada mereka dalam hal tersebut. Ini adalah prinsip penting yang menjaga agar ketaatan kepada manusia tidak melampaui batas ketaatan kepada Sang Pencipta. Ketaatan kepada ulil amri yang shaleh dan adil akan menciptakan ketertiban, kedamaian, dan kemaslahatan dalam masyarakat.
Selanjutnya, ayat ini memberikan mekanisme penyelesaian jika terjadi perselisihan atau perbedaan pendapat di antara kaum Muslimin. Mekanisme tersebut adalah mengembalikan perselisihan kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya). Ini menegaskan bahwa sumber rujukan utama dan terakhir dalam setiap persoalan bagi seorang Mukmin adalah wahyu Allah dan ajaran Rasul-Nya. Jika suatu masalah tidak terpecahkan oleh akal atau kesepakatan manusia, maka solusinya harus dicari dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Keharusan ini dibarengi dengan syarat keimanan yang kuat kepada Allah dan Hari Akhir, karena keyakinan inilah yang akan mendorong seseorang untuk mencari kebenaran mutlak dari sumber ilahi.
Ayat ini juga menekankan bahwa mengembalikan perselisihan kepada Allah dan Rasul adalah hal yang lebih utama dan lebih baik akibatnya. Ini berarti bahwa keputusan yang didasarkan pada wahyu ilahi akan selalu menghasilkan kebaikan yang hakiki dan keberkahan jangka panjang, baik bagi individu maupun masyarakat. Hal ini menunjukkan pentingnya menjadikan Al-Qur'an dan Sunnah sebagai kompas dalam setiap gerak kehidupan, terutama saat menghadapi kebingungan atau perselisihan.
Secara keseluruhan, kesimpulan dari Surat An-Nisa ayat 59 adalah bahwa seorang Mukmin dituntut untuk membangun struktur ketaatan yang bertingkat, dimulai dari ketaatan mutlak kepada Allah, lalu kepada Rasul-Nya, dan kemudian kepada para pemimpin atau otoritas yang sah selama tidak bertentangan dengan syariat. Dalam menghadapi perbedaan pendapat, solusi terbaik dan paling diridhai adalah merujuk kembali pada sumber ajaran Islam, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah. Ayat ini mengajarkan kita tentang pentingnya kepemimpinan yang adil, kepatuhan yang bijak, dan bagaimana menegakkan kebenaran dengan merujuk pada panduan ilahi. Dengan demikian, umat Islam dapat hidup dalam tatanan yang harmonis, teratur, dan senantiasa berada di jalan yang diridhai Allah SWT.